Cari

Kenapa Negara Takut pada Warga?? Kupas Nyinyiran DPR dan Kritikan Mensos pada Donasi Bencana Sumatera

 


[Historiana] Alam Wangsa Ungkara.  Belakangan media sosial ramai imbas penyataan anggota DPR yang menyindir influenser yang bergerak cepat mengumpulkan dan menyalurkan bantuan pada korban banjir bandang di Propinsi Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Aceh. Sebutan "Si Paling Paling" menjadi tag dalam meme meme yang dibuat warga net. Lebih dari itu, kemunculan pernyataan Menteri Sosial (Mensos RI) tentang pengumpulan donasi harus lapor dan memerlukan izin menjadi perbincangan di dunia maya hingga warung-warung kopi. Meski semua warga mengerti bahwa donasi memerlukan pemberitahuan dan pelaporan ke dinas sosial hingga menteri sosial. Namun waktu yang barangkali sangat tidak tepat. Yang muncul di benak masyarakat justru seolah-olah negara atau pemerintah takut pada tindakan warga. 

Warga bantu Warga!

Mengapa negara/pemerintah takut pada warga? Menurut Buku "Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance" karya James C. Scott secara eksplisit membahas "narasi negara takut warga", Scott justru menyoroti bagaimana dinamika tersebut dapat memunculkan ketakutan di pihak negara, berdasarkan konsep-konsep kunci Scott:

Buku ini adalah studi etnografi mendalam tentang sebuah desa miskin di Malaysia (disebut "Sedaka") pada akhir 1970-an, ketika desa tersebut mengalami transformasi besar akibat introduksi mesin panen (combine harvester) dan revolusi hijau. Scott ingin memahami bagaimana petani miskin dan kelas subordinat lainnya melawan kekuasaan tanpa melakukan pemberontakan terbuka.

Scott menolak pandangan bahwa ketiadaan protes massal berarti adanya penerimaan atau legitimasi terhadap sistem. Sebaliknya, ia mengungkap "bentuk-bentuk perlawanan sehari-hari" (everyday forms of peasant resistance) yang justru lebih umum dan signifikan dalam jangka panjang.

Inti Argumen: "Senjata Orang-Orang Lemah"

Scott berargumen bahwa ketika konfrontasi terbuka (demonstrasi, pemberontakan) terlalu berisiko dan mahal bagi kaum lemah, mereka mengembangkan repertoar perlawanan tersembunyi dan individu. Senjata ini antara lain:

  • Pencurian hasil panen (mengambil padi di sawah orang lain).

  • Penggelapan, pemborosan, dan kelalaian sengaja oleh buruh tani.

  • Gosip, fitnah, dan ejekan terhadap tuan tanah atau elit desa.

  • Menghindar dan mengulur waktu dalam mematuhi perintah.

  • Simulasi ketidaktahuan atau kebodohan.

  • Sabotase kecil-kecilan.

Perlawanan ini bersifat tanpa organisasi formal, tanpa manifesto, dan dilakukan secara individual. Tujuannya bukan untuk menggulingkan sistem, tetapi untuk memperkecil eksploitasi dan mengambil kembali sedikit sumber daya dari yang berkuasa.

Mengapa Negara (Elit) Takut?

Inilah jantung dari pertanyaan Anda. Scott menjelaskan bahwa ketakutan negara/elit tidak hanya pada pemberontakan terbuka, tetapi justru pada akumulasi dan efek korosif dari "senjata orang-orang lemah" ini. Ketakutan itu muncul dalam beberapa bentuk:

  1. Ketakutan pada Ketidakpatuhan yang Tersebar dan Tak Terlihat (Invisible Noncompliance):

    • Negara dan aparatnya bergantung pada keterlihatan dan keteraturan. "Weapons of the weak" bersifat tak terlihat, tersebar, dan menyamar sebagai rutinitas sehari-hari. Ini membuatnya sangat sulit dideteksi, dibuktikan, dan diredam oleh hukum atau kekerasan negara.

    • Analoginya: Seperti rayap yang menggerogoti fondasi rumah. Tidak ada serangan besar yang terlihat, tetapi lambat laun struktur menjadi lemah dan berbahaya.

