Cari

Garbawasa Sastra, Ilmu Kebidanan dalam Naskah Kuno di Tatar Sunda

Ilustrasi: kb.alitmd.com
[Historiana] - Setiap budaya menandai peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, dengan banyak budaya merayakan kehamilan. Tandai kesempatan itu dan rayakan kehamilan Anda dengan tradisi dan ritual yang diamati di seluruh dunia. Demikian pula di Indonesia khususnya dalam budaya Sunda. Tulisan ini diadaptasi dari tulisan Dr. Kalsum, Fakultas Sastra – Universitas Padjadjaran, Bidang Kajian Utama: Filologi

Garbawasa atau Garbawasta adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehamilan atau disebut tentang ilmu kebidanan kuno di tatas Sunda (Pasundan). Dalam prakteknya kita lebih mengenal sebagai tata cara adat budaya Sunda mengenai proses kehamilan hingga kelahiran bayi beserta tata cara ritualnya.

Orang Sunda melakukan ritual pada peristiwa penting di dalam hidupnya, yakni
  1. Ritual kelahiran sejak ibu mengandung, melahirkan, dan usia anak mencapai balita. 
  2. Ritual perkawinan, 
  3. Ritual kematian.  
Pembahasan ini hanya akan mengedepankan ritual kelahiran. Ritual kelahiran telah dilaksanakan sejak bayi dalam kandungan 7 bulan. Peristiwa ini disebut nujuh bulan atau babarit.



Setelah melaksanakan hajat babarit, keluarga melaksanakan ngahuripan. Kata ngahuripan berasal dari kata dasar hurip (hurip artinya hidup sejahtera lahir batin, ada ungkapan lamun hirup lamun teu hurip ‘hidup namun tidak sejahtera’ ). Ngahuripan yakni keluarga wanita hamil mendatangi paraji, yang akan menolong ibu hamil pada proses kelahiran, sambil membawa beras sebakul dan ayam jago yang paling bagus. Apabila keluarga tidak punya, ayam jago diganti dengan sebutir telur ayam. Rangkaian ritual kelahiran tidak akan dibahas seluruhnya, yang akan dibahas hanya ritual yang berkaitan dengan Nirag dan Ngaradinan.

Kita mengenal tujuh bulanan, ngayun dan lain sebagainya. Sumber naskah Sunda Kuno yang berkaitan dengan hal ini adalah Sewaka Darma. Ritual Magi atau ngadinan dibahas dalam kitab tersebut.

Di Jawa Barat terdapat Ritual Nirag yang dilakukan pada bayi ketika kelahiran dan  Ngaradinan dilakukan pada bayi berusia kurang-lebih satu minggu. Nirag memberikan petunjuk-petunjuk menjalani hidup pada bayi, Ngaradinan mengalungi leher dan menggelangi tangan dan kaki dengan benang.  Makna symbol dari ritual ini  ada kaitannya dengan bagian dari Teks Naskah Sewaka Darma. Magi Ritual Nirag dan Ngaradinan termasuk magi putih yang bertujuan supaya bayi menjadi manusia yang berpendirian kuat, mengendalikan tangan, kaki, penglihatan, penciuman, pendengaran, pengucapan dari perbuatan buruk supaya hidup berbahagia di dunia dan di Alam Keabadian.

Naskah Sunda Kuna yang berisi agama yakni Naskah Sewaka Darma. Teks ini mengisahkan tentang Sang Hiang Atma “Jiwa” dalam perjalanan ke Alam Keabadian.  Bagian dari teks ini menunjukkan ada kaitan dengan perilaku ritual tradisional yang masih dilakukan oleh sebagian masyarakat penduduk Jawa Barat  pada bayi yakni ritual Nirag dan  Ngaradinan. Ritual Nirag dilakukan ketika bayi dilahirkan dan Ngaradinan terdapat pada rangkaian Ritual Ngayun. Ritual Nirag dan Ngaradinan dianggap penting karena dianggap memiliki kekuatan magis oleh masyarakat penghayatnya.

Setelah dilaksanakan ritual Ngayun baru bayi boleh dibawa keluar rumah. Ritual ngayun menyangkut tujuan keselamatan, kesejahteraan, kebaikan lahir dan batin untuk ibu dan bayi. Ritual Ngayun dilakukan setelah tali-ari-ari bayi lepas dari pusarnya, kira-kira bayi berusia satu minggu. Dalam kehidupan sehari-hari apabila ada orang yang bertingkah laku menyimpang terucap‘kawas teu ditirag‘seperti tidak ditirag’ atau  kawas nu teu diradinan ‘seperti tidak diradinan

Ritual-ritual ini di wilayah Jawa Barat saja dilakukan secara berbeda-beda, apalagi di seluruh Nusantara. Tentang perbedaan ini, ada ungkapan berbahasa Sunda ciri sabumi cara sadesa ‘lain padang lain belalang lain lubuk lain ikannya’. Fenomena yang tampak, bayi di Jawa Barat, tangan, kaki, digelangi, leher dikalungi, dengan benang. Nama ritual dan caranya pun seperti sudah dikemukakan sebelumnya berbeda-beda pula. Walaupun ilmu kedokteran sudah maju, tradisi ini tetap dilakukan. Masyarakat tidak tahu apa tujuannya, dan tidak menolak pula ketika dukun beranak melakukannya karena sudah turun-menurun melaksanakan tradisi tersebut. Proses kelahiran dan ritual yang menyertasinya dilakukan oleh paraji / indung beurang/ ‘dukun beranak.’

