Cari

Kerajaan Majapahit: Antara Fakta, Legenda atau Ilusi? -Bagian 2 Catatan Ma Huan


[Historiana] - Menelusuri jejak perjalanan hidup Kerajaan Majaphit harus kita lihat dari berbagai sisi dan sudut pandang yang 'mengaku' mencatat sejarah Majapahit. Catatan berharga tentang negeri-negeri Asia, khususnya pulau Jawa oleh pendatang asing bisa dijadikan pembanding.

Adanya catatan dari musafir asing di nusantara seperti Portugis dan China bisa dijadikan pembanding. Berita dari Portugis yang datang hanya mengandalkan persepsinya terhadap negeri yang didatanginya. Demikian pula catatan dari negeri bambu, China. Catatan dalam negeri sendiri harusnya diadu dengan catatan asing, tapi catatan orang asing memberikan ekstra dimensi yang sangat berharga untuk (nantinya) pembanding. 

Dalam sejarah, tidak bisa hanya satu sumber menjadi rujukan yang dianggap pasti benar. Orang asing memiliki minat yang lebih dari sekedar politik. Tujuan penulisannya juga berbeda agenda dengan catatan penulis dalam negeri. Mpu-Mpu kerajaan sendiri sering memberikan gambaran mitos berlebihan, sehingga memerlukan analisis mendalam untuk menggambarkan apa sesungguhnya yang dimaksud.


Saya mengajak pembaca menelusuri kehidupan Kerajaan Majapahit berdasarkan Catatan Ma Huan.  Siapakah Ma Huan?

Kita sering mendengar Cheng Ho dan jejaknya di pulau Jawa, Ma Huan adalah penerjemah dalam ekspedisi Cheng Ho. Dia menyertai tiga dari tujuh ekpedisi Cheng Ho dan menulis catatan tentang negeri- negeri yang dikunjungi dalam kumpulan buku berjudul Ying-Yai Sheng-Lan diterjemahkan: he Overall Survey of the Ocean Shores, ditransliterasi oleh Feng Ch’eng-Chün dan beberapa catatan oleh J. V. G. MILLS.

Ma Huan dilahirkan di Provinsi Zhejiang (pesisir timur Cina) sekitar tahun 1380 M dan berasal dari latar belakang dari keluarga sederhana. Ma Huan menjadi muslim di usia muda, dan memiliki kemampuan sastra (Cina) yang baik untuk dapat menjadi pegawai kekaisaran. (Beberapa ahli memuji kemampuan sastra Ma Huan dalam menulis dengan bahasa "classic".) Selain itu, dia juga fasih berbicara dan menulis Arab dan Parsi (yang merupakan bahasa "internasional" perdagangan saat itu), sehingga Laksamana Zheng He (Cheng Ho) membawanya dalam ekspedisi ke barat.

Pada usia sekitar 30-an, beliau mulai ikut dalam ekspedisi ke-4 hingga berlanjut hingga ekspedisi terakhir.

Selama dalam perjalanan, Ma Huan membuat catatan-catatan detil mengenai negeri-negeri, bangsa-bangsa, dan budaya-budaya yang dilewati oleh rombongan Laksamana Cheng Ho.

Catatan terakhir bertarik 1433 Masehi. Berikut tulisan Ma Hua yang menggambarkan Jawa saat itu.

Negeri Chao-Wa (jawa)
Negeri Chao-Wa (jawa) dulunya disebut Negeri Shep’o. Negeri ini mempunyai empat kota besar , semuanya tidak mempunya dinding kota atau daerah pinggiran kota. Kapal-kapal dari Negara lain datang pertama2 di kota yang bernama Tu-pan (Tuban),kemudia­n kota kecil yg disebut desa baru, dan kemudian ke kota yang bernama Su-lu-ma-i (Surabaya), lalu menuju ke kota yang bernama Man-the-po-i (Majapahit) dimana sang raja tinggal.  
Sebagai kotaraja, dindingnya terbuatdari batu bata, tingginya lebih dari tiga chang (setara 30 kaki 7 inci), kelilingnya lebih dari 200 paces (340 yard) dan di dalam tembok terdapat 2 lapis gerbang, sangat terjaga ketat dan bersih. Konstruksi rumah raja adalah bersusun, masing­-masing 3 atau 4 ‘chang’ tingginya, berlantai papan kayu dan dibeberkan tikar yang terbuat dari rotan atau dari alang-alang (mungkin maksudnya pandan), dimana orang-orang duduk bersila. Pada atapnya menggunakan sirap kayu keras yang disusunseperti ubin. Rumah-rumah penduduknya menggunakan atap alang-alang (jerami). Setiap keluarga mempunyai gudang penyimpanan yang dibuat dari batubata diatas tanah, yang tingginya sekitar 3 atau 4 ch’ih (48.9 inci), dimana mereka menyimpan harta benda keluarga, dan diatas gudang inilah mereka hidup,duduk dan tidur. 

