Pengantar
Dalam Abad ke-14 menurut uraian kitab Pararaton terjadi tragedi Pasunda-Bubat, yaitu peristiwa rombongan Raja Sunda, permaisuri, puteri raja, dan para pengiring raja tewas terbunuh di tanah lapang Bubat1 yang terletak di utara kota Majapahit. Kedatangan rombongan raja Sunda tersebut sebenarnya hendak mengantarkan puterinya untuk menjadi mempelai raja Majapahit yang masih remaja kala itu, yaitu Hayam Wuruk. Akan tetapi karena kesalahpahaman dan keterlanjuran kedatangan sang Raja Sunda ke Majapahit, tragedi itu tidak dapat dicegah lagi.Mengenai detail dari peristiwa Pasunda-Bubat telah banyak dibincangkan dalam karya ilmiah hasil kajian para sarjana berdasarkan data yang tersedia, tidak hanya berdasarkan pada uraian kitab Pararaton melainkan juga merujuk pada uraian kitab Kidung Sunda dan Kidung Sundayana yang digubah pada masa yang jauh dari peristiwanya, sehingga banyak bumbu yang menyertainya. Kedua gubahan kidung tersebut cenderung memberi simpati kepada pihak Sunda yang telah menjadi korban dari peristiwa yang tiada diharapkan itu (Zoetmulder 1985: 532). Dewasa ini telah banyak diedarkan novel fiksi yang bertemakan tragedi tersebut dengan bumbu penyedap yang mampu mengharu-biru perasaan pembacanya, semakin manambah runyam dendam yang tidak perlu. Masyarakat ilmiah dan awam dalam menyikapi peristiwa sejarah Pasundan-Bubat terbagi ke dalam 3 kondisi, sebagai berikut:
- Menyatakan bahwa Pasunda-Bubat tidak pernah terjadi, hanya karangan sarjana-sarjana Belanda saja, sisipan ke dalam naskah kuno, atau gubahan baru. Hal itu dapat saja terjadi apabila ditemukan satu sumber naskah, namun jika banyak sumber yang menguraikan, menyebut atau membuat cerita metaforis, artinya Pasundan-Bubat tidak dapat ditepikan atau diabaikan.
- Menyatakan memang pernah terjadi dan harus dipercaya karena ada sumber tertulis yang menyebutkannya, hanya saja pandangan ini kemudian semakin “menggoreng” tragedi Pasundan Bubat dengan imajinasi sendiri dan fiksi tanpa didasarkan kepada sumber sejarah yang valid dan otentik. Buku-buku fiksi jenis tersebut yang celakanya banyak dipercaya oleh masyarakat luas.
- Menyatakan Pasundan-Bubat sebagai peristiwa sejarah karena ada sejumlah sumber sejarah yang tidak dapat dibantah, namun harus disikapi sebagai peristiwa sejarah yang dapat dikaji. Peristiwa itu telah lama berlalu oleh karena itu dalam telaah diperlukan sejumlah data (jika ada) atau tafsir baru secara netral dan tetap bertumpu pada data yang ada, prinsip yang diacu adalah tanpa data jangan bicara.
- Adanya tragedi Pasundan-Bubat yang menurut kitab Pararaton terjadi dalam masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1351—1389 M), tepatnya dalam tahun 1279 Saka (1357 M) (Hardjowardojo 1965: 53; Padmapuspita 1966: 39; Kriswanto 2009: 109; dan Kasdi 2008: 115).
- Menjelaskan perihal tidak adanya permasalahan lanjutan setelah peristiwa Pasunda-Bubat, tidak terjadi konflik atau ketegangan apapun antara Kerajaan Majapahit dan Sunda Kuno.
- Agar pembicaraan lebih fokus pada bukti-bukti keharmonisan antara dua wilayah budaya yang berkembang pada masa itu, yaitu Majapahit dan Sunda.
Dalam risalah ringkas ini tidak diuraikan lagi peristiwa Pasundan-Bubat, jadi kajian ini mengasumsikan bahwa Pasunda-Bubat telah berlalu dan hanya membicarakan bukti atau kondisi setelah tragedi tersebut berlangsung. Uraian bukti atau kondisi tersebut mengikuti apa adanya data, tidak dilakukan interpretasi yang berlebihan, melainkan selalu dikembalikan dengan kecocokan ada yang tersedia. Berikut adalah narasi data dan tafsirannya yang dapat menjelaskan kondisi setelah terjadinya Pasundan-Bubat.
Berita dari Sumber tertulis
Sebenarnya berita tentang Sunda Kuno terbatas saja yang dicatat dalam sumber tertulis Jawa Kuno dalam abad ke-15, justru yang ada adalah uraian dari kitab Pararaton (awal abad ke-16 M) Kidung Sunda, dan Kidung Sundayana (sekitar abad ke-17) itu sendiri yang menceritakan tentang tragedi Pasunda-Bubat. Uraian yang harus ditelisik adalah perihal hubungan tanpa konflik antara masyarakat Jawa Kuno dan Sunda Kuno, setelah Pasundan-Bubat. Beberapa uraian sumber tertulis dengan data yang terbatas adalah:Kitab Calon Arang
Dalam kitab Calon Arang disebutkan sejumlah daerah yang mengadakan hubungan dagang dengan kerajaan di Jawa Timur yang dinamakan Daha. Walaupun setting cerita Calon Arang berlangsung dalam era pemerintahan Raja Dharmmawangsa Airlangga/Jatiningrat (abad ke-11), namun kisah Calon Arang disusun sangat kemudian dalam zaman Majapahit. Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Jawa Kuno, dalam uraiannya telah terdapat kata-kata atau bentuk-bentuk tatabahasa Jawa Tengahan, bahkan kadang-kadang terdapat bentuk-bentuk tatabahasa Jawa Baru (Poerbatjaraka & Soewito Santoso 1975: 11). Apalagi telah disebutkan kehadiran kota Malaka yang memang baru berkembang dalam pertengahan abad ke-15. Menilik hal itu semua kitab Calon Arang sebenarnya digubah dalam zaman Majapahit setelah masa kemegahannya.Menurut uraian kitab Calon Arang setiap tahun para niagawan dari Palembang, Jambi, Malaka, Patani, Pahang, Sunda, Bangka, Madura, Makassar, Goron, dan lain-lain datang ke istana raja membawa cenderamata (Poerbatjaraka & Soewito Santoso 1975: 50). Jadi hubungan antara Jawa bagian timur dengan daerah-daerah lainnya termasuk Sunda berlangsung dengan baik, tatkala kitab Calon Arang disusun. Sunda yang dimaksudkan dalam uraian Calon Arang tidak lain dari Kerajaan Sunda yang berada di Jawa bagian barat. Bersama-sama dengan daerah lainnya Sunda dikenal sebagai daerah yang mengadakan hubungan dagang dengan Daha yang berada di Jawa Timur. Disebutkan bahwa banyak pedagang dari berbagai daerah Nusantara, termasuk dari Sunda yang datang ke Daha (Jawa Timur) menunjukkan hubungan antara daerah Jawa Timur dengan Sunda dalam abad ke-15 tidak mengalami masalah apapun, tetap berlangsung damai.
