Cari

Nyi Rambut Kasih dan Kerajaan-kerajaan Sunda di Majalengka (Sebuah Penelusuran Pra-Islam).

Pendopo Bupati Majalengka, foto: sinarmedia-news.com
[Historiana] - Abad ke-XV kawasan Majalengka sekarang, terdapat beberapa kerajaan urang Sunda yang berlandaskan agama Sunda, Hindu dan Budha sekalipun tidak semua kerajaan tersebut sempat meninggalkan data-data sejarah secara kuat.  Adapun kerajaan yang dimaksud adalah sebagai berikut. Kerajaan Talaga, Kerajaan Sindangkasih, Kerajaan Jatiraga.

Legenda Nyi Rambut Kasih
Nama Nyai Rambut Kasih bagi warga Kabupaten Majalengka kerap dikaitkan dengan sejarah berdirinya daerah tersebut.  Ratu Ayu Panvidagan, begitulah nama asli Nyai Rambut Kasih. Dia adalah seorang ratu  Majalengka yang cantik rupawan. Sang Ratu pun dan kerap mengurai rambut panjangnya dalam kesehariannya.

Bahkan berdasarkan cerita, kecantikan sang ratu tak ada bandingannya pada zamannya. Tak hanya cantik, dia pun memiliki kesaktiaan yang luar biasa, sehingga tak seorang pun sanggup menatap kemolekan wajah Nyai Rambut Kasih. Kerajaan yang menjadi pemerintahannya saat itu bernama Sindang Kasih. Konon Kerajaan Sindang Kasih terkenal dengan buah yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Nama buah itu bernama buah Maja.

Nyai Rambut Kasih juga dikenal sebagai sosok ratu yang memerintah negerinya dengan penuh cinta, aman, damai, dan mensejahterakan kehidupan rakyatnya dengan ketulusan tanpa kepentingan apapun. Ratu Nyai Rambut Kasih konon kabarnya masih keturunan Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran yang terkenal di tatar Sunda. Nyai Rambut Kasih masih bersaudara dengan Rarasantang, Kiansantang dan Walangsungsang.

Menurut cerita rakyat, awal mula Nyai Rambut Kasih datang ke Majalengka bermula hendak menemui saudaranya di daerah Talaga. Saudaranya bernama Raden Munding Sariageng suami dari Ratu Mayang Karuna yang waktu itu memerintah di Kerajaan Talaga Manggung.

Di perbatasan Majalengka tepatnya di Talaga, Nyai Rambut Kasih mendengar jika saudaranya sudah masuk Islam. Sehingga dia mengurungkan niatnya menemui saudaranya. Dia singgah di Sindangkasih dan membuat pemerintahan dengan daerahnya meliputi Sindangkasih, Kulur, Kawunghilir, Cieurih, Cicenang, Cigasong, Babakanjawa, Munjul dan Cijati.

Pada masa pemerintahannya, di wilayah Cirebon tengah dilanda penyakit yang tidak ada obatnya. Sunan Gunung Djati saat itu berusaha untuk bisa mengobati penyakit yang diderita rakyatnya. Namun hasilnya nihil. Kemudian Sunan Gunung Djati berdoa kepada Allah agar bisa menemukan obat tersebut.

Dalam doa itu, Sunan Gunung Djati mendapatkan petunjuk bahwa obat untuk mengobati rakyatnya terdapat di Kerajaan Sindang Kasih berupa pohon Maja. Kemudian, kanjeng Sunan memerintahkan putranya Pangeran Muhammad bersama istrinya Siti Armilah bersama sebagian prajuritnya menemui penguasa di Kerajaan Sindang Kasih, yang tak lain adalah Nyai Rambut Kasih.

Disamping itu, Pangeran Muhammad diperintahkan pula agar menyebar agama Islam di wilayah tersebut, yang kala itu banyak beragama Hindu.

Dalam pengembaraannya, Pangeran Muhammad bersama istrinya Siti Armilah mendapatkan respon positif dari rakyat Sindang Kasih. Hal itu ditandai dengan banyaknya rakyat yang memeluk agama Islam. Kabar itu terdengar oleh sang ratu dan membuatnya murka. Kemudian, sang ratu memerintahkan prajuritnya untuk mengungkap kebenaran berita tersebut. Ternyata setelah diselidiki kabar itu memang benar adanya. Akan tetapi Nyai Rambut Kasih saat mengetahui sosok Pangeran Muhammad adalah sosok yang tampan.

