Cari

Sejarah Agama. Bangkitnya atau Kembali ke Agama Nusantara?


Pada tulisan ini tidak dimaksudkan pada sejarah agama secara umum. Tetapi sejarah agam-agama yang diakui pemerintah RI. Kilasan singkat kedatangan dan perkembangannya, serta ulasan ke-Indonesia atas agama yang diakui pemerintah, sehingga memunculkan "Agama Nusantara". Apa itu, agama yang memiliki ciri ke-Nusantaraan.


1. Budha
Agama Buddha di Indonesia memiliki sejarah panjang. Agama Buddha pertama kali masuk ke Nusantara (sekarang Indonesia) sekitar pada abad ke-5 Masehi jika dilihat dari penginggalan prasasti-prasasti yang ada. Diduga pertama kali dibawa oleh pengelana dari China bernama Fa Hsien (Fa Xian).

Setelah masuk ke Nusantara (Indonesia) secara damai dan diterima oleh masyarakat setempat, Buddhisme atau Agama Buddha mulai mendapatkan tempat di kalangan bangsawan kerajaan dan  diadopsi oleh beberapa kerajaan di Nusantara sebagai landasan dan pedoman hidup bagi rakyatnya.

Agama Buddha berkembang dan hidup berdampingan dengan Hinduisme yang juga hadir di Nusantara. Tidak jarang terjadi sinkretis (penyesuaian) antara Agama Buddha dan Hindu yang dilatari oleh kondisi politik dari kerajaan yang menaunginya, sehingga muncullah pemahaman-pemahaman dan istilah-istilah baru yang berbeda dari ajaran asli kedua agama ini.

Pada zaman ini, tidak sedikit kerajaan di Nusantara yang mengadopsi Agama Buddha sebagai landasan dan pedoman hidup bagi rakyatnya, namun hanya beberapa kerajaan yang menikmati masa keemasan bersama dengan perkembangan Agama Buddha seperti Kerajaan Sriwijaya, Medang (Sailendra/Mataram Kuno), dan Majapahit.

Budha zaman Majapahit, Budha Nusantara?
Pada akhir abad ke-10 kita tidak mendengar lagi kerajaan Hindu di Jawa Tengah, tetapi sejak tahun 929 prasasti-prasasi hanya terdapat di Jawa Timur.

Di Jawa Timur, sepertinya Agama Buddha dan Agama Hindu-Shiva hidup berdampingan. Hal ini tertera dari prasasti-prasasti dimana seorang empu bernama Sindok disebut dengan gelar Sri Isana (sebutan Shiva) sedangkan putrinya menikah dengan Lokapala yang juga disebut Sugatapaksa (sebutan Buddhis). Juga ditemukan pengaruh Tantra pada kedua agama ini cukup kuat.

Dari kepustakaan keagamaan yang ada, didapat bahwa kepustakaan yang terkuno disusun sedemikian rupa, hingga terdiri dari ayat-ayat dalam bahasa Sanskerta, yang diikuti oleh keterangan bebas dalam bahasa Jawa kuno. Dari sini terlihat bahwa ayat-ayat itu berasal dari India. Jadi dalam karyanya pada masa itu orang masih terikat pada kebudayaan India. Kemudian selanjutnya orang-orang pada masa itu mulai menghasilkan kepustakaan yang seluruhnya ditulis dalam bahasa Jawa kuno dengan diselingi bait-bait dalam bahasa Sanskerta. 
Umat Budha merayakan Waisak di Candi Borobudur

Hal ini menunjukkan bahwa hubungan dengan kebudayaan India sudah mulai longgar. Dan terdapat kitab yang seluruhnya terdiri dari bahasa Jawa kuno, hanya kadang terdapat selingan dalam bahasa Sanskrit. Ini menunjukkan bahwa pengaruh kebudayaan India mulai ditinggalkan.

Ada dua buku yang menguraikan ajaran Buddhisme Mahayana pada zaman ini, yaitu “Sanghyang Kamahayanan Mantrayana” yang berisi mengenai ajaran yang ditujukan kepada bhiksu yang sedang ditahbiskan, dan “Sanghyang Kamahayanikan” yang berisi mengenai kumpulan pengajaran bagaimana orang dapat mencapai pelepasan. Pokok ajaran dalam Sanghyang Kamahayanikan adalah menunjukan bahwa bentuk yang bermacam- macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya adalah sama. Nampaknya, sikap sinkretisme dari penulis “Sanghyang Kamahayanikan” tercermin dari pengidentifikasian Shiva dengan Buddha dan menyebutnya sebagai “Shiva-Buddha”, bukan lagi Shiva atau Buddha, tetapi Shiva-Buddha sebagai satu Tuhan.

Pada zaman Majapahit (1293 – 1527), sinkretisme sudah mencapai puncaknya. Sepertinya aliran Hindu-Shiva, Hindu-Vishnu dan Agama Buddha dapat hidup bersamaan. Ketiganya dipandang sebagai bentuk yang bermacam-macam dari suatu kebenaran yang sama. Shiva dan Vishnu dipandang sama nilainya dan mereka digambarkan sebagai “Harihara” yaitu rupang (arca) setengah Shiva setengah Vishnu. Shiva dan Buddha dipandang sama. 

Di dalam kitab kakawin (syair) Arjunawijaya karya Mpu Tantular misalnya diceritakan bahwa ketika Arjunawijaya memasuki candi Buddha, para pandita menerangkan bahwa para Jina dari penjuru alam yang digambarkan pada patung-patung itu adalah sama saja dengan penjelmaan Shiva. Vairocana sama dengan SadaShiva yang menduduki posisi tengah. Aksobya sama dengan Rudra yang menduduki posisi timur. Ratnasambhava sama dengan Brahma yang menduduki posisi selatan, Amitabha sama dengan Mahadeva yang menduduki posisi barat dan Amogasiddhi sama dengan Vishnu yang menduduki posisi utara. Oleh karena itu para bhikkhu tersebut mengatakan tidak ada perbedaan antara Agama Buddha dengan Shiva. Dalam kitab “Kunjarakarna” disebutkan bahwa tiada seorang pun, baik pengikut Shiva maupun Buddha yang bisa mendapat kelepasan jika ia memisahkan yang sebenarnya satu, yaitu Shiva-Buddha.

Dari penjelasan di atas, kita mendapat kesan bahwa pada waktu itu Agama Buddha lebih berkembang dari agama Hindu-Shiva. Ini juga dapat dilihat dari kitab kakawin Sutasoma yang juga merupakan karya Mpu Tantular yang hidup pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, yang di dalamnya menceritakan tentang kemarahan Kalarudra (tokoh Agama Hindu) yang hendak membunuh Sutasoma yang diceritakan sebagai titisan Buddha. 