Pakaian
Tentang Pakaian sang Raja; tanpa tutup kepala, kalau tidak mengenakan mahkota berupa daun emas dan bunga; tanpa mengenakan jubah. Pada bagian bawah dikenakan 2 carik kain sutra yang berbordir. Ditambahkan rami dari sutra yang dilingkarkan pada pinggang sebagai ikat pinggang, dan pada ikat pinggang inilah diselipkan satu atau dua pisau pendek,yang disebut pu-la-t’ou (belati-Malay).­ Berjalan telanjang kaki, menunggang gajah atau naik kereta yang ditarik lembu jantan. 
Pakaian Rakyat jelata; Pria tanpa penutup kepala, dan wanitanya bersanggul tusuk konde. Menggunakan pakaian pada tubuh bagian atas, dan kain pada bagian bawah. Para pria menyelipkan pu-la-t’ou [belati] pada ikat pinggangnya, dari anak laki-lai berumur 3 tahun sampai kakek-kakek berumur ratusan tahun. Mereka semua mempunyai belati tersebut, yang seluruhnya terbuat dari baja dengan motif ukiranyang rumit tergambar halus. Bergagang emas atau cula badak atau “gigi gajah”[mungkin maksudnya gading] berukir gambaran bentuk manusia atau wajah setan, pengerjaa­nnya begitu baik dan sangat ahli. Masyarakat negeri ini, pria dan wanita,sangat mengistimewakan­ kepala mereka. 

Perselisihan dan Hukuman
Bila seseorang terpegang kepalanya, atau terjadi kesalah pahaman tentang uang dalam perdagangan, atau pertengkaran mulut ketika mabuk, seketika mereka akan menghunus pisaunya dan saling tikam. Yang kuat menang. Saat yang seorang mati tertikam, si penikam melarikan diri dan bersembunyi selama 3 hari, maka dia tidak kehilangan nyawanya. Tapi bila tertangkap saat pembunuhan terjadi, seketika itu juga dia ditikam sampai mati. [Dihukum mati dengan ditikam]. Negeri Majapahit tidak mengenal hukuman cambuk untuk kesalahan besar atau kecil. Mereka mengikat kedua orang yang bersalah tersebut pada tangannya di punggung dengan tali rotan dan mengarak mereka sejauh beberapa langkah, dan kemudian menikam pelanggar satu atau dua kali pada punggung [dimana terdapat rusuk melayang]) yang mengakibatkan kematian seketika. Menurut tradisi setempat, tidak ada hari terlewat tanpa adanya pembunuhan; ini sangat mengerikan. 

Tuban
Tu-pan (Tuban), orang asing menyebutnya ’Tu-­pan”, adalah sebuah wilayah yang dihuni lebih dari seribu keluarga, yang dipimpin oleh 2 pemuka (pejabat?) untuk memimpin. Kebanyakan berasal dari propinsi Kuang Tung dan daerah administrasi Chang Chou pada pusat wilayah, yang telah beremigrasi dan menetap di wilayah ini. Unggas, kambing, ikan dan sayuran sangat murah. 

Sebuah Legenda 
Pada 'gosong karang' di laut terdapatlah sebuah telaga yang airnya segar dan dapat diminum, disebut sebagai ‘air suci’. Tradisi mencatat bahwa pada masa dinasti Yuan, kaisar memerintahkan jenderal Shi Pi dan Kao Hsing untuk menyerang She-p’o (jawa). Bulan berganti tetapi mereka tak bisa mendarat di pantai, air tawar persediaan di kapal sdh menipis habis, pasukan sudah kehilangan akal. Kedua jenderal memuja sorga dan berdoa; ‘Kami mengemban tugas kekaisaran untuk menyerang orang-orang Barbar; Bila surga memihak kami, maka ijinkanlah sebuah sumber air muncul disini. Bila surga tak memihak kami, maka, janganlah muncul sumber itu’. Doa diakhiri, dan sebuah tombak dihujamkan dengan kuat diatas gosong karang tersebut, dan menggelegak sumber air pada tombak yang tertancap itu. Airnya tawar, semua minum dan selamatlah jiwanya. Pertolongan dari surga telah diberikan. Sumber air ini masih ada sampai hari ini. (hari dimana Ma Huan mencatat perjalanannya). 