Dia pun tak bisa mengelak akan ketampanannya dan langsung terpana. Hingga akhirnya sang ratu jatuh cinta. Singkat cerita, Pangeran Muhammad kemudian datang menghadap ke Kerajaan Sindang Kasih dan bertemu dengan Nyai Rambut Kasih. Dia mengutarakan maksudnya yakni meminta buah Maja dan mengajak memeluk Agama Islam. Namun, permintaan pindah agama ditolak mentah-mentah. Sedangkan buah Maja akan diberikan dengan syarat Pangeran Muhammad mau menikahinya.

Pangeran Muhammad menyanggupi persyaratan itu, asalkan Nyai Rambut Kasih memeluk agama Islam dulu. Menanggapi permintaan itu, ratu menolaknya. Hingga akhirnya terjadi pertempuran antara Pangeran Muhammad dengan Nyai Rambut Kasih.

Saat terjadi pertempuran, Ratu Nyai Rambut Kasih terdesak dan hampir mengalami kekalahan.

Hingga akhirnya, karena tak rela buah Maja yang menjadi simbol kerajaan tersebut sang Ratu pun akhirnya menghilangkan diri bersama buah Majanya.

Saat melihat kondisi tersebut, prajurit Pangeran Muhammad yang berasal dari Cirebon, berkata "Maja langka..", "Maja Langka.." yang dalam bahasa Indonesia Langka artinya tidak ada atau menghilang.

Dididuga karena pelafalan yang sulit, sehingga orang sunda, menyebutnya Maja lengka (Majalengka). Hingga akhirnya nama Kabupaten Majalengka tidak terlepas dari kisah tersebut. Maja Langka menjadi Majalengka, begitu menurut cerita rakyat yang berada dari mulut ke mulut secara turun temurun.

Mengenai bukti keberadaan Nyai Rambut Kasih, selain berada di Gedung Pendopo Kabupaten Majalengka dengan kamar khususnya. Konon kerap kali pegawai Pemkab Majalengka menyaksikan penampakkan seorang wanita berambut panjang terurai mengenakan gaun ala wanita bangsawan jaman dulu. Diyakini betul bila itulah sosok Nyai Rambut Kasih. Selain gedung pendopo, petilasan Nyai Rambut Kasih yang kerap dikunjungi masyarakat, terletak di Kampung Parakan, Kelurahan Sindang Kasih, Majalengka.

Di sana terdapat bangunan bercungkup, batu-batu tempat semadi dan Sumur Cikahuripan yang airnya dipercaya bisa membawa keberkahan dalam hidup. Bahkan pada 7 Juni 1994, Bupati Majalengka H Adam Hidayat ketika itu, berkenan meresmikannya sebagai kawasan cagar budaya yang harus dilindungi. Selain Sindang Kasih, tempat persinggahan Nyai Rambut Kasih lainnya terdapat di Dusun Banjaran Hilir, Kecamatan Banjaran, Majalengka.

Lokasinya berada di tanah milik seorang juru kunci yang diamanahi secara turun-temurun. Masyarakat Dusun Banjaran Hilir dan sekitarnya, sampai sekarang masih mempercayai akan kehadiran sosok Nyai Rambut Kasih di tempat itu.

Bila ada warga yang hendak menggelar pesta pernikahan atau khitanan, sudah menjadi keharusan untuk terlebih dahulu melakukan ziarah dan berkirim doa kepada Nyai Rambut Kasih. Dan apabila di dalam pesta digelar pula hiburan Jaipongan, maka sinden harus melantunkan tembang Sunda kesukaan Nyai Rambut Kasih seperti Kembang Beureum, Engko dan Salisih.

Konon, bila sinden tidak menembangkan lagu itu, maka akan ada keluarga empunya hajat yang kesurupan.


Kerajaan Sindangkasih (?)
Nama Sindangkasih dapat dipastikan diambil dari Mandala Sindangkasih. Istilah Mandala menunjukkan terpengaruh agama Budha. Brangkali ini merupakan perubahan nama dari "Kabuyutan" atau kedua istilah itu digunakan untuk menunjukkan hal yang sama yaitu tempat suci sekaligus tempat menuntut ilmu keagamaan.