Para dewata mencoba meredakan Kalarudra dengan mengingatkan bahwa sebenarnya Buddha dan Shiva tidak bisa dibedakan. Jinatva (hakekat Buddha) adalah sama dengan Shiva tattva (hakekat Shiva). Selanjutnya dianjurkan agar orang merenungkan Shiva-Buddha-tattwa, hakekat Shiva-Buddha. Dalam kakawin Sutasoma di dalamnya juga terdapat kalimat Ciwa Buddha Bhinneka Tunggal Ika Tanhang Dharma Mandrawa. Dari kata-kata inilah kemudian diambil semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang kini dijadikan lambang Negara Republik Indonesia yang melambangkan motto toleransi dan persatuan.

Begitu juga dengan kisah Bubuksah. Dikisahkan ada dua saudara, yang tua bernama Gagang Aking, menganut agama Hindu-Shiva dan yang muda bernama Bubuksah, menganut Agama Buddha. Sejak muda mereka hidup sebagai pertapa di gunung Wilis. Bubuksah makan segala sesuatu yang dapat dimakan sedangkan Gagang Aking menahan makannya, ia hanya memakan tumbuh-tumbuhan saja. Mereka pun berdebat mengenai dua jenis pertapaan ini. Sesudah beberapa waktu, dewa Mahaguru mengutus Kala Wijaya dalam wujud harimau putih yang kelaparan untuk menguji kedua saudara itu.  
Ketika harimau putih datang ke Gagang Aking untuk memakannya, harimau tersebut dinasehati oleh Gagang Aking untuk pergi kepada saudaranya yaitu Bubuksah, yang tubuhnya lebih gemuk daripada dirinya, sedangkan ia kurus kering. Ketika harimau itu tiba ditempat Bubuksah, ia disambut dengan baik dan dengan senang hati Bubuksah menyerahkan diri pada harimau itu untuk dimakannya. Setelah itu Bubuksah dilahirkan di alam surga.

Dari kisah di atas, jelas menunjukan sebuah polemik yang ingin menunjukkan keunggulan dari Agama Buddha, dimana Bubuksah sebagai seorang Buddhis yang menghindari praktik pertapaan yang ekstrem dan yang lebih menekankan sikap batin dibanding dengan apa yang dimakan dalam kehidupannya, justru mendapatkan kebahagiaan. Yang menarik adalah kisah ini dilukiskan pada relief candi Panataran yang merupakan candi untuk Agama Hindu .

Meskipun Buddhisme dan Hinduisme telah menyebar di Jawa Timur, nampaknya kepercayaan leluhur masih memerankan peranannya dalam kehidupan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan struktur candi yang di dalamnya terdapat tempat pemujaan nenek moyang, yang berwujud batu megalit, yang ditempatkan di teras tertinggi dari tempat suci itu.

Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran pada masa akhir pemerintahan Bhre Kertabumi atau Raja Brawijaya V (1468 – 1478) setelah mendapatkan serangan dari Kerajaan Islam Demak. Antara tahun 1486 dan 1513 ibu kota Majapahit dipindahkan ke Daha, Kediri, Jawa Timur, dan Majapahit mengalami kehancuran secara total setelah kembali diserang oleh Kerajaan Islam Demak pada tahun 1527.

Gejolak Majapahit terjadi hingga tahun 1528, saat keraton diambil alih dan keluarga kerajaan terpaksa mengungsi dan berlindung di Bali – pulau yang telah lama bergantung dengan Majapahit. Tidak sedikit para umat Buddha maupun Hindu yang menyingkir ke daerah-daerah perdalaman.

Zaman Tertidurnya Buddhisme di Nusantara

Runtuhnya kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddhis di Nusantara (Indonesia) sehingga tidak adanya pihak kerajaan sebagai salah satu pengayom, membuat Agama Buddha dan Hindu di Nusantara berangsur-angsur mengalami kemunduran dan digeser kedudukan mayoritasnya oleh Agama Islam. Namun, meskipun mengalami kemunduran, Agama Buddha tidaklah langsung sepenuhnya ditinggalkan secara menyeluruh oleh masyarakat di Nusantara.

Sebagai contoh, setelah runtuhnya Majapahit sebagai kerajaan Hindu-Buddhis terbesar dan terakhir, petinggi-petinggi Majapahit banyak yang terpaksa atau dipaksa berubah haluan. Bagi yang tidak kuat keyakinannya dan goyah, demi hidup, demi jabatan, mereka pindah keyakinan agama. Yang bimbang diberi pilihan hidup atau mati. Tetapi yang betul-betul idealis Buddhis meskipun dengan berbagai cara ditekan, tidak tergoyahkan. Orang-orang idealis Buddhis ini lebih baik menyingkir, menjauh sampai ke daerah-daerah pedalaman hingga menjadi komunitas masyarakat tersendiri.[9]

Komunitas-komunitas masyarakat Hindu dan Buddhis yang menyingkir ke daerah-daerah perdalaman di Nusantara tersebut tetap memegang teguh ajaran agama lama secara turun temurun. Ajaran penting tersebut diberikan secara sangat tradisional/sederhana, sebagian tidak menggunakan tulisan tetapi dihafal melalui lisan, melalui contoh dalam perilaku dan perbuatan, dan untuk bagian-bagian yang sangat penting cukup dilakukan di dalam batin.

Sisa-sisa ajaran dan tradisi pada komunitas-komunitas pedalaman yang tersebar di Nusantara tersebut, kini beberapa di antaranya dapat dijumpai pada ajaran dan tradisi Suku Kanekes atau Badui (Baduy) di Jawa Barat, Suku Samin di Jawa Tengah, Suku Tengger di Jawa Timur, Suku Kajang di Sulawesi Selatan, Suku Kaili atau Kaly di Sulawesi Tengah, Suku Sangir di Sulawesi Utara, Suku Dayak Kaharingan di Kalimantan, Suku Karo di Sumatera, dan lain-lain.

Lima kemoralan (Pancasila) dari Agama Buddha yang terdiri dari: bertekad menghindari diri dari membunuh, menghindari diri dari mencuri, menghindari diri dari melakukan tindakan seksualitas yang tidak diperkenankan, menghindari diri dari berdusta, menghindari diri dari makan dan minum yang memabukkan, setelah runtuhnya Majapahit tetap menjadi tuntutan perilaku bagi masyarakat Jawa yang kemudian mengalami sedikit perubahan dan dikenal dengan Mo Limo (pantang lima hal) yaitu ora keno (tidak melakukan) mateni (membunuh), maling (mencuri), madon (bermain perempuan), madat (mabuk) dan main (berjudi).

