![]() |
Ilustrasi keraton Pakuan Pajajaran. Sumber Lintaskita |
Kemakmuran Pajajaran terbentuk dengan adanya berbagai pelabuhan sungai dan laut sebagai prasarana perniagaannya. Pajajaran ditopang kekuatan ekonomi dengan memiliki beberapa pelabuhan, yakni Banten, Pontang, Kalapa, Karawang, Cigede dan Cirebon.
Kerajaan Sunda Pajajaran membentang dari ujung kulon hingga Cipamali di Brebes Jawa Tengah. Sementara ibukota kerajaan Pakuan Pajajaran berada di tengah negara (nagara tengah), yaitu diperkirakan Bogor sekarang. Pakuan merupakan lahan Lemah Duwur yang satu sisinya terbuka menghadap Gunung Pangrango. Sedangkan tebing Cihaliwung, Cisadane dan Cipaku dapat dijadikan sebagai pelindung alamiah.
Adanya gangguan keamana terhadap Pajajaran berlangsung lama dengan sumber gangguan dari luar dan juga dari dalam. Demikian pula ganggungan dari pihak luar, karena sebenarnya serangan Banten hanyalah merupakan pukulan terakhir bagi kemunduran atau kehancuran serta kejatuhan Kerajaan Pajajaran yang berlangsung dari peristiwa sebelumnya.
Portugis: Eropa Mulai Menancapkan Kuku
![]() |
Kapal Portugis. Foto: site.google.com |
Portugis melakukan perjalanan panjang mengarungi samudra demi mencari rempah-rempah. Jalur Sutra yaitu jalur perniagaan di daratan benua Asia-Eropa sebagai urat nadi perdagangan dari Asia hingg Eropa telah dikuasi oleh kekhilafahan Islam. Perang demi perang antara bangsa Eropa dengan kekhilafahan Islam dalam "Perang Salib" yang berkepanjangan selama 200 tahun.
Akhirnya mereka mencari jalan sendiri menuju pusat rempah-rempah di Asia.
Untuk keperluan mengamankan perdagangannya, maka pada tahun 1521 masehi Pajajaran melakukan "Perjanjian Pertahanan" dan perdagangan dengan Portugis. Namun Kesultanan Demak segera menduduki pelabuhan di pantai utara Pajaja ran, dari Banten hingga Cirebon, bahkan Portugis pun tidak sempat memberikan bantuan. Dengan demikian berakhirlah perdaga ngan lada lada Pajajaran, berakibat pula terjadi kemorosotan ekonomi diseluruh wilayah Pajajaran. Pada masa berikutnya Demak dengan Portugis melakukan perjanjian kerjasama perdagangan dan pertahanan. Hal ini terjadi ketika Demak berkeinginan melakukan serangan ke Panarukan.