Kidung Wasengsari
Kata Sunda sebagai nama kerajaan juga disebutkan dalam kidung Wasengsari, salah satu varian kisah Panji, Sunda adalah kerajaan yang dikunjungi Panji dalam pengembaraannya mencari kekasihnya (Zoetmulder & S.O.Robson 1995, 2: 1146). Kisah Wasengsari menguraikan tentang sepak terjang Raden Wira Namtani (Raden Ino) dari Koripan yang bertunangan dengan puteri Raja Daha. Dalam kisah tersebut sebelum kedua putra-putri raja itu menikah, Wira Namtani diculik oleh oleh Raja Magadha untuk dibunuhnya, karena raja itu juga berminat memperistri puteri Daha juga. Di akhir kisah setelah mengalami berbagai petualangan dan peperangan, perkawinan antara putera-puteri raja Koripan dan Daha tetap berlangsung (Zoetmulder 1985: 536—539).Tantu Panggelaran
Berita tentang adanya hubungan yang erat antara Jawa bagian barat dan timur, diuraikan dalam kitab Tantu Panggelaran yang tidak diketahui penggubahnya (anonim). Tantu Panggelaran digubah berbentuk prosa, selesai ditulis tahun 1557 dengan menggunakan berbahasa Jawa Tengahan, yaitu bentuk Bahasa Jawa yang ada di antara perkembangan Bahasa Jawa Kuno dan Bahasa Jawa dewasa ini. Bahasa Jawa Tengahan mulai dikenal dalam periode Kerajaan Majapahit (Poerbatjaraka 1957: 56—57, Nurhajarini dkk.1999: 1 dan 9). Uraian Tantu Panggelaran secara umum berkenaan dengan mitos terjadinya manusia di Tanah Jawa, peran dewa-dewa, para pendeta Hindu dan Buddha yang merupakan penjelmaan dewata, dan berbagai tempat suci, mandala, pertapaan, dan kabuyutan.Tantu Panggelaran digubah dalam semangat kebudayaan Jawa Kuno, dengan perspektif kaum agamawan yang menetap di wilayah kekuasaan Majapahit. Dalam uraiannya terdapat penyebutan wilayah kerajaan yang berkembang di Jawa bagian barat, selain itu disebutkan juga adanya beberapa gunung penting yang dianggap suci di Jawa bagian barat. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa walaupun digubah oleh kaum agamawan Jawa Kuno, namun tetap bercerita tentang kondisi Pulau Jawa secara keseluruhan, baik yang berbudaya Jawa Kuno atau pun Sunda Kuno. Dikisahkan dalam Tantu Panggelaran bahwa pada zaman purba Pulau Jawa senantiasa bergoyang-goyang karena diterpa gelombang lautan. Agar pulau itu tenang dan ajeg diperlukan adanya pemberat, yaitu dengan cara memindahkan Gunung Mahameru dari Jambhudwipa (India) ke Jawadwipa (Pigeaud 1924: 63—64). Setelah sampai Pulau Jawa, gunung itu dijatuhkan di wilayah Jawa bagian barat, selanjutnya perhatikan kutipan Tantu Panggelaran sebagai berikut:
“...datang ta sireng nusa Jawa tungtungan kulwan. Rep mangadeg ta sang hyang Mahameru, makiris makelah-kelah tampak sang dewata; matangyan Kalasa-parwwata ngaran sang hyang Mahameru, apan makelahkelah tampak sang dewata.
Col andap kulwan, maluhur wetan ikang nusa Jawa; yata pinupak sang hyang Mahameru, pinalih mangetan. Tunggak nira hana kari kulwan; matangyan hana argga Kelasa ngaranya mangke, tunggak sang hyang Mahameru nguni kacaritanya. Pucak nira pinalih mangetan...” (Pigeaud 1924: 65).Terjemahannya kurang lebih:
“...datanglah mereka di Pulau Jawa di kawasan barat, lalu ditegakkan lah sang hyang Mahameru, berpendar terus menerus terlihat oleh para dewa, oleh karena itu sang hyang Mahameru dinamakan Gunung Kalasa karena para dewa melihatnya berpendar berkedip-kedip.
[Akibatnya] Pulau Jawa merendah ke sisi barat, dan sisi timurnya terangkat ke atas, kemudian sang hyang Mahameru dipenggal, penggalannya dipindahkan ke timur. Bagian bawahnya (tunggulnya) tetap berada di barat dan bernama Gunung Kalasa namanya hingga masa kemudian, demikian ceritanya. Puncaknya telah dipindahkan ke timur...”Uraian Tantu Panggelaran selanjutnya para dewa membawa terbang setengah Gunung Mahameru ke Jawa bagian timur, dalam perjalanan gunung itu rontok dan rumpang berjatuhan menjadi gunung-gunung lain di Tanah Jawa, antara lain Gunung Wilis, Kampud (Kelud), Arjuna, dan Kemukus (Welirang). Mahameru ditegakkan menjadi Gunung Semeru, karena masih miring puncaknya dipotong lagi dan dilemparkan oleh para dewa menjelma menjadi Gunung Pawitra atau Gunung Penanggungan sekarang (Pigeaud 1924: 65—66; Nurhajarini 1999: 78—79).
Menilik uraian tersebut sebenarnya terdapat hubungan yang erat dalam hal mitologi terjadinya gunung-gemunung di Tanah Jawa. Asalnya dari Mahameru gunung pusat alam semesta, axis mundi tiga dunia (Bhurloka, Bhuwarloka, dan Swarloka) dari Jambhudwipa yang dipindahkan oleh para dewa ke Jawa. Pangkalnya menancap di Jawa bagian barat dinamakan dengan Gunung Kalasa yang menjadi Mahamerunya Tatar Sunda. Gunung itu tidak lain dan tidak bukan adalah Gunung Salak sekarang yang berdiri di arah barat daya Bogor bekas kota Pakwan Pajajaran ibu kota Kerajaan Sunda Kuno setelah kepindahannya dari wilayah Galuh (Ciamis). Gunung itu telah menjadi Mahamerunya Kerajaan Sunda Kuno, ibu kota Pakwan Pajajaran yang berlokasi di arah timur laut Gunung Salak, arah yang terbaik dalam sistem penataan dewa-dewa Astadikpalaka Hindu-Buddha (Munandar 2007: 41—47). Di lereng timur laut Gunung Salak terdapat kawasan situs kaya yang belum diteliti secara tuntas secara arkeologis, di Dusun Sindangbarang, Tamansari. Berdasarkan sumber tertulis Sunda Kuno, carita-carita Pantun, legenda, dan folklore, situs-situs tersebut dapat dihubungkan dengan Pakwan Pajajaran yang berlokasi di Bogor antara abad ke-14—15 M. Dengan ditemukannya monumen-monumen keagamaan masa silam, kesucian Gunung Salak telah diketahui sejak zaman Sunda Kuno, masyarakat masa lalu mengadakan ritual keagamaannya di lereng gunung itu yang dalam mitosnya merupakan bagian dari Mahameru. Kata Salak pada Gunung Salak sangat mungkin perubahan pengucapan dari nama aslinya Gunung Kalasa. Jadi terdapat varian pengucapan Kalasa-Salaka-Salak, sebagaimana pengucapan Kartasura (nama ibu kota Mataram Islam) - Surakarta, Cimalaya (nama desa di Pantura Jawa Barat) - Cilamaya, dan Krtajaya (nama raja) - Jayakrta.
Dalam hal ini kitab Tantu Panggelaran --digubah dalam kebudayaan Jawa Kuno masa Majapahit akhir-- menjelaskan dan mengakui bahwa bagian dasar (pangkal) dari Gunung Mahameru yang telah dipindahkan para dewa ke Jawa berada di Tatar Sunda, sedangkan bagian tubuh dan puncaknya ada di Jawa Timur. Artinya seluruh Tanah Jawa sebenarnya diperkuat oleh bagian-bagian dari Mahameru, dan memiliki kesucian yang setara di antara gunung-gunung di Jawa, sebab semua gunung adalah rontokan Mahameru ketika dipindahkan oleh para dewa.
Gunung Salak (Kalasa) pulalah yang mungkin disebut dengan Gunung Sundawini(h) oleh kitab Tantu Panggelaran (Pigeaud 1924: 116 dan 125). Sundawini artinya benihnya Tatar Sunda, atau pusat pangkal dari Tatar Sunda, dijelaskan oleh Tantu Panggelaran bahwa dahulu di puncak Gunung Sundawini terdapat arca Wisnu yang indah sempurna terbuat dari emas dan dibuat oleh Mpu Barang. Disebutkan pula di kaki Gunung Sundawini terdapat mandala (perkampungan kaum agamawan) yang disebut dengan Rebhalas. Mengenai betapa pentingnya Gunung Kalasa/Sundawini atau Salak yang terletak di Jawa bagian barat telah diketahui dalam budaya Jawa Kuno, setidaknya oleh para penggubah Tantu Panggelaran, sehingga dicantumkan dalam kitab tersebut dan dipercaya sebagai pangkal dari Mahameru, tubuh dan puncak Mahameru tidak berarti jika tidak berdiri di bagian pangkal gunung itu, dan pangkal Mahameru ada di Tatar Sunda.
