Cari

Kerajaan Pajajaran Tidak Ada?

Prabu (Maharaja) Siliwangi
Benarkah Kerajaan Pajajaran Tidak Ada? Bukankah kisah dan sejarahnya ada? Tenang... ini sbuah pertanyaan retoris. Saya juga Urang Sunda dan mengenal Pajajaran. 



Saya "Urang Sunda", pernyataan saya yang menunjukkan saya berasal dari wilayah/negeri Sunda. Sama halnya denga Saya "Orang Indonesia", yakni pernyataan bahwa saya berasal dari negeri bernama Indonesia. Kalau dalam bahasa Inggris menyebutnya an Indonesian, a Sundanese.

Kerajaan Sunda-Galuh adalah gabungan 2 kerajaan yaitu Kerajaan Sunda dengan Rajanya Prabu Susuktunggal (Sang Haliwungan) dan Kerajaan Galuh. Ibukota Kerajaan Galuh (Sekarang Ciamis) dengan Rajanya Prabu Dewa Niskala yang beribukota di Kawalu (Kawali). Sedangkan Kerajaan Sunda awalnya beribukota Sundapura. Kerajaan Sunda dan Galuh pernah 2 kali berpisah dan 2 kali bergabung kembali. Keduanya berdiri masing-masing dengan saling menghormati. Tak pernah terjadi Federasi keduanya. Perhatikan penggunaan gelar "Prabu" karena memimpin kerajaan 'kecil' dan kelak Siliwangi bergelar "Maharaja" karena kekuasaannya mencakup keseluruhan tatar Pasundan.

Pada saat 2 Kerajaan ini berssatu kembali untuk kedua kalinya (tahun 1482 M), beribukota di Pajajaran (Sekarang Bogor) di bawah pimpinana Maharaja Siliwangi, atau Sri Baduga Maharaja. Masyarakat sering menyebut "Prabu Siliwangi", sebenarnya ia harus kita sebut "Maharaja Siliwangi". Sebutan Prabu hanya untuk negara bagian atau kerajaan kecil di bawah. Namun demikian, Maharaja Hayam Wuruk dari Majapahit pun, sering kita sebut Prabu Hayam Wuruk. Jadi penyebutan Prabu tak bermaksud menurunkan tingkat kekuasaannya.

Kembali ke Kerajaan Pajajaran, apakah ada atau tidak? Pajajaran adalah nama Ibukota. Sama halnya dengan kita menuebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia beribukota Jakarta. Jadi, Kerajaan Sunda-Galuh beribukota Pajajaran. Jadi memang bisa saja kita menyebut, "Kuring urang Pajajaran" yang maknanya saya dari Kota Pajajaran dan sekitarnya. Ini bisa kita samakan dengan pernyataan "Saya Orang Jakarta" maksudnya bisa saja dari kota jakarta dan sekitarnya. Pernyataan yang disampaikan kepada orang luar wilayah itu.

Kerajaan Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di Kota Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat. Kata Pakuan berasal dari kata Pakuwuan yang berarti kota. Kerajaan ini didirikan tahun 923 M oleh Sri Jayabhupati, seperti yang disebutkan dalam Prasasti Sanghyang Tapak, kampung Pangcalikan dan Bantarmuncang, Suka Bumi Jawa Barat.

Kerajaan Sunda-Galuh (Pajajaran) juga meninggalkan sejumlah jejak peninggalan masa lalu selain naskah-naskah Babad, antara lain:
  • Prasasti Sanghyang Tapak, Sukabumi
  • Prasasti Batu Tulis, Bogor
  • Prasasti Rakyan Juru Pangambat
  • Prasasti Astanagede
  • Prasasti Horren
  • Prasasti Kawali, Ciamis
  • Tugu Perjanjian Portugis (padraõ), Kampung Tugu, Jakarta
  • Taman perburuan, yang sekarang menjadi Kebun Raya Bogor
  • Berita asing dari Tome Pires (1513) dan Pigafetta (1522)
  • Kitab cerita Kidung Sundayana dan Cerita Parahyangan
Kota Pajajaran ini sering juga disebut sebagai "Pakwan Pajajan/Pakuan pajajaran". Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk Lawanggintung sisa benteng Kuta Maneuh.