Ritual tersebut di Talaga disebut Nirag dan Ngaradinan (dalam kata kerja aktif) Ditirag dan Diradinan (dalam kata kerja pasif). Talaga sebuah kecamatan termasuk Kabupaten Majalengka, letaknya di kaki Gunung Ciremay bagian timur laut Provinsi Jawa Barat. Ngaradinan berasal dari kata dasar radin. Kata ini merupakan kata arkhaik. Dalam Naskah Kuna terdapat klausa caang radin di sarira, terjemahan secara konteks, ‘jiwa yang terang benderang.’ Jadi Ritual Ngaradinan supaya jiwa bayi itu terang, tidak gelap. Terang symbol kebaikan dan gelap symbol keburukan.

Kata Nirag dan Ditirag  berasal dari kata dasar tirag, kata ini tidak tertelusuri lagi artinya. Tampaknya berasal dari akar kata rag seperti pada kata murag, ragrag yang memiliki kemiripan arti dengan tirag yakni sesuatu yang jatuh dari atas ke bawah, yang memiliki kemiripan dengan mekanisme kerja Nirag yakni memukulkan batu.  

Kata Paraji diperkirakan dari kata para ‘masyarakat umum’dan aji’ilmu pengetahuan’ dapat diartikan penyandang keahlian untuk menolong masyarakat umum’. Sementara itu ada yang menyebutkan Paraji berasal dari kata Parji (farji) dari bahasa Arab. Arti dari farji adalah "bagian intim perempuan" dengan penjelasan bahwa bayi keluar dari farji. Rupanya teori asal kata paraji dari bahasa Arab bisa terbantahkan, karena istilah paraji di tatar Pasundan telah eksis sebelum adanya Islam.

Magi memiliki sejarah yang sangat panjang, seperti berikut (Ibid, 40-43). “Persia Kuna sekitar 3000 tahun yang lalu melalui kuneiform Mesopotamia Kuna peradabannya secara histories dapat diungkap, di antaranya tentang kepercayaan  Zoroastrianisme. Zarathrustra mengajarkan bahwa alam semesta dibagi antara gelap dan terang, antara kebaikan dan kejahatan, antara kebenaran dan kepalsuan, hidup dan mati. Alam semesta terbagi dalam kubu pertentangan sejak saat penciptaan, dunia terkunci dalam pertarungan dua kubu sampai akhir zaman.

Menurut cerita Kristen tiga “orang bijak dari Timur” yakni rahib-rahib Zoroastian membawa mur dan kemenyan untuk bayi Yesus di kandang.  Para rahib atau magus  ini dianggap  memiliki kekuatan gaib. Magician berasal dari kata magi.” Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary terdapat keterangan sebagai berikut, Magi the Magi the three wise men from who brought gifts to the infant Jesus (1989: 749). Dongeng-dongeng dan budaya dari wilayah Timur Tengah banyak diserap oleh kesusastraan Sunda baik ditel-ditel maupun keseluruhan kisah, contoh Dongeng Seribu Satu Malam, Abunawas, hagiografi, dan tentang jin. Kata “majus” itu sendiri banyak ditemukan pada kisah-kisah dari wawacan  dengan istilah Nagara Kapir Majusi untuk menyatakan ‘negara orang-orang kapir yang belum masuk Islam’.

Lorens Bagus (2005: 557) menerangkan tentang magi (magis/gaib) sebagai berikut: “Inggris magic; Latin dari magia; Yunani mageia. Beberapa pengertian sebagai berikut:
  1. Magi adalah salah satu bentuk agama primitive. Dalam magi, banyak gejala dihubungkan dengan kekuatan gaib.
  2. Magi dapat diartikan juga ritus yang bertujuan mempengaruhi orang, binatang-binatang, atau roh-roh, dan lainnya.
  3. Magi primitive dipelajari oleh Levy – Bruhl dan Soviet N. Mart (1864 – 1934). Dalam magi terkandung bentuk pemikiran spesifik yang belum bisa ditarik pembedaan kualitatif antara benda-benda, karena itu terjadi pemindahan ciri-ciri suatu gejala atau hal ke beberapa gejala dan hal lain. Manusia primitive menganggap pemindahan seperti itu sebagai realitas yang tidak berubah di mana tidak ada tempat bagi hal yang adikodrati (supernatural).
“Pemikiran magis” ada bersama pemikiran logis, magi – sebagai suatu tindakan- berkaitan dengan konsepsi kekuatan adikodrati yang muncul kemudian. Konsepsi biasa mengenai magi berkaitan dengan keyakinan akan terpenuhinya secara langsung hasrat-hasrat manusiawi tanpa tindakan-tindakan logis yang diorientasikan pada tujuan yang dimaksud (misalnya, pulihnya seorang yang sakit keras hanya dengan membakar kemenyan dan mengacung-acungkan keris, dan lainnya).”