Berdasarkan hal-hal di atas, setelah masa kerajaan di Nusantara, Buddhisme atau Agama Buddha tidak benar-benar lenyap, tetapi hanya tertidur dan akan terbangun 500 tahun kemudian terhitung dari wafatnya Raja Majapahit Brawijaya V pada tahun 1478.

2. Hindu
Perkembangan kebudayaan Hindu tidak dapat lepas dari peradaban Lembah Sungai Indus, di India. Pada tahun 1500 SM Agama dan Kebudayaan Hindu tumbuh bersamaan dengan kedatangan Bangsa Arya ke kota Mohenjodaro dan Harappa melalui celah Kaiber. Kedatangan bangsa Arya ini mendesak Bangsa Dravida dan Bangsa Munda yang merupakan suku asli yang telah mendiami daerah tersebut.

Bangsa Arya mempunyai kepercayaan untuk memuja banyak Dewa (Polytheisme), dan kepercayaan Bangsa Arya tersebut berbaur dengan kepercayaan asli Bangsa Dravida. Istilah Hindu diperoleh dari nama daerah asal penyebaran Agama dan Kebudayaan Hindu Lembah Sungai Indus/Hindustan. Dalam perkembangannya, terjadinya perpaduan antara budaya Arya, budaya Dravida, dan budaya Munda yang kemudian disebut kebudayaan Hindu (Hinduisme).

Pengaruh agama Hindu mencapai Kepulauan Nusantara sejak abad pertama. Ada beberapa teori tentang bagaimana Hindu mencapai Nusantara.

  • Teori Vaishya adalah bahwa perkawinan terjadi antara pedagang Hindustan dan penduduk asli Nusantara. C.C. Berg menjelaskan bahwa golongan ksatria turut menyebarkan kebudayaan Hindu di Indonesia. Para ksatria India ini ada yang terlibat konflik dalam masalah perebutan kekuasaan di Indonesia. Bantuan yang diberikan oleh para ksatria ini sedikit banyak membantu kemenangan bagi salah satu kelompok atau suku di Indonesia yang bertikai. Sebagai hadiah atas kemenangan itu, ada di antara mereka yang dinikahkan dengan salah satu putri dari kepala suku atau kelompok yang dibantunya
  • Teori kedua (Kshatriya) berpendapat bahwa para prajurit yang kalah perang dari Hindustan menemukan tempat pelipur lara di Nusantara. J.L. Moens menjelaskan bahwa yang membawa Agama dan Kebudayaan Hindu ke Indonesia adalah kaum ksatria atau bangsawan. Karena pada abad ke 4-5 Masehi di India terjadi kekacauan politik/ peperangan, maka bangsawan yang kalah perang terdesak dan menyingkir ke Indonesia serta mereka nantinya mendirikan kerajaan di Indonesia.
  • Ketiga, teori para Brahmana mengambil sudut pandang yang lebih tradisional, bahwa misionaris menyebarkan agama Hindu ke pulau-pulau di Nusantara. J.C. Van Leur mendukung teori ini.
  • Terakhir, teori oleh nasionalis (Bhumiputra) bahwa para pribumi Nusantara memilih sendiri kepercayaan tersebut setelah perjalanan ke Hindustan. F.D.K Bosch menyebutnya Teori Arus Balik, ia mengemukakan peranan bangsa Indonesia sendiri dalam penyebaran dan pengembangan  agama hindu. 

Para ahli yang telah meneliti masyarakat Indonesia kuna berpendapat bahwa unsur budaya Indonesia lama masih nampak dominan sekali dalam semua lapisan masyarakat. salah satu hal yang mencolok dalam masyarakat Hindu adalah adanya kasta, penerapan sistem kasta di Indonesia tidak seperti di India.

Selanjutanya, dalam penyebaran budaya India di Indonesia dilakukan oleh kaum terdidik. Akibat interaksinya dengan para pedagang India, di Indonesia terbentuk masyarakat Hindu terdidik yang di kenal dengan sangha. Mereka giat mempelajari bahasa Sanskerta, kitab suci, sastra, dan budaya tulis. Mereka kemudian memperdalam agama dan kebudayaan Hindu di India. Sekembalinya ke Indonesia mereka mengembangkan agama dan kebudayaan tersebut. Hal ini bisa diliat dari peninggalan dan budaya yang memiliki corak keindonesiaan

Pada abad ke-4, Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, Tarumanagara di Jawa Barat, dan Kalingga di Jawa Tengah, termasuk di antara Kerajaan Hindu awal yang didirikan di wilayah Nusantara. Beberapa kerajaan Hindu kuno Nusantara yang menonjol adalah Mataram, yang terkenal karena membangun Candi Prambanan yang megah, diikuti oleh Kerajaan Kediri dan Singhasari. Sejak itu Agama Hindu bersama dengan Buddhisme menyebar di seluruh nusantara dan mencapai puncak pengaruhnya pada abad ke-14. Kerajaan yang terakhir dan terbesar di antara kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha Jawa, Majapahit, menyebarkan pengaruhnya di seluruh kepulauan Nusantara.

Hindu Nusantara
Sudah disinggung di atas, F.D.K Bosch mengemukakan teori Arus Balik Agama dan kebudayaan Hindu di India berbeda dengan di Indonesia. Leluhur kita  mengembangkan agama dan kebudayaan sendiri. Hal ini bisa dilihat dari peninggalan dan budaya yang memiliki corak keindonesiaan
Umat hindu mengikuti upacara Tawur Agung Kesanga mengelilingi Candi Prambanan, Yogyakarta
Foto: Liputan6
Agama Hindu Dharma di Bali adalah agama yang sangat terjalin dengan seni dan ritual, dan lebih tidak ketat diatur oleh kitab suci, hukum, dan keyakinan. Agama Hindu Bali tidak memiliki penekanan tradisional agama Hindu pada siklus kelahiran kembali dan reinkarnasi, melainkan berkaitan dengan banyak sekali "hyang", sukma leluhur. Seperti halnya kebatinan, dewa-dewi ini dianggap mampu melahirkan kebaikan atau merugikan. Masyarakat Hindu di Bali sangat menekankan ritual-ritual perdamaian yang dramatis dan estetis terhadap para "hyang". Ritual-ritual ini dilakukan di situs-situs candi dan pura yang tersebar di seluruh desa dan di pedesaan.