Dari Mandala inilah terlahir orang-orang cerdas berilmu tinggi. Ilmu di sini tidak saja berkaitan dengan ilmu kanuragan (yang sering disalahartikan masyarakat), tetapi juga mengenai ilmu sains terapan. Konon, para raja menjadikan Mandala sebagai "kawah candradimuka" mereka sebelum nyakrawati, menjabat sebagai raja.

Menurut Undang A Darsa, pada zaman sistem pemerintahan kerajaan, lembaga formal pendidikan atau pabrik orang-orang cerdas itu salah satunya adalah mandala. Dengan kata lain, salah satu pengertian mandala adalah  lembaga formal pendidikan di Sunda pada masa sistem kerajaan. Dalam kronik lontar Sunda Kuno (abad XV-XVI Masehi) tercatat ada 73 mandala di Tatar Sunda, dari Ujung Kulon sampai batas Timur Kerajaan Sunda, Cipamali.

Dari 73 Mandala yang disebutkan Undang A Darsa adalah Mandala Sindangkasih. Dimanakah lokasinya? tentu berkaitan dengan sistem kosmologi Sunda yaitu pegunungan, bukit atau dalam bahasa Sunda disebut pasir.

Kami menelusuri jejak Mandala Sindangkasih ini. Lokasi ideal di wilayah Sindangkasih (Majalengka) untuk pegunungan adalah di wilayah Selatan kota Majalengka sekarang. wilayah selatan cenderung berbukit. namun demikian adapula Gunung Tempuh (Gunung Tilu) di utara kota Majalengka. Kami pun menelisik gunung ini. Namun masih belum menemukan bukti keras bahwa di lokasi ini sebagai Mandala.

Meskipun ada petilasan Nyi Rambut Kasih di Desa Sindangkasih, sepertinya tidak menunjukkan bahwa itu wilayah kemandalaan. Wilayah yang kami teliti gunung atau bukit disebelah selatan petilasan. Fokus kami ke Gunung Karang Bentang, Batu Karang dan Gunung Balay.

Dalam sebuah legenda bahwa di Gunung Balay terdapat petilasan Prabu Aji Putih dari Kerajaan Tembong Ageung cikal bakal Kerajaan Sumedang Larang. Benarkah demikian? Menilik wilayah Sumedang sebenarnya tidak jauh dari kota Majalengka, apalagi dari Gunung Balay ini. Sekira 2 km ke arah selatan ada Sungai Cilutung dan diseberang selatan itu adalah Desa Cimaningtim Sumedang. Kok bisa ada petilasannya? Mari kita cermati apa yang dimaksed petilasan dan mengapa dihormati orang Suda.

Petilasan berasal dari kata "tilas" artinya bekas. Dengan tambahan awalan "pe" dan akhiran "an" menjadi kata benda dalam hal ini penunjuk tempat. Sama halnya dengan "Mandi" jadi "Pemandian", juga serupa dengan "Pemondokan"  Dalam ageman Sunda, bekas duduk bahkan bersandarnya orang suci "pamali" alias tabu bagi rakyat untuk duduk atau bersandar di "tilas" orang suci duduk atau bersandar. Hal ini diuraikan secara gamblang dalam Kitab Siksa Kanda Ng Karesian:
...Nyanda di [u]rut sanghyang kalih deuuk di tihang, di kayu, di batu, nyeueung inya anggeus diri disilihan nyanda, ngara[n]na lembu anggasin. Itu kehna ingetkeuneun lamun dek luput ti naraka... 
Bersandar pada bekas orang suci duduk pada tiang, pada kayu, pada batu, padahal kita melihatnya dan setelah mereka pergi kita menggantikannya bersandar di situ, disebut lembu menantang. Itu semua perlu diingat kalau ingin terluput dari neraka
Oleh karenanya, semua petilasan selalu dihormati oleh orang Sunda, bahkan hingga beragama Islam pun petilasan para raja dan orang suci kerap diziarahi. Kita bisa mengasumsikan bahwa yang disebut petilasan Nyi Rambut Kasih itu mungkin "tilas calik" waktu bertapa atau bekas bersandar hanya sekedar melepas lelah. Selanjutnya diingat oleh masyarakat jika pembesar/bangsawan pernah ada di situ "She Was Here". Bisa diasumsikan pembentukan petilasan adalah budaya "catatan" tak tertulis mengenai suatu peritiwa bagi anak cucu di wilayah tersebut.