Bagian lain uraian Tantu Panggelaran menceritakan:
Adalah putra raja (rajaputra) diusir dari Kerajaan Galuh, dia bernama tuan Cancuraja, mengungsilah dia datang ke Buyut Jalagiri, ia menjalankan kehidupan di sana. Berkatalah Buyut Jalagiri, “Lah, kamu sang rajaputra, jika ingin kehidupan berwikulah engkau kepada kami di sini”. Jawaban tuan Cancuraja, “Tidak mungkinlah saya menjadi wiku seperti anda [karena saya seorang putraja]”. “Lah kembalilah engkau ke kerajaanmu, apabila engkau tidak mau menjadi wiku”, kata Buyut Jalagiri.Begitulah ucapan Buyut Jalagiri, Akhirnya menurutlah sang Rajaputra, ditahbiskanlah Rajaputra oleh wiku berkulit gelap, kemudian dijuluki Buyut Sri Manggala (Nurhajarini 1999: 134 [dengan perbaikan]).
Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui adanya kisah tentang putera raja dari Kerajaan Galuh yang tentunya adalah Sunda-Galuh yang berkedudukan di sekitar Ciamis. Sang putera raja bernama Cancuraja mungkin seorang putera mahkota yang mengungsi ke suatu kawikuan yang dipimpin oleh Buyut Jalagiri. Cancuraja tidak mau kembali ke kerajaannya, walaupun awalnya ragu melaksanakan jalan agama sebagai seorang wiku, namun akhirnya ia pun setuju ditahbiskan sebagai wiku (bhiksu) dengan julukan Buyut Sri Manggala.
Hal yang menarik adalah bahwa nama Cancu tidak pernah dijumpai dalam sumber lain selain kitab Tantu Panggelaran dan dalam uraian prasasti Tulang Air II yang berangka tahun 762 Saka/840 M (Stuart 1875: 7—10; Nakada 1982: 78—79). Walaupun angka tahunnya menunjuk abad ke-9, namun prasasti itu merupakan tinulad (salinan) yang dilakukan dalam era Majapahit, tertulis pada bagian akhir prasastinya kata-kata “...parisamapta tla(s)-sinurat ring majha-pahit” (telah sempuna ditulis di Majapahit) (Stuart 1975: 10). Dalam prasasti tersebut disebutkan adanya bangunan suci agama Buddha (kuti) yang disebut dengan Waharu, bangunan itu mungkin sekali masih ada hingga sekarang, yaitu Candi Brahu di Trowulan. Disebutkan adanya dua orang putera raja yang bernama Cancu-Makuta dan Cancu Manggala yang tinggal di Kuti Warahu, selalu mengadakan pemujaan dan hal itu diizinkan oleh ayahanda mereka sang raja. Dalam uraian kitab Tantu Panggelaran putra raja Galuh yang mengungsi ke kawikuan itu hanya seorang dinamakan Cancuraja, namun setelah menjadi Wiku kemudian bergelar Sri Manggala. Informasi dari kedua sumber, yaitu kitab Tantu Panggelaran dan Prasasti Tulang Air II sebenarnya dapat dipadukan, maka rekonstruksi peristiwa dari kedua sumber tersebut adalah sebagai berikut: Pada masa Majapahit adalah dua orang putera raja Galuh dari Tatar Sunda yang menyepi di Kuti Waharu disambut oleh Buyut Jalagiri sebagai pemimpin kuti tersebut, mereka bernama Cancu-Makuta dan Cancu-Manggala. Setelah tinggal beberapa waktu Cancu-Makuta mungkin kembali ke Galuh, sementara adiknya, yaitu Cancu-Manggala (dalam Tantu Panggelaran disebut Cancu-Raja) tetap tinggal di Kuti Warahu tidak mau kembali ke kerajaannya, malahan ia menjadi wiku dengan gelar Buyut Sri Manggala.
Peristiwa tersebut dicatat dalam dua sumber sejarah dalam zaman Majapahit sekitar abad ke-15, yaitu Prasassti tinulad Tulang Air II dan kitab Tantu Pangdelaran. Kedua putera Raja Galuh itu datang mencari kedamaian di kuti wihara Candi Brahu (?) yang merupakan bangunan suci agama Buddha (kuti) megah dan menjadi tempat penziarahan. Ciri ke-Buddha-an pada candi itu masih terlihat sampai sekarang di bagian atapnya, yaitu terdapat menara atap berbentuk lingkaran yang merupakan dasar dari stupa4.
Mungkin masih terdapat sumber tertulis lain dari zaman Majapahit akhir dalam abad ke-15 yang menyebut atau menyinggung tentang hubungan masyarakat Jawa Kuno di Jawa bagian timur dan masyarakat Sunda Kuno. Berdasarkan uraian beberapa sumber yang telah dibahas dapat diketahui bahwa hubungan antara keduanya berlangsung baik, tidak ada permasalahan yang mengganggu atau bahkan adanya konflik. Ayatrohaedi ahli kebudayaan Sunda Kuno menyatakan bahwa terdapat hal yang menarik berkenaan dengan naskah-naskah keagamaan di Tatar Sunda. Adanya naskah Sunda Kuno yang ditulis dengan bahasa Jawa Kuno, naskah itu sendiri berisikan konsepsi keagamaan dan pantheon Sunda Kuno, misalnya yang terdapat pada naskah Serat Dewabuda (Ayatrohaedi 1988: 2). Artinya apresiasi dan saling menghargai antara kebudayaan Sunda Kuno dan Jawa Kuno terus berlangsung hingga masa-masa kemudian.
Pada akhirnya terdapat uraian musafir asing, yaitu Tome Pires orang Portugis yang berkunjung ke kepulauan Nusantara dan menyusun laporannya yang disusun antara tahun 1512—1515. Laporan Tome Pires tersebut telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Armando Cortesao (1944). Tome Pires menyatakan bahwa dalam tahun 1513 ia melawat ke pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa bagian barat milik Kerajaan Sunda. Pada masa itu terdapat 6 pelabuhan penting, yaitu Banten, Pontang, Chegujde (Cigede), Tamgara (Tanggerang), Calapa (Sunda Kalapa), dan Chi Manuk (Cimanuk-Indramayu) (Cortesao 1944: 170—173).
Mengenai pelabuhan Cimanuk dinyatakan:
“The port of Chi Manuk is the sixth port. This is not a port in which junks can anchor, but only at the harbour bar, so they say; orther say yes. Many Moors live here. The captain is a heathen. It belongs to the king of Sunda. The end of the kingdom here. Chi Manuk has good trade. Java also trades with it. It has a good large town” (Cortesao 1944: 173).(Bandar Cimanuk adalah bandar ke-6, di bandar ini jung-jung (kapal layar besar) tidak dapat berlabuh di pantai, tetapi hanya di lepas pantai pelabuhannya, begitu keterangan mereka dan yang lainnya mengiyakan. Banyak orang Islam tinggal di [bandar] ini. Pemimpin bandar (syahbandar) adalah pemuja berhala. Bandar ini milik raja Sunda, batas akhir Kerajaan [Sunda} di tempat ini. Cimanuk mempunyai perdagangan yang ramai, orang-orang Jawa juga berniaga di bandar ini. [Bandar] ini mempunyai kota yang luas dan baik).
Informasi penting dari laporan Tome Pires adalah bahwa di awal abad ke-16 banyak para pedagang Jawa yang berniaga di pelabuhan-pelabuhan di Kerajaan Sunda di pantai utara Jawa bagian barat, mereka berniaga dengan aman terutama di pelabuhan Kalapa dan Cimanuk. Pelabuhan Cimanuk merupakan bandar penting paling timur milik Kerajaan Sunda, dan merupakan bandar terdepan dalam berhubungan dengan Jawa. Dijelaskan apabila angin baik, maka pelayaran ke Jawa (timur) dari Cimanuk hanya menghabiskan waktu sehari semalam. Hubungan antara orang-orang Sunda dan Jawa biasa-biasa saja dalam hubungan dagang, atau bisa saja saling jadi perompak sesamanya ketika berlayar di laut, namun banyak juga di antara mereka yang membina hubungan baik dan persahabatan (Cortesao 1944: 172—173). Demikian beberapa uraian dari sumber-sumber tertulis perihal hubungan antara orang-orang Jawa dan Sunda dalam abad ke-15 hingga awal abad ke-16 sebelum Islam merebak di Pulau jawa.
