Cari

Biografi Singkat KH. Abdul Halim Majalengka (1887-1962 M)

K.H. Abdul Halim
Foto: wikipedia
[Historiana] - KH. Abdul Halim adalah salah seorang ulama besar yang hidup pada abad ke-20. Beliau termasuk salah seorang tokoh pergerakan nasional, organisatoris, prinsipil (dalam akidah) tetapi luwes dalam mengejawantahkan nilai-nilai luhur Islam, dan terkenal tokoh yang toleran –apalagi dalam menghadapi perbedaan pendapat antarulama tardisional dan pembaharu.

Abdul Halim dilahirkan tanggal 4 Syawal 1304 H (26 Juni 1887) di Desa Ciborelang, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Ayahnya, KH. Muhammad Iskandar, dari Banten yang menjadi Penghulu di Jatiwangi, kemudian mempersunting gadis setempat, Siti Mutmainah, yang kemudian dikaruniai tujuh anak dengan Abdul Halim sebagai anak bungsu.

ebagai anak yang dillahirkan di lingkungan keluarga santri, Abdul Halim mendapatkan pendidikan agama sejak dini, baik dari keluarganya sendiri maupun masyarakat sekitar. Ayahnya meninggal dunia saat Abdul Halim masih kecil sehingga ia diasuh oleh Ibu dan kakak-kakaknya.
Sejak kecil, Abdul Halim termasuk orang yang gemar belajar dan cinta terhadap Ilmu. Beliau banyak belajar ilmu-ilmu keislaman maupun ilmu-ilmu kemasyarakatan. Ketika berumur 10 tahun, Abdul Halim belajar al-Quran dan al-Hadits kepada KH. Anwar, seorang ulama terkemuka dari Ranji Wetan, Majalengka dan merupakan guru pertamanya diluar keluarganya sendiri. Abdu Halim sebagai penggemar ilmu, tidak mau ketinggalan mempelajari disiplin ilmu lainnya, tidak pandang ia harus belajar kepada orang sealiran ataukah tidak –termasuk orang-orang diluar Islam– asalkan dapat bermanfaat untuk perjuangannya kelak. Semangat ini terlihat ketika beliau belajar bahasa Belanda dan huruf latin Van Hoeven, seorang pendeta dan missionaris Kristen di Cideres, Majalengka.

Selanjutnya, Abdul Halim yang mulai menginjak usia remaja, belajar di berbagai Pondok Pesantren. Diantaranya: Pesantren Lontangjaya Penjalin Leuwimunding Majalengka asuhan KH. Abdullah, Pesantren Bobos Sumber Cirebon asuhan KH. Sujak, Pesantren Ciwedus Timbang Cilimus Kuningan asuhan KH. Ahmad Shobari, Pesantren Kedungwangi Kenayangan Pekalongan asuhan KH. Agus.

Setelah menginjak usia 21 tahun, Abdul Halim menikah dengan Siti Murbiyah putri KH. Ilyas (Penghulu Landraad Majalengka) yang kemudian hari dikaruniai 7 orang anak. Walaupun sudah berkeluarga, Abdul Halim tidak lantas berhenti belajar. Sebagai pecinta ilmu, ia meneruskan dan memperdalam ilmu-ilmu keislaman di tanah kelahiran Islam, yaitu Mekah. Di Tanah Suci, ia berguru kepada ulama-ulama besar, satu diantaranya ialah Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.

Sejarah mencatat bahwa Syeikh Ahhmad Khatib al-Minangkabawi adalah salah seorang ulama al-Jawi (Nusantara) yang menetap di Mekah, bahkan menjadi ulama besar dan Imam Masjid al-Haram pada masa hidupnya. Syeikh dari Minangkabau inilah guru dari ulama-ulama besar Indonesia abad ke-20 yang banyak berkecimpung dalam perjuangan bangsa Indonesia dan pergerakan nasional, seperti Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, KH, Wahab Hasbullah, KH. Mas Mansyur, KH. Bisri Syansuri, Syeikh sulaiman ar-Rasuli, Syeikh Mustafa Husein Nasution, KH. Sirajuddin Abbas, Syeikh Khatib Ali, KH. Agus salim, dan banyak lagi lainnya. Bisa dikatakan bahwa Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi adalah guru para nasionalis Islam Indonesia.