Lalu, siapakah penguasa kemandalaan atau kemudian disebut Kerajaan Sindangkasih? Ada 2 kemungkinan: pertama, Sindangkasih hanya sebuah Kemandalaan atau Kabuyutan saja, bukan kerajaan. Kedua, Sindangkasih memang sebuah kerajaan.

Di Tatar Sunda dan Galuh memiliki sistem pemerintahan yang sederhana, tidak seperti di Jawa Tengah atau Jawa Timur. Tingkatan para pemangku tugas kerajaan pun berbeda-beda. Mari kita lihat juga rincian tingkatan jabatan semasa kerajaan dalam Kitab Siksa Kanda Ng Karsian yang disebut "Dasa Perbakti":
Nihan sinangguh dasa prebakti ngaranya. Anak bakti di bapa, ewe bakti di laki. hulun bakti di pacandaan, sisya bakti di guru, wang tani bakti di wado. wado bakti di mantri, mantri bakti di nu nangganan. nu nangganan bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di hyang. Ya ta sinangguh dasa prebakti ngara[n]na.  
Ini yang disebut dasa prebakti. Anak tunduk kepada bapak; isteri tunduk kepada suami; hamba tunduk kepada majikan siswa tunduk kepada guru; petani tunduk kepada wado; wado tunduk kepada mantri, mantri tunduk kepada nu nangganan; nu nangganan tunduk kepada mangkubumi; mangkubumi tunduk kepada raja; raja tunduk kepada dewata; dewata tunduk kepada hiyang. Ya itulah yang disebut dasa prebakti namanya.
Sistem pemerintahan kerajaan di Sunda menunjukan negeri agraris yang bermatapencaharian dengan cara bertani. Berikut disederhanakan lapisan masyarakat serta pejabat kerajaan Sunda dan tingkatannya (dari Bawah ke atas)
  1. Petani
  2. Hulun
  3. Pacandaan
  4. Wado
  5. Mantri
  6. Nangganan
  7. Mangkubumi
  8. Raja
  9. Dewata
  10. Hyang
Urutan 2 (Hulun) sampai dengan 8 (Raja) adalah Jabatan kerajaan di Sunda. Dengan demikian, istilah Demang, Tumenggung, Adipati, Pangeran dan Susuhunan tidak dipergunakan dalam kerajaan Sunda kuno. Posisi puncak pemerintahan adalah raja dengan sebutan "Prebu" atau Prabu. Maka tidak heran bila kita mengenal banyak nama Prabu untuk disamaartikan dengan Raja yang menguasai suatu wilayah, meskipun itu hanya sebuah desa.

Siapakah penguasa Kerajaan Sindangkasih? Ki Gedeng Sindang kasih yang berasal dari kata Gede Ing Sindangkasih. Artinya Pembesar/Pemimpin di Sindangkasih. Itu bukan nama orang tetapi sebutan saja. Sama halnya dengan sebutan Siliwangi. hal ini telah menjadi budaya di Sunda bahwa menyebut nama orang apalagi pembesar adalah Tabu. Tidak percaya? Coba saja perhatikan di lingkungan kecil saja di sekitar rumah kita, ada Guru bernama Momon, kita segan menyebut Pak Momon, tetapi Pak Guru Momon atau Pak Guru saja. Pun demikian kita menyebut Pak haji/Bu Haji, Pak Kuwu/Pak Kades, pak Ulis, Pak Kuncen dan Pak Kopral serta lain sebagaianya. Kita merasa lebih "pas" menyebut jabatannya daripada namanya. Begitu pula orang yang disapa akan merasa dihormati.