  2. Ketakutan pada Hilangnya Legitimasi dan Hegemoni Ideologis:

    • Elit (tuan tanah, pejabat) ingin mempertahankan citra bahwa sistem yang ada adil, ditakdirkan, atau demi kebaikan bersama. Perlawanan sehari-hari, terutama dalam bentuk gossip, olok-olok, dan bahasa tersembunyi, adalah serangan langsung terhadap legitimasi ini.

    • Di balik kepatuhan formal di depan umum ("public transcript"), terdapat "hidden transcript"—percakapan kritis dan ejekan yang terjadi di balik pintu tertutup, di warung kopi, di antara sesama kaum lemah. Elit sangat takut isi "hidden transcript" ini bocor ke ranah publik karena akan mengungkap kontradiksi dan ketidakadilan sistem, serta merusak citra mereka.

  3. Ketakutan pada Resistensi yang Menggerogoti Keuntungan Material:

    • Pencurian kecil-kecilan, penggelapan, dan sabotase secara kumulatif menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi tuan tanah dan negara (dari segi pajak atau hasil). Ini adalah pemotongan langsung terhadap surplus yang seharusnya mereka dapatkan.

    • Perlawanan ini adalah strategi survival sekaligus redistribusi primitif oleh kaum miskin. Setiap kerugian kecil bagi elit adalah keuntungan kecil bagi kaum lemah.

  4. Ketakutan pada Potensi Meledaknya "Hidden Transcript" menjadi Aksi Terbuka:

    • Meskipun perlawanan sehari-hari bersifat individu, ia menciptakan iklim ketidakpatuhan dan rasa solidaritas tersembunyi di antara kaum lemah. Iklim ini adalah bahan bakar yang siap meledak jika ada momentum atau pemicu yang tepat (misalnya, krisis ekonomi atau insiden tertentu).

    • Negara takut karena mereka tidak bisa mengukur seberapa dalam dan luas "hidden transcript" itu. Mereka selalu berada dalam keadaan was-was terhadap potensi mobilisasi massa yang tiba-tiba, yang akarnya berasal dari kumpulan keluhan dan resistensi sehari-hari yang telah menumpuk.

Kesimpulan Scott tentang Sifat Kekuasaan dan Perlawanan

  • Kekuasaan tidak pernah mutlak. Bahkan di sistem yang paling represif sekalipun, ada ruang bagi perlawanan.

  • Perlawanan tidak harus heroik dan terorganisir. Bentuk-bentuk kecil, sehari-hari, dan "membuat jengkel" justru merupakan bentuk politik yang paling dapat diakses oleh mereka yang paling tertindas.

  • Ketakutan adalah hubungan timbal balik. Jika kaum lemah takut pada kekerasan dan represi terbuka negara, negara (dan elit) juga takut pada ketidakpatuhan tersembunyi, erosi legitimasi, dan potensi pemberontakan dari bawah yang bisa dipicu oleh akumulasi "senjata orang-orang lemah" tersebut.

Relevansi Buku

"Weapons of the Weak" telah menjadi landasan teori untuk memahami:

  • Dinamika kekuasaan di tingkat mikro (desa, pabrik, komunitas marginal).

  • Bentuk-bentuk perlawanan dalam masyarakat otoriter di mana ruang publik sangat dibatasi.

  • Mengapa rezim otoriter seringkali sangat paranoid terhadap "gossip", "gerakan bawah tanah", atau hal-hal yang tampaknya sepele—karena mereka memahami logika yang diungkap Scott.

Jadi, ketakutan negara yang digambarkan Scott bukan ketakutan frontal, melainkan ketakutan yang paranoid terhadap hal-hal yang tak kasat mata, terhadap senyuman yang mungkin berisi ejekan, terhadap ketundukan yang mungkin adalah pembangkangan yang tertunda. Buku ini mengajarkan bahwa di balik permukaan ketertiban, selalu ada arus bawah ketidakpuasan yang terus mengalir dan menggerogoti kekuasaan dari bawah.

 

Baca Juga

Sponsor