Peninggalan Arkeologis
Sejatinya hingga sekarang belum ditemukan peninggalan arkeologis di Jawa bagian timur yang secara langsung menunjukkan adanya hubungan dengan kebudayaan Sunda Kuno. Sejumlah peninggalan arkeologi dapat dijelaskan memiliki hubungan dengan Kerajaan Sunda Kuno setelah dilakukan interpretasi yang mendalam dengan menggunakan beberapa sumber bandingan. Hubungan dengan Sunda itu terutama berkenaan dengan terjadinya peristiwa Pasundan-Bubat dalam tahun 1357, artinya peninggalan arkeologi yang dapat ditafsirkan mempunyai hubungan dengan Sunda adalah kepurbakalaan yang dibuat atau dibangun setelah terjadinya Pasunda-Bubat. Beberapa data arkeologis yang dapat dihubungkan dengan Pasundan-Bubat, namun dibuat setelah peristiwa Pasundan-Bubat adalah:Relief Kisah Panji
Apabila ditilik secara seksama maka Kisah Panji sebenarnya berhubungan dengan peristiwa sejarah zaman Majapahit. Kisah-kisah Panji dapat dianggap sebagai metafora dari peristiwa sejarah dari awal berdirinya Majapahit hingga zaman kejayaannya dalam era pemerintahan Hayam Wuruk tahun 1351—1389 M (Munandar 2005, 2009, dan 2017: 56—99). Raden Panji adalah penggambaran dari Raden Wijaya (Krtarajasa Jayawarddhana), Jayanagara, dan terutama Hayam Wuruk (Rajasanagara), petualangan dan pengembaraan Panji disertai para kadeyan (pengiring)nya setara dengan pengembaraan Raden Wijaya bersama para pengikutnya ke Madura untuk menemui Arya Wiraraja sebagaimana yang dituturkan oleh kitab Pararaton.Kesetaraan yang sangat dekat antara Kisah Panji dengan peristiwa sejarah Pasundan-Bubat dapat dijumpai dalam kisah Panji Angreni yang tergolong kisah paling awal dari varian cerita Panji yang dikenal. Dalam kisah Panji Angreni, Raden Inu putera raja-ratu Kahuripan telah memilih gadis pujaan hatinya, yaitu Dewi Angreni anak patih. Akan tetapi ketika Inu diminta menikah dengan saudara sepupunya yang telah dipertunangkan, yaitu Dewi Sekar Taji puteri raja-ratu Daha, Inu menolaknya. Dewi Angreni harus lenyap abadi, dia harus dibunuh dengan keris oleh Brajanata kakak Inu lain ibu, putera raja Kahuripan. Setelah Dewi Angreni meninggal Inu (Panji) dan para kadeyan mengembara mencari jelmaan sang dewi, sampailah ke kota Daha yang waktu itu tengah dikepung musuh para raja yang ingin mempersunting Dewi Sekar Taji. Semua raja dapat dikalahkan dan akhirnya Inu (Panji) dapat bersanding menikah dengan Dewi Sekar Taji, sebagaimana yang telah dirancang oleh para dewata. Di akhir kisah dinyatakan bahwa kecantikan Dewi Angreni telah bersatu dengan keelokan Sekar Taji, di bawah sinar purnama sempurna kedua dewi itu telah menjadi satu, nama Sekar Taji lalu diubah menjadi Dewi Candrakirana (sinar rembulan).
Banyak kesetaraan tema antara Kisah Panji Palembang atau Panji Angreni dengan peristiwa sejarah sekitar Pasundan-Bubat dalam era Hayam Wuruk. Hal itu tidak dibahas lagi dalam risalah ini, namun jelas dapat ditafsirkan bahwa Kisah Panji dengan berbagai versinya sebenarnya mengacu kepada kisah percintaan antara Hayam Wuruk, Dyah Pitaloka Citrarasmi sang puteri Sunda-Galuh, dan Indu Dewi (Sekar Taji), puteri Daha anak bibi dan paman Hayam Wuruk (Rajadewi Maharajasa yang kawin dengan Wijayarajasa/Kudamerta) (Munandar 2009: 112—114). Sejumlah kepurbakalaan yang berupa dinding candi, dinding candi meru (punden berundak di Gunung Penanggungan, dan panil relief lepas dipahati dengan relief Kisah Panji
Masih banyak sejumlah panil relief lepas lainnya yang menggambarkan potongan adegan Kisah Panji, misalnya beberapa panil relief yang dikoleksi oleh Museum Pusat Informasi Majapahit dan juga Museum nasional Jakarta, artinya kisah Panji sangat populer. Apabila relief Kisah Panji sebenarnya menggambarkan percintaan Hayam Wuruk dengan Puteri Citrarasmi (yang tidak terlaksana), dan akhirnya Hayam Wuruk menikah dengan Indu Dewi (Raden Galuh), maka pemahatan Kisah Panji sebenarnya suatu bentuk apresiasi kepada kegagalan cinta Hayam Wuruk dengan puteri Sunda.
Banyak adegan kisah Panji, namun secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu (a) Panji dengan puteri, dan (b) Panji tanpa puteri. Apabila Panji digambarkan dengan seorang puteri, puteri itu dengan pakaian sederhana, ada seorang emban, dan beberapa punakawan (kadeyan), dalam relief tidak pernah digambarkan tokoh Panji dengan seorang puteri dengan pakaian mewah, bermahkota, dengan perhiasan lengkap. Dapat kiranya ditafsirkan bahwa adegan Panji tersebut sebenarnya menggambarkan Raden Panji (Hayam Wuruk) dengan kekasih pertama pilihannya, yaitu Dewi Angreni/Mertalangu (Dyah Pithaloka Citrarasmi). Adegan itulah yang selalu dipahatkan dalam bentuk relief di candi-candi, adegan pertemuan, perjalanan, atau berkasih-kasihan antara Hayam Wuruk dan sang puteri Sunda-Galuh. Sebenarnya hal itu yang mungkin diharapkan oleh masyarakat umum Majapahit, yaitu perkawinan agung antara rajanya dengan puteri Raja Sunda, pertemuan mereka terjadi di alam lain, alam pithaloka, karena itu dipahatkan di bangunan candi-candi yang bersifat kudus-religius.
Dengan adanya pemahatan relief Kisah Panji pada dinding candi-candi masa Majapahit, mengemuka 3 tafsiran, yaitu:
- Relief kisah Panji mulai dipahatkan di dinding candi-candi tentunya setelah Pasunda-Bubat terjadi, paling cepat pada perempat terakhir abad ke-14.
- Kisah Panji dalam bentuk relief di candi-candi adalah penanda apresiasi pembuat candi terhadap kisah percintaan putera-puteri raja dalam keluarga raja Majapahit.
- Kisah Panji akhirnya tidak hanya sebagai kisah romansa putera-puteri raja di Jawa, melainkan juga dimaknai sebagai kisah yang mengandung nilai keagamaan, karena dipahatkan pada bangunan-bangunan suci keagamaan (Munandar 2017: 239—243).
Kolam Segaran
Sebagaimana telah umum diketahui bahwa salah satu peninggalan penting Majapahit yang berada di situs Trowulan, Mojokerto adalah kolam Segaran. Kolam tersebut cukup mengesankan dengan ukuran 375 x 175 x 2,88 m. Tebal tembok dinding kolam adalah 1,60 m, dengan deretan anak tangga turun ke permukaan air di sisi panjangnya di sebelah barat. Segaran terletak di Dukuh Trowulan, Desa Trowulan. Luas kolam tersebut adalah 6,5 hektar, satu-satunya kolam kuno terbesar di Indonesia. Dinamakan Segaran sangat masuk akal, mengingat ukurannya yang sangat luas apabila dibandingkan dengan kolam-kolam lainnya baik yang alami atau buatan, keluasan Segaran itulah yang kemudian mengingatkan penduduk kepada laut (Bahasa Jawa: Segara), kolam luas mirip laut, karena itu disebut Segaran.Keberadaan kolam Segaran pertama kali dilaporkan oleh H.Maclaine Pont, pada tahun 1926, semula kolam tersebut tertutupi tanah, kemudian setelah dilakukan penggalian barulah dapat ditampakkan kembali keberadaannya. Berdasarkan adanya temuan saluran masuk dan keluar dari kolam tersebut, maka diduga bahwa Segaran dahulu berfungsi sebagai waduk atau penampungan air dan mungkin dapat dibandingkan dengan baray-baray yang berada di sekitar Angkor Wat di Kamboja (Proyek Pemugaran, 1986: 49—50).