Inilah yang menyulitkan menelusuri sejarah Sunda di wilayah pedalaman (tengah pulau) termasuk Sindangkasih. Sumber-sumber luar seperti dari Catatan Musafir China, Portugis dan Arab bisa menjadi sumber sejarah (Proto-Sejarah). Catatan Belanda bisa menjadi sumber sejarah, karena dianggap bersumber dari dalam negeri. Keberadaan Sindangkasih merujuk wilayah Kota Majalengka Sekarang ada dalam tulisan catatan Belanda mengenai perjalan selama masa perkebunan kopi: Namun tdak menyebutkan secara jelas bahwa Sindangkasih adalah kerajaan, tetapi Sindangkasih adalah Kota Majalengka sekarang.

Kembali ke Mandala atau kabuyutan. Sepertinya, Sindangkasih hanya berupa Kamandalaan atau Kabuyutan yang Bercorak Agama Hyang (Darma), Budha atau Hindu. Meskipun dalam berbagai legenda diceritakan bahwa Nyi Rambut Kasih bergamana Hindu. Berawal dari rencana mengunjungi Kerajaan Talaga, namun niat ini dibatalkan karena kerajaan Talaga telah beragama Islam. Bernarkah kisah ini? bila kisah ini tidak benar, darimanakah berasal?

Sudah menjadi kisah yang telah diketahui publik, bahwa nama Majalengka diberikan oleh orang Cirebon dari asal kata Maja-Langka atau Majae-Langka. Maja berarti buah "Maja" dan Langka artinya "tidak ada". Dalam kisah legenda ini juga dibumbui dengan gambaran betapa cantiknya Sang Ratu Nyi Rambut Kasih serta ia memiliki kesaktian mandraguna. Coba bandingkan pula dengan kisah-kisah ketika raja-raja Sunda-Galuh atau Pajajaran memperistri seorang wanita selalu dimulai dengan sayembara dan adu Kasakten (kesaktian). Benarkah itu terjadi? Sepertinya ini sebuah mitos belaka. Mari kita ungkap secara mendalam.

Kisah asal-usul Majalengka disertai dengan proses peng-Islam dari Cirebon dibawah pimpinan Pangeran Muhammad dan Istrinya Siti Armilah. Alur kisahnya ditulis dalam naskah-naskah Cirebon, seperti Babad Cirebon dan Naskah Mertasinga. Menurut penulis, naskah-naskah itu lebih bersifat "Pujasatra". Artinya menjungjung sang tokoh setempat. Ini dilakukan untuk menggambarkan bagaimana susahnya meng-Islamkan Majalengka hingga harus bertarung dahulu dengan penguasa setempat. Dan... kita sudah tahu endingnya bahwa sang tokoh utama pasti menang. Lalu yang dikalahkan akan moksa, ngahiyang atau menghilang.

Sebagai Catatan, banyak sekali versi naskah "Babad Cirebon". Silahkan baca di katalognya Berbagai babad Cirebon di Sini. Sebagian besar naskah tidak ditulis di Ceron (Bandung dan Garut).

Banyak kisah peng-Islaman atau pertarungan setelah kedua pihak beragama Islam dengan penggambaran berlebihan. Misalnya pertarungan hingga 40 hari 40 malam, ngapung jeung nerus bumi (terbang dan menembus bumi). Meskipun hal itu bukan mustahal atas izin Allah yang Maha Kuasa, namun cerita ini berupa Pujasastra (hanya puja dan puji). Kisah ini mirip dengan peng-Islaman di berbagai tempat di Tatar Pasundan (Jawa barat), termasuk peng-Islaman Maharaja Prabu Siliwangi oleh Kian Santang (?). Kisah epik ini diragukan kebenarannya, terutama berkaitan dengan pertempuran. Dari sisi positif, penulis menganggap mungkin ini bentuk kearifan lokal untuk tetap memosisikan yang dikalah agar tetap merasa terhormat.

Wangsa Ungkara silsilah yang tak Jelas
Saya (penulis): AH Purnama Alam Wangsa Ungkara bin Zaenal Arifin bin Kyai Hasyim bin Kyai Abhari dst ke atas.... sampai Kyai sebagai Karuhun saya dari Cirebon yang menyebarkan Islam di Majalengka. Beliau harus syahid di tangan masyarakat Tonjong Majalengka. Penyebabnya saat itu, beliau kalah adu kasakten dengan "penguasa" setempat yang beragama Hindu. Mengenaskan... beliau meninggal "hanya" dengan cara diselipkan diantara pohon pisang (tentu dengan kekuatan ghaib). Didalam proses mencertakannya, Ayah dan Mbah saya menyebutkan pertarungan hingga 40 hari 40 malam. See.... sama dengan kisah-kisah lain di atas.