Penyebutan Nama Pajajaran sebagai nama Negara Sunda-Galuh mungkin digunakan oleh masyarakat secara informal agar memudahkan atau juga menghilang 'kisah lama' bahwa kedua kerajaan ini pernah berpisah. 

Kedua kerajaan besar ini (karena banyak kerajaan kecil di Pasundan) berasal dari kerajaan Taruma Negara sebelumnya. Wilayahnya pun masih di wilayah bekas Kerajaan Tarumanegara (Taruma Negara).

Nama Siliwangi kadang-kadang disebut juga sebagai Kerajaan Siliwangi. Mungkin maksusnya Kerajaan[-nya] Siliwangi. Siliwangi banyak dihubungkan dengan nama Tarumanegara maupun dengan nama Sunda atau nama Pajajaran. Hanya disini akan disinggung nama Pajajaran saja, karena nama Pajajaran mungkin yang paling tepat dan sangat berarti. Namun, bukan nama lainnya di abaikan. Hanya saja, Taruma disebut karena dikawasannya banyak pohon tarum. Kemudian nama Sunda pun, karena alasan masyarakatnya menggunakan bahasa Sunda. Jadi nama Taruma maupun Sunda, hanya sebutan (katelah, bahasa Sunda) karena kondisi keadaan zaman itu.


Arti kata Pajajaran
Sebagian ahli mengatakan bahwa asal-usul nama pajajaran adalah gambaran istana raja dan bangunan lainnya di kota itu berjajar. Pa-jajar-an, demikian kira-kira.

Sedangkan ada juga yang menjelaskan bahwa nama Pajajaran, lebih berkesan terhadap hasil upaya Sang Penjelajah yang melihat istana berjajar. 

Penjelasan lain ini bermaksud lebih genealogis. Menurut “orang tua” nama Pajajaran adalah nama jajaran. Makna jajaran atau jejeran (berjajarnya atau berjejernya) sesuatu, tetapi bukan bangunan istana. Ini berkaitan dengan silsilah atau genealogi. Genealogi, adalah kajian tentang keluarga dan penelusuran jalur keturunan serta sejarahnya.. Silsilah ini menggambarkan anggota keluarnya yaitu: seorang bapak, ibu dan anak. Itulah jajaran yang mengupas makna Pajajaran yang berarti genelogis. Atau dengan kata lain jajaran atau jejeran anak-cucu dan keturunannya. 

Sedang nama Siliwangi sudah sejak awal lahir sudah digunakan dan kemudian menjadi nama gelar, untuk setiap anak-cucu keturunan dari Pajajaran. Namun tidak semua anak-cucunya bisa dikatakan Siliwangi, tentunya hanya kepada anak-cucu tertentu yang pantas dan menjadi pemimpin (Kokolot, bahasa Sunda) di tiap wilayah tertentu. Penjelasan ini sepertinya sangat terbatas pada keluarga dan bangsawan istana saja. Mengaitkan nama Pajajaran sebagai berjajarnya keturunan kerajaan sepertinya kurang tepat. Pengertian berjajar adalah lateral ke samping: berjajar, sejajar dan jajaran bersifat lateral. Lateral ke samping, depan dan belakang yang sama, tidak bersifat ke atas atau ke bawah. jadi sulit kita mengatakan jejeran/jajaran anak-cucu. Anak-cucu adalah ke bawah. Kakek-Buyut ke atas. 

Ada juga mengaitkan bahwa nama Pajajaran berasal dari kata Pang-ajara-an. Maksunya pengajaran, dimana digambarkan bahwa saat itu pengajaran etika Sunda dalam Sanghyang Siksakanda ng Kaesian tercatat. Bukti Ajaran Sanghyang Siksakanda ng Karesian ada pada Kropak no 624 dan 630 yang kini tersimpan di Museum.

Baca juga: Inilah Khidupan Urang Sunda Pajajaran - Berdasarkan Sanghyang...

berdasarkan Naskah Sunda Kuno (NSK) Sanghyang siksakanda ng karesian Naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian yang di tulis pada tahun 1518 Masehi . Naskah kuno ini memberikan gambaran tantanan hidup yang didasarkan pada nilai-nilai yang berhubungan dengan kehidupan keagamaan, moral, kesejahteraan masyarakat, ilmu kesenian, dan sebagainya. 
Naskah Sanghyang Siksakandang. Kropak no 630.
Foto: .manuscript-cultures.uni-hamburg.de
Dalam naskah itu memuat pandangan hidup orang Sunda tentang etika hidup sebagai pribadi dan sebagai anggota masyarakat, bagaimana manusia Sunda bersikap terhadap dirinya, masyarakat, Tuhan, alam, dan cara memperoleh kepuasan lahir dan bathin, juga menjelaskan bahwa manusia srlama hayatnya harus mempunyai tujuan hidup yang baik.