Tempat bersembahyang atau kuil di agama Hindu Bali disebut Pura, dan tidak seperti mandir gaya Hindustan yang menjulang tinggi dengan ruang interior, kuil Bali dirancang sebagai tempat bersembahyang di udara terbuka dalam dinding tertutup, dihubungkan dengan serangkaian gerbang yang dihiasi secara rumit untuk mencapai bagian ruang terbukanya. Masing-masing kuil ini memiliki keanggotaan yang kurang lebih tetap; dimana setiap orang Bali adalah bagian dari sebuah kuil berdasarkan keturunan, tempat tinggal, atau wahyu mistis. Beberapa kuil juga terdapat dalam rumah keluarga (juga disebut "banjar" di Bali), yang lain terletak di sawah, dan yang lain terletak di lokasi geografis yang terkenal (tebing pantai, gunung, dsb).

Ritualisasi tindakan mengendalikan diri (atau ketiadaan) adalah corak penting dari ekspresi keagamaan di kalangan masyarakat Hindu Bali, yang karena alasan ini telah menjadi terkenal karena perilaku anggun dan sopan mereka. Misalnya salah satu upacara penting di sebuah kuil Hindu di desa memiliki penampilan spesial sendratari (seni drama-tari), pertempuran antara mitos karakter Rangda sang penyihir (mewakili adharma, seperti ketiadaan keteraturan) dan Barong sang pelindung (umumnya seperti singa, mewakili dharma), di mana para pemain mengalami kerasukan dan mencoba menusuk diri dengan senjata tajam (umumnya keris). Drama-tari ini umumnya tampak selesai tanpa akhir, tidak ada pihak yang menang, karena tujuan utamanya adalah untuk mengembalikan keseimbangan.

Ritual siklus kehidupan juga merupakan alasan penting bagi ekspresi keagamaan dan tampilan artistik di warga Hindu Bali. Upacara saat pubertas, pernikahan, dan , terutama kremasi pada saat kematian memberikan kesempatan bagi warga Hindu Bali untuk mengkomunikasikan ide-ide mereka tentang masyarakat, status, dan alam baka. (Industri pariwisata tidak hanya telah mendukung adanya upacara kremasi yang spektakuler di kalangan warga Bali yang sederhana, tetapi juga telah menciptakan permintaan yang lebih besar untuk upacara tersebut.)

Seorang pendeta Hindu tidak berafiliasi dengan kuil Hindu manapun, tapi bertindak sebagai pemimpin spiritual dan penasehat setiap keluarga di berbagai desa yang tersebar di pulau Bali. Pendeta Hindu ini dikonsultasi disaat upacara yang memerlukan air suci dilakukan. Pada kesempatan lain, juru sembuh atau pengobat tradisional dapat disewa.

Agama Hindu Bali juga meliputi keyakinan agama Tabuh Rah, sabung ayam bersifat keagamaan di mana ayam jago digunakan dalam adat keagamaan dengan memungkinkannya bertarung melawan ayam jago lain dalam sebuah upacara sabung ayam keagamaan Hindu Bali, sebuah bentuk persembahan hewan. Pertumpahan darah dalam Tabuh Rah diperlukan sebagai pemurnian untuk menenangkan roh-roh jahat bhuta dan kala, dan dan untuk memohon hasil panen yang baik. Ritual sabung ayam ini biasanya berlangsung di luar kuil Hindu dan juga mengikuti ritual yang kuno dan kompleks sebagaimana tercantum dalam naskah lontar Hindu suci

Di antara kerajaan-kerajaan Hindu Jawa, yang paling dianggap penting adalah Majapahit, yang merupakan kerajaan terbesar dan kerajaan Hindu terakhir yang signifikan dalam sejarah Indonesia. Majapahit berpusat di Jawa Timur, memerintah sebagian besar dari apa yang sekarang merupakan Indonesia modern dari sana. Sisa-sisa kerajaan Majapahit bergeser ke Bali pada abad ke-16 setelah dihancurkan oleh negara-negara Islam di wilayah pesisir Jawa.[7]

Hindu Jawa telah memiliki dampak yang signifikan dan meninggalkan jejak yang jelas dalam seni dan budaya suku Jawa. Pertunjukan wayang serta tarian Wayang Wong dan tarian klasik Jawa lainnya yang berasal dari epos Hindu Ramayana dan Mahabharata. Meskipun mayoritas orang Jawa sekarang mengidentifikasikan diri sebagai Muslim, bentuk seni Hindu Jawa tersebut masih bertahan. Hindu Jawa telah bertahan dalam berbagai tingkat dan bentuk di Jawa; dalam beberapa tahun terakhir, konversi ke agama Hindu telah meningkat, terutama di daerah yang mengelilingi sebuah situs besar agama Hindu Jawa, seperti wilayah Klaten di dekat Candi Prambanan. Kelompok etnis suku adat tertentu, seperti suku Tengger dan suku Osing, juga terkait dengan tradisi keagamaan Hindu Jawa.

3. Islam
Bukti sejarah penyebaran Islam di Nusantara terkeping-keping dan umumnya tidak informatif sehingga pemahaman tentang kedatangan Islam ke Indonesia terbatas.

Ada perdebatan di antara peneliti tentang apa kesimpulan yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat Nusantara. Bukti utama, setidaknya dari tahap-tahap awal proses konversi ini, adalah batu nisan dan kesaksian beberapa peziarah, tetapi hal ini hanya dapat menunjukkan bahwa umat Islam pribumi ada di tempat tertentu pada waktu tertentu. Baik pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun Republik Indonesia lebih memilih situs peninggalan Hindu dan Buddha di Pulau Jawa dalam alokasi sumber daya mereka untuk penggalian dan pelestarian purbakala, kurang memberi perhatian pada penelitian tentang awal sejarah Islam di Indonesia. Dana penelitian, baik negeri maupun swasta, dihabiskan untuk pembangunan masjid-masjid baru, daripada mengeksplorasi yang lama.

Sebelum Islam mendapat tempat di antara masyarakat Nusantara, pedagang Muslim telah hadir selama beberapa abad. Sejarawan Merle Ricklefs (1991) mengidentifikasi dua proses tumpang tindih dimana Islamisasi Nusantara terjadi: antara orang Nusantara mendapat kontak dengan Islam dan dikonversi menjadi muslim, dan/atau Muslim Asia asing (India, China, Arab, dll) menetap di Nusantara dan bercampur dengan masyarakat lokal.

Islam diperkirakan telah hadir di Asia Tenggara sejak awal era Islam. Dari waktu khalifah ketiga Islam, 'Utsman' (644-656) utusan dan pedagang Muslim tiba di China dan harus melewati rute laut Nusantara, melalui Nusantara dari dunia Islam. Melalui hal inilah kontak utusan Arab antara tahun 904 dan pertengahan abad ke-12 diperkirakan telah terlibat dalam negara perdagangan maritim Sriwijaya di Sumatera.