Dia atas adalah kisah sebenarnya tentang penyebaran Islam yang memang mendapatkan penentangan (bukan perlawanan). Dan membuktikan bahwa siapa saja bisa menguasai kekuatan ghaib (kanuragan) tidak mesti beragama Islam.

Berkaitan dengan penyebaran Islam Cirebon, tentu agar lebih mengesankan sang Tokoh "harus" Sakti Mandraguna tak tertandingi.

Nama penulis menambahka "Wangsa Ungkara" dari Raden Wangsa Ungkara yang sudah tidak diperkenankan oleh keluarga dan leluhur kami yang aktif menyebarkan Islam dan aktif selama  perjuangan pendidikan Islam di Majalengka melalui PUI pimpinan KH Abdul Halim. Kyai Abhari adalah salah satu pengajar mendapingi KH Abdul Halim. Nama Wangsa Ungkara ingin penulis pakai kembali dengan maksud agar tidak "Pareumeun Obor" kehilangan jejak Pancakaki dengan karuhun (leluhur) sendiri.

Siapa Wangsa Ungkara? meskipun dari penjelasan keluarga dan leluhur bahwa bergelar Raden, Rahadyan atau Rakyan, tetapi menurut penulis Wangsa Ungkara bukan dari kalangan Tohaan (Raja), khususnya nama Wangsa tersebut, tetapi dari Kasta Brahmana atau Resi Guru. Wangsa Ungkara atau Wangsa Ongkara atau Wangsa Hungkara atau Wangsa Hongkara. Hongkara ini didapati sebagai Shiwa dalam kitab Weda Hindu. Disebutkan Hongkara Wangsa. Oleh karena itu penulis mengerti jika keluarga tidak ingin mencantumkan wangsa ungkara dibelakang nama keluarga kami yang dikenal keluarga Kyai.

Bila mengacu ke kerajaan Talaga Manggung, agama yang dianut di Talaga adalah Budha Sarwastiwadha. Sepertinya posisi geografis dari Pegunungan Madati yang sejak megalitikum dijadikan pusat religi, menjadi acuan bagi Sang Sudayosa (Batara Gunung Bitung) untuk mendirikan Padepokan Agama Budha Sarwastiwada di Gunung Bitung.

Aliran ini diperkatakan mula muncul di rantau Awanti di India. Pengasasnya, seorang bhikkhu bernama Puranna, yang dihormati dalam Mahisasaka Winaya. Penghormatan kepada beliau terdapat dalam sastera ajaran Buddha dalam bahasa Cina. Baca Aliran ajaran Buddha Mahisasaka.

Dalam kurun ke-7 M, bhikkhu I Tsing menggolongkan aliran ini bersama dengan Dharmmaguptaka dan Kasyapiya sebagai cawangan ranting kepada Sarwastiwada dan menyatakan bahwa ketiga aliran ini tak terkenal di lima bagian India tapi tersebar di Oddiyana, Khotan dan Kucha, China. Ciri khas aliran ini, bikkhu menggunakan pakaian berwarna biru. Jadi besar kemungkinan Talaga manggung telah kontak dengan bikkhu dari Tibet atau China sebagaimana beberapa artefak yang tersimpan di Museum Talaga Manggung menunjukkan bukti itu.