Gresik
Dari Tuban, setelah perjalanan menuju ke timur sekitar setengah hari, tercapailah sebuah tempat yang bernama desa baru{?}, yang disebut orang asing sebagai Ko-erh-his (Gresik). Aslinya adalah sebuah wilayah gosong karang (sandbanks), dan karena orang2 dari pusat negeri datang dan membangun tempat ini. Oleh karena itu disebut ‘desa baru’, hingga sekarang dipimpin oleh seorang dari (propinsi) Kuang Tung. Ada lebih dari seribu keluarga disini. 

Surabaya
Orang asing dari segala penjuru dalam jumlah besar datang untuk berdagang. Emas, segala macam jenis batuan mineral, dan segala macam barang dari luar negeri dijual dalam jumlah besar. Masyarakatnya sangat makmur. Dari ‘desa baru’ (Gresik) , setelah perjalanan sejauh 20 li (sekitar 7 mil) kearah selatan, kapal mencapai Su-lu-ma-i, yang disebut orang asing sebagai Su-erh-pa-ya (Surabaya). Muaranya berair tawar. Kapal besar sulit untuk masuk, sehingga kapal-kapal kecil digunakan,untuk­ menyusuri sejauh 20 li (7 mil), hingga tiba disebuah wilayah yang diatur oleh penguasa, dihuni lebih dari ribuan keluarga asing; dan diantaranya juga dari pusat negeri. 

Kebiasaan Aneh
Di muara adalah sebuah pulau dengan hutan lebat yang dihuni oleh ribuan monyet ekor panjang. Seekor monyet jantan berwarna hitam sebagai pemimpinnya. Adalah seorang wanita yang tak mempunyai anak, mempersiapkan sesaji berupa anggur [tuak], nasi, buah buahan dan kue-kue, dan memohon berkah pada momyet tua tersebut. Jika sang monyet senang, pertama memakan beberapa sesaji tersebut, dan membuat monyet-monyet lainnya berebut makan sisa sesaji itu, sampai selesai makan. Kemudian dua monyet berpasangan akan mendekat, itu sebagai pertanda. Perempuan tersebut pulang dan hamil. Tapi bila monyet yang menghampiri tidak berpasangan, maka pertanda wanita tersebuta tidak akan mempunyai anak. Ini sangat luar biasa. 

Majapahit
Dari Su-erh-pa-ya kapal kecil berlayar sekitar 70 atau 80 li menuju pelabuhan bernama Chang-ku, berlabuh dan setelah berjalan satu setengah hari kearah barat daya sampailah ke Man-che-po-i, tempat dimana sang raja tinggal. Tempat ini ada sekitar 200 atau 300 keluarga asing, dengan 7 atau 8 pemimpin untuk melayani raja. 
Pelabuhan Canggu (Changgu, Changkir), di tepi kiri Kali Mas, sekitar 25 mil (yaitu, sekitar 75 li) dari seperti mulut burung gagak; meskipun perdagangan meningkat dengan munculnya Majapahit, pelabuhan itu hanya untuk kepentingan sekunder sebagai pusat perdagangan (Groeneveldt). 

Kung Chen menyatakan bahwa perjalanan darat dari Canggu ke Majapahit setengah hari. Raja Kertarajasa Jayavarddhana membangun kraton atau istana kerajaan di Majapahit pada tahun 1293 M (Hall, Sejarah, p 76.); situs ini kini disebut desa Trawulan (trowulan), di mana reruntuhan situs ditemukan (H. Maclaine Pont dan W. F. Stutterheim).

Hooykaas, dalam bukunya ‘A Critical Stage in the Study of Indonesia’s Past’, in Historians of
South-East Asia (1961)', mengatakan bahwa Kung Chen juga memberikan gambaran yang sama sosok dua atau tiga ratus keluarga; Duyvendak menganggap hal ini sebagai 'omong kosong belaka' dan menurut Pelliot bahwa Ma Huan mungkin telah menceritakan Majapahit dari desas-desus (Pelliot, 'Voyages', hal. 364).

Iklim dan Kekayaan Jawa
Iklimnya terus menerus panas, seperti musim panas (sumer). Beras dipanen 2 kali dalam setahun, dan bulirnya kecil. Mereka juga memanen wijen putih dan lentils (sejenis kacang-kacang­an). Tidak ada gandum atau terigu.  
Catatan: budidaya padi adalah kepentingan utama masyarakat Jawa saa itu; tidak hanya menjadikan beras untuk memenuhi kebutuhan makanan sendiri, tapi itu diekspor ke Malaka, Palembang, dan Djambi, juga ke Maluku, di mana beras digunakan untuk membeli rempah-rempah yang pada gilirannya dijual ke Malaka atau ditukar (barter) dengan barang Cina dan India (Schrieke, hlm. 22, 29). doublecropping yang membuktikan pemanfaatan bidang irigasi (sawah), berbeda dengan tanam di tanah yang kering (ladang), yang segera habis setalah panen. 