Nama Segaran bagi kolam buatan di situs Trowulan tersebut, agaknya bukan nama asli yang diberikan secara turun-temurun oleh penduduk lokal, melainkan dijuluki oleh penduduk Trowulan di masa yang belakangan sekali. Sangat mungkin nama itu diberikan tatkala Segaran telah berhasil dibersihkan dan ditampakkan kembali oleh Maclaine Pont dalam tahun 1926. Ketika penduduk Trowulan pada awal abad ke-20 menyaksikan adanya kolam luas yang berair mirip laut, secara langsung mereka memberikan nama Segaran pada kolam tersebut. Dengan demikian dapat diduga bahwa kolam tersebut sebenarnya mempunyai nama aslinya tersendiri pada zaman Majapahit dahulu. Telaah ringkas ini berupaya mengungkapkan nama asli dari kolam Segaran berdasarkan kisah rakyat, tradisi lisan dan folklore lainnya untuk kemudian dipadukan dengan keterangan dari sumber tertulis lainnya. Sebelum membincangkan masalah nama asli Segaran, langkah pertama adalah membahas terlebih dahulu perihal nama Trowulan yang dihubungkan dengan situs kota Majapahit.
Nama Trowulan sangat mungkin telah dikenal sejak awal abad ke-19, nama itu telah disebutkan oleh Wardenaar (1815) dalam laporan paling awal yang menyebutkan bahwa Trowulan sebagai ibu kota Majapahit. Wardenaar tanpa ragu menyebut Trowulan sebagai peninggalan dari masa Majapahit (Wibowo 1983: 4). Selain sebagai nama desa Trowulan juga dijadikan nama kecamatan. Kecamatan Trowulan dewasa ini terdiri dari 16 desa, jika diperhatikan hanya 5 desa saja yang yang wilayahnya mengandung situs Majapahit, yaitu Bejijong, Jati Pasar, Sentono Rejo, Wates Umpak, Temon, dan Trowulan. Nama Kecamatan Trowulan diambil dari salah satu desa dalam wilayahnya, yaitu Desa Trowulan, agaknya Desa Trowulan lebih dikenal oleh kalangan pengunjung dari luar, karena terletak di tepian jalan raya Jombang-Mojokerto yang dahulu dibuat oleh Belanda. Oleh karena itu lalu nama Trowulan dijadikan nama kecamatan pula.
Kolam Segaran berada di wilayah Desa Trowulan, di dukuh Trowulan, dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa nama awal wilayah tersebut adalah Trowulan, dimulai dari nama dukuh, lalu jadi nama desa, dan akhirnya jadi nama kecamatan. Demikianlah nama yang dikenal di kalangan penduduk secara turun-temurun adalah Trowulan sebagai nama dukuh, dukuh itu awalnya berada di dekat Segaran (sisi utara dan timur), lama-kelamaan menjadi nama desa. Selanjutnya timbul asumsi bahwa ada kemungkinan nama suatu dukuh sebenarnya berasal dari nama tempat atau bangunan tertentu, kemudian ketika banyak orang mulai bermukim di sekitar tempat itu, lalu gugusan rumah penduduk itu dinamakan sesuai dengan nama tempat atau bangunan tersebut, menjelma menjadi pedukuhan, dan seterusnya. Misalnya Desa Sendang Duwur di Lamongan utara, awalnya berasal dari adanya lokasi sendang (kolam) di daerah dataran yang agak tinggi (duwur) dan juga banyak dukuh di Jawa Barat yang dinamakan dengan Cipanas, sebab benar di desa tersebut terdapat mata air panas dan lainnya lagi.
A.S.Wibowo seorang arkeolog yang pernah bertugas lama di situs Trowulan, mencoba untuk mencari asal-usul nama Trowulan. Dalam karyanya yang berjudul “Nāgarakěrtagama dan Trowulan” (1983), Wibowo menyatakan:
“Maclaine Pont, setelah membaca keterangan dalam Serat Kanda bahwa nama Trowulan berasal dari nama Citra Wulan, pernah pula mengajukan gagasan bahwa nama itu berasal dari Setra Wulan (Pont, 1924: 63). Dalam Serat Dermagandul pupuh XX terdapat episode cerita yang mengisahkan saat-saat akhir hidup raja Brawijaya terakhir. Dikatakan bahwa waktu itu sang raja berpesan agar kelak ia dimakamkan secara Islam di daerah Sastrawulan, namun karena putranya, Raden Patah, telah memperlakukannya sebagai seorang wanita maka makam tadi hendaknya kelak diberi nama Makam Putri Campa (Drewes, 1996: 362)” (Wibowo 1983: 5).
Demikian beberapa kutipan yang diambil oleh Wibowo dari pendapat para peneliti terdahulu, dapat ditafsirkan bahwa nama Trowulan tersebut telah dikenal sejak abad ke-16 M. Mengacu kepada Serat Kanda yang digubah dalam abad sekitar awal abad ke-16 (Poerbatjaraka 1957: 95—96), memberitakan bahwa nama asli dari Trowulan adalah Citra Wulan yang kemudian diucapkan secara singkat menjadi Trawulan atau Trowulan sampai sekarang. Citra dalam bahasa Jawa Kuno antara lain berarti “berwarna cemerlang, perwujudan yang cemerlang” (Zoetmulder 1982, I: 330). Maka Citra Wulan dapat diartikan sebagai “perwujudan yang cermerlang dari bulan”. Apabila demikian halnya maka, dukuh Trowulan tersebut mengacu kepada arti “perwujudan atau bayangan yang cemerlang dari bulan”, mengapa namanya seperti itu?, tentunya terdapat tempat yang dapat dihubungkan dengan Citra Wulan yang berada di dekat dukuh Citra Wulan. Segera saja tempat tersebut dapat diketahui, yaitu kolam Segaran. Jadi dapat ditafsirkan nama lama kolam tersebut adalah Citra Wulan atau Trowulan. Nama itu memang dicatat dalam Serat Kanda dalam abad ke-16 M, masa itu masih sangat dekat dengan zaman Majapahit (Majapahit runtuh di awal abad ke-16), jadi demikianlah nama asli Segaran pada zaman Majapahit adalah Citra Wulan, yang lalu diucapkan singkat menjadi Trawulan atau Trowulan.
Hal yang harus mendapat penjelasan selanjutnya adalah apa alasannya sehingga kolam luas tersebut dinamakan dengan Citra Wulan dalam zaman Majapahit. Sebelum menjawab permasalahan tersebut selayaknya harus dikemukakan dahulu hubungan antara bulan purnama dan Segaran, memang sampai sekarang jika terang bulan apalagi purnama sempurna, cahaya bulan yang cemerlang tersebut akan berbayang di permukaan air Segaran, keadaannya sangat indah dan semua orang yang berada di sekitar kolam Segaran saat purnama pasti mengakui suasana yang indah itu. Pada masa Majapahit dapat diperkirakan bahwa keindahan yang memukau itu lebih terasa, sebab masa itu belum ada cahaya lampu listrik yang sinarnya bertebaran di sekitar kolam. Dewasa ini walau pun sudah terdistorsi oleh cahaya lampu-lampu listrik di jalan ataupun di perumahan, keindahan bulan purnama yang mengambang di langit di atas Segaran tetap mengesankan. Demikianlah bahwa kolam Citra Wulan di masa Majapahit dapat disebut sebagai tempat rekreasi penduduk kota di kala purnama. Tentunya banyak penduduk yang bercengkerama di sekitar kolam, dan tidak mustahil dilakukan juga oleh kaum bangsawan, keluarga raja bahkan raja sendiri. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa berita Cina menyebutkan dengan jelas bahwa setiap purnama dan jika malam cerah penduduk Majapahit bersuka cita, bahkan kaum perempuannya ada yang membentuk barisan sambil bernyanyi-nyanyi “ngamen” di rumah-rumah orang berada untuk kemudian diberi uang (Groeneveldt 2009: 73). Demikianlah di masa itu malam terang purnama jelas merupakan malam rekreasi yang menyenangkan bagi penduduk kota Majapahit, ketika sang Candra menghamburkan cahaya keindahannya membahagiakan semua orang.
Nama Citra Wulan terasa lebih dekat Trowulan, namun terdapat pula kata Antawulan yang dikenal dalam kitab Pararaton sebagai pendharmaan raja Jayanagara (1309—1328): “Sira ta dhinarmeng kapopongan.bhiseka ring srenggapura, pratista ring Antawulan” (Padmapuspita 1966: 37). (“dia didharmakan di Kapopongan, nama resmi bangunannya Srenggapura, dan diarcakan di Antawulan”). Adapun dalam kakawin Nāgarakŗtāgama (pupuh 48: 3) terdapat penjelasan bahwa setelah raja Jayanagara mangkat, ia didharmakan di dalam (kompleks) keraton, di Sila Petak dan di Bubat dengan wujud arca Wisnu serta di Sukalila sebagai Buddha Amoghasiddhi.