Magi sebagai daya untuk mempengaruhi orang lain ini pada masyarakat Sunda, ada yang membedakan magi hitam dan magi putih. Penggolongan ini didasarkan  baik dan buruk tujuan penghayat pada sasaran yang diakibatkan oleh magi. Umpamanya magi hitam berupa teluh atau santet untuk membuat orang menderita atau meninggal, membuat orang sakit, membuat orang gagal dalam rencananya, membuat orang gila, membungkam orang lain dan lainnya. Adapun magi putih antara lain untuk pengobatan, membangun keberanian, keselamatan, terhindar dari gangguan makhluk halus, menolong wanita melahirkan, menghilangkan rasa takut apabila ada orang meninggal, membuat menarik dan banyak lagi.

Dilihat dari segi pengaruh religi yang memunculkan magi-magi ini di Jawa Barat, ada magi-magi yang berasal dari zaman pra Islam yang kemudian dilapisi dengan kepercayaan yang diwarnai Islam. Sebagai catatan dalam hal ini,  bukanlah agama yang menimbulkan magi, namun magi tersebut muncul terinspirasi dengan masuknya agama. Simbol-simbol agama digunakan dalam magi umpamanya membubuhkan kalimat suci Islam pada mantra. Media magi atau bisa juga merupakan symbol-simbol magi, bisa berupa benda antara lain keris dan batu ali,  tumbuhan antara lain koneng ‘kunyit’, sirih, dan hanjuang, binatang antara lain, ayam dan harimau, dan verbal meliputi verbal nonnaratif dan naratif. 

Magi verbal nonnaratif yakni mantra-mantra. Mantra-mantra ini meliputi kegiatan sejak manusia bangun sampai tidur kembali, sejak manusia lahir sampai mati, dan berbagai kegiatan manusia sehari-hari. Sebagai contoh dalam pertanian sejak mencangkul sampai memasukkan padi ke leuit, kegiatan sehari-hari sejak mandi, berpakaian, kemudian, meminyaki rambut, berhias, dan memasuki pertemuan supaya menarik. Banyak sekali mantra nonnaratif yang berkembang di masyarakat. 

Adapun magi verbal naratif, ini pun cukup banyak biasanya dibacakan supaya tercapai hajat. Fiksi yang dianggap mengandung magi antara lain, fiksi narrative tentang mitos padi.Untuk pertumbuhan padi supaya baik digunakan  kisah yang sama dengan fiksi naratif magi untuk bayi supaya bayi sehat walafiat lahir maupun batin,  yakni Wawacan Sulanjana (bagi masyarakat Jawa Barat pada umumnya) dan Wawacan Ogin (bagi masyarakat di Kabupaten Bandung). Khusus untuk bayi saja dibacakan Wawacan Samaun.  Supaya hajat tercapai dibaca Hagiografi antara lain Manakiban Seh Abdul Kadir Jailani dan Wawacan Kiyan Santang/Babad Godog. Ada pula  image tokoh realita atau fiksi yang digunakan pada mantra, umpamanya antara lain Patimah, Semar, dan Arjuna.  

Magi dan symbol sebenarnya dua kata yang hubungannya sangat erat tak bisa dipisahkan, karena magi itu sendiri lahir dalam simbol. Pemikiran ini didasarkan bahwa segala sesuatu yang ada dalam kesadaran manusia diwakili oleh bahasa, dan bahasa pada hakikatnya adalah symbol. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, pengungkapan magi  itu sendiri tidak bebas namun ada dasar pemikiran yang terhubung dengan  tujuan. Magi terlahir didasari oleh tujuan, disimbolkan oleh benda atau bahasa yang memiliki hubungan asosiatif dengan tujuan. Jadi berbicara magi, berbicara symbol juga, yang ada kalanya terjadi symbol di dalam symbol. Magi lahir ketika manusia ingin melakukan sesuatu supaya hasilnya baik, atau mengalami kebuntuan upaya dalam meraih sesuatu. Manusia pada zaman modern menyelesaikan masalah yang dihadapi melalui ilmu pengetahuan, pada zaman kuna sebelum pengetahuan berkembang melalui magi. Namun tidak berarti bahwa pada zaman moderen ini manusia lepas dari kepercayaan magi, magi yang pengertiannya masih parallel dengan pengertian kuna masih berlangsung terus.

Simbol, noun 1 image – (of something) , object, etc that suggests or refers to something else; emblem: The cross is the siymbol of Christianity; The lion is the symbol of courage. 2 (for something) mark of sign  with a particular meaning… (Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 1989: 1304)


Ritual Nirag dan Ngaradinan sebagai Bagian dari Ritual Kelahiran

Ketika ada tanda-tanda kelahiran, paraji dijemput ke rumahnya, apabila dijemput pada malam hari, penjemput harus membawa obor untuk menghindarkan gangguan dari makhluk halus yang seringkali merintangi perjalanan atau menjelma seperti rupa paraji yang suka mengganggu bayi, ibu hamil, atau ibu yang baru melahirkan. Ibu hamil pun harus dijaga tidak boleh ditinggal sendiri. 