Di Tanah Suci Mekah, KH. Abdul Halim terkenal sangat toleran kepada teman-temannya, baik dari kalangan pembaharu maupun kalangan tradisionalis. Hal itu di buktikan bahwa KH. Abdul Halim banyak bergaul dengan KH. Mas Mansyur (tokoh Muhammadiyah) dan KH. Wahab Hasbullah (tokoh Nahdlatul Ulama) hingga hubungan mereka bertiga menjadi sangat dekat dan akrab –walaupun kedua sahabat karib beliau berbeda tempat pengabdian. Selain itu juga ditunjang dengan pembacaan beliau yang beraneka ragam terhadap ilmu-ilmu keislaman dan sosial-kemasyarakatan.

Setelah tiga tahun belajar di Tanah Suci Mekah, KH. Abdul Halim kembali ke Tanah Air. Beliau mendirikan lembaga pendidikan Majlis Ilmi di Majalengka (1911), untuk mendidik putra-putra daerah. Setahun kemudian, setelah Majlis Ilmi berkembang, beliau mendirikan sebuah oerganisasi bernama Hayatul Qulub, dimana Majlis Ilmi merupakan bagian di dalamnya.

Hayatul Qulub yang didirikan tahun 1912 itu bergerak dalam lapangan ppendidikan dan perekonomian. KH Abdul Halim berusaha memajukan tingkat pendidikan dan perekonomian –terutama sektor perdagangan– masyarakat. Sesuai dengan bidang usahanya maka anggota organisasi ini bukan saja dari kalangan guru, kiyai dan santri, tetapi para petani dan pedagang.

Sebagai organisasi yang bergerak di bidang perdagangan tentu saja tidak akan lepas dari persaingan dagang, khususnya dengan para saudagar pendatang. Keadaan lebih sulit lagi ketika pemerintah Hindia-Belanda melalui penguasa setempat banyak membela kepentingan-kepentingan para pedagang dari Cina yang diberi status hukum lebih kuat dibanding pedagang pribumi. Persaingan ini memuncak ketika terjadi kerusuhan di Majalengka, dimana toko-toko milik para pedagang Cina diserang oleh sebagian oknum asal pribumi (1915). Pemerintah Hindia-Belanda menuding Hayatul Qulub pimpinan KH. Abdul Halim sebagai biang keladi kerusuhan. Akibatnya, organisasi Hayatul Qulub dibubarkan oleh Pemerintah Hindia-Belanda dan dilarang meneruskan kegiatannya. Untuk menyelamatkan kepentingan perjuangan Islam, KH. Abdul Halim mengambil langkah kembali ke Majlis Ilmi dalam membina kader-kadernya, sambil menunggu perkembangan keadaan.

Ketika keadaan mulai membaik, KH. Abdul Halim mendirikan lembaga pendidikan yang lebih baik, diatur dengan sistem klasikal dan koedukasi, sebagai metamorfosa dari Majlis Ilmi. Lembaga yang diberi nama Jamiyyah al-I’anah al-Muta’allimin ini secara resmi berdiri pada 16 Mei 1916 M. Setahun kemudian, dengan dukungan HOS Cokroaminoto, lembaga tersebut dikembangkan dan berganti nama menjadi Persyarikatan Ulama, yang kemudian dikenal dengan PUI (Persyarikatan Ulama Indonesia).

Jami’iyat I’anatul Al-Muta’allamin

Pada tanggal 16 Mei 1916, ditetapkan sebagai tempat pembelajaran (Madrasah) yang bernama Jami’iyat I’anatul Al-Muta’allamin. Pada awal perkembangannya, madrasah yang dikelola oleh Jami’iyat I’anatul Al-
Muta’allamin diasuh oleh enam orang guru, yakni KH. Abdul Halim, Mu’allim Soleh (kelak dikenal dengan nama KH. Soleh Solahudin), Mu’allim Asj’ari, Mu’allim Bunjamin, Mu’allim Abhari, dan Abdurrahman. Mereka bergelar Mu’allim yang berarti pemilik ilmu atau disebut juga seorang pengajar.