Jadi saat itu sudah ada sistem irigasi yang efektif di masa Majapahit.

Tanah ini menghasilkan kayu sapan, berlian (diamond-wood), kayu cendana, lada, dupa, cabe puyang, chantarides (sebangsa kumbang berwarna hijau untuk pengobatan), baja, kura-kura, cangkang kura-kura, burung-burung aneh (langka) seperti kakatua besar (sebesar induk ayam), burung betet merah dan hijau, betet lima warna, semuanya bisa menirukan suara manusia, juga guinea fowl (sebangsa burung­ kiwi), ‘burung tergantung terbalik’, merpati lima warna, merak, ‘burung pohon pinang’, pearl birds, dan merpati hijau. Binatang-binatang buas yang aneh: ada kijang putih, monyet putih, dan berbagai hewan yang lain. Babi, kambing, lembu, kuda, unggas, dan bebek ada semua, tapi keledai dan angsa tidak dijumpai. 
Kayu Sapan (sapan wood atau caesalpinia Sapan) adalah kayu yang menghasilnya pewarna merah, berguna untuk pengobatan dan pewarna merah, yang merupakan komoditi utama pada abad 17.

Berlian akan datang dari Kalimantan Barat (Schrieke.). Menurut Wheatley,  berlian sebagai komoditasm mungkin, yang dimaksud Ma Huan mengacu kayu dari pohon tropis yang disebut 'kayu berlian/diamond-wood' dari white berry (buah putih?). Lada atau merica datang dari wilayah Sunda, Lampung, Indrapura, Djambi, dan Pattani Thailand (Schrieke); dan (Wheatley).
Untuk buah buahan, ada segala jenis pisang, kelapa, tebu, delima, bibit lotus, mang-chi-shi (manggis), semangka dan lang ch’a (langsat/­langsep). Mang-chi-shi mirip delima, kulit dalamnya serupa jeruk, mempunyai empat bungkah daging buah berwarna putih, dan rasanya asam manis dan sangat lezat. Buah Lang-ch’a mirip Loquat (?), tapi lebih besar, didalamnya berisi tiga gumpal daging buah berwarna putih, dan rasanya manis asam. Tebu mempunyai batang yang putih, besar dan kesat, dengan akar mencapai 3 chang (30 kaki 7 inchi). Sebagai tambahan, semua jenis labu dan sayuran ada, hanya kekurangan buah persik, prem dan bawang prei. 


Kondisi Rumah dan Penerimaan Tamu
Penduduk negeri tidak mempunyai tempat tidur atau kursi untuk duduk, dan untuk makan mereka tidak menggunakan sendok ataupun supit. Laki-laki dan wanita memakan sirih pinang dengan mencampurnya, kapur sirih, terbuat dari cangkang kijing remis. Dan mulut mereka tak pernah tidak mengunyah campuran ini. Pada saat waktunya makan nasi, pertama mereka meraup air dan merendam sirih dari mulut mereka, kemudian mencuci bersih kedua tangan dan duduk membuat lingkaran; mendapatkan sepiring nasi yang dibasahi mentega dan kuah, dan memakannya menggunakan tangan untuk mengangkat nasi dan mengarahkannya ke mulut. Jika haus, mereka minum air. Ketika menerima tamu, mereka menjamu tamu, bukan dengan teh, tapi hanya dengan sirih pinang. 