Setelah  bayi dilahirkan dengan  selamat, lalu dimandikan, dibedong ‘dibungkus dengan kain batik’ lalu ditidurkan di sebuah divan untuk dilakukan upacara Nirag. Paraji membacakan doa-doa, kemudian mengambil batu sebesar buah mangga besar (batu yang sudah biasa digunakan untuk Nirag), dipukulkan ke kayu seputar tempat tidur bayi dengan keras supaya bayi kaget dan menangis. Dalam satu pukulan batu paraji, meneriakan dengan keras empat penjuru angina, kulon ‘barat’ wetan ‘timur’ kaler ‘utara’ dan kidul ‘selatan’. Maksud menunjukkan mata angin ini, supaya bayi tidak tersesat dari jalan yang benar dalam menjalani hidup, supaya ia sadar berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya.  Utara dalam bahasa kuna purwwa dan selatan daksina. Dua kata itu sekarang menjadi kata majemuk purwadaksina, yang artinya asal-usul.

Setelah memberitahukan arah mata angin, paraji, melanjutkan memukul-mukulkan batu lagi sambil berkata sungut ulah saomong-omongna lamun lain omongkeuneun ‘mulut jangan digunakan untuk berbicara apabila dipertimbangkan tidak layak dibicarakan’ ulah sahakan-hakanna lamun lain hakaneun ‘jangan sembarang makan apabila tidak baik untuk dimakan” atau jangan memakan makanan milik orang lain”, irung ulah saambeu-ambeuna lamun lain ambeueun ‘hidung jangan digunakan untuk mencium yang tak pantas’ “lebih jauh lagi, selama bernafas jangan salah perilaku” mata ulah sadeuleu-deuleuna lamun lain deuleueun ‘mata jangan digunakan untuk melihat yang tak pantas dilihat’ “mata jangan digunakan untuk melihat yang tak berguna” ceuli ulah sadenge-dengena lamun lain dengeeun ‘telinga jangan digunakan untuk mendengar hal yang pantas’ “telinga harus dijaga dari omongan yang tak pantas”.

Kemudian paraji, melanjutkan memukulkan batu lagi sambil berkata leungeun ulah sacokot-cokotna lamun lain cokoteun ‘tangan jangan sembarang ambil kalau bukan hak untuk diambil 'suku ulah saleumpang-leumpangna lamun lain pileumpangeun' kaki jangan digunakan untuk berjalan ke jalan yang tidak benar’. Setelah itu bayi ditidurkan. Kemudian paraji, mencuci tembuni yang disebut juga dulur “saudara” bayi, lalu disimpan pada pendil. Dalam bahasa Kuna madulur artinya datang bersama-sama. Tembuni dibumbui dengan bumbu garam, gula, asam, dan lainnya dalam porsi yang pas juga bunga-bungaan supaya setelah bayi besar, berperangai baik dan menyenangkan. Gula diperbanyak supaya rupanya manis. Tembuni di dalam pendil dihanyutkan di sungai atau dipendam di dalam tanah. Apabila dihanyutkan, bayi itu kelak akan mengembara jauh. Upacara memendam atau menghanyutkan ini dilakukan oleh seorang laki-laki yang sudah tua. Tembuni di dalam pendil digendong dengan 3 lembar kain batik yang bagus dan berjalan memakai payung. Sebelum dipendam membacakan doa sambil membakar kemenyan pada sapu pare ‘sapu dari batang padi’. Setelah selesai, untuk selamatan keluarga ngabucu, yaitu menyediakan puncak manik dan membuat nasi kuning untuk dibagikan ke tetangga.  

Setelah  puput udel -potongan tali ari-ari yang menempel di pusar bayi, setelah kering lalu lepas, diadakan upacara Ngayun.  Sebelum upacara Ngayun, bayi tidak boleh keluar rumah. Baru setelah menyelenggarakan Ritual Ngayun, bayi boleh dibawa keluar. Potongan tali ari-ari ini disimpan di dalam kanjut kundang yaitu kantung kecil yang terbuat dari 7 macam kain warna-warni dan boleh dari kain yang bermotif bunga.’ Ke dalam kanjut kundang ditambahkan antara lain  panglay/bangle, bawang merah, uang, mata hiang, (apabila diterjemahkan kata mata hiang yaitu ‘penglihatan dari Sang Gaib’) dan cariu. Kanjut kundang ini selanjutnya disimpan baik-baik sampai anak besar, ketika masih bayi, kanjut kundang selalu disimpan dekat tempat tidur bayi. 

Panglay merupakan simbol magi dalam kelahiran bayi, terutama sebelum NgayunPanglay yaitu bangsa umbi-umbian semacam kunyit/koneng temen yang baunya menyengat. Ketika sareupna ‘pergantian siang ke malam’ kamar ibu dan bayi setiap penjuru disemburkan panglay yang sudah dikunyah. Apabila malam hari di dahi bayi dilekatkan potongan panglay kecil. Panglay ini untuk menghindarkan bayi dari gangguan makhluk halus. Panglay selalu ada sejak ibu mengandung. Potongan kecil dari umbi ini biasanya ditusuk dengan benda tajam, bisa berupa gunting kecil atau pisau kecil, digantungkan pada baju ibu hamil, apalagi kalau ibu hamil keluar malam. 

