Cari

Kenapa Kerajaan Pajajaran Bekerjasama dengan Portugis?




[Historiana] - Dalam sejarah di Nusantara ini, kita mengenal sebuah kerajaan termashur bernama Pajajaran. Keberadaannya sejak tahun 669 M yang didirikan oleh Maharaja Sang Tarusbawa. Ia adalah Maharaja terakhir Kerajaan Tarumanagara. Kemudian Pajajaran menghadapi perubahan dunia yang berimbas pada eksistensi Pajajaran di kemudian hari.

Kerajaan Pajajaran yang mampu bertahan sangat lama (669-1579 M) menjadi perhatian para sejarawan dan arkeolog. Bagaimana Pajajaran bisa bertahan selama itu? Kerajaan ini kerap dianggap sebagai sebuah kerajaan agraris. Lalu bagaimana memenuhi kebutuhan semua rakyat Pajajaran?

Rupanya Pajajaran tidaklah murni kerajaan agraris. Untuk memenuhi keperlukan kerajaan beserta rakyatnya memelukan barang-barang yang di impor dari luar Pajajaran. Pintu gerbang keluar masuk barang dan jasa saat itu adalah pelabuhan. Tercatat dalam sejarah bahwa Pajajaran memiliki pelabuhan-pelabuhan penting yaitu: Banten, Tanggerang, Sunda Kalapa, Cigede, Cimanuk dan Cirebon.

Pelabuhan Kalapa telah dikenal semenjak abad ke-12 dan kala itu merupakan pelabuhan terpenting Pajajaran. Kemudian pada masa masuknya Islam dan para penjajah Eropa, Kalapa diperebutkan antara kerajaan-kerajaan Nusantara dan Eropa. Akhirnya Belanda berhasil menguasainya cukup lama sampai lebih dari 300 tahun. Para penakluk ini mengganti nama pelabuhan Kalapa dan daerah sekitarnya.

Pelabuhan ini telah dipakai sejak zaman Tarumanagara dan diperkirakan sudah ada sejak abad ke-5 dan saat itu disebut Sundapura. Pada abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk milik Kerajaan Sunda, yang memiliki ibu kota di Pakuan Pajajaran atau Pajajaran yang saat ini menjadi Kota Bogor. Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu.

Kapal Jepang contohnya datang dari Kerajaan Ryukyu  (Sekarang Okinawa). Menurut Catatan Kerajaan Ryukyu, semua wilayah Asia Tenggara terjadi persaingan dagang.

Pada abad ke-10 hingga ke-14 di Asia Timur, pedagang semakin aktif dalam perdagangan antar negara. Pedagang Cina mulai tinggal di luar negeri di negara-negara Asia Timur lainnya untuk jangka pendek untuk melakukan perdagangan. Di Jepang, para pedagang Kyushu dan Seto melakukan perdagangan secara agresif dan memperbesar kekuatan mereka.

Dalam suasana internasional semacam ini, Tiga Kerajaan di Okinawa saling bersaing secara intens dan berulang kali, akhirnya mencapai persatuan dengan lahirnya Kerajaan Ryukyu. Di seluruh Asia Timur selama periode ini negara-negara muncul dari kebingungan menuju reformasi dan penyatuan.

Baca juga: Perdagangan kuno Kerajaan Ryukyu Jepang dengan "Karapa" Sunda dan Lainnya.

Pada 1368 Dinasti Ming didirikan di Cina. Ming, yang bertujuan untuk membangun tatanan internasional dengan Cina sebagai pusatnya, meminta negara-negara tetangga untuk membangun hubungan anak sungai dengan Cina dan membangun embargo perdagangan yang melarang perdagangan bebas. Akibatnya kebijakan ini melembagakan Cina sebagai pemimpin dan mendefinisikan posisi negara-negara tetangga. Hanya mereka yang bersumpah setia kepada Dinasti Ming diberi izin untuk terlibat dalam perdagangan yang menguntungkan dengan Cina oleh kaisar Ming. Ini disebut sistem Sappo dalam bahasa Jepang dan dengan menaatinya, para pemimpin di negara-negara tetangga melegitimasi aturan mereka dan menerima manfaat perdagangan dengan China yang lebih maju.  Tiga Kerajaan di Okinawa juga diundang dan bergabung dalam hubungan semacam ini dengan Cina.

Kondisi yang tergambar dalam sejarah Kerajaan Ryukyu Jepang, juga dapat menjelaskan posisi Kerajaan Pajajaran dan Majapahit. Kapal-kapal Kerajaan Ryukyu biasa mengunjungi pelabuhan-pelabuhan di Sumatera dan Jawa, seperti terlihat pada tabel di bawah ini. Secara bertahap, Kerajaan Ryukyu ditunjuk oleh Cina sebagai pedagang perantara di Asia Timur dan Asia Tenggara.