Selanjutnya dijelaskan oleh para sarjana dan juga disetujui oleh Wibowo bahwa terdapat penyebutan dharma haji bernama Antarasasi dan Sri Ranggapura dalam kakawin Nagarakrtagama. Berdasarkan adanya nama yang setara antara Antarasasi dan Antawulan dan Srenggapura dengan Sri Ranggapura, maka dapat diambil kesimpulan bahwa tempat pendharmaan Jayanagara yaitu Kapopongan terdapat di dalam lingkungan keraton dengan nama resmi Srenggapura atau Sri Ranggapura, yang berlokasi di Antawulan atau Antarasasi yang dapat disamakan dengan dengan Trowulan (Wibowo 1983: 7).
Kata antawulan dan antarasasi sebenarnya berkaitan pula dengan dengan wulan (bulan), anta artinya “di kedalaman” (Zoetmulder 1982, I: 82), antawulan artinya “di kedalaman bulan”, sedangkan kata antara mempunyai beberapa arti salah satunya adalah “di tengah” (Zoetmulder 1982, I: 84), maka antarasasi artinya “di tengah bulan”. Dengan demikian dapat ditafirkan bahwa ada lokasi yang berkaitan dengan dewa bulan (Chandra), atau tempat untuk memandang bulan yang sangat ideal di kota Majapahit. Di tempat yang ideal itulah kemudian didirikan bangunan pendharmaan untuk Jayanagara dengan nama resminya menurut Nāgarakŗtāgama adalah Sri Ranggapura (bangunan bagi sang pahlawan).
Apabila sebelumnya telah ditafsirkan bahwa nama asli kolam Segaran adalah Citra Wulan atau Trawulan, maka mungkin saja tempat yang dianggap sebagai lokasi terbaik untuk memandang Dewa Chandra di kala terang purnama adalah di sekitar kolam Segaran. Di area tersebut terdapat kolam yang bernama Citra Wulan (Segaran) dan terdapat pula bangunan suci “di kedalaman bulan” yang bernama Sri Ranggapura. Apabila Citra Wulan adalah kolam Segaran, maka bangunan suci yang manakah yang dekat dengan kolam Segaran? Pertanyaan itu mudah untuk dijawab, tentunya adalah reruntuhan Candi Menakjingga yang terdapat di arah timur kolam Citra Wulan. Sementara ini belum dijumpai adanya reruntuhan candi lain di sekitar Segaran, kecuali Candi Menakjinggo tersebut, maka Sri Ranggapura sangat mungkin adalah reruntuhan Candi Menakjinggo. Candi Menakjinggo terletak di Dusun Unggah-unggahan, bahan bangunan dari bata dan batu andesit, ukuran denah yang tersisa sekarang adalah 24,3 x 27,8 m, jarak lurus dari tepian timur kolam Segaran sekitar 500 m. Pembahasan lebih lanjut tentang hubungan Candi Menakjinggo atau Sri Ranggapura sebagai pendharmaan Jayanagara akan dibicarakan dalam kajian lain tersendiri.
Kembali kepada Citra Wulan atau kolam Segaran, terdapat pertanyaan yang harus dijelaskan, pertama siapa raja yang memerintahkan pembangunan Citra Wulan?, dan untuk apa pula pembangunan Segaran dalam masa Majapahit? Berdasarkan kajian yang telah dilakukan Wibowo juga berkesimpulan bahwa kolam–kolam buatan di kota Majapahit -termasuk Segaran- pada masanya mempunyai beberapa fungsi, antara lain sebagai (a) pencegah banjir di musim hujan (penampungan air) dan (b) persediaan air di musim kemarau (Wibowo 1977: 47). Kedua fungsi tersebut sebenarnya adalah fungsi praktis yang nyata dan dapat diamati, namun sebagaimana telah umum diketahui bahwa dalam masyarakat tradisional, terdapat konsepsi keagamaan yang melatarbelakangi berbagai tindakan dan pembangunan monumen. Maka dari itu pembuatan kolam Segaran di masa Majapahit pastinya dilatarbelakangi konsepsi keagamaan tertentu pula, jadi ada pula fungsi keagamaan yang berperan di kolam Segaran.
Secara tidak langsung di bagian terdahulu telah dikemukakan bahwa Segaran atau Citra Wulan berdasarkan namanya adalah lokasi yang ideal untuk menikmati cahaya purnama, berarti tempat yang ideal untuk melakukan pemujaan kepada Dewa Chandra. Kekuatan dan keindahan Chandra terbayang di permukaan air kolam, bayangan bulan purnama pasti terpantul di permukaan air, artinya air kolam pada waktu itu dipenuhi oleh kekuatan keindahan sang Chandra. Maka dari itu terdapat fungsi tidak langsung dari kolam Citra Wulan adalah (a) tempat pemujaan bagi Dewa Chandra, dan (b) tempat rekreasi penduduk kota Majapahit di kala bulan bersinar.
Mengenai raja yang memerintahkan pembuatan kolam Citra Wulan sangat mungkin adalah Hayam Wuruk (Rajasanagara) (1351—1389 M), setelah Mpu Prapanca selesai menggubah Nāgarakŗtāgamanya dalam tahun 1365, oleh karena itu kolam Citra Wulan tidak tercantum dalam uraian Nāgarakŗtāgama. Hayam Wuruk memerintahkan pembangunan Citra Wulan tentunya mempunyai alasan tertentu, agaknya terdapat peristiwa yang sangat membekas dalam jiwanya dan ia ingin mengenang peristiwa tersebut dengan lebih baik dari konsepsi keagamaan.
Telah disebutkan dalam kitab Pararaton bahwa adanya peristiwa Pasundan-Bubat yang terjadi dalam tahun 1357 M (Hardjowardojo 1965: 52—53, Padmapuspita 1966: 38—39). Sebagaimana telah umum diketahui bahwa peristiwa tersebut merupakan tragedi dalam sejarah Majapahit, ketika raja dan permaisuri Sunda yang mengiringi putrinya untuk menikah dengan Hayam Wuruk terbunuh di tanah lapang Bubat. Hampir semua para bangsawan dan pengiring raja Sunda tewas dalam pertempuran dengan pasukan Majapahit di Bubat, sang putri pun yang menurut sumber-sumber Pantun Sunda bernama Dyah Pithaloka Citrarasmi bunuh diri mengikuti ayah-ibunya. Pernikahan agung pun batal, cinta Hayam Wuruk dan Dyah Citrarasmi diperabukan.
Dalam tradisi Jawa Kuno terutama masa Majapahit terdapat kebiasaan untuk mendirikan bangunan pendharmaan bagi tokoh yang telah mangkat setelah 12 tahun kematiannya. Pada tahun ke 12 setelah mangkatnya sang tokoh diadakan upacara peringatan kematiannya (Śraddha) dan dilengkapi dengan pendirian bangunan keagamaan untuk memujanya sebagai dewa, biasa berupa candi pendharmaan, misalnya bangunan Prajnaparamitapuri (candi Bayalango) bagi tokoh Rajapatni dyah Gayatri. Menurut kakawin Nagarakrtagama Rajapatni dyah Gayatri mangkat pada tahun 1272 Śaka/1350 M (Nag.2:1), kemudian dalam kakawin yang sama pupuh 63: 1-3 dinyatakan bahwa pada tahun 1284 Śaka/1362 M diadakan upacara Sraddha yang meriah, dihadiri oleh banyak pejabat kerajaan dan dibangunlah Prajnaparimitapuri, arca perwujudan Gayatri sebagai Prajnaparamita ditahbiskan oleh pendeta agung Jnanawidya. Candi tersebut, yaitu Candi Bayalango sampai sekarang sisanya masih berdiri di wilayah Tulungagung selatan (Munandar 2003: 16).