Adapun upacara Ngayun sebagai berikut. Setelah puput udel, paraji diberi tahu bahwa besok pagi akan menyelenggarakan upacara Ngayun. Paraji menyediakan persyaratan untuk menyelenggarakan Ngayun, yakni kurang lebih 100 macam  dedaunan untuk membuat sambal sereh dan besi untuk muput ibu bayi ‘semacam mandi uap dengan berbagai obat-obatan dari dedaunan dan papagan ‘cacahan dari batang pohon’. Acara ini dilakukan oleh paraji. Sambal sereh merupakan tanda khusus dari upacara Ngayun, bahannya terutama batang sereh dengan daun sereh bersama macam-macam dedaunan yang berkhasiat, antara lain daun harendong, kahitutan, peutag, salam, dan mareme. Bumbunya bermacam-macam antara lain garam, gula, terasi, cengek satu batang, cabe merah satu batang, ikan pepetek, dendeng, ikan ayam, kunyit, seluruhnya ditumbuk (pada jubleg dengan halu) disatukan, dicampur dengan sedikit nasi. Sambal sereh terutama untuk ibu bayi, sisanya dibagikan kepada keluarga dan tetangga. Makanan khusus disediakan untuk ibu bayi yakni bakakak hayam ‘ayam panggang yang utuh satu ekor’. Kegiatan tersebut dilaksanakan untuk kesehatan ibu bayi yang pada dasarnya untuk kesehatan bayi pula.

Makanan lainnya, rurujakan sebanyak 3, atau 5, atau 7 macam ‘semacam minuman’ yang terbuat dari antara lain, pisang, biji solasih, parutan kelapa, dan kopi. Sesajen lainnya tangkueh ‘manisan dari buah kukuk/semacam labu’ gula batu, cerutu dan bahan-bahan untuk makan sirih. Semua sesajen didoai oleh paraji. Paraji ngurut ‘memijat’ seluruh tubuh ibu bayi  lalu melaksanakan muput. Setelah muput, paraji memandikan bayi yang terakhir kali, karena sesudah puput udel,  tugas memandikan bayi diserahkan kepada ibunya. Setelah bayi dimandikan baru paraji melaksanakan Ngaradinan.    Sebelum Ngaradinan, paraji menggantungkan antara lain kaki ayam, panglay, dan tusukan cabe merah dan bawang di sudut atas tempat tidur ibu dan ayunan bayi. Kaki ayam supaya bayi itu kelak giat mencari rezeki. 

Ngaradinan dilakukan oleh paraji. Caranya, benang berwarna putih (benang bangsoah) dalam ukuran cukup besar dan kokoh diolesi dengan koneng temen ‘kunyit’ sambil dimantrai. Koneng temen dalam masyarakat Sunda memiliki symbol temen wekel artinya ‘bersungguh-sungguh’ ‘teguh pendirian’. Setelah itu benang tersebut dipakai  kalung, gelang kaki - tangan, dan tindik kuping  sambil dimantrai. Mantra tersebut tidak jelas diucapkannya.

Setelah Ritual Ngaradinan,  bayi boleh dibawa keluar rumah oleh paraji digendong dengan berpayung sambil mengubur seperangkat makan sirih dengan uang logam yang berbolong, kemudian uang itu diperebutkan oleh anak-anak. Setelah itu melakukan Sawer yakni menabur uang, sedikit beras, dan potongan koneng  di panyaweran ‘di muka pintu jalan masuk ke rumah tempat cucuran air dari genting’. Setelah ini seterusnya bayi boleh dibawa keluar rumah. 

Kesejajaran Bagian Teks Sewaka Darma dengan Ritual Ngaradinan     


Bagian Teks Naskah Sewaka Darma yang seolah-olah ada kaitan dengan adat Nirag dan Ngaradinan sebagai berikut:  
32.        …     I yu nekahkeun raga
             Mamolahkeun sarira
             Ngale(ng)kahkeun suku tangan
             Suku milang awak urang
             Lamuna salah leumpangna
             Eta matak urang papa
             Leungeun lamun salah cokot
            Eta matak urang papa
            Ceuli lamun salah denge
            Eta matak urang papa
            Mata lamun salah jeueung
            Eta matak urang papa
            Irung lamun salah ambeu
            Eta matak urang papa

    33        Sungut lamun salah hakan inum
            Manguni salahna sabda
            Lamuna sabda tan tahu
            Lamun hamo rahayu
           Lamun mo tiis babon
           Eta nu disasalahkeun
           Nu mangka papa kalesa
           Sanyarah na angen-angen
           Samilang pangeusi raga
           Dadi piawak sarira
           Eta na mulut ngarurud
           Eta nu ngindit ngarampig
          Na maanan