Penduduk
Negeri ini terdiri dari tiga kelas penduduk. Salah satunya adalah orang muslim. Orang-orang ini berasal dari kerajaan sebelah barat Nusantara, yang ber-imigrasi sebagai pedagang; (dan) dalam hal pakaian dan makanan mereka pantas dan bersih. Kelas yang lain adalah orang cina (dari dinasti T'ang). Mereka berasal dari propinsi Kuang tung, dan dari Chang (chou) dan Ch'uan (chou) dan tempat-tempat lainnya yang pergi (melarikan diri) dari sana dan tinggal di negeri ini. Makanan mereka bersih juga (dan) sebagian dari orang Cina ini memeluk agama Islam, bertobat dan berpuasa. Sisanya adalah pribumi (jawa), mereka sangat jelek dan mukanya aneh, rambutnya kusut tak bersisir, bertelanjang kaki, pemuja setan. Negeri ini ada diantara negeri iblis seperti yang disebut dalam buku budha. 
Penduduk muslim ini oleh Ma Huan disebut khwei artinya saudara, karena menggunakan kata Muhammad pada namanya. Nama yang digunakan oleh pengikut Nabi Muhammad dan diadopsi oleh orang Cina sebagai nama bagi mereka. Islam. "Tanpa kekuasaan politik" yang ditmui pada masa Ma Huan (1433 M). Umat Islam telah memperoleh kontrol dari pelabuhan tertentu di Jawa sebelum 1500 M, dan penguasa pesisir Muslim menghancurkan kerajaan Hindu-Jawa Majapahit antara 1513 M dan 1528 M (Schrieke, pt II, p 231;.. Majumdar, Suvarnadvipa, pt I, hlm 401.402.405..).

Kebiasaan Makan dan Minum Pribumi
Makanan orang-orang ini sangat kotor dan buruk, seperti ular, semut, dan segala serangga serta ulat, yang dimatangkan (sedikit) dengan dipanggang dan kemudian dimakan. Anjing-anjing yang mereka pelihara makan dari tempat makan yang sama dg mereka, dan tidur dg mereka pada malam hari, (dan) mereka tidak merasa jijik. 
Majumdar menganggap bahwa keterangan ini hanya berlaku untuk suku yang masih liar primitif' masih di luar batas budaya dan peradaban Hindu'. Rupanya Ma Huan tidak punya pengetahuan tentang masyarakat tradisional Indonesia dengan sistem yang rumit dari perbedaan sosial dan politik antara penguasa, aristokrasi, dan masyarakat setempat (Majumdar, Suvarnadvipa, pt. II, pp 40-60.; H. W. Sundstrom, Indonesia).

Aji Saka?
Legenda masyarakat menceritakan tentang raja Setan, berwajah hitam, badan dan rambutnya merah. Kawin dengan monster air di negeri ini, dan memperanakkan lebih dari seratus anak, yang selalu menkonsumsi darah dan banyak orang menjadi santapan mereka. Tiba tiba, sebuah sambaran petir membelah batu karang yang didalamnya duduk seorang pria. Semua orang takjub dan memuji dia, dan memlilhnya menjadi raja, dan dia memimpin orang-orang yang ahli berperang, dan mengusir monster air dan gerombolannya. Setelah itu, masyarakat tumbuh dan berkembang dalam damai. Inilah sebabnya, pada masa berikutnya orang-orang menyukai kekejaman dan keganasan.
Menurut Rockhill Ma Huan menceritakan kisah disebut penaklukan Jawa oleh Aji Saka (78 M) dan perkelahian dengan rakshas (demonworshippers). 

Aji Saka adalah legenda Jawa yang mengisahkan tentang kedatangan peradaban ke tanah Jawa, dibawa oleh seorang raja bernama Aji Saka. Kisah ini juga menceritakan mengenai mitos asal usul Aksara Jawa.

Pertandingan Tombak Bambu
Adalah sebuah ‘pertemuan tombak bambu yang diselenggarakan­ regular tiap tahun. Bulan kesepuluh yaitu awal musim semi. Sang Raja menempatkan sang permaisuri di ‘kereta pagoda’ yang berjalan di depan, dan sang raja sendiri menumpangi kereta di belakangnya. Kereta pagoda ini tingginya lebih dari 1 chang (10 kaki 2 inci) dengan jendela pada keempat sisinya, dan di bawahnya ada poros putar. Dan (kereta ini) ditarik oleh kuda.  
Di tempat pertemuan itu, kontestan membuat garis diantara mereka, dan masing-masing meraih tombak bambu. Tombak bambu ini padat tanpa mata pisau, tapi dipotong runcing, sangat kuat dan tajam. Setiap petarung pria membawa istri atau budaknya, yang masing-masing memegang kayu yang dililit ban besi (wooden stave) sepanjang 3 Ch’ih (3 kaki 1 inci), dan berdiri diantara garis. Mengikuti suara gendang yang ditabuh irama pelan dan cepat sebagai sinyal, dua petarung meraih tombaknya, maju dan saling menghujamkan tombaknya. 
Mereka beradu tiga kali, dan kemudian istri kedua petarung meraih kayu tongkatnya mendorong dan meneriak ‘Na-la, na-la’, ketika kedua petarung terpisah. Bila seorang petarung mati tertikam, Raja membuat sang juara memberikan satu keping uang emas bagi keluarga si mati, dan istri si mati mengikut sang juara. Begitulah olahraga menang kalah dalam pertempuran yang mereka buat. 
Penggambaran Ma Huang dikritisi tentang musim semi. masudnya adalah musim hujan. Ma Huan menggambarnya dengan sangat buruk; apa yang dimaksudkannya adalah bahwa pertandingan yang berlangsung di awal musim semi, terjadi pada bulan kesepuluh dan tidak di bulan pertama (sekitar 5 Februari) seperti di Cina. 