Jami’iyat I’anatul Al-Muta’allamin, pada awalnya mendapat sambutan yang amat baik dari guru-guru di Majalengka. Namun kemudian berubah menjadi tidak menyukai. Ketidaksukaan mereka disebabkan oleh keputusan KH. Abdul Halim yang memasukkan sistem kelas ke dalam sistem pendidikan. Memang pada waktu itu, bagi kalangan tradisional, sistem kelas ditolak sebagai bagian dari sistem pendidikan di pesantren, karena dipandang sebagai sesuatu yang berasal dari kalangan non muslim. Sehubungan dengan pandangan itu, sekolah-sekolah formal yang menggunakan sistem kelas dipandang sebagai sekolah kafir dan mereka
menentang dengan sistem itu masuk ke pesantren.

Dengan berbekal semangat juang dan tekat yang kuat, KH. Abdul Halim terus berusaha mengembangkan sistem pendidikan yang dikelola oleh Jami’iyat I’anatul Al-Muta’allamin. Sungguhpun demikian KH. Abdul Halim dengan mendapat bantuan dari para penghulu dan juga oleh karena kemunduran yang dialami oleh
pesantren tradisional, dapat mengubah keberadaan Jami’iyatul I’anatul Al-Muta’allamin pada akhirnya diterima secara baik oleh guru-guru di Majalengka.

Untuk memperbaiki mutu sekolahnya, KH. Abdul Halim berhubungan dengan Jamiat Khair dan Al-Irsyad di Jakarta. KH. Abdul Halim juga mewajibkan muridmuridnya pada tingkat yang lebih tinggi untuk memahami bahasa Arab dan memang bahasa ini menjadi bahasa perantara pada kelas-kelas lanjutan.

Persyarikatan Ulama Indonesia mempunyai tujuan pokok, antara lain: A) Memajukan dan menyiarkan pengetahuan dan pengajaran agama Islam. B) Memajukan perihal penghidupan yang didasarkan atas hukum Islam. C) Memelihara tali percintaan dan persaudaraan yang kuat dan membangunkan hati supaya suka tolong-menolong antara satu dengan lainnya.

Untuk mewujudkan cita-citanya itu PUI berusaha mendirikan dan memelihara sekolah, menerbitkan, menyiarkan dan menjual buku-buku (kitab-kitab), brosur, surat kabar dan majalah yang berisi bernafaskan keislaman, meningkatkan pertanian dan perdagangan serta perekonomian lainnya, mendidik pemuda yang sebagai kader muslim masa mendatang, serta bekerja sama dengan perkumpulan-perkumpulan muslim lainnya demi memajukan Islam.

Darul Uluum PUI Majalengka
Persyarikatan Ulama Islam yang berdiri 1917 itu, sejak 1924 mengalami perkembangan yang ditandai dengan berdirinya cabang-cabang PUI di berbagai daerah di Jawa dan Madura, dan kemudian semenjak 1937 meluas ke daerah-daerah lain di Indonesia. Walau organisasi ini tidak sebesar NU dan Muhammadiyah, tetapi peran yang diambilnya tidak bisa dikatakan kecil bahkan bisa dikatakan bahwa PUI seakan-akan merupakan perpaduan antara kedua organisasi tersebut. KH. Abdul Halim dengan PUI-nya menganut madzhab Syafi’i (sebagaimana NU yang mengikuti salah satu dari Madzhab Empat) tetapi juga menerima dan membuka luas akan adanya pembaharuan (sebagaimana lazim dikalangan Muhammadiyah).

Dalam dunia politik KH. Abdul Halim menjadi anggota Sarekat Islam yang kemudian menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Ulama ini banyak berhubungan dengan HOS Cokroaminoto dan juga tokoh-tokoh Sarekat Islam lainnya. Sikapnya sangat moderat dan penuh toleransi, terbukti ketika DR. Sukiman dipecat dari PSII karena kemelut yang terjadi di internal partai, KH. Abdul Halim tidak menyetujui pemecatan tersebut dan tetap menghendaki adanya penyelesaian masalah secara musyawarah.