Demikianlah bahwa kolam Citra Wulan atau Segaran sebenarnya adalah bangunan untuk mengenang putri Sunda yang meninggal dalam tragedi Bubat. Pembangunannya dilakukan setelah 12 tahun peristiwa tersebut terjadi, jadi jika Pasundan-Bubat terjadi pada tahun 1357 M maka dua belas tahun kemudian adalah tahun 1369, tahun itulah dimulai pembuatan kolam Citra Wulan. Sudah barang tentu tidak tercantum dalam Nāgarakŗtāgama yang selesai disempurnakan oleh Mpu Prapanca tahun 1365 M.
Secara kebetulan atau tidak kebetulan artinya dipilih kata dengan disengaja, nama putri Sunda yang meninggal di Bubat ialah Dyah Pithaloka Citrarasmi. Dalam bahasa Jawa Kuno kata dyah menunjukkan penghormatan, kata pithaloka berarti dunia nenek moyang, dunia para leluhur (Zoetmulder 1982, II: 1371), artinya memang putri tersebut telah tiada, lalu kata citra berarti perwujudan cemerlang (Zoetmulder 1982, I: 330), dan rasmi berarti keindahan yang cemerlang, sinar cahaya cemerlang (Zoetmulder 1982, II: 1518). Dengan demikian Citrarasmi dapat diartikan sebagai “cahaya yang cemerlang”, “cahaya yang indah menyenangkan”. Cahaya seperti itu dalam ajaran Hindu tentu saja adalah sinar bulan purnama, milik dewa Candra. Mungkin sekalai kecantikan putri Sunda tersebut sangat molek cemerlang ibarat sinar bulan Purnama. Jika demikian halnya maka kata Citrarasmi dalam pengertian yang lebih luas identik saja dengan Citra Wulan/Trawulan. Hipotesa selanjutnya adalah bahwa kolam Trawulan atau Segaran itu sejatinya dibuat atas perintah Hayam Wuruk untuk mengenang putri idaman hatinya yang tidak pernah dipersuntingnya, Dyah Pithaloka Citrarasmi.Pada malam purnama diadakan upacara Upasatha/Uposatha, saat itu para pemeluk Buddha merenungkan 8 sila yang telah dijalankan dan para bhiksu melafalkan Patimokkha yang telah menjadi pilihan hidup mereka (Bhikkhu Bodhi 2010: 713—714). Waktu-waktu yang indah itulah Hayam Wuruk mengadakan upacara pemujaan kepada arwah Citrarasmi yang telah bersatu dengan dewa-dewa di pithaloka.
Di bagian akhir cerita Panji Angreni diuraikan bahwa pada suatu malam Raden Panji Inu Kertapati (Hayam Wuruk) yang telah mempersunting Dewi Sekar Taji (Indu Dewi) sepupunya, putri raja Panjalu (Munandar 2009a: 143--144), sedang bercengkerama di taman kedaton. Tiba-tiba dari kerimbunan bunga Angsoka “keluar bayangan Dewi Angreni”, naik membumbung menuju angkasa yang dipenuhi gemerlap cahaya purnama. Raden Inu bersedih menyaksikan hal itu, lalu turunlah Dewa Narada (?) dan mengatakan kepada Inu bahwa dirinya tidak perlu bersedih, karena arwah Angreni sekarang telah bersatu dengan dewa Chandra. Kecantikan Angreni menjelma menjadi sinar bulan yang sekarang menyinari pula diri Sekar Taji, kecantikan kedua putri pun telah berpadu satu, oleh karena itu Inu kemudian diminta untuk mengganti nama Dewi Sekar Taji dengan nama Dewi Candrakirana. Arti kata Candrakirana sinonim dengan Citrarasmi atau Citra Wulan/Trawulan, jadi apakah semua itu hanya kebetulan belaka? apakah benar demikian?
Epilog
Hubungan antara masyarakat Jawa Kuno dan Sunda Kuno sejak awal sejarahnya berlangsung secara dinamis, berdasarkan sumber-sumber sejarah yang ada, dapat diketahui bahwa hubungan itu secara umum berlangsung damai, namun tidak ada tertutup kemungkinan adanya terjadi kesalahanpahaman dan konflik seperti Pasunda-Bubat. Sebagaimana telah dibicarakan pada bagian terdahulu risalah ini, dengan mengikut sumber sejarah Jawa Kuno yang terbatas dapat diketahui bahwa setelah peristiwa Pasunda-Bubat hubungan antara masyarakat Jawa Kuno (Majapahit) dan Sunda Kuno berlangsung biasa saja, tidak dibumbui dengan dendam dan permusuhan. Hal yang sama mungkin juga ditemukan dalam sumber-sumber tertulis Sunda Kuno bahwa hubungan antara kedua masyarakat berlangsung dengan damai.Sumber-sumber yang ada justru menjelaskan bahwa hubungan cukup baik terjadi dalam bidang keagamaan, kaum agamawan Sunda dan Jawa saling berkunjung satu dengan lainnya secara akrab. Jika dalam naskah Bujangga Manik dinyatakan bahwa sang Bujangga mengadakan perjalanan ke Tanah Jawa dan bermukim lama di Palah (Candi Panataran) (Noorduyn 1982: 430—431) , maka dalam kitab Tantu Panggelaran Mpu Waluh Bang yang pergi ke barat Pulau Jawa untuk membuka dan berbagai permukiman agamawan di Tatar Sunda (Nurhajarini dkk. 1999: 121). Dalam kitab yang sama disebutkan pula bahwa gunung-gunung di Pulau Jawa asalnya dari Mahameru, bagian pangkal gunung itu ada di Tatar Sunda menjelma menjadi Gunung Salak, ada pun bagian tubuh dan puncaknya bertebaran menjadi gunung-gunung lain dari Jawa bagian tengah hingga timur.
Sepanjang abad ke-15 hingga kedatangan para pedagang barat, bandar-bandar di pantai utara Jawa ramai didatangi kaum niagawan, baik Bandar-bandar di Jawa bagian barat atau timur. Para pedagang dari etnik-etnik Nusantara meramaikan aktivitas niaga tersebut, mereka yang berkegiatan dari berbagai suku, dan berbeda agama, bahkan ada para pendatang dari luar (Cina, Champa, Sima, dan orang-orang Portugis). Dengan demikian kegiatan ekonomi di Pulau Jawa secara umum tidak terganggu setelah terjadinya Pasunda-Bubat.
Dalam pada itu relief cerita Panji yang dipahatkan di candi-candi dan kolam Citra Wulan adalah bukti arkeologis yang keberadaannya dapat dihubungkan dengan bukti rasa bersalah dan penyesalan pihak Majapahit atas gagalnya perkawinan agung antara Dyah Pithaloka Citrarasmi dan Rajasanagara. Hayam Wuruk dan penduduk Majapahit setiap malam bulan purnama senantiasa menikmati cahaya rembulan yang juga terpantul di permukaan air danau Citra Wulan. Keindahan cahaya purnama malam itu seakan-akan bentuk perpaduan dua dewi, yaitu Citrarasmi dan Indudewi (kedua nama itu merujuk kepada bulan). Keindahan cinta pertama Hayam Wuruk terpaksa harus diperabukan, namun itu adalah takdir dewata yang terjadi di luar rencana manusia.
Catatan:
- Sampai sekarang lokasi tepatnya tanah lapang Bubat belum dapat diketahui, penduduk Trowulan mempercayai bahwa Bubat masih terletak di Trowulan juga, yaitu area di belakang Museum Pusat Informasi Majapahit membentang sampai jalan raya Mojokerto-Jombang. Apabila Trowulan adalah tempat kedudukan Ibu Kota Majapahit, menurut uraian kakawin Nagarakrtagama Bubat terletak di utara kota, rombongan raja harus menaiki kereta dan berkuda untuk mencapainya, dengan demikian menjadi tidak tepat jika menempatkan Bubat masih di kawasan Trowulan. Hadi Sidomulyo dalam bukunya yang berjudul Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca (2007) pernah melakukan penjelajahan di wilayah utara Trowulan, dia menyimpulkan bahwa Bubat terletak di arah selatan Kali Gunting yang membelok ke timur di wilayah utara Kecamatan Trowulan dan Sooko, di daerah tersebut terdapat desa yang sekarang dinamakan dengan Desa Tempuran yang diduga sebagai bekas arena pertempuran (Sidomulyo 2007: 23—24). Kesimpulan itupun belum tentu benar, namun jika mempertimbangkan lokasi geografis, keadaan lansekap dan jarak yang relatif jauh dari Trowulan, apa yang disimpulkan Sidomulya itu haruslah diperhatikan sebagai alternatif lokasi tanah lapang Bubat.