Berdasarkan tabel di atas, kunjungan kapal dagang Kerajaan Ryukyu juga sempat menyinggahi Pelabuhan Gresik selain Sunda Kalapa. Dengan memerhatikan tahun kunjungan pada 1430-1442 M menunjukkan bahwa pelabuhan tersebut saat itu di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Rute perdangan Kerajaan Ryukyu Jepang dengan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara terlihat seperti gambar di bawah ini.



Kerajaan Pajajaran Berfokus Bidang Ekonomi

Kerajaan Pajajaran telah lama mengunjungi negara lain dan mengadakan hubungan ekonomi. Beberapa negara disebutkan dalan Naskah Siksa Kandang Karesian. Catatan ini tidak banyak dikupas oleh para sejarawan. Salah satu negara sahabat dan cukup jauh secara geografis adalah Kerajaan Dekan (Dekhan) yang kini Dataran Tinggi India. Kerajaan Dekan eksis sejak tahun 1490 (Kesultanan Ahmadnagar) – 1686 (Kesultanan Golkonda). Kesultanan Dekan adalah lima dinasti dari berbagai latar belakang etnis (Afghanistan, Turki, Mongol dll) yang memerintah beberapa kerajaan pada abad pertengahan akhir, yaitu, Bijapur, Golkonda, Ahmadnagar, Bidar, dan Berar di selatan-barat India.

Kerajaan atau Kesultanan Dekhan ini menganut agama negara adalah Islam. Dengan demikian, pihak Kerajaan Pajajaran sudah lama mengenal adanya para penganut agama Islam di dunia. Namun, rupanya Pajajaran menerapkan politik non-blok dan lebih berfokus pada bidang ekonomi. Hingga akhirnya Pajajaran tidak menyadari perubahan dunia yang sulit memisahkan kepentingan politik dan ekonomi.

baca juga: Kerajaan (Kesultanan) Dekhan (Dekan) dalam Naskah Kuno Sunda Sanghyang Siksa Kandang Karesian 

Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian ibarat ensiklopedi kehidupan urang Sunda zaman Pajajaran. Banyak hal digambarkan di dalamnya, mulai dari keagamaan, pemerintahan, profesi, dan nama-nama negara. Ada yang menarik, bahwa beberapa diantaranya berasal dari negeri seberang. Berikut kutipannya:
Aya ma nu urang dek ceta, ulah salah geusan nanya. Lamun dek nyaho di carek para nusa ma: carek Cina, Keling, Parasi, Mesir, Samudra, Banggala, Makasar, Pahang, Kala(n)ten, Bangka, Buwun, Beten. Tulangbawang, Sela, Pasay, Parayaman, Nagara Dekan, Dinah, Andeles, Tego, Maloko, Badan, Pego, Malangkabo, Mekah, Buretet, Lawe, Saksak, Se(m)bawa, Bali, Jenggi, Sabini, Ngogan, Kanangen, Kumering, Simpang Tiga, Gumantung, Manumbi, Babu, Nyiri, Sapari, Patukangan, Surabaya, Lampung, Jambudipa, Seran, Gedah, Solot, Solodong, Bali. Indragiri, Tanjung Pura, Sakampung, Cempa, Baluk, Jawa; sing sawatek para nusa ma sang jurubasa darmamurcaya tanya.
Terjemahannya
Bila kita hendak bertindak, jangan salah mencari tempat bertanya. Bila ingin tahu bahasa negara-negara lain, seperti: bahasa Cina, Keling, Parsi, Mesir, Samudra, Banggala, Makasar, Pahang, Kelantan, Bangka, Buwun, Beten, Tulangbawang, Sela, Pasay, Negara Dekan, Madinah, Andalas, Tego, Maluku, Badan, Pego, Minangkabau, Mekah, Buretet, Lawe, Sasak, Sumbawa, Bali, Jenggi, Sabini; Ogan, Kanangen, Momering, Simpang Tiga, Gumantung, Manumbi, Babu, Nyiri, Sapari, Patukangan, Surabaya, Lampung, Jambudipa, Seran, Gedah, Solot, Solodong, Indragiri, Tanjung Pura, Sakampung, Cempa, Baluk, Jawa; segala macam [bahasa] negara-negara lain, tanyalah juru basa darmamurcaya.) 
Posisi Pelabuhan Malaka di Semenanjung Malaya sangat penting bagi "tol laut" Kerajaan Pajajaran dalam perdagangan internasional. Semenjak pelabuhan Malaka di bawah Kerajaan Melayu dibawah Raja Prameswara, hubungan dagang Kerajaan Sunda (Pelabuhan Kalapa - Kerajaan Malaka (Pelabuhan Malaka) telah terjalin baik.  Hubungan Diplomasi antar-kerajaan di Asia Tenggaran tidak terlepas dari peran Tiongkok. Hampir semua kerajaan di Asia Tenggara menceritakan hubungan diplomasi dengan Tiongkok. Menurut Catatan Tiongkok (Dinasti Ming), di Malaka telah banyak penduduk menganut agama Islam dan pada tahun 1455 penguasa Malaka disebut Sultan. Dalam Sulalatus Salatin gelar sultan sudah mulai diperkenalkan oleh penganti berikutnya Raja Iskandar Syah. Saat itu pelayaran Kapal Dagang antara pelabuhan Sunda Kalapa Kerajaan Pajajaran dan pelabuhan Malaka (Kesultanan Malaka) tetap berlangsung dengan baik. Artinya Pajajaran tidak bermasalah dengan perubahan keagamaan setempat. Istilah Sunda "Ageman sewang-sewangan, moal ngahaharuan batur" (Agama masing-masing takkan mengganggu urusan orang lain). Demikian pula dengan Kerajaan Majapahit,  terutama setelah Sultan Mansur Syah membina hubungan diplomatik dengan Batara Majapahit yang kemudian meminang dan menikahi putri Raja Jawa tersebut.

Pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, para penjelajah Eropa mulai berlayar mengunjungi sudut-sudut dunia. Bangsa Portugis berlayar ke Asia dan pada tahun 1511, mereka bahkan bisa merebut kota pelabuhan Malaka, di Semenanjung Malaka. Malaka dijadikan basis untuk penjelajahan lebih lanjut di Asia Tenggara dan Asia Timur. Ketika tahun 1511 Pelabuhan Malaka Jatuh ke tangan Portugis, perjanjian antara Kerajaan Sunda dilakukan dengan penguasa pelabuhan tersebut, yaitu Portugis.

Tome Pires, salah seorang penjelajah Portugis, mengunjungi pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Pulau Jawa antara tahun 1512 dan 1515. Ia menggambarkan bahwa pelabuhan Sunda Kelapa ramai disinggahi pedagang-pedagang dan pelaut dari luar seperti dari Sumatra, Malaka, Sulawesi Selatan, Jawa dan Madura. Menurut laporan tersebut, di Sunda Kelapa banyak diperdagangkan lada, beras, asam, hewan potong, emas, sayuran serta buah-buahan.

Laporan Portugis menjelaskan bahwa Sunda Kelapa terbujur sepanjang satu atau dua kilometer di atas potongan-potongan tanah sempit yang dibersihkan di kedua tepi sungai Ciliwung. Tempat ini ada di dekat muaranya yang terletak di teluk yang terlindung oleh beberapa buah pulau. Sungainya memungkinkan untuk dimasuki 10 kapal dagang yang masing-masing memiliki kapasitas sekitar 100 ton. Kapal-kapal tersebut umumnya dimiliki oleh orang-orang Melayu, Jepang dan Tionghoa. Di samping itu ada pula kapal-kapal dari daerah yang sekarang disebut Indonesia Timur. Sementara itu kapal-kapal Portugis dari tipe kecil yang memiliki kapasitas muat antara 500 - 1.000 ton harus berlabuh di depan pantai. Tome Pires juga menyatakan bahwa barang-barang komoditas dagang Sunda diangkut dengan lanchara, yaitu semacam kapal yang muatannya sampai kurang lebih 150 ton.

Lalu pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja Sunda untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa untuk melawan orang-orang Cirebon yang bersifat ekspansif. Sementara itu kerajaan Demak sudah menjadi pusat kekuatan politik Islam. Orang-orang Muslim ini pada awalnya adalah pendatang dari Jawa dan diantaranya merupakan keturunan Arab.

Maka pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan. Sebuah batu peringatan atau padraõ dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Padrao dimaksud disebut sebagai layang salaka domas dalam cerita rakya Sunda Mundinglaya Dikusumah. Padraõ itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut Prinsenstraat (Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Nelayan Timur) di Jakarta.

Kerajaan Demak menganggap perjanjian persahabatan Sunda-Portugal tersebut sebagai sebuah provokasi dan suatu ancaman baginya. Lantas Demak menugaskan Fatahillah untuk mengusir Portugis sekaligus merebut kota ini. Maka pada tanggal 22 Juni 1527, pasukan gabungan Demak-Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) merebut Sunda Kelapa. Tragedi tanggal 22 Juni inilah yang hingga kini selalu dirayakan sebagai hari jadi kota Jakarta. Sejak saat itu nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta. Nama ini biasanya diterjemahkan sebagai kota kemenangan atau kota kejayaan, namun sejatinya artinya ialah "kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha" dari bahasa Sanskerta, jayaká¹›ta (Dewanagari जयकृत).

Upaya Pajaran mempertahankan eksistensinya mengalami kegagalan. Akhirnya pada tahun 1579 M, Pajajaran runtuh (burak/runtag) sirna ing bhumi.

Referensi

  1. Adolf Heuken SJ dan Grace Pamungkas, 2000, Galangan Kapal Batavia selama tiga ratus tahun. Jakarta:Cipta Loka Caraka/Sunda Kelapa Lestari.
  2. Jan Gonda, 1951, Sanskrit in Indonesia.
  3. Supratikno Rahardjo et al., 1996, Sunda Kelapa sebagai Bandar di Jalur Sutra. Laporan Penelitian. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
  4. Thomas B. Ataladjar dan Sudiyono, 1991, 'Sunda Kelapa' di Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta: Cipta Adi Pustaka
Baca Juga

Sponsor