   34       Ka kawah lalu salah dikriti
          Hala hidep hala tenang
          Hiri de(ng)ki di sakalih
          Manusya neluh ngaracun
          Ngagunaan mijaheutan
          Sakoah ning hidep dusta
          Manguni nya inya dusta
          Mata mati wang sasadu
          Ngadaar nu ha(n)teu dosa
          Sineguh inya na dusta
          Molah mo iyatna-yatna
         (Sardjono, dkk, 1987: 21)
Kita mengolahkan raga
Menggerakkan badan
Melangkahkan kaki tangan
Kaki menghitung badan kita
Apabila salah langkah
Itu menyebabkan kita sengsara
Apabila tangan salah ambil
Itu menyebabkan kita dosa
Telinga bila salah dengar
Itu menyebabkan kita sengsara
Apabila mata salah lihat
Itu menyebabkan kita celaka
Hidung bila salah cium
Itu menyebabkan kita sengsara

Mulut bila salah makan minum
Berkata salah ucap
Bila perkataan tidak jujur
Maka tidak akan selamat
Bila sampai kurang pendapatan
Itu yang disalahkan
Itul asal papa dan  dosa
Hanyut oleh angan-angan
Menghitung mengejar napsu
Memikir diri sendiri
Mulut yang membinasakan
Yang membawa
Yang membekali

Ke kawah, karena salah tingkah laku
Jahat pikiran, jahat angan-angan
Iri, dengki, kepada sesama
Manusia menenung, meracun
Mengguna-gunai dan membuat sakit
Bergelimang dalam pikiran dusta
Berkata-kata dusta
Mencurigai orang suci
Memfitnah orang tak berdosa
Dianggap mereka berbohong
Janganlah tidak memperhatikan

Di bagian lainnya seperti di bawah ini:

38
Awaking ayeuna ini
Aing upama wayang
Rampes beunang ngeureuti
Dijieunan suku tangan
Ditata panon pangreungeu
Geus ma urang dikudangkeun

39 Sakageuing nu nyarita
Mana leumpang dileumpangkeun
Na leungeun dipangnyokotkeun
Na ceuli dipangreungeukeun
Na mata dipangjeueungkeun
Na irung dipangambeukeun
Mana nyarek dicarekeun

Diri kita sekarang ini
Seumpama wayang
Berserah dipotong-potong
Dibuatkan kaki dan tangan
Ditata penglihatan dan pendengaran
Sesudahnya kita dimasukan dalam kotak

39. Dibangunkan oleh Pencerita
Bila berjalan dijalankan
Lengan diambilkan
Telinga didengarkan
Mata dilihatkan
Hidung diciumkan
Apabila berkata-kata dibuat berkata-kata
Perbandingan antara Ritual Nirag dan Isi Sewaka Darma, sebagai berikut: Ritual Nirag memperingatkan asal-usul manusia. Ritual ini mengamanatkan bahwa selama menjalani kehidupan, janganlah sampai lupa pada asal usul (purrwa daksina), jangan sampai dunia membuat tersesat. Asal-Usul manusia diciptakan oleh Sang Pencipta. Manusia seumpama wayang (wayang golek dari kayu, wayang kulit dari kulit khewan) dipotong-potong kemudian dimasukkan ke dalam kotak. Apabila dibangunkan oleh Sang Pencipta, barulah bisa bergerak. Tangan kaki bisa bergerak, bisa berjalan, bisa mengambil, bisa melihat, bisa mencium, dan bisa berbicara. Manusia tak berdaya, semua digerakkan oleh Sang Pencipta (Teks Sewaka Darma lempir 38-39).

Kemudian Sewaka Darma (lempir 32, 33, 34) isinya hampir seperti apa-apa yang diucapkan di dalam ritual Nirag yakni mengingatkan untuk tidak mengerjakan perbuatan salah dalam melangkahkan kaki dan tangan, melarang mulut jangan berbohong, jangan makan atau minum yang bukan haknya, menggunakan hidung, mata, dan telinga secara benar karena semua perbuatan manusia itu baik buruknya akan ada perhitungan. Jangan berbuat jahat kepada orang lain, membunuh atau memfitnah orang suci yang tidak bersalah. Semua perbuatan salah akan membawa manusia ke kawah atau ke neraka.

Ritual Nirag dengan Ritual Ngaradinan 

Ritual Nirag dengan Ritual Ngaradinan terhubung oleh makna asosiatif. Ikatan leher, dalam symbol magis Ngaradinan seolah-olah ada kaitannya dengan pengendalian penggunaan mulut, hidung, mata, dan telinga. Kewajiban manusia untuk berbuat baik secara verbal diuraikan di dalam Teks Sewaka Darma, sedangkan realisasi perilaku dalam melaksanakan kewajiban tersebut diungkapkan dalam simbol-simbol magi. Magi dari Ritual Ngaradinan adalah upaya dengan doa yang disimbolkan supaya anak kelak menjalani kehidupan, selalu berada di jalan yang benar agar berbahagia di dunia dan akhirat.

Ritual Nirag dan Ngaradinan rupanya berkesinambungan untuk melaksanakan kewajiban agama pada Zaman Kuna, yang pelaksanaannya masih dilakukan. Kedua ritual ini pada tahun 2000-an di Talaga masih tetap dilakukan terutama Ngaradinan. Ritual Nirag pada tahun 1960-an masih dilakukan secara ketat. Tampaknya kini sudah ditinggalkan karena orang melahirkan tidak ditolong oleh paraji lagi, namun dilakukan oleh bidan yang berpendidikan formal. Ritual Ngayun pun tampaknya sekarang tidak banyak dilakukan lagi. 