Kesaksian awal tentang kepulauan Nusantara terlacak dari Kekhalifahan Abbasiyah, menurut kesaksian awal tersebut, kepulauan Nusantara adalah terkenal di antara pelaut Muslim terutama karena kelimpahan komoditas perdagangan rempah-rempah berharga seperti Pala, Cengkeh, Lengkuas dan banyak lainnya.

Kehadiran Muslim asing di Nusantara bagaimanapun tidak menunjukkan tingkat konversi pribumi Nusantara ke Islam yang besar atau pembentukan negara Islam pribumi di Nusantara.
Umat muslim menjalankan Sholat Idul Adha 1433 H di Masjid Istiqlal, Jakarta
Foto: Kompas
Bukti yang paling dapat diandalkan tentang penyebaran awal Islam di Nusantara berasal dari tulisan di batu nisan dan sejumlah kesaksian peziarah. Nisan paling awal yang terbaca tertulis tahun 475 H (1082 M), meskipun milik seorang Muslim asing, ada keraguan apakah nisan tersebut tidak diangkut ke Jawa pada masa setelah tahun tersebut.

Bukti pertama Muslim pribumi Nusantara berasal dari Sumatera Utara, Marco Polo dalam perjalanan pulang dari China pada tahun 1292, melaporkan setidaknya satu kota Muslim, dan bukti pertama tentang dinasti Muslim adalah nisan tertanggal tahun 696 H (1297 M), dari Sultan Malik al-Saleh, penguasa Muslim pertama Kesultanan Samudera Pasai, dengan batu nisan selanjutnya menunjukkan diteruskannya pemerintahan Islam. Kehadiran sekolah pemikiran Syafi'i, yang kemudian mendominasi Nusantara dilaporkan oleh Ibnu Battutah, seorang peziarah dari Maroko, tahun 1346. Dalam catatan perjalanannya, Ibnu Battutah menulis bahwa penguasa Samudera Pasai adalah seorang Muslim, yang melakukan kewajiban agamanya sekuat tenaga. Madh'hab yang digunakannya adalah Imam Syafi'i dengan kebiasaan yang sama ia lihat di India.

Pada awalnya sejarawan meyakini bahwa Islam menyebar di masyarakat Nusantara dengan cara yang umumnya berlangsung damai, dan dari abad ke-14 sampai akhir abad ke-19 Nusantara melihat hampir tidak ada aktivitas misionaris Muslim terorganisir. Namun klaim ini kemudian dibantah oleh temuan sejarawan bahwa beberapa bagian dari Jawa, seperti Suku Sunda di Jawa Barat dan kerajaan Majapahit di Jawa Timur ditaklukkan oleh Muslim Jawa dari Kesultanan Demak. Kerajaan Hindu-Buddha Sunda Pajajaran ditaklukkan oleh kaum Muslim pada abad ke-16, sedangkan bagian pesisir-Muslim dan pedalaman Jawa Timur yang Hindu-Buddha sering berperang.

Pendiri Kesultanan Aceh Ali Mughayat Syah memulai kampanye militer pada tahun 1520 untuk mendominasi bagian utara Sumatera dan mengkonversi penduduknya menjadi Islam. Penyebaran terorganisir Islam juga terbukti dengan adanya Wali Sanga (wali Sangha = sembilan orang suci) yang diakui mempunyai andil besar dalam Islamisasi Nusantara secara sistematis selama periode ini.

Awal abad ke-16, Jawa Tengah dan Jawa Timur, daerah di mana suku Jawa hidup, masih dikuasai oleh raja Hindu-Buddha yang tinggal di pedalaman Jawa Timur di Daha (sekarang Kediri). Namun daerah pesisir seperti Surabaya, telah ter-Islamisasi dan sering berperang dengan daerah pedalaman, kecuali Tuban, yang tetap setia kepada raja Hindu-Buddha.

Beberapa wilayah di pesisir tersebut adalah wilayah penguasa Jawa yang telah berkonversi ke Islam, atau wilayah Tionghoa Muslim, India, Arab dan Melayu yang menetap dan mendirikan negara perdagangan mereka di pantai. Menurut Pires, para pemukim asing dan keturunan mereka tersebut begitu mengagumi budaya Hindu-Buddha Jawa sehingga mereka meniru gaya tersebut dan dengan demikian mereka menjadi "Jawa".

Perang antara Muslim-pantai dan Hindu-Buddha-pedalaman ini juga terus berlanjut lama setelah jatuhnya Majapahit oleh Kesultanan Demak, bahkan permusuhan ini juga terus berlanjut lama setelah kedua wilayah tersebut mengadopsi Islam.

Kapan orang-orang di pantai utara Jawa memeluk Islam tidaklah jelas. Muslim Tionghoa, Ma Huan, utusan Kaisar Yongle, mengunjungi pantai Jawa pada 1416 dan melaporkan dalam bukunya, Ying-yai Sheng-lan: survei umum pantai samudra (1433 M), bahwa hanya ada tiga jenis orang di Jawa: Muslim dari wilayah barat Nusantara, Tionghoa (beberapa adalah Muslim) dan Jawa yang bukan Muslim. Karena batu-batu nisan Jawa Timur adalah dari Muslim Jawa lima puluh tahun sebelumnya, laporan Ma Huan menunjukkan bahwa Islam mungkin memang telah diadopsi oleh sebagian abdi dalem istana Jawa sebelum orang Jawa pesisir.

Sebuah nisan Muslim bertanggal 822 H (1419 M) ditemukan di Gresik, pelabuhan di Jawa Timur dan menandai makam Maulana Malik Ibrahim. Namun bagaimanapun, dia adalah orang asing non-Jawa, dan batu nisannya tidak memberikan bukti konversi pesisir Jawa.

Malik Ibrahim, menurut tradisi Jawa adalah salah satu dari sembilan wali di Jawa (disebut Wali Sanga) meskipun tidak ada bukti tertulis ditemukan tentang tradisi ini. Pada abad ke-15-an, Kerajaan Majapahit yang kuat di Jawa mengalami penurunan. Setelah dikalahkan dalam beberapa pertempuran, kerajaan Hindu terakhir di Jawa jatuh di bawah meningkatnya kekuatan Islam Kesultanan Demak pada tahun 1520M.

