Meriam cetbang Majapahit yang tersimpan di The Metropolitan Museum of Art di New York, Amerika Serikat. |
Cetbang (Cet-Bang) merupakan senjata sejenis meriam yang diproduksi dan digunakan pada masa kerajaan Majapahit (1293–1527 M) dan kerajaan-kerajaan di Nusantara setelahnya. Berbeda dengan meriam eropa dan timur tengah pada umumnya, cetbang terbuat dari perunggu dan memiliki kamar dan tabung peluru di bagian belakang.
Cetbang diperkirakan masuk ke Majapahit pada saat invasi tentara Kubilai Khan dari Tiongkok di bawah pimpinan Ike Mese yang bekerjasama dengan Raden Wijaya saat menggulingkan Kertanagara pada tahun 1293.
Diceritakan bahwa dalam sebuah peperangan, tentara Demak yang terdiri dari orang-orang Giri mengalami kekalahan kerana tidak mampu menghadapi tentara Majapahit yang menggunakan bedhil (senapan) dan mimis (peluru). Hal tersebut diungkapkan sebagai berikut :
… wadya Majapahit ambedili, dene wadya Giri pada pating jengkelang ora kelar nadhahi tibaning mimis, …Dari kalimat di atas, sulit dipahami bahwa tentara Majapahit telah mengenal senjata api berupa senapan.
Armada laut Majapahit yang dipersenjatai Cetbang ini sangat disegani oleh kawasan Asia. Terdiri dari beberapa ukuran (1 meter hingga 3 meter), menggunakan mesiu jenis low explosive berdaya bakar tinggi. Hal ini beda dengan mesiu yang ditemukan China yang high explosive berdaya dorong tinggi. Sempat menggetarkan armada laut Spanyol dan Portugis di Malaka, karena mereka tidak mengira ada bangsa di belahan timur (yang dianggap primitif) sudah menggunakan senjata api (meriam dan senapan).
Dikemudian hari jenis meriam ini kalah jauh dengan meriam eropa (yang lebih baik kualitas materialnya dan mampu melontarkan proyektil lebih jauh karena memakai mesiu China), tetapi tetap disegani karena bentuknya yang kecil dan berdaya bakar tinggi mampu dibawa bergerak cepat.
Kerajaan Majapahit diperkirakan mendominasi nusantara karena keahlian dan teknologi unik menempa perunggu serta keahlian produksi massal melalui industri rumahan yang digabungkan ke gudang persenjataan utama. Kerajaan Majapahit juga mempelopori pembuatan dan penggunaan senjata api secara massal sehingga menjadi bagian umum dari peperangan. Penggunaan meriam umum digunakan oleh armada laut kerajaan Majapahit dan juga bajak laut serta kerajaan pesaing di Nusantara.
Cetbang produk Rumahan?
Senjata-senjata Majapahit termasuk Cetbang diproduksi rumahan? demikian dituliskan wikipedia. Menurut Penulis, bila dibangdingkan dengan sejarah persenjataan Kerajaan Pajajaran menurut "Naskah Mertasinga" bahwa ketika menyerang Cirebon menggunakan "Bedhil" adalah cetbang. Istilah Bedhil juga digunakan oleh kerajaan Brunesi Darussalam untuk menyebut Cetbang. Bedhil menurut Sejarawan Kerajaan Brunei adalah Senjata portable yang mudah dibawa-bawa.
Cetbang atau bedhil yang digunakan kerajaan Pajajaran diproduksi bukan produk rumahan (Semacam home Industry). Tidak. Senjata api yang disebut Bedhil di Kerajaan Pajajaran diproduksi khusus di wilayah yang sangat dirahasiakan, yaitu Kandangwesi (kini Bungbulang, Garut). Kandangwesi bisa diibaratkan sebagai "PIDAD-nya" Kerajaan Pajajaran. Penulis juga memprediksikan bahwa Majapahit memproduksi senjata/bedhil/cetbang di daerah khusus. Daerah khusus secara umum di dalam kesejarahan Nusantara dan Melayu di sebut Pandai Besi (Panday Wesi).
Menurut Viva.co.id, pusat produksi senjata Cetbang Majapahit berada di Blambangan. Setiap kapal perang Majapahit bersenjatakan meriam Jawa yang disebut cetbang Majapahit. Pandai besi yang mengecor meriam itu berada di Blambangan. Pada prasasti Sekar disebutkan Cetbang diproduksi di Rajekwesi, Bojonegoro, sedangkan mesiu utamanya diproduksi di Swatantra Biluluk.
Cetbang Majapahit adalah karya penemuan Mahapatih Gajahmada yang konon pernah diasuh tentara Mongol atau Tartar yang menyerang kerajaan Singosari dengan kekuatan 1.000 kapal.