Tujuan dari Ritual Nirag dan Ngaradinan tidak lepas dari bagian isi Teks Sewaka Darma yaitu magis dalam bentuk symbol yang bertujuan sesuai dengan bagian dari Teks Naskah Sewaka Darma, sebagai berikut:
  1. Mengikat tangan dan kaki dengan benang dalam arti mengendalikannya, supaya berperilaku baik tidak berperilaku buruk 
  2. Ikatan benang pada leher berupa kalung, menjaga perilaku panca indra yang terdapat di kepala yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, pengucapan, supaya tidak digunakan secara salah. 
  3. Mengendalikan pemikiran supaya menghindarkan diri dari pemikiran jahat. 
  4. Ritual dan simbol-simbol ini merupakan doa yang paling mendasar dalam hidup yakni manusia berasal dari Kesucian dan bermohon kembali kepada Kesucian, yang memiliki pengertian parallel dengan ungkapan Ina Lillahi waina Ilaihi Rajiun ‘Berasal dari Allah dan kembali kepada Allah’ Apabila dihubungkan dengan isi Naskah Tasawuf Wawacan Jaka Ula Jaka Uli’ merupakan hal pemikiran yang sejalan, bahwa manusia yang tidak taat tak akan bisa kembali kepada Allah (Kalsum, 1998) 
  5. Sesuatu yang ada tak akan serta-merta hilang walaupun sudah mengalami transformasi. Ungkapan yang masih jelas bagian dari isi Sewaka Darma bahwa manusia seumpama wayang masih digunakan oleh para penyair generasi kemudian sampai masa kini, yang paling terkenal Asmarandana Lahir Batin karangan Raden Arija Bratadiwidjaja (Lihat Rusyana & Ami Raksanagara, 1994) sebagai berikut: Eling-elingmangka eling, rumingkang di bumi alam, darma wawayangan bae, raga taya pangawasa, lamun kasasar lampah, napsu nu matak kaduhung, badan anu katempuhan ‘Ingatlah dengan sadar, hidup di alam dunia, hanyalah sekedar panggung wayang, raga tak memiliki kekuatan, apabila tersesat laku, nafsu itulah penyebab penyesalan, dan badan yang menanggung akibat. Masalah Kehidupan setelah kematian rupanya pada masyarakat Sunda sudah dibicarakan secara turun-temurun atau pemahaman turun-temurun dalam berbagai tingkah laku yang secara tak disadari lagi ‘unconsciousness transference’
Tampaknya secara universal orang-orang bijak pada masa kuna menggariskan tujuan hidup dengan pemikiran yang  parallel di antaranya pada masyarakat Yunani Kuna yang diungkapkan oleh Aristoteles tujuan dari berbagai perilaku manusia, yakni kebahagiaan/ eudaimonia, yakni dengan tidak menghindari rasa sakit, melalui pengembangan diri, menyatakan diri dalam tindakan/aktivitas, melalui filsafat, ber-theoria mencintai kebijakan, mendekati Ilahi, manusia sebagai makhluk social membuat nyata hakikat sosialnya. Kebijakan dalam bahasa Yunani dalam dua buah pengertian, yakni Sophia “cinta’ dan phronesis “perilaku bijaksana.” Kebijakan praktis phronesis dibedakan dengan episteme “ketajaman pengetahuan ilmiah”. Kebijakan yang menimbulkan kebahagiaan harus tertanam pada keutamaan etis pribadi antara lain, membiasakan kejujuran, merasa resah apabila tidak bertindak etis, bertanggung jawab atas perkembangan diri sendiri. Phronesis “kebijakan” jauh lebih penting dari sejumlah pengetahuan dan episteme (Suseno, 2009).

Kearifan dari ruh pemikiran masyarakat kuna selayaknyalah dimiliki kembali yakni tidak terlalu condong kepada ratsio, namun Kehakikianlah yang harus diutamakan dalam pertimbangan hidup. Pijakan yang lebih kuatlah yang harus kita jalani, yaitu bahwa hidup ini hanya sementara, dan perjalanan hidup yang lebih panjang tak ada ujung yakni perjalanan di Alam Keabadian, Kehidupan setelah Ajal. Hal ini apabila dilihat dari sederetan simbol magis kelahiran anak, bahwa kebahagiaan di dunia fana ini harus diupayakan dengan tidak melupakan Kebahagiaan Abadi setelah kematian. Manusia harus kembali kepada Kesucian. Yang Maha Suci pemilik alam semesta ini. adalah Yang Maha Benar, manusia harus selalu berupaya di jalan yang benar untuk kembali ke, Asal, ke Kehakikian, kepada Yang Maha Benar. Namun pijakan ini lambat-laun bisa hilang apabila diabaikan, tidak dipupuk oleh pemiliknya. Pewarisnyalah yang harus menumbuh-kembangkan pegangan masa lalu yang mulia ini, untuk ditumbuh-kembangkan kepada masyarakat masa kini, serta tetap menjadi milik masyarakat ahli warisnya kemudian. Menurut van Peursen (1988: 13):
“…kebudayaan itu ibarat sebuah cerita yang belum tamat, yang masih harus disambung. Maka dari itu kebudayaan dewasa ini hendaklah dilukiskan sebagai suatu tahap, sebagai suatu bagian dari cerita tentang sejarah perkembangan.”  
Selayaknyalah orang yang hidup generasi ini menjadi generasi baik dalam sejarah  mengestafetkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur secara bijaksana tidak mewariskan pemikiran biadab.  