Meskipun kerangka waktu bagi masuknya Islam di wilayah Indonesia dapat ditentukan secara luas, sumber-sumber utama sejarah tidak bisa menjawab banyak pertanyaan yang spesifik, sehingga kontroversi terus mengelilingi topik ini. Sumber-sumber seperti tidak menjelaskan mengapa konversi signifikan orang pribumi Nusantara menjadi Islam tidak dimulai hingga beberapa abad bahkan setelah para Muslim asing mengunjungi dan tinggal di Nusantara.

Sumber-sumber ini juga tidak cukup menjelaskan asal usul dan perkembangan "aliran" istimewa Islam di Nusantara, atau bagaimana Islam menjadi agama yang dominan di Nusantara. Untuk mengisi kekosongan celah sejarah ini, banyak peneliti mencari referensi ke legenda-legenda Melayu dan Nusantara tentang konversi pribumi Nusantara ke Islam.

Ricklefs berpendapat bahwa meskipun legenda-legenda ini bukanlah catatan historis yang dapat diandalkan tentang peristiwa yang sebenarnya, legenda-legenda ini berharga dalam memberi titik terang mengenai beberapa peristiwa, melalui wawasan mereka yang tersebar di masyarakat, ke dalam sifat pembelajaran dan kekuatan magis, latar belakang asing dan hubungan perdagangan para guru Islam awal, dan proses konversi yang bergerak dari atas (golongan elit keraton) ke bawah (wikipedia).

Islam Nusantara?
Saya takkan membahas ini.. silahkan googling sendiri

Kekristen
Proses masuknya Kristen ke Indonesia - Pada abad ke-14, bangsa Portugis dan kemudian bangsa Belanda datang ke Indonesia. Maksud kedatangan mereka ke Indonesia sebenarnya adalah mencari rempah-rempah yang akan mereka perdagangkan di Eropa.
Perayaan Natal
Foto: Elshinta
4. Katolik
Armada Portugis yang pertama dipimpin oleh Alfonso D' Albuquerque dan tiba di Maluku serta mulai mengadakan pendekatan dengan penduduk asli. Dalam perjalanannya itu ikut serta imam-imam Katolik yang kemudian menyebarkan agama Katolik. Armada Belanda datang kira-kira pada awal abad ke-17 setelah sekian lama bangsa Portugis berada di Indonesia.

Kedua bangsa inilah yang memperkenalkan agama Kristen, yaitu Kristen Katolik dan Kristen Protestan di Indonesia. Pada dasarnya kedua agama tersebut sama, karena keduanya memiliki kitab suci yang disebut Al-kitab yang terdiri dari perjanjian Lama dan Perjanjian Baru atau Injil. Akan tetapi keduanya mempunyai sejarah yang agak berbeda.

Agama Kristen Katolik disebarkan pertama kali di Indonesia oleh imam-imam Katolik. Agama ini diperkenalkan kepada penduduk asli dengan cara damai dengan penuh cinta kasih. Seorang imam yang terkenal pada waktu itu adalah Fransiscus Xaverius, yang telah banyak memberikan waktu dan tenaganya bagi pekerjaan misi di Indonesia.

Misi Katolik ini bekerja tidak hanya di Maluku, tetapi juga di Flores, Timor Timur, Kepulauan Kei, Pulau Jawa, yaitu di sekitar Muntilan, Malang, dan Jakarta, serta pulau-pulau lain di Indonesia.

Selain mengajarkan agam, misi Katolik juga membangun sekolah-sekolah dan rumah sakit yang tersebar di seluruh Indonesia. Karya misi Katolik ini tidak hanya terbatas pada orang yang beragama Katolik saja, tetapi bagi semua orang, apapun agama atau kepercayaannya.

Pusat agama Katolik di seluruh dunia terletak di Vatican, suatu wilayah di negara Roma, Italia. Pimpinannya disebut Paus. Pimpinan gereja Katolik di Indonesia disebut Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI). MAWI sering melakukan pendekatan antara kelompok-kelompok agama Kristen Katolik dengan kelompok agama lain yang ada di Indonesia.

5. Protestan
Bangsa Belanda memperkenalkan agama Kristen Protestan untuk pertama kali di Indonesia. Mula-mula penyebaran itu di arahkan kepada orang yang berada di sekitar tempat perdagangan rempah-rempah, umumnya di Maluku dan kemudian meluas ke segala pelosok di tanah air.

Pendeta-pendeta Protestan yang datang yang datang dari Negeri Belanda pada umumnya bekerja untuk bangsa Belanda, tetapi kemudian mereka juga mengajarkannya kepada penduduk asli. Dalam penyiaran ini pemerintah penjajahan sangat membatasi pekerjaan pengabaran agama kepada penduduk asli, karena takut mengganggu perdagangan yang mereka laksanakan.

Namun, penyebaran agama tidak dapat dan tidak boleh disamakan dengan kepentingan dagang. Oleh karena itu, meskipun terdapat hambatan dari pemerintah penjajah, agama Kristen Protestan berkembang terus.

Selain dari bangsa Belanda pendeta dari Jerman, Amerika dan Swiss juga bekerja di Indonesia. Pada umumnya mereka bekerja di pelabuhan, seperti Kalimantan, tanah Batak dan Irian Jaya. Karena para pendeta tidak datang hanya dari satu wilayah, umat Kristen Protestan itu terdiri dari berbagai gereja.

Nama gereja-gereja itu disesuaikan dengan nama wilayah tempat gereja-gereja itu semula didirikan. Misalnya Gereja Jawa, Gereja Protestan Maluku, Gereja Kalimantan, Huria Kristen Batak Protestan, dan Gereja Kristen Sulawesi Selatan.

Setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, kesadaran sebagai satu bangsa ini tampak juga didalam kehidupan gereja. Sejak itu diadakan pendekatan-pendekatan untuk mempersatukan gereja-gereja ini. Pada tahun 1950 didirikanlah Dewan Gereja-gereja Indonesia (DGI). DGI inilah yang menjadi wakil umat Kristen Protestan di Indonesia.

Meskipun agama Kristen Katolik dan Kristen Protestan diperkenalkan oleh bangsa Eropa, agama itu bukan milik bangsa Eropa. Pemeluk agama-agama itu adalah juga bangsa Indonesia. Sebagai satu keluarga besar bangsa Indonesia, pemeluk agama Kristen Katolik dan Kristen Protestan sama dengan pemeluk agama lainnya.