Tapi... Benarkah Talaga Manggung menganut aliran Sarwastiwadha? Pandangan Budha aliran Sarwastiwada tentang wanita berbeda. Aliran ini berpegang bahawa ada lima halangan yang terdapat pada wanita. Antaranya, mereka tak boleh menjadi ketua segala cakrawarti (menjadi ratu), ketua mara, ketua sakra, ketua brahma, atau seorang Buddha. Pandangan kelompok Maisasaka ini terlihat pada tokoh, Mara dalam Nagadatta Sutra kelompok Sarwatiswadin:
Mara berkata, "Aku tak pernah mendengar pun seorang wanita itu boleh memangku jabatan menjadi cakrawati; bagaimana mana engkau akan menjadikannya sebagai seorang Buddha pula? Untuk mencapai taraf seorang Buddha itu amat lama, kenapa tak mencoba mencapai Arahant sahaja dan capai Nirwana selepasnya?" Dijawab Nagadatta, "Aku pun mendengar bahwa wanita itu tak boleh menjadi cakrawartin, sebagai sakra, sebagai brahma dan sebagai Buddha, tapi aku mencoba menjalani usaha yang benar bagi merubah tubuh wanita ini menjadi tubuh lelaki. Karena aku mendengar Yang Mulia itu semuanya, meneruskan ajaran Bodhisattwacarya 100,000 nayuta dari koti dari kalpa dengan gigihnya berusaha mencapai Pencerahan".
Sementara itu, dalam sejarah Talaga Manggung terdapat Ratu Simbar Kancana nu nyakrawati di Talaga. Jadi, tidak menganut Budha Sarwastiwada?. Tunggu dulu! Berdasarkan penemuan patung Padmapani yang menggambarkan "Tara", artinya dibawah buddha atau sebelum menjadi Budha.menunjukkan posisi wanita dalam ajaran Sarwastiwada.

Arca/patung Dewi Padmapani Talaga
Rupanya di kerajaan Talaga manggung, tidak menerapkan ajaran Sarwastiwada dalam hal kepemimpinan tetapi menerapkan Ajaran Buddha Tantrayana. Ajaran ini melekat pada patung Dewi Simbar Kancana yang tidak mengenakan pakaian penutup atas.

Arca/Patung Dewi Simbar Kancana (tidak berpenutup dada)
Dengan rujukan dari Kerajaan Talaga Manggung, mungkin pula di Kamandalaan Sindangkasih menganut ajaran Buddha dengan aliran yang sama yaitu Tantrayana. Tentang aliran ini dapat di baca pada: Historiana: Tantrayana Pernah Berkembang Luas di Indonesia.

Mencari bukti 
Penulis sedang menelusuri data dan fakta tentang keberagaam pra-Islam di Majalengka. Bila sudah dapat gambaran tentang agama yang di anut oleh penduduk Sindangkasih (Majalengka kota), baru akan dengan mudah menentukan petilasan yang dimaksud. Bila mengacu pada kitab Siksa Kanda Ng karesian dari Galuh yang diberikan oleh Bupati Bandung RAA Wiranatakusumah IV, tergambar penduduk Pasundan beragama Siksa (Hindu). Ajaran Siksa Wedangga atau Vedanga (IAST vedāṅga) yang berarti "bagian-bagian" merupakan sastra sebagai "alat bantu" dalam memahami Veda. Wedangga merupakan buku sumber dalam mempelajari dan mendalami secara nyata dari mantra-mantra Veda. Wedangga memiliki enam bagian, di antaranya adalah:
  1. Siksha (śikṣā): fonetika dan fonologi (sandhi).
  2. Chanda (chandas): irama.
  3. Vyakarana (vyākaraṇa): tata bahasa.
  4. Nirukta (nirukta): etimologi.
  5. Jyotisha (jyotiṣa): astrologi dan astronomi.
  6. Kalpa (kalpa): ilmu mengenai upacara keagamaan.
Wedangga pertama kali dimuat dalam Mudaka Upanishad, sebagai topik kajian bagi para siswa dalam mempelajari Veda. Kemudian, para siswa tersebut mengembangkan disiplin ilmu Wedangga sebagai ilmu yang mandiri, dan masing-masing menyusun Sutra.

Kerajaan Talaga Manggung
Membahas Kerajaan Talaga manggung di sini tidak bermaksud menguraikan silsilahnya secara lengkap, namun mengikuti alur kisah legenda Nyi Rambut Kasih yang menyebut kerajaan ini.

Konon, Nyi Rambut Kasih adalah istri Prabu Siliwangi. Hal ini tidak terlalu menjadi fokus utama tentang kemungkinan istri Prabu Siliwangi. Sudah umum para bangsawan, apalagi raja yang memiliki banyak istri.

