Cari

Mandala Jasinga: Kerajaan Jayasinghapura | Penerus Salakanagara

Sungai - Sungai di Kecamatan Jasinga. Foto: bogorkab.go.id
[Historiana] - Mandala Jasinga disebut juga kabuyutan yang berarti tempat suci masyarakat Sunda kuno (dalam ajaran Sunda) yang berada di puncak gunung (bukit) di Jasinga Bogor. Mandala Jasinga atau disebut juga sebagai Kerajaan Jayasingapura (Jayasinghapura) adalah salah satu Mandala yang disebutkan Undang A Darsa (1983) tercantum dalam Naskah Sunda Kuno (NSK). Ini adalah tulisan marathon membahas Kabuyutan dan Kamandalaan di Tatar Pasundan.

Mandala Jasingapura adalah penerus kerajaan Salakanagara syang turun pamornya sejak 340 Masehi. Kepemimpinan dipegang Darmawirya yang bergelar Dewawarman VIII. Kemungkinan besar pusat kerajaan ini adalah cikal bakal untuk ibukota kerajaan Tarumanagara. Wilayah kerajaan ini berada di sekitar Sajira di sebelah barat, Tanggerang di sebelah utara, Bayah di sebelah selatan, dan Cikaniki di sebelah timur. Sedangkan pendiri dari kerajaan Jayasingapura ini adalah Wirasinga. Tentang nama ibukotanya Jasinga adalah pemberian dari Sang Hyang Mandiri yang sekaligus menobatkan Wirasinga sebagai penguasa baru di Jasinga.

Asal-usul nama Jasinga
Nama Jasinga ditinjau secara autentik yaitu menunjuk pada naskah-naskah kuno atau kajian sejarah Sunda terdapat Jayasinghapura yang berarti gerbang kemenangan yang didirikan oleh Raja Taruma I yaitu Jayasinghawarman.

Mengenai asal usul nama Jasinga sendiri hingga kini masih terdapat berbagai versi. Kebanyakan versi yang melekat dan diyakini masyarakat yaitu cerita yang didapat dari penuturan turun temurun dari mulut ke mulut para sesepuh setempat. Hanya orang-orang tertentu saja yang merujuk kepada sumber autentik dan masih dijadikan bahan kajian bagi masyarakat Jasinga untuk menambah versi (Danasasmita, 1983).

Ada beberapa versi mengenai asal usul nama Jasinga antara lain :

Mitos seekor Singa yang melegenda, jelmaan dari tokoh-tokoh Jasinga.
Pembukaan lahan yang dilakukan oleh Wirasinga, hingga nama lahan tersebut dijadikan nama Jasinga atas jasa Wirasinga.
Jayasingharwarman (358-382 M) Raja Tarumanagara I yang mendirikan Ibukota dengan nama Jayasinghapura.
Dua dari tujuh ajaran Sanghyang Sunda yaitu Gajah lumejang dan Singa bapang yang digabungkan menjadi Jasinga.
Pendapat pertama, bahwa nama Jasinga dikaitkan dengan riwayat atau cerita yang dituturkan oleh para sesepuh Jasinga seperti Wirasinga, Sanghyang Mandiri dan Pangeran Arya Purbaya dari Banten. Dalam setiap hidupnya serta perjuangannya mempunyai wibawa seperti seekor singa. Bahkan sempat berwujud menjadi seekor Singa. Perwujudan Singa tersebut membuat orang disekitar yang melihatnya menjadi terkejut dan kagum, dan setiap orang yang melihat akan mengucapkan : “Eeh.. Ja.. Singa eta mah”. Kata “Ja” menjadi kata identitas tersendiri di Jasinga yang berguna untuk memperjelas kalimat berikutnya, seperti ”Da” di daerah Priangan.

Pendapat kedua meyakini bahwa Wirasinga keturunan Sanghyang Mandiri (Sunan Kanduruan Luwih) membuka lahan di Pakuan bagian barat (Ngababakan lembur anyar). Nama daerah tersebut dinamakan Jasinga oleh Sanghyang Mandiri serta menobatkan Wirasinga sebagai penguasa baru Jasinga atau sebagai Jaya Singa sebuah daerah yang makmur yang dipimpin oleh Wirasinga, seperti Jakarta yang berasal dari daerah yang bernama Jaya Karta dengan salah satu pemimpinnya yaitu Pangeran Jaya Wikarta.

Pendapat ketiga cukup menarik karena mengacu pada sejarah autentik bahwa Jasinga berasal dari kata Jayasingha. Diceritakan bahwa seorang Reshi Salakayana dari Samudragupta (India) dikejar-kejar oleh Candragupta dari Kerajaan Magada (India), hingga akhirnya mengungsi ke Jawa bagian barat. Ketika itu, Jawa bagian barat masih dalam kekuasaan Dewawarman VIII (340-362 M) sebagai raja dari kerajaan Salakanagara. Jayasingharwarman menikah dengan Putri Dewawarman VIII yaitu Dewi Iswari Tunggal Pertiwi, dan mendirikan ibukotanya Jayasinghapura. Jayasinghawarman (358-382 M) bergelar Rajadiraja Gurudharmapurusa wafat di tepi kali Gomati (Bekasi) Ibukota Jayasinghapura dipindahkan oleh Purnawarman Raja Tarumanagara III (395-434 M) ke arah pesisir dengan nama Sundapura (Sutaarga, 1965).

Dalam naskah sejarah yang ditulis dan dirangkum oleh Panitia Wangsakerta Panembahan Cirebon, nama Jasinga terdapat dalam sejarah Lontar sebagai tempat rujukan untuk melengkapi Kitab Negara Kretabhumi yang disusun untuk pedoman bagi raja-raja nusantara. Kitab itu disusun selama 21 tahun (1677-1698 M) pada masa-masa genting yaitu beralihnya raja-raja di Nusantara ke dalam penjajahan Belanda. Lontar itu berjudul ”Akuwu Desa Jasinga”. Perlu dikaji bila naskah itu masih ada.


Referensi


  1. Danasasmita, Saleh. "Sejarah Bogor 1",1983. Pemerintah Kota Madya DT. II Bogor.
  2. Darsa, Undang A. 2004. “Kropak 406; Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan“, Makalah disampaikan dalam Kegiatan Bedah Naskah Kuno yang diselenggarakan oleh Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga. Bandung-Jatinangor: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran: hlm. 1 – 23.
  3. Ayatrohaedi, Prof. Dr. "Sundakala: Cuplikan sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-Naskah Panitia Wangsakerta. Cirebon." 2005. Jakarta: Pustaka Jaya.
  4. Sutaarga, Drs. Moh. Amir. 1965. "Prabu Siliwangi atau Prabu Purana Guru Dewata Prana Sri Baduga Maharaja Ratu Hadji di Pakuan Padjadjaran. 1473-1513 M.". Bandung: PT. Duta Rakjat
Baca Juga

Sponsor