Kerajaan Islam Melakukan Ekspansi
Islam mulai menguasai wilayah Pajajaran sejak tahun 1530 masehi. Mulai dari Cirebon, Sunda Kalapa, Banten, Galuh, Talaga, Sagalaherang sampai dengan Cianjur. Pada waktu yang sama dari Cirebon sampai dengan Banten sudah menerima Islam sebagai ajarannya dan banyak para penduduk yang meninggalkan ageman lamanya. Raja-raja daerah masih mematuhi tugas-tugasnya tetapi kepatuhannya sudah mulai longgar, bahkan dilingkungan keraton sudah terjadi perpecahan. Sejak saat itu Pajajaran sudah goyah dari dalam, dan hanya menunggu waktu.Prabu Surawisesa digantikan oleh Ratu Dewata, putranya yang bertahta di Pakuan pada tahun 1535 sampai tahun 1543. Ratu Dewata adalah raja yang sangat alim dan taat beragama, berperilaku ngarajaresi. Carita Parahyangan mengisahkan kealiman nya:
“Prebu Ratudéwata, inya nu surup ka Sawah-tampian-dalem. Lumaku ngarajaresi. Tapa Pwah Susu Sumbéléhan niat tinja bre-sih suci wasah. Disunat ka tukangna, jati Sunda teka.”Akan tetapi naskah Carita Parahyangan pun mengamanatkan kepada para pemimpin sesudahnya, agar memiliki keseimbangan, antara urusan akhirat yang bersifat pribadi, dengan urusan sebagai pemimpin di dunia. Karena urusan dunia pun jika dijalankan dan bertujuan untuk kepentingan rakyat akan berbuah kebaikan bagi akhiratnya. Nasehat tersebut dituliskan:
“Ku lantaran eta masing iatna anu masih tinggal di belakang kali, ulah arek hirup api-api pupuasaan. Tah kitu kaayaan jaman susah teh. Prebu ratudewata, lilana jadi ratu dalapan taun, kasalapanna tilar dunya.”Pada masa Ratu Dewata perjanjian perdamaian Pajajaran dengan Cirebon, terakhir dibuat oleh ayahnya, Prabu Surawisesa, pada tahun 1531 masehi masih berlaku. Ratu Dewata sangat yakin perjanjian ini akan ditaati oleh pihak Demak, Cirebon dan Banten, sehingga tidak berprasangka buruk akan adanya pelanggaran dari pihak lain. Namun pemikiran Ratu Dewata berlainan dengan Hasanudin dari Banten, salah satu penandatangan perjanjian perdamai an Pajajaran dengan Cirebon, yang melakukannya karena patuh kepada Syarif Hidayat, ayahnya. Hasanudin beranggapan, bahwa perjanjian Cirebon dengan Pajajaran hanya menguntungkan Cirebon, sama sekali tidak menjamin kepentingan Banten. Padahal wilayah Banten berbatasan langsung dengan Pajajaran.
Hancurnya Kamandalaan dan Kabuyutan Sunda
Hasanudin secara diam-diam membentuk pasukan khususnya tanpa menggunakan identitas resmi. Pasukan ini mampu bergerak cepat, dari satu tem pat ketempat lainnya, dibentuk untuk mengganggu keamanan wi layah Pajajaran. Naskah Carita Patahyangan menyebutnya pasu-kan ‘Tambuh Sangkane’. Kemampuan pasukan bentukan Hasanudin dalam melakukan gerakan telah dibuktikan pada saat terjadi huru hara di keraton Surasowan, memaksa bupati Banten, Suraja ya, pamannya sendiri, melarikan diri ke Pajajaran. Pada masa itu Hasa nudin dibantu oleh Cirebon dan Demak, dengan mengirim kan armada perangnya yang dipimpin Fadillah Khan, menantu Raden Fatah, atau Susuhunan Jim Bun, Sultan Demak Pertama. Setelah pemberontakan tersebut, Banten menjadi bagian dari Cirebon. Kemudian Syarif Hidayat mengangkat Hasanudin sebagai bupati Banten dibawah lindungan Cirebon. Hasanudin baru bisa mendapatkan ke kuasaan sebagai Sultan Banten terjadi pada tahuh 1568, wafat pada tahun 1670 masehi.![]() |
Pasukan Islam Gabungan Demak Cuplikasn Film "Fatahillah 30 menit" youtube. |
Musuh tak mengenal lelah untuk menaklukan Pakuan. Mereka memancing dengan cara menyerang dan merusak kabuyutan-kabuyutan, bertujuan agar kekuatan Pajajaran keluar dari Pakuan, dan Pakuan agar mudah diduduki. Hal ini berdasarkan pada alas an, bahwa kabuyutan sampai dengan masa Pajajaran masih diang gap sebagai Dangiang Sunda, tempat harga diri raja-raja Sunda (dan Galuh) mempertahankan kehormatannya. Kisah tentang nilai kehormatan ini merupakan amanat langsung dari Prabu Darmasiksa, raja Pajajaran, yang sebelumnya raja di Saunggalah (kawasan Galuh), bahkan Sri Baduga pun pernah mengeluarkan piteket yang memerintahkan untuk membunuh siapa saja yang menggangu kabuyutan Sunda Sembawa, sebagaimana yang ditemukan didalam prasasti Kabantenan. Amanat dari Prabu (Rakean) Darmasika menyebutkan,: “lebih berharga kulit lasun (musang) di jaryan (tempat sampah) Jika dibandingkan raja putra yang tidak mampu mempertahankannya kabuyutannya.” Inilah alasan musuh musuh menyerang Kabuyutan-kabuyutan Sunda - Pajajaran.