Ma Huan harus menulis ini bagian dari catatannya sebelum kematian Raja Vikramavarddhana pada tahun 1428 M, karena telah digantikan oleh putrinya, Ratu Suhita (1429-1446 M). Upacara kematian yang dimaksud raja siapa?

Jadi saat itu (1433 M) siapa yang diceritakan Ma Huan? karena saat itu harusnya yang ada adalah Queen alias Ratu Suhita. Mungkinkan dia menuliskan cerita orang lain, bukan menyaksikannya sendiri.

Menurut Groeneveldt, na-la mungkin mewakili kata Jawa larak, 'menggambar, menarik, menarik kembali', jadi seru akan berarti 'menarik mereka kembali'. Groeneveldt mencatat bahwa pada zamannya permainan, disebut Senenan, masih ada di jawa timur, meskipun dalam bentuk yang agak dimodifikasi dan dikurangi.. 

Perkawinan
Tentang ritual perkawinan; pertama mempelai pria bertamu ke rumah keluarga mempelai wanita, maka perkawinan bisa dilaksanakan. Tiga hari kemudian, mempelai pria mengawal mempelai wanita pulang, dimana keluarga pria menabuh drum dan gong kuningan, meniup pipa batok kelapa (mungkin senterewe), menabuh drum dari tabung bambu (mungkin gong tiup), dan menyulut kembang api, dimana didepan dan belakang mereka dikawal sekeliling oleh pengawal pria dengan pisau pendek dan tameng. 
Wanitanya berambut kusut, anggota badan tak tertutup dan bertelanjang kaki. Dia mengkaitkan kain sutra bordir di sekelilingnya, di lehernya berhias kalung dan manik-manik emas, dan pada pergelangan tangannya memakai gelang dengan ornamen emas, perak dan hiasan berharga lainnya. Famili, teman-teman dan tetangga menghias perahu dengan daun sirih, biji pinang dan alang2 dan bunga yang dijahit, dan mengatur pesta untuk mengiringi pasangan mempelai dalam ritual peringatan pernikahan di kesempatan yang membahagiakan tersebut. Saat tiba dirumah mempelai pria, gong dibunyikan,drum­ ditabuh, minum angur (mungkin tuak) dan memainkan musik. Setelah beberapa hari mereka bubar. 

Ritual Kematian
Kebiasaan ritual kematian; jika ada bapak atau ibu yang akan meninggal, anak-anaknya akan menanyakan pada bapak atau ibunya tersebut apakah setelah meninggal ingin diumpankan kepada anjing, atau dibakar (ngaben) atau dihanyutkan ke air; bapak atau ibunya akan menyampaikan keinginannya, kemudian, setelah kematian, anak-anaknya akan menuruti keinginan tersebut.  
Jika keinginan yang disampaikan adalah untuk diumpankan anjing, maka jenasah akan dibawa ke tepi laut atau tanah yang terbengkalai (kosong) dimana lusinan anjing telah mengikuti. Jika daging jenasah habis sempurna dimakan tanpa sisa, maka itu dihargai sebagai sesuatu yang baik. Tetapi jika tidak habis sempurna, maka anak-anak si mati akan menangis sangat sedih, berteriak dalam duka, dan mambawa sisa-sisa tulang, menghanyutkan ke air dan pergi. 
Selain itu, saat orang kaya atau pemimpin atau seseorang berkedudukan tinggi akan meninggal, pelayan-pelayannya yang paling dekat dan gundik-gundiknya pertama akan mengangkat sumpah pada dewa-dewa, mengatakan ‘kami akan mati bersamamu’. Setelah kematian, pada hari pemakaman, dibangunlah kerangka kayu yang tinggi. Dimana dibawahnya terdapat tumpukan kayu bakar yang disiapkan untuk membakar peti mati. Dua atau tiga gadis pelayan dan gundik yang telah mengangkat sumpah menunggu sampai kobaran api mencapai puncaknya; dan kemudian, dengan memakai hiasan daun-daunan dan bunga-bunga dikepala, tubuh berbalut kain berpola lima warna, mereka menaiki rangka kayu sambil menari, meratap, untuk waktu baik yang telah lalu, kemudian mereka melemparkan diri ke bara api, dan dilalap api bersama tuannya, sesuai dengan ritual pengorbanan hidup kepada si mati. 
Ritual Sati berasal dari nama lain Daksayani, yaitu Sati. Dalam ritual tersebut, seorang janda Hindu membakar dirinya hidup-hidup ke dalam api pembakaran jenazah suaminya dan dianggap sebagai simbol kesetiaan dan pengorbanan, seperti legenda Dewi Sati.
Foto: asian history