Naskah Carita Parahyangan juga menceritakan mengenai kepercayaan umum raja-raja Sunda-Galuh adalah "sewabakti ring batara upati" dan berorientasi kepada kepercayaan asli Sunda. Selain naskah Carita Parahyangan, keberadaan agama asli Sunda pada masa lampau juga diperkuat oleh karya sastra Pantun Bogor versi "Aki Buyut Baju Rambeng" episode “Curug Si Pada Weruh.” Dalam pantun tersebut diberitakan begini:
“Saacan urang Hindi ngaraton di Kadu Hejo ogeh, karuhun urang mah geus baroga agama, anu disarebut agama Sunda tea..”
Artinya : “Sebelum orang Hindi (Hindu-India) bertahta di Kadu Hejo pun, leluhur kita telah memiliki agama, yakni yang disebut agama Sunda.”
Yang dimaksud dengan “urang Hindi” dalam pantun tersebut adalah orang Hindu dari India yang kemudian bertahta di tanah Sunda (Kadu Hejo). Bila kita menelusuri sejarah Sunda hingga masa ratusan tahun sebelum Kerajaan Sunda-Galuh ataupun Pajajaran berdiri, maka akan dijumpai Kerajaan pertama di tatar Sunda yang bernama Salakanagara. Kerajaan inilah yang dimaksud dengan Kadu Hejo dalam pantun Bogor tersebut. Naskah Wangsakerta mencatat kerajaan ini sebagai kota tertua di Pulau Jawa, bahkan di Nusantara.

Nama Kerajaan Pajajaran informal?
Dalam urursan kenegaraan, nama Kerajaan tak pernah menggunakan nama "Pajajaran" tetapi nama kerajaan Sunda. Salah satu perjanjian formal dengan Portugis. 

Khawatir peran pelabuhan Sunda Kelapa semakin lemah, raja Sunda, Sri Baduga (Prabu Siliwangi) mencari bantuan untuk menjamin kelangsungan pelabuhan utama kerajaannya itu. Pilihan jatuh ke Portugis, penguasa Malaka. Dengan demikian, pada tahun 1512 dan 1521, Sri Baduga mengutus putra mahkota, Surawisesa, ke Malaka untuk meminta Portugis menandatangani perjanjian dagang, terutama lada, serta memberi hak membangun benteng di Sunda Kelapa.

Prasasti Perjanjian Kerajaan
Sunda-Portugal
Foto: Wikipedia
Bukti penggunaan formal kerajaan Sunda pada "Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal atau Padrão." Prasasti ini berbentuk tugu batu (padrão) yang ditemukan pada tahun 1918 M di Batavia, Hindia-Belanda. Prasasti ini menandai perjanjian Kerajaan Sunda–Kerajaan Portugal yang dibuat oleh utusan dagang Portugis dari Malaka yang dipimpin Enrique Leme dan membawa barang-barang untuk "Raja Samian" (maksudnya Sanghyang, yaitu Sang Hyang Surawisesa, pangeran yang menjadi pemimpin utusan raja Sunda). Padrão ini didirikan di atas tanah yang ditunjuk sebagai tempat untuk membangun benteng dan gudang bagi orang Portugis.

Prasasti ini ditemukan kembali ketika dilakukan penggalian untuk membangun fondasi gudang di sudut Prinsenstraat (sekarang Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Kali Besar Timur I), sekarang termasuk wilayah Jakarta Barat. Padrao tersebut sekarang disimpan di Museum Nasional Republik Indonesia, sementara sebuah replikanya dipamerkan di Museum Sejarah Jakarta.


Padrao ini terbuat dari batu setinggi 165 cm. Di bagian atas prasasti ini terdapat gambar bola dunia (armillarium) dengan garis khatulistiwa dan lima garis lintang sejajar. Lambang ini sering digunakan pada masa pemerintahan Raja Manuel I dan João III dari Portugal. Di atas lambang tersebut terdapat gambar trefoil kecil, yaitu tumbuhan dengan tiga daun.