KH. Abdul Halim dalam mengelola pendidikannya banyak mengambil rujukan dari tokoh-tokoh lain, banyak mengambil nasehat dan contoh yang baik, tidak pandang dari siapa asalnya. Misalnya, dia mencontoh Jam’iyah al-Khairat dan al-Irsyad di Jakarta, bahkan dari Perguruan Tinggi Santiniketan di India, beliau juga banyak mengambil contoh dari Ki Hajar Dewantara dan Muhammad Syafe’i yang keduanya merupakan tokoh pendidikan nasional. KH. Abdul Halim menempatkan murid-muridnya dalam asrama pesantren yang diberi nama Santi Asromo (Asrama Damai) yang didirikan bulan April 1932 di kaki Gunung Ciremai, Pasir Ayu Sukahaji Majalengka.

Disamping mendirikan dan memimpin lembaga pendidikan, Persyarikatan Ulama Indonesia, KH. Abdu Halim Majalengka juga menerbitkan beberapa majalah, antara lain: Suara Persyarikatan Oelama, Suara Islam, asy-Syura, Miftah as-Sa’adah, Pengetahuan Islam, Berita PO (Persyarikatan Oelama), al-Mu’allimin, Pemimpin Pemuda dan Petunjuk Jalan Kebenaran. Banyaknya judul majalah ini menunjukkan jalannya pengelolaan yang kurang mulus, apalagi kesuluruhan majalah tersebut umurnya hanya 11 tahun, yang terbit 1930-1941 secara bergantian judul ataupun secara bersamaan. Hal ini dapat dimaklumi karena keadaan saat itu belum semaju sekarang. Walau demikian, upaya ini merupakan langkah progresif yang diambil oleh KH. Abdul Halim beserta kader-kadernya.

Sebagai salah seorang tokoh pergerakan nasional dan pemimpin organisasi Persyarikatan Ulama Indonesia, wajar apabila tokoh ini memiliki pengaruh cukup besar. Beliau termasuk salah seorang dari sekian banyak tokoh Indonesia yang ikut membahas rencana pembentukkan negara Indonesia pada masa akhir penjajahan Jepang. KH. Abdul Halim termasuk anggota dari Dokuritsu Tyunbi Tyoo Sakai alias Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang diresmikan 29 Mei 1945 bersama KH. Wahid Hasyim, KH. Masykur, KH. Mas Mansyur, KH. Abdul Kahar Muzakir, KH. Agus salim dan beberapa tokoh lainnya.

KH. Abdul Halim terkenal sebagai seorang ulama yang berpendirian tegas, tetapi sikapnya begitu toleran dengan masyarakat terlebih di kalangan Ulama. Beliau adalah pengikut madzhab Syafi’i, tetapi menghormati rekan-rekannya yang tidak bersedia ikut madzhab atau dikenal dengan kelompok reformis (pembaharu). Ia tidak segan-segan menerima ilmu yang datang dari orang lain, walau tidak sealiran dengannya, begitu pula dalam pembaharuan pendidikan dan pesantren yang di pimpinnya.

Ulama besar asal Majalengka Jawa Barat ini mengabdikan dirinya kepada Allah, mendarmabaktikan dirinya kepada umat, bangsa dan negara, dan khususnya dalam pengembangan pendidikan Islam tiada henti-hentinya sampai akhir hayat. KH. Abdul Halim wafat di Majalengka pada 7 Mei 1962 dalam usia 75 tahun, namun perjuangannya masih dilanjutkan oleh putra-putra dan murid-muridnya hingga kini.

Sumber

  1. Dartum Sukarsa, Potret KH. Abdul Halim Dalam Eksistensi Nasionalisme dan Perbaikan Umat 1887-1962 (Bandung: PT Sarana Panca Karya Nusa, 2007), 75.
  2. Idris Hariri, Kenang-kenangan Madrasah Mualimat Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah PUI Majalengka (Majalengka: Wanita PUI, 1983).
  3. digilib.uinsby.ac.id
Baca Juga

Sponsor