Sati atau Suttee, atau "bakar janda" di pyres pemakaman suami mereka, adalah adat Hindu, dan biasanya berlaku untuk raja dan kelas atas Hindu; (Majumdar), Ma Huan, tidak mengatakan apa-apa tentang agama mereka.

Uang dan Tulisan
Orang-orang asing yang kaya sangat banyak. Dalam transaksi perdagangan, koin tembaga dari dinasti turun temurun di pusat negeri digunakan secara langsung. Untuk mencatat mereka telah mengenal huruf sama dengan aksara So-li (Chola-Coromand­el/­India selatan). Tidak ada kertas atau pena, mereka menggunakan daun Chiao-chang (kajang-Melayu), diatasnya ditulis dengan menggores menggunakan pisau tajam. 
Wang Ta-yuian (1350 M) mengatakan bahwa orang Jawa telah menciptakan yang disebut 'koin perak' yang dibuat dari perak, timah, timbal, dan tembaga (Rockhill); tetapi tidak dijelaskan oleh Ma Huan, juga Kung Chen, juga Fei Hsin yang menyebutkan ini. Maksudnya bahwa Majapahit telah membuat sendiri mata uangnya. Mungkin saja beberapa pedagang Cina, dalam skala kecil menggunakan pedlars, mungkin juga menggunakan perak (J. C. Van Leur, Indonesian Trade and Society "The Hague-Bandung, 1955), hlm. 133, 136). 

Kata kajang Melayu, nama umum untuk daun kelapa yang berbeda; yang dimaksud Ma Huan di sini berarti daun flabelliformis Borassus, disebut lontar di Jawa (Groeneveldt, p. 166). Ma Huan tidak memberikan ide penjelasan dari rentang yang sangat besar dan nilai intrinsik dari Sastra Indo-Jawa (Majumdar).

Ukuran dan Satuan
Mereka juga memiliki tata bahasa. Cara bicara masyarakat negeri ini sangat indah dan lembut. Dalam sistim berat (timbangan); setiap chin adalah 20 liang; tiap liang setara 16 Ch’ien, dan setiap Ch’ien setara empat ku-pang. Tiap ku-pang setara 2 fen. Sistim ukuran mereka memotong bambu untuk membuat ‘sheng’; setara 1 ku-la; setara dengan 8 ‘ko. Untuk setiap tau asing: satu tau adalah salah satu nai-li; [Dan] itu sama dengan satu tou empat sheng empat ko [dalam hal ini] tou resmi  di pusat negeri. 
Kata dalam Bahasa Jawa Naili (nailih, nelly), naleh Melayu, sekarang sudah tak digunakan (Groeneveldt, p. 178). bahasa Jawa, kulak menyamai 1 Naili Jawa, 1 Naili Jawa menyamai 1,44 tou Cina (3.4 galon atau 17,46 liter). 

Satuan yang rumit jika dikonversikan dengan sistem SI (Satuan Internasional) modern.

Perayaan Terang Bulan
Pada hari ke lima belas atau enam belas malam hari setiap bulan, pada malam bulan purnama yang terang dan cerah lebih dari 20 atau bahkan lebih dari 30 wanita asing bersama-sama membuat suatu rombongan dengan dipimpin seorang dari mereka, masing-masing memegang pundak orang didepannya membu­at barisan yang tak terputus dan berjalan dibawah sinar purnama memimpin nyanyian asing dan seluruh rombongan membalas nyanyian secara berbarengan, dan bila mereka tiba di beranda rumah family atau orang kaya dan berdiri menunggu, maka mereka akan menerima hadiah koin tembaga atau barang lainnya. Ini disebut “jalan-jalan musikal bulan purnama”. 
Kebiasaan perayaan terang bulan, kebiasaan ini tampaknya telah menjadi usang; pada setiap tingkat di masyarakat, itu tidak disebutkan oleh J. Kunst, Musik di Jawa (The Hague, 1949), ketika ia menjelaskan bernyanyi Jawa. Sepertinya hiburan serupa disaksikan oleh Pietro della Valle di Ikkeri India.