Dikisahkan Nyi rambut kasih adalah seorang permaisuri yang sangat cantik dan memiliki rambut yang panjang sehingga ketika berjalan,rambutnya harus dipegangi oleh dayang-dayangnya.Maka dari itu nyi rambut kasih sangat disayangi oleh prabu siliwangi dan ini menyebabkan rasa iri di hati selir-selir prabu siliwangi.

Selir yang merasa iri tersebut pun merancanakan untuk membunuh nyi rambut kasih maka ketika prabu siliwangi sedang berpergian,rencana itu pun dilaksanakan.Namun nyi rambut kasih beserta dayang nya berhasil lolos dan melarikan ke majalengka,satu persatu dayangnya mati dibunuh oleh orang-orang suruhan dari selir jahat tersebut.

Lalu seorang diri, Nyi Rambut Kasih berhasil sampai di majalengka namun nahas, dia terjebak. Tidak ada jalan untuk melarikan diri, yang ada adalah jurang yang dalam. Dengan rasa putus asa karena terpojok dan orang yang akan membunuhnya sudah dekat,nyi rambut kasih melakukan bunuh diri dengan terjun ke jurang tersebut.

Tunggu dulu.... bukankah rambutnya panjang? koq bisa lari seorang diri? dan saat itu perjalanan via jalur tengah Tatar Sunda adalah pegunungan dengan hutan yang lebat.

Dalam pelarian tersebut, Nyi Rambut Kasih bermaksud menemui saudaranya di Kerajaan talaga Manggung. Menurut cerita rakyat, awal mula Nyai Rambut Kasih sampai datang ke Majalengka bermula menemui saudaranya di daerah Talaga bernama Raden Munding Sari Ageung, suami dari Ratu Mayang Karuna yang waktu itu memerintah Kerajaan Talaga Manggung.

Stop dulu.... ia menemui saudaranya di Talaga Manggung yaitu Raden Munding Sari Ageung. Beliau adalah ayah dari Raden Rangga Mantri (Prabu Pucuk Umum/umun) suami Ratu Parung (Ratu Dewi Sunyalarang), putrinya Sunan Parung. Jadi sebenarnya yang mau ditemui itu bukan penguasa Talaga Manggung, tetapi besannya Sunan Parung, yaitu Raden Munding Sari Ageung yang belum tentu berkedudukan di Talaga. Mengingat Raden Munding Sari Ageung (1521) adalah turunan Pajajaran. Bila kisahnya benar, berarti saat itu Raden Munding Sari Ageung sedang atau berkedudukan di Talaga (?). Hrusnya mendatangi Talaga menemui Raden Rangga Mantri (Prabu Pucuk Umum), buka Raden Munding Sari Ageung.

Pada tahun 1529 Ratu Parung dan Raden Rangga Mantri mengucapkan syahadatain, masuk agama Islam, melalui dakwah Sunan Gunung Djati yang dibantu para dai Cirebon. Selanjutnya Sunan Gunung Djati (Syaikh Syarif Hidayatullah) memberikan gelar Prabu Pucuk Umum Talaga kepada Raden Ragamantri sebagai bentuk penghormatan kepada beliau dan keluarga besar Talaga. Baca: Tatang Manguny: Kerajaan Talaga: Silsilah yang tumpang tindih.

Namun, dari sisi lini masa kejadian Nyi Rambut Kasih ke Kerajaan Talaga Manggung  seharusnya sekira tahun 1529 dan setelahnya. Ini menjadi tepat bila saat itu yang akan dikunjunginya Ratu Parung (Ratu Sunyalarang) yang berasal dari Kerajaan Pajajaran, mengingat disebutkan Nyi Rambut kasih adalah keturunan Pajajaran juga. Ia disebut-sebut bersaudara dengan Kian Santang, Walangsungsang dan Nyi Rara Santang.

Ini sangat tumpang tindih sekali. Disebutkan bahwa Nyi Rambut Kasih istri Prabu Siliwangi (Asumsinya Prabu Pamanahrasa/Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi yang berkedudukan di Pajajaran). Jika demikian, seharusnya Kian Santang, Walangsungsang dan Rara Santang adalah "anak-anaknya" dari istri yang lain. Mengingat ibu mereka adalah Nyi Subang Larang yang juga istri Prabu Siliwangi. Konon total istri Prabu Siliwangi berjumlah 151 orang.
Baca Juga

Sponsor