Pada baris pertama tulisan prasasti tersebut terdapat lambang salib, dan di bawahnya terdapat tulisan DSPOR yang merupakan singkatan dari Do Senhario de Portugal (penguasa Portugal). Pada kedua baris berikutnya terdapat tulisan ESFERЯa/Mo yang merupakan singkatan dari Esfera do Mundo (bola dunia) atau Espera do Mundo (harapan dunia).


Pada tahun 1522, pihak Portugis siap membentuk koalisi dengan Sunda untuk memperoleh akses perdagangan lada yang menguntungkan. Tahun tersebut bertepatan dengan diselesaikan penjelajahan dunia oleh Magellan.



Komandan benteng Malaka pada saat itu adalah Jorge de Albuquerque. Tahun itu pula dia mengirim sebuah kapal, São Sebastião, di bawah komandan Kapten Enrique Leme, ke Sunda Kalapa disertai dengan barang-barang berharga untuk dipersembahkan kepada raja Sunda. Dua sumber tertulis menggambarkan akhir dari perjanjian tersebut secara terperinci. Yang pertama adalah dokumen asli Portugis yang berasal dari tahun 1522 M yang berisi naskah perjanjian dan tandatangan para saksi, dan yang kedua adalah laporan kejadian yang disampaikan oleh João de Barros dalam bukunya "Da Asia", yang dicetak tidak lama sebelum tahun 1777/78 M.


Dalam Prasasti ini, Maharaja Siliwangi (Sri Baduga Maharaja) disebutkan berasal dari Kerajaan Sunda, BUKAN Pajajaran. Jadi Kerajaan Pajajaran yang dikenal oleh kita sekarang ini maksudnya adalah Kerajaan Sunda.

Prasasti Batutulis pada tahun 1920-an
Penyebutan Pakuan Pajajaran, terdapat pada "Prasasti Batutulis". Prasasti Batutulis terletak di Jalan Batutulis, Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. 

Kompleks Prasasti Batutulis memiliki luas 17 x 15 meter. Prasasti Batutulis dianggap terletak di situs ibu kota Pajajaran dan masih in situ, yakni masih terletak di lokasi aslinya dan menjadi nama desa lokasi situs ini. Batu Prasasti dan benda-benda lain peninggalan Kerajaan Sunda terdapat dalam komplek ini. Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dalam bahasa dan aksara Sunda Kuno. Prasasti ini berangka tahun 1455 Saka (1533 Masehi).

Prasasti Batu Tulis Berisi:
  • Wangna pun ini sakakala, prebu ratu purane pun,
  • diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana
  • di wastu diya wingaran sri baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran seri sang ratu dewata
  • pun ya nu nyusuk na pakwan
  • diva anak rahyang dewa niskala sa(ng) sida mokta dimguna tiga i(n) cu rahyang niskala-niskala wastu ka(n) cana sa(ng) sida mokta ka nusalarang
  • ya siya ni nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sa(ng)h yang talaga rena mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca pandawa e(m) ban bumi
Terjemahan bebasnya kira-kira sebagai berikut.

  • Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum
  • Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana,
  • dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
  • Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan.
  • Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang.
  • Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka "Panca Pandawa Mengemban Bumi"
Penyebutan "Ratu" bukan berarti Queen yang mengacu pada sosok perempuan/feminin. Ratu diambil dari kata Datu, yang berarti Raja. Keraton, diambil dari kata Ke-ratu-an .

Samida, merupakan lokasi hutan yang sekarang dipakai sebagai Kebun Raya Bogor. Sedangkan 'Panca Pandawa Mengemban Bumi’ adalah sangkala yang artinya adalah 5 5 4 1 atau kalau dibalik adalah 1455 Saka (1533 Masehi).

Persis di depan batu bertulis itu ada tiga onggok batu kecil-kecil. Di barisan pertama, persis di depan batu tulis, ada lobang berbentuk segitiga. Di tengah, berbentuk dua telapak kaki manusia. Dan di barisan selanjutnya tidak terdapat bekas apa-apa.