- Hal yang menarik untuk ditelisik lebih lanjut adalah nama puteri Raja Daha itu ialah Raden Galuh (Zoetmulder 1985: 536), kata Galuh dapat mengingatkan orang kepada puteri Sunda dari Kerajaan Sunda-Galuh yang meninggal dalam Pasunda-Bubat. Apakah hal itu bentuk metafora yang lain?, tentunya harus dikaji lebih lanjut.
- Uraian lebih lanjut tentang bermacam kepurbakalaan di sebelah barat Bogor serta hubungan antara Pakwan-Pajajaran yang berlokasi di Bogor dengan Gunung Salak (Gunung Kalasa) silakan lihat karya Agus Aris Munandar, Situs Sindangbarang Bukti Kegiatan Keagamaan Masyarakat Kerajaan Sunda (abad 13—15): Laporan Hasil Penelitian Awal (2007) dan juga “Permukiman Kuno di Bogor”, dalam buku Tatar Sunda Masa Silam (2010), terutama halaman 99—199.
- Penduduk setempat di Bejijong, Trowulan, mempunyai kepercayaan bahwa Candi Brahu dahulu berfungsi sebagai crematorium raja-raja Majapahit yang bergelar Brawijaya. Memang arsitektur candi itu agak berbeda dengan candi-candi Majapahit sezaman, candi terbuat dari susunan bata, tubuh candi berdiri di kaki yang berteras-teras meninggi, begitupun ruang bilik candi dibuat tinggi dengan langit-langit berbentuk kerucut. Bentuk arsitektur Candi Brahu apabila dilihat secara keseluruhan dari jauh mirip dengan caitya yang berbentuk tugu, di bagian tengah atapnya diduga dahulu pernah berdiri stupa utama yang dikelilingi stupa-stupa yang lebih kecil di sekitarnya, salah satu stupa kecil itu (di sudut tenggara bagian atap) masih tersisa bagian lapiknya.
- Pembahasan telah dilakukan secara panjang lebar dalam karya Agus Aris Munandar, “Bingkai Sejarah yang menjadi Acuan Kisah Panji”, makalah yang dibentangkan dalam Seminar Internasional Jawa Kuno: Mengenang Jasa-jasa Prof.Dr.P.J.Zoetmulder S.J. Kajian Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa Kuna. Diselenggarakan oleh Program Studi Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok,8—9 Juli 2005. Makalah ini telah menjadi salah satu bab dalam buku Arkeologi dan Sumber Tertulis (2017), Depok: Center for Indonesian Arts Documentation. Halaman 56—99. Kemudian dibahas pula dalam buku dari penulis yang sama berjudul Gajah Mada: Kuasa, Cita-cita & Prahara.(2009). Bogor: Akademia. Dalam Bab 10: 105—114.
Daftar Pustaka
- Ayatrohaedi. 1988. "Serat Dewabuda: Alih Aksara dan Terjemahan". Naskah Laporan Penelitian untuk bagian Proyek Penelitian dan Pengajian Kebudayaan Sunda, (Sundanologi) Bandung.
- Bernet Kempers, A.J. 1959. "Ancient Indonesian Art". Amsterdam: C.P.J.van Der Peet.
- Bikkhu Bodhi. 2010. "Tipiţaka Tematik: Sabda Buddha dalam Kitab Suci Pāli". (Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Hendra Widjaja). Ehipassiko Collection. Dicetak oleh PT.Gramedia Jakarta.
- Cortesao, Armando. 1944. "The Suma Oriental of Time Pires: An account of the East, from the Red Sea to Japan, written in Malacca and India in 1512—1515 and The Book of Francisco Rodrigues: Rutter of Voyage in the Red Sea, Nautical Rules, Alamanack and Maps, written and drawn in the East before 1515". Reproduced, by permission of the Hakluyt society from the edition originally published by the society in 1944. Nederland/Liechtenstein: Kraus Reprint Limited, 1967.
- Groeneveldt, W.P. 2009. "Indonesia dalam Catatan Tionghoa. (Judul asli Notes on the Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinese Sources)". Jakarta: Komunitas Bambu.
- Hardjowardojo, Pitono, 1965. Pararaton. Djakarta: Bhratara.
- Kasdi, Aminuddin. 2008. "Serat Pararaton atawa Katuturanira Ken Arok: Kajian Historis sebagai Sastra Sejarah". Surabaya: Unesa University Press.
- Kriswanto, Agung. 2009. "Pararaton Alih Aksara dan Terjemahan". Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
- Maclaine Pont, H. 1924. “Majapahit. Poging tot Reconstructie van het Stadsplan, Nagezocht op het Terrein aan de Hand van den Middeleeuwscheen Dichter Prapanca”, OV. Bijlage D: 36—75.
- Munandar, Agus Aris. 2003. "Aksamala: Bunga Rampai Karya Penelitian. Seri Kajian Arkeologi". Bogor: Akademia.
- -------------. 2007. "Situs Sindangbarang Bukti Kegiatan Keagamaan Masyarakat Kerajaan Sunda (abad 13—15 M): Laporan Hasil Penelitian Awal". Bogor: Padepokan Giri Sunda Pura.
- -------------. 2009. "Gajah Mada: Kuasa Cita-cita & Prahara". Bogor: Akademia.
- Nakada, Kozo. 1982. "An Inventory of the Dated Inscriptions in Java". Tokyo: The Toyo Bunko.
- Noorduyn, J. 1982. “Bujangga Manik’s Journeys Through Java: Topographical data from an Old Sundanese Source”, dalam Bijdragen tot de taal, land-, en volkenkunde, Deel 138 4e Aflevering. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. Halaman 413—442.
- Nurhajarini, Dwi Ratna dkk. 1999. "Kajian Mitos dan Nilai Budaya dalam Tantu Panggelaran". Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya, Dit.Sejarah dan Nilai Tradisional, Ditjen Kebudayaan, Depdikbud.
- Padmapuspita, Ki J. 1966. "Pararaton: Teks Bahasa Kawi Terdjemahan Bahasa Indonesia". Jogjakarta: Taman Siswa.
- Pigeaud, Theodoor Gautier Thomas. 1924. "De Tantu Panggelaran: Een Oud-Javaansch Prozageschrift, uitgegeven, vertaald en toegelicht". ‘s-Gravenhage: Nederl.Boek-en Steendrukkerij voorheen H.L.Smits.
- ----------, 1960—63, Java in The 14th Century A Study in Cultural History: The Nagara-kertagama By Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 AD. Volume I—V. The Hague: Martinus Nijhoff.
- Poerbatjaraka, R.M.Ng. dan Tardjan Hadidjaja, 1957. Kepustakaan Djawa. Djakarta: Djambatan.
- Poerbatjaraka, R.M.Ng. & Soewito Santoso (Penerjemah), 1975. Calon Arang si Janda dari Girah. Jakarta: Balai Pustaka.
- Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, 1986. Rencana Induk Arkeologi Bekas Kota Kerajaan Majapahit, Trowulan. Jakarta: Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Ditjen Kebudayaan, Depdikbud.
- Robson, S.O. 1979. “Notes on the early Kidung literature”, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 135 , no: 2/3, Leiden. Halaman 300--322.
- Robson, Stuart. 1995. "Deśawarņana (Nāgarakŗtāgama) By Mpu Prapanca". Leiden: KITLV Press.
- Sidomulyo, Hadi. 2007. "Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca". Jakarta: Wedatama Widya Sastra, Yayasan Nandiswara, dan Jurusan Pendidikan Sejarah Unesa.
- Stuart, A.B.Cohen. 1875. "Kawi Oorkonden: Inleiding en Transscriptie voor rekening van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen". Leiden: E.J.Brill.
- Wibowo, A.S., 1977. “Fungsi Kolam-Buatan di Kota Majapahit”, dalam Majalah Arkeologi. Tahun I, No.2, November. Jakarta: Lembaga Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Halaman 41—49.
- -----------. 1983. ”Nagarakrtagama dan Trowulan”, dalam Berkala Arkeologi. IV (1), Maret. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta. Halaman 1--20.
- Zoetmulder, P.J.,1982. "Old Javanese-English Dictionary". 2 Volumes. ‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
- -------------------. 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.
- Zoetmulder P.J. & S.O.Robson. 1995. "Kamus Jawa Kuna-Indonesia 1 dan 2". Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.