6. Konghucu
Keberadaan umat beragama Khonghucu beserta lembaga-lembaga keagamaannya di Nusantara atau Indonesia ini sudah ada sejak berabad-abad yang lalu, bersamaan dengan kedatangan perantau atau pedagang-pedagang Tionghoa ke tanah air kita ini. Mengingat sejak zaman Sam Kok yang berlangsung sekitar abad ke-3 Masehi, Agama Khonghucu telah menjadi salah satu di antara Tiga Agama Besar di China waktu itu; lebih-lebih sejak zaman dinasti Han, atau tepatnya tahun 136 sebelum Masehi telah dijadikan Agama Negara .
Perayaan Imlek. yang telah lama dilarang semasa Orde baru
Foto: Demokrat.or.id
Kehadiran Agama Khonghucu di Indonesia telah berlangsung berabad-abad lamanya, Kelenteng Ban Hing Kiong di Manado didirikan pada tahun 1819 . Di Surabaya didirikan tempat ibadah Agama Khonghucu yang disebut mula-mula: Boen Tjhiang Soe, kemudian dipugar kembali dan disebut sebagai Boen Bio pada tahun 1906. Sampai dengan sekarang Boen Bio yang terletak di Jalan Kapasan 131, Surabaya masih terpelihara dengan baik dibawah asuhan Majelis Agama Khonghucu (MAKIN) “Boen Bio” Surabaya.

Di Sala didirikan Khong Kauw Hwee sebagai Lembaga Agama Khonghucu pada tahun 1918. Pada tahun 1923 telah diadakan Kongres pertama Khong Kauw Tjong Hwee (Lembaga Pusat Agama Khonghucu) di Yogyakarta dengan kesepakatan memilih kota Bandung sebagai Pusat. Pada tanggal 25 September 1924 di Bandung diadakan Kongres ke dua yang antara lain membahas tentang Tata Agama Khonghucu supaya seragam di seluruh kepulauan Nusantara.

Pada tanggal 11-12 Desember 1954 di Sala diadakan konferensi antar tokoh-tokoh Agama Khonghucu untuk membahas kemungkinan ditegakkan kembali Lembaga Agama Khonghucu secara Nasional setelah tidak ada kegiatan semenjak pecahnya perang dunia II dan masuknya Jepang ke Indonesia. Akhirnya pada konferensi yang diselenggarakan di Sala pada tanggal 16 April 1955 disepakati dibentuk kembali Lembaga Tertinggi Agama Khonghucu Indonesia dengan memakai nama Perserikatan K’ung Chiao Hui Indonesia yang diketuai Dr. Sardjono. Tanggal 16 April 1955 disepakati sebagai hari jadi Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia, disingkat MATAKIN.
Umat Khonghucu sedang sembahyang di Kelenteng.
Foto: Tionghoa.info
Sejak berdirinya secara periodik diadakan Kongres/MUNAS. Pada awal pemerintahan Orde Baru, tepatnya tanggal 23-27 Agustus 1967 telah diadakan Kongres ke-VI di mana Soeharto yang pada waktu itu sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia berkenan memberikan sambutan tertulis yang antara lain mengatakan bahwa, "Agama Konghutju mendapat tempat yang layak dalam negara kita jang berlandaskan Pantjasila ini”.

Dengan dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/ BA.01.2/ 4683/95 tanggal 18 November 1978 antara lain menyatakan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha mulailah keberadaan umat Khonghucu dipinggirkan.

Keputusan politik ini yang sesungguhnya batal demi hukum, karena sangat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, disamping itu bertentangan dengan UUD pasal 29 ayat 2 yang memberikan kebebasan beragama dan beribadat, justru dijadikan pegangan oleh aparat pemerintah sampai sekarang ini kendatipun telah dicabut per tanggal 31 Maret 2000.

Surat edaran ini juga mengingkari realita bahwa warga negara Indonesia yang memeluk Agama Khonghucu ada di Indonesia. Karena berdasarkan sensus penduduk yang diadakan lembaga resmi pemerintah yaitu Biro Pusat Statistik Indonesia pada tahun 1976 penduduk Indonesia yang beragama Khonghucu mencapai 0,7% yang berarti lebih dari 1 juta jiwa.

Perkembangan Lembaga dan Agama Khonghucu pada era Reformas
Patut disyukuri pengakuan hak asasi manusia pada era reformasi mulai membaik, terbukti Menteri Agama Republik Indonesia pada Kabinet Reformasi memberikan kesempatan kepada Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) mengadakan Musyawarah Nasional XIII di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta pada tanggal 22 – 23 Agustus 1998 yang dihadiri perwakilan Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN), Kebaktian Agama Khonghucu Indonesia (KAKIN) dan wadah umat Agama Khonghucu lainnya dari berbagai penjuruh tanah air Indonesia.

Harus diakui karena selama tidak kurang dari 20 tahun umat Khonghucu di Indonesia hidup dalam tekanan dan pengekangan sebagai akibat tindakan represif dan diskriminatif terhadap umat Khonghucu mempunyai dampak negatif bagi perkembangan kelembagaan umat Khonghucu. Walaupun umat Khonghucu ada di setiap provinsi di Indonesia, belum semua propinsi ada lembaga agama Khonghucu yang terorganisasi dan dibawah pembinaan langsung MATAKIN.

Demikian sejarah agama resmi yang diakui pemerintah. Lho.. cuman 6 agama? Mantan Menteri agama Lukman Hakim Saifuddin (tahun 2014) dalam wawancara dengan BBC Indonesia menyebutkan negara tak pernah menyebutkan secara resmi bahwa ada enam agama di Indonesia.

Mantan Menteri Agama RI saat itu, mengatakan semua pemeluk agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia dilindungi oleh konstitusi dan dijamin kebebasan dan kemerdekaannya, termasuk agama dan kepercayaan di luar enam agama yang dipeluk mayoritas penduduk.baca saja di BBC, Menag: negara tak pernah 'resmikan' enam agama

Hubungan 6 Agama Resmi di Indonesia Sekarang ini
Sejak memasuki era globalisasi, informasi mudah menyebar. isu-isu agama di wilayah lain mudah merembet ke penjuru dunia. Reaksi-reaksi pun muncul baik secara spontan maupun terorganisir. Kadang terjadi stigma negatif terhadap agama tertentu.

Mengingat ke-6 Agama resmi adalah "impor", maka apapun yang terjadi di pusat penyebaran awal agama tersebut, mudah merembet ke Nusantara. Kecuali Agama Hindu dan budha. Yang terjadi di India, tidak banyak berpengaruh terhadap kehidupan keberagamaan di negeri kita.

Agama Asli Nusantara Dihapus?
Pemerintah Indonesia telah mengakui Hindu sebagai salah satu dari enam agama monoteistik resmi, bersama dengan Islam, Protestan, Katolik, Buddha, Hindu atau Konghucu). Namun pemerintah Indonesia tidak mengakui sistem kepercayaan suku adat sebagai agama resmi.