Di samping batu bertulis, ada batu berbentuk panjang lonjong. Ini disebut juga lingga yoni. Perlambang laki-laki dan perempuan. Atau simbol kemakmuran dan kesuburan,

Dimana Lokasi Istana Pajajaran?
Tidak ada yang tahu pasti di mana letak persis Istana Kerajaan Pajajaran. Bahkan sejumlah arkeolog dari mancanegara sekalipun kehilangan jejak, ketika mengumpulkan bukti-bukti sejarah guna mencari tahu keberadaan satu-satunya kerajaan di pulau Jawa yang kabarnya tidak takluk kepada Majapahit itu.

Banyak versi ihwal raibnya istana yang diperintah oleh Prabu Siliwangi. Ada yang mengatakan istana Pajajaran dibumihanguskan oleh bala tentara dari Banten yang dipimpin oleh Syekh Maulana Yusuf ketika menyerang Pajajaran pada tahun 1579 Masehi.

Alasannya politis. Yakni mengakhiri masa Pajajaran dan menumpas agama Sunda Wiwitan, mengingat Syeikh Maulana Yusuf menyerang Pajajaran dengan misi meluaskan pengaruh Islam.

Pembuktian cerita versi ini dikuatkan dengan ditemukannya Palangka Sriman Sriwacana yang tak lain adalah singgasana raja Pajajaran di depan bekas keraton Surasowan di Banten.
Batu Palangka Sriman Sriwacana
atau Watu Gidilang Sumber: bogorheritage.net

Sejarah merisalahkan, bala tentara Islam yang memenangkan peperangan, memboyong Palangka Sriman Sriwacana dari Pakuan, Ibu Kota Pajajaran (sekarang Bogor) ke Surasowan di Banten.

Jika ingin melihatnya, batu berukuran 200x160x20 cm itu letaknya tidak jauh dari Masjid Agung Banten. Orang Banten menyebutnya Watu Gigilang, yang berarti batu mengkilat atau batu berseri. Secara harafiah gigilang sama artinya dengan kata Sriman.

Dalam Carita Parahiyangan diberitakan sebagai berikut:
"Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata."
Artinya:
"Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata."
Kata palangka secara umum berarti tempat duduk (bahasa Sunda, pangcalikan), yang secara kontekstual bagi kerajaan berarti tahta. Dalam hal ini adalah tahta penobatannya itu tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas palangka itulah si (calon) raja diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada di kabuyutan kerajaan, tidak di dalam istana. Sesuai dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap.

Batu tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut batu pangcalikan atau batu ranjang (bila kebetulan dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa). Batu pangcalikan bisa ditemukan, misalnya di makam kuno dekat Situ Sangiang di Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh di Ciamis. Sementara batu ranjang dengan kaki berukir dapat ditemukan di Desa Batu Ranjang, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang (pada petakan sawah yang terjepit pohon).

Berakhirnya zaman Pajajaran pada 1579 Masehi ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa diboyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu mengharuskan demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf mengklaim merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang "sah" karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja sementara di sisi lain seluruh atribut dan perangkat kerajaan secara resmi diserahkan kepada Kerajaan Sumedang Larang melalui empat Kandaga Lante.

Mahkota Binokasih, Mahkota Kerajaan Pajajaran yang diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun disimpan di Museum Prabu Geusan Ulun oleh para Kandaga Lante Kerajaan Pajajaran sebagai legitimasi untuk meneruskan trah Siliwangi

Sumber lain menyebutkan, Istana Kerajaan Pajajaran mengirab, menghilang, nga-hyang atau dihilangkan dari pandangan mata manusia biasa ketika perang dengan Banten tersebut. Cerita versi ini berkembang dari mulut ke mulut di tataran rakyat Sunda.

Uga Wangsit Siliwangi

Prabu Siliwangi berpesan pada warga Pajajaran yang ikut mundur pada waktu beliau sebelum menghilang:
“Perjalanan kita hanya sampai disini hari ini, walaupun kalian semua setia padaku! Tapi aku tidak boleh membawa kalian dalam masalah ini, membuat kalian susah, ikut merasakan miskin dan lapar. Kalian boleh memilih untuk hidup kedepan nanti, agar besok lusa, kalian hidup senang kaya raya dan bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran saat ini tapi Pajajaran yang baru yang berdiri oleh perjalanan waktu! Pilih! aku tidak akan melarang, sebab untukku, tidak pantas jadi raja yang rakyatnya lapar dan miskin.”