Semua jenis kapal perang Majapahit, mulai kapal perbekalan hingga kapal bendera adalah kreasi jenius dari Mpu Nala yang sekaligus seorang laksamana laut yang andal. Nala menciptakan kapal-kapal dari sejenis kayu raksasa yang hanya tumbuh di sebuah pulau yang dirahasiakan. Pohon raksasa dan cocok untuk dibuat kapal itulah yang membuat kapal-kapal Majapahit cukup besar ukurannya di masa itu.
Karena senjata bukanlah produk "biasa", sudah barang tentu tidak dapat diproduksi begitu saja secara rumahan. Jadi Bukan produksi rumahan.
Cetbang Pasca-Majapahit
Ketika memudarnya kekuasaan Majapahit, banyak dari ahli meriam perunggu yang tidak puas dengan kondisi di kerajaan di Jawa yang lari ke Sumatra, Semenanjung Malaya (Malaysia dan Brunei Darussalam) dan kepulauan Filipina. Hal ini berakibat meluasnya penggunaan meriam Cetbang. Terutama pada kapal dagang untuk perlindungan dari bajak laut, terutama di Selat Makassar.
Menurut catatan Portugis yang datang ke Malaka pada abad ke-16, telah terdapat perkampungan besar dari pedagang Jawa yang diketuai oleh seorang Kepala Kampung. Orang-orang Jawa di Malaka juga membuat meriam sendiri secara swadaya, dimana meriam pada saat itu sama bergunanya dengan layar pada kapal dagang. Meriam Cetbang Majapahit tetap digunakan dan dilakukan improvisasi pada zaman Kesultanan Demak, terutama pada invasi Kerajaan Demak ke Malaka. Bahan baku besi untuk pembuatan meriam jawa tersebut diimpor dari daerah Khurasan di Persia utara, terkenal dengan sebutan wesi kurasani.
Pada masa setelah Majapahit, meriam turunan cetbang di nusantara (terutama di daerah Sumatra dan Malaya) umumnya terbagi dalam dua tipe, yaitu :
Lela
Meriam Lela berukuran lebih kecil daripada meriam Eropa, namun modelnya menarik. Banyak digunakan di kesultanan-kesultanan Melayu baik di semenanjung Malaya, Sumatra maupun Kalimantan. Meriam Lela tersebut digunakan di atas kapal-kapal dagang atau pun kapal perang kerajaan untuk menghalau bajak laut dan juga dalam perang maritim. Meriam lela juga digunakan dan dibunyikan pada saat upacara, misalnya dalam pengangkatan seorang raja, menerima tamu penting, melamar calon pengantin, dan menghormati kematian orang terpandang.
Rentaka
Adalah istilah bahasa Melayu untuk jenis lela yang berukuran kecil, berlaras panjang dan terbuat dari besi. Istilah ini untuk membedakan dengan lela, versi ukuran normalnya. Senjata ini banyak digunakan pada abad ke-16 di Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Rentaka adalah meriam kecil yang berlubang laras halus (smoothbore) dan diisi dari lubang moncong laras (muzzle loading).
Cetbang di Brunei Darussalam
Semua pengetahuan dari masa lalu, pengetahuan tentang logam hilang dan hanya ada sebuah nama yang tersisa, Kampung Pandai Besi (Desa dengan pengetahuan tentang logam). Demikian situs SilatSuffian mengupas tentang teknologi senjata api berasal dari Jawa. Istilah Kampung Pandai Besi ada kesamaan dengan istilah di Pulau Jawa. Di Brunei Darussalam, Cetbang ini disebut "Bedhil" atau "Canon Bruneri"
"Bedhil" atau Canon Brunei memainkan peran penting dalam sejarah Brunei. Mereka digunakan sebagai pertahanan utama Brunei dan sejumlah besar diposisikan di mulut Sungai Brunei dan ditempatkan di sana sampai Inggris tiba di Brunei pada tahun 1846.
Beberapa meriam terkenal diberi nama, seperti "Si Tunggal" dan Si Dewa; Keduanya diambil oleh Suluks selama perang sipil Brunei dan kemudian dibawa ke Manila. Meriam lain yang terkenal selama masa pemerintahan Sultan Bolkiah adalah Si Gantar Alam, yang digunakan selama serangan di Luzon dan Manila. Nama meriam saja menunjukkan skala kekuatan Brunei pada masanya.
Teknologi pengolahan logam telah ada selama berabad-abad di Brunei. Tahun1225, seorang pejabat China yang berkunjung, Chau Ju Kua, menemukan bahwa orang-orang Brune telah membawa pedang dan baju besi logam yang terbuat dari perunggu saat menghadiri pemakaman. Dikatakan bahwa pada era Sultan Bolkiah, Sultan kelima, 40 ahli kerajinan logam Jawa telah dibawa kembali untuk mengajar orang-orang brunei keahlian pengolahan Logam.
Referensi:
1. Wikipedia.org
2. SilatSufian.net
3. southeastasianarchaeology.com
4. viva.co.id