Daftar Pusaka

  1. Ansary, Tamim. 2010. Dari Puncak Bagdad. Sejarah Dunia Versi Islam. Zaman.
  2. Ayatrohaedi.  2001. Nganjang ka Kalanggengan. Makalah pada Konferensi Budaya Sunda I
  3. Bagus, Lorens. 2005. Kamus Filsafat. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 
  4. Bakker, Anton. 2000. Antropologi Metafisik. Kanisius 
  5. Callavaro, Dani. 2001. Critical and Cultural Theory. Diterjemahkan oleh Laily Ramawati ke dalam Teori Kritis dan Teori Budaya tahun 2004. Futuh Printika. Jogyakarta.
  6. Chambert-Loir, Henri. 2004. Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah. Äšcole Française d’ ExtrÄ—me- Orient. Jakarta.
  7. Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia, PT. Grafiti Pers. Jakarta. 
  8. Danasasmita, Saleh & Anis Djatisunda. 986. Kehidupan Masyarakat Kanekes.                   Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bandung.
  9. Derrida, Jacques. Off Spirit: Heidegger and the Question. Dialihbahasakan oleh Firmansyah Argus tahun 2002. Jalasutra. Yogyakarta.
  10. Ekadjati, Edi  S.,  dkk. 1988 Naskah  Sunda,  Inventarisasi  dan  Pendataan.  Bandung:  Lembaga Penelitian  Universitas Padjadjaran  dan  The  Toyota  Foundation.
  11. Hartoko,  Dick. 1975. Saksi  Budaya.   Edisi Pertama.  Jakarta Pusat:  Dunia  Pustaka Jaya.
  12. Hall, D.G.E. 1988. Sejarah  Asia  Tenggara.  Edisi Pertama.  Diterjemahkan dan disunting oleh Soewarsha,  I.P.  dan  Mustopo,  M. Habib.  Surabaya:  Penerbiit  Usaha: Nasional.  
  13. Hornby, AS. Fourth Edition. Chief Editor AP. Cowie. Oxford Advanced Learner’s                     Dictionary. Oxford University Press.  
  14. Kalsum. 1998. Wawacan Jaka Ula Jaka Uli: Kajian Filologis. Program Pascasarjana Unpad. Tesis     2010. Simbol-Simbol Magi pada Masyarakat Sunda, Makalah yang disajikan dalam                    Seminar bulan Agustus 2010. Kumpulan Makalah akan Dibukukan 
  15. Koentjaraningrat. 1983. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.
  16. Lechte John. 1994. Fifty Key Contemporery Thinkers diterjemahkan ke dalam 50 Filsuf Kontemporer tahun 2001 oleh A. Gunawan Admiranto. Kanisius
  17. Peursen, C.A. van.1988. Strategi Kebudayaan. Kanisius.
  18. Rochaeti, Etty . Wawacan Batara Kala: Kajian Filologis. Program Pascasarjana. 2000. Unpad. Tesis. 
  19. Sastrawidjaja, Maryati, dkk. 1988. Sastra Lisan Kabupaten Bandung. Fakultas Sastra. 
  20. Mustapa, R.H Hasan. Adat Istiadat Orang Sunda. Diterjemahkan dari Bahasa Sunda ke Bahasa Indonesia oleh Maryati Sastrawijaya. 1985. Alumni.             
  21. Suseno, Franz Magnis. 2009. Menjadi Manusia – Belajar dari Aristoteles. Kanisius. Yogyakarta. 
  22. Pei,  Mario. 1971. Kisah  Bahasa. Diterjemahkan oleh  Nugroho Notosusanto dari  buku:  The  Story  of  Language.  1965.  Djakarta:  Bhratara.  
  23. Pradotokusumo, Partini Sardjono. 1986. Naskah Sunda Kuna, Transliterasi dan Terjemahan. Bandung: Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
  24. Purwoko, Herudjati. 2008. Discourse Analysis. PT INDEKS: Jakarta     
  25. Wessing, Robert. 1990. Perubahan Wujud di Hutan Sancang , Mitos dan Sejarah di Jawa Barat. Proseedings Seminar Sejarah dan Budaya II tentang Galuh. Tasikmalaya 16 – 18 Mei 1990.
  26. Rusyana, Yus & Ami Raksanagara. 1994. Puisi Guguritan Sunda. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 
  27. Zoest, Art van. 1980. Fiksi dan Nonfoksi dalam Kajian Semiotik. Intermasa.
  28. Zoetmulder, PJ. 1982. OldJavanese – English Dictionary I, II.



Baca Juga

Sponsor