Kesimpulan
Nama Kerajaan Pajajaran, digunakan sebagai pembeda dari Kerajaan Sunda-Galuh ketika sebagian warga Sunda pindah agama ke Islam dan sebagian wilayahnya telah memerdekakan diri menjadi Kerajaan otonom yaitu: Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Banten.

Jadi saat terakhir Pajajaran dikenal sebagian 'sisa" kebesaran kerajaan Sunda-Galuh sebelum runtag atau runtuh tahun 1579 M

Dan sejak saat itu hingga kini ingatan warga Sunda lebih emosional dengan nama Kerajaan Pajajaran.

Referensi:
  1. Ali, R. Moh. Et al. 1975. Sejarah Jawa Barat; Pandangan Filsafat Sejarah. Bandung: Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Provinsi Jawa Barat. 
  2. Asmar, Teguh et al. 1975. Sejarah Jawa Barat dari Masa Pra-Sejarah hingga Masa Penyebaran Agama Islam. Bandung: Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Provinsi Jawa Barat.
  3. Dana, Sasmita. 1975. “Latar Belakang Sosial sejarah Kuno Jawa Barat dan Hubungan antara Kerajaan Galuh dengan Pajajaran”, dalam Asmar, Teguh et al. 1975. Sejarah Jawa Barat dari Masa Pra-Sejarah hingga Masa Penyebaran Agama Islam. Bandung: Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Provinsi Jawa Barat; hlm 40 – 81.
  4. …….. 1983. Sejarah Bogor. Bogor: Pemerintah Daerah Kotamadya DT II Bogor.
  5. …….. 2003. Nyukcruk Sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi. Bandung: Girimukti.
  6. …….. 2006. “Ya nu Nyusuk na Pakwan”, dalam Mencari Gerbang Pakuan dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda; hlm. 11 – 41.
  7. …….. 2006. “Mencari ‘Gerbang Pakuan’”, dalam Mencari Gerbang Pakuan dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda; hlm. 91 – 123.
  8. Darsa, Undang A. dan Edi S. Ekadjati. 2003. “Fragmen Carita Parahyangan dan Carita Parahyangan”, dalam Tulak Bala; Sistim Pertahanan Tradisional Masyarakat Sunda dan Kajian lainnya megenai Budaya Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda; hlm. 173 – 208.
  9. Darsa, Undang A. 2011. “Prabu Siliwangi Ada”, Pikiran Rakyat, 26 Maret 2011, hlm. 32.
  10. Iskandar, Yoseph. 2005. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa). Bandung: Geger Sunten.
  11. Lubis, Nina Herlina et al. 2003. Sejarah Tatar Sunda. Jilid I. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.
  12. …….. 1991. “Prabu Siliwangi sebagai Leluhur Elit Politik Priangan”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuan Pajajaran, Bogor 11 – 13 November.
  13. Noorduyn, J. dan A. Teeuw. 2009. Tiga Pesona Sunda Kuna. Diindonesiakan oleh Hawe Setiawan. Jakarta: Pustaka Jaya.
  14. Permana, Aan Merdeka. 2011. “Siapa Bilang Pajajaran Fiktif Belaka”, dalam Pikiran Rakyat, 12 Februari; hlm 29.
  15. Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (ed.). 1993. Sejaran Nasional Indonesia II. Edisi ke-4. Cetakan ke-8. Jakarta: Balai Pustaka.
  16. Purwanto, Bambang. 2011. “Visual Masa Lalu dan Tradisi Historiografis di Tatar Sunda; sebuah Kajian Awal”, Makalah disampaikan pada seminar internasional “Reformulasi dan Transformasi Kebudayaan Sunda”, diselenggarakan oleh Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Jatinangor 9 – 10 Februati; hlm. 1 – 9.
  17. Romli HM, H. Usep. 2011. “Mapay Raratan Pajajaran”, dalam Mangle, No. 2311, 24 Februari – 2 Maret, hlm. 8 – 9.
  18. Rosidi, Ayip. 2011. Urang Sunda di Lingkungan Indonesia; Biantara Panampian Gelar Honoris Causa dina Widang Elmu Budaya Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. Bandung: Kiblat Utama.
  19. Sumadio, Bambang (ed.). 1993. “Jaman Kuna”, dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejaran Nasional Indonesia II. Edisi ke-4. Cetakan ke-8. Jakarta: Balai Pustaka.


>> KEMBALI KE ATAS
.
Baca Juga

Sponsor