Wayang
Ada pula segolongan orang yang menggambar diatas kertas seperti gambar orang, burung, binatang buas, elang, atau serangga. Gambar-gambar tersebut menyerupai gulungan, yang diapit 2 batang kayu pada ujungnya sepanjang 3 ‘ch’ih’ selebar kertasnya. Duduk bersila seorang laki-laki diatas tanah dan memajang gambarnya berdiri diatas tanah. Sesaat yang lain dia memajang gambar yang lain di hadapan penonton, bercerita dengan suara lantang dalam bahasa asing,mrncerita­kan asal muasal dan kerumunan mendengarkannya­, kadang tertawa, kadang menangis, ketika sang narrator (dalang) membawakan salah satu dari keempat cerita roman. 
Menurut P'ing hua (Giles, nos 9310;. 5017), bahwa kebiasaan di Jawa saat itu sejenis roman kuno Cina yang dibacakan oleh pendongeng (dalang) kepada orang banyak (Pelliot, 'Voyages', hal. 370). Ma Huan memberikan laporan yang baik mengenai Wayang Beber, di mana para aktor yang diwakili oleh gambar. Mungkin awalnya wayang beber ditancapkan di atas tanah, tidak pada gedebong pisang atau kayu. Majumdar, mengatakan bagi orang Jawa pagelaran wayang adalah cara menyampaikan pendidikan dan mendidik semua lapisan masyarakat. Posisi Dalang sendiri memiliki kedudukan terhormat.

Ekspor-Impor
Masyarakat negeri ini sangat mencintai porselen dengan pola biru dari pusat negeri. Juga barang-barang semacam parfum (musk), sutera berpola bintik-bintik emas, dan manik-manik. Mereka membeli barang-barang tersebut dengan koin tembaga. Raja negeri secara tetap mengirim seorang pemimpin yang memuat barang-barang dari luar negeri ke dalam kapal, dan menghadiahkan sebagai upeti untuk negeri pusat.
Parfum (musk) Zat bau-bauan yang diperoleh dari kelenjar hewan tertentu (Wheatley). Hewan yang dijadikan sebagai bahan wewangian biasanya rusa jantan.

Buku yang berisi catatan perjalanan ma Huan

Buku ini menjadi catatan yang unik bagi para sejarawan yang menggeluti era pra-kolonialisme di Asia Tenggara dan Selatan. Ma Huan membuat deskripsi tentang Vietnam, Jawa, Palembang, Siam, Malaka, Aru-Deli, Aceh, Ceylon, Nicobar-kep Andaman, Kalikut, Maladewa, Aden, Bengal, Hormuz dan Mekah. Nilai sejarah buku ini bertambah dengan dimasukannya semua catatan sejarawan lain yang menekuni catatan-catatan China seperti Groeneveldt, Rockhill, Duyvendak, dan lain-lain. 
Peta modern dengan tilasan ekspedisi Cheng Ho ke-7 (1431-1433)dimana Ma Huan ikut serta.
Perhatikan inset dibawah yang menggambarkan Gresik-Surabaya-Cahnggu dan Majapahit. Peta jenis ini tidak pernah ada dalam benak Ma Huan maupun pelaut China pada waktu itu. Di dalam benak mereka peta pelayaran bergambar lain. Keunggulan akurasi dan teknologi peta ini menentukan siapa yang akan berkuasa. Apakah Majapahit memiliki teknologi peta pada saat itu? harusnya ada, apakah masih bisa dilihat saat ini? 
Kehati-hatian dalam menyajikan terjemahan ini mewariskan semangat ideal sejarawan dalam menyajikan argumentasi sejarah; untuk terjemahan judul Ying-Yai Sheng Lan saja editor menampilkan ekspresi sejarawan lain. Kehati-hatian ini berkaitan dengan evolusi makna huruf-huruf China yang terus berlanjut. Editor dan penulis catatan di buku ini bukan hanya menerjemahkan namun membandingkan satu literatur dengan yang lain sehingga deskripsi Ma Huan sendiri di adu. Yang sekiranya tidak bisa dikoroborasi dengan sumber lain diberi catatan juga. Sebuah contoh karya yang menjadi model klasik para sejarawan.

Ma Hua membuka banyak lubang kosong dalam pengetahuan kita. Membuat kita berhenti untuk berkomentar dan berpendapat. Bahwa apa yang telah dipelajari orang sebelum kita harus dibaca dulu dengan hati-hati sebelum menulis hal-hal baru yang "tidak-tidak" juntrungannya.
Baca Juga

Sponsor