Akibatnya, pengikut berbagai agama animisme asli seperti Dayak Kaharingan telah mengidentifikasikan diri mereka sebagai Hindu untuk menghindari tekanan untuk masuk Islam atau Kristen.

Bagaimana dengan agama yang telah ada di Nusantara sebelum kehadiran 6 agama baru itu. jika.

Beberapa keyakinan suku adat asli seperti Sunda Wiwitan dari suku Sunda, Aluk To Dolo suku Toraja, dan Parmalim dari suku Batak - meskipun berbeda dari agama Hindu Bali yang dipengaruhi Hindustan - mungkin mencari afiliasi dengan agama Hindu untuk bertahan hidup.

Sementara di saat yang sama juga mencoba melestarikan perbedaan mereka terhadap aliran utama Hindu Indonesia yan didominasi oleh suku Bali. Selain itu, kaum nasionalis Indonesia juga telah sangat mengangkat prestasi Kerajaan Majapahit; sebuah Kerajaan Hindu yang telah membantu menarik orang-orang Indonesia modern kepada agama Hindu. Faktor-faktor ini telah menyebabkan kebangkitan Hindu yang perlahan di luar Bali.

Mengakui agama seseorang sebagai Hindu secara resmi tidaklah mungkin secara hukum di Indonesia hingga tahun 1962, ketika agama Hindu menjadi agama ke-5 yang diakui negara. Pengakuan ini awalnya diperjuangkan oleh organisasi-organisasi keagamaan Bali dan diberikan demi warga Bali yang mayoritasnya adalah pemeluk agama Hindu. Yang terbesar dari organisasi-organisasi ini adalah Parisada Hindu Dharma Bali, berubah nama menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) pada tahun 1964, yang mencerminkan upaya-upaya selanjutnya untuk mendefinisikan Hindu tidak hanya sebagai kepentingan Bali tetapi juga nasional.

Identitas agama menjadi isu hidup dan mati bagi banyak orang Indonesia di sekitar waktu yang sama saat agama Hindu akhirnya mendapat pengakuan, ketika peristiwa pembantaian komunis 1965-1966 terjadi. Orang yang tidak mengafiliasikan diri dengan salah satu agama yang diakui negara cenderung dicurigai sebagai komunis. Meskipun mendapat banyak ketidakuntungan bila bergabung dengan agama minoritas nasional, keprihatinan yang mendalam bagi pelestarian agama leluhur tradisional mereka membuat beberapa kelompok etnis di luar pulau membuat Hindu sebagai pilihan yang lebih cocok selain Islam.

Pada awal tahun 1970-an, orang-orang suku Toraja dari Sulawesi adalah yang pertama untuk mewujudkan kesempatan tersebut dengan mencari perlindungan bagi agama nenek moyang pribumi mereka di bawah payung 'Hindu' Indonesia yang besar, diikuti oleh suku Karo dari Sumatera pada tahun 1977.

Di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, sebuah gerakan Hindu besar telah berkembang di kalangan penduduk suku Dayak pribumi setempat yang mengarah ke sebuah deklarasi massal 'Hindu' di pulau ini pada tahun 1980. Namun, konversi ke 'Hindu' tersebut mengikuti pembagian etnis yang jelas. Adat Dayak pribumi berhadapan dengan populasi migran yang sebagian besar Muslim yang disponsori pemerintah (terutama suku Madura), dan sangat tidak menyukai perampasan tanah dan sumber daya alam nenek moyang mereka. Dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di pemeluk Hindu Jawa, banyak pemimpin suku Dayak pribumi yang juga lebih prihatin terhadap upaya Parisada Hindu Dharma Bali untuk membakukan praktik ritual Hindu secara nasional, khawatir hal ini akan berimbas pada berkurangnya tradisi unik 'Hindu Kaharingan' mereka sendiri dan dominasi budaya asing yang semakin panjang.

Sebaliknya, kebanyakan orang Jawa lambat dalam mempertimbangkan Hindu pada saat itu, tidak mempunyai organisasi jelas dalam hal agama secara etnis karena takut adanya pembalasan dari organisasi Islam Jawa yang kuat secara lokal seperti Nahdatul Ulama (NU). Sayap pemuda NU telah aktif dalam penganiayaan, tidak hanya bagi para terduga komunis tapi juga elemen 'Kejawen' atau 'anti-Islam' dalam Partai Nasionalis Indonesia (PNI) Soekarno selama fase awal dari pembantaian komunis berdarah 1965-1966. Sehingga para praktisi tradisi mistis 'Kejawen' merasa terpaksa menyatakan diri mereka sebagai Muslim karena kekhawatiran terhadap keselamatan mereka (wikipedia).

Kebangkitan Agama Nusantara?
Organisasi agama Hindu di Indonesia, Ditjen Bimas Hindu (DBH) melakukan survei berkala melalui hubungan dekat dengan masyarakat Hindu di seluruh Indonesia. Pada tahun 2012 penelitian independen mereka menemukan bahwa terdapat 10.267.724 pemeluk Hindu di Indonesia.

Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) bersama dengan beberapa kelompok agama minoritas lainnya mengklaim bahwa pemerintah Indonesia mengurangi jumlah hitungan warga negara Indonesia non-Muslim dalam hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010.Sensus Penduduk Indonesia 2010 mencatat jumlah umat Hindu adalah 4.012.116, sekitar 80% dari jumlah tersebut berdomisili di Bali

Mengikuti alur sebelumnya bahwa Agama asli Nusantara titdak memikliki tempat dalam politik dan administrasi kependudukan pemerintah. Keyakinan suku adat asli seperti Sunda Wiwitan dari suku Sunda, Aluk To Dolo suku Toraja, dan Parmalim dari suku Batak - meskipun berbeda dari agama Hindu Bali yang dipengaruhi Hindustan - mungkin mencari afiliasi dengan agama Hindu untuk bertahan hidup.

Persentase jumlah penganut 6 agama di Indonesia di dapatkan dari sensus.  Menurut hasil sensus tahun 2010, 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 6,96% Protestan, 2,9% Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Kong Hu Cu, 0,13% agama lainnya, dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan

Beberapa tahun terakhir, munculnya kembali kebudayaan (kalau belum bisa disebut Agama) asli Nusantara. Bisa jadi jumlahnya lebih besar dari penganut Agama Khonghucu. . Akankah negara dan masyarakat kita bisa menerimanya?

Penutup dengan mengutip GusDur:
“... yang ‘paling Indonesia’ di antara semua nilai yang diikuti oleh semua warga bangsa ini adalah pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali ikatan dengan masa lampau,”

Referensi:
Baca Juga

Sponsor