Kabuyutan-kabuyutan yang diserang pada waktu itu, antara lain di Sumedang; Ciranjang dan Jayagiri. Tak kurang dari para pandita yang dibunuh secara keji, seperti pandita di Sumedang dan Ciranjang; Pandita di Jayagiri dibenamkan kedasar laut hidup-hidup; sedangkan seorang Pandita sakti bernama Munding Rahiang dibenamkan kelaut hidup-hidup, akan tetapi masyarakat meyakini, Pandita tersebut hanya hilang dari penglihatan manusia bersama raganya. Kemudian diberi nama Hyang Kalinganja. Kisah ini pun dituliskan didalam naskah Carita Patahyangan, menyebutkan:
“Hana pandita sakti diruksak, pandita di Sumedeng. Sang Pandita di Ciranjang pinejahan tanpa dosa, katiban ku tapak kikir. Sang pandita di Jayagiri Iinabuhaken ring sagara. Hana sang pandi ta sakti hanteu dosana. Munding Rahiyang ngaraniya linabuhaken ring sagara tan keneng pati, hurip muwah, moksa tanpa tinggal raga teka ring duniya. Sinaguhniya ngaraniya Hyang Kalingan. Nya iyatnajatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan. Samangkana ta précinta..”Namun naskah Carita Patahyangan tidak tuntas menyebutkan, apakah kekuatan Pakuan sempat melakukan pembersihan atau tidak. Naskah tersebut hanya menyebut akhir dari kisah Ratu Dewata yang meninggal pada tahun 1543, di pusarakan di Tampian Dalem.
Ratu Dewata digantikan oleh Ratu Sakti, putranya, berkuasa pada tahun 1543 sampai dengan 1551 masehi. Konon, kabar Ratu Sakti sangat berlainan sifatnya dengan Ratu Dewata yang dianggap alim. Ratu Sakti dianggap sering melanggar agama dan darigama, atau ngarumpak sagala larangan yang ditabukan, bahkan tak peduli dengan etika dan moral sebagaimana layaknya raja Sunda yang harus memegang Purbatisti–Purbajati. Pelanggaran tabu ini dikisahkan menikahi istri ayahnya (ambu tere); membunuh orang tanpa dosa; merampas harta orang; tidak berbakti kepada orang tua dan pemuka agama. Pelanggaran yang dianggap keterlaluan adalah melanggar aturan “Estri Larangan”, yakni menikahi istri-selir ayahnya. Ketatnya aturan ini dalam budaya Sunda bukan hanya terjadi pada jaman Ratu Sakti, namun Prabu Dewa Niskala, ayah dari Sri Baduga Maharaja dan putra dari Prabu Niskala Wastukan cana terpaksa turun dari tahta Galuh, hanya karena dianggap melanggar “Estri Larangan”, yakni menikahi istri ti kaluaran.
Didalam tradisi urang Sunda (Pajajaran – Galuh), ada tiga wanita terlarang (Istri larangan) yang tidak boleh dinikahi. Larangan demikian di tuliskan dalam Naskah Carita Patahyangan dan Sanghiyang Siksa Kandang Ng Karesian. Carita Parahyangan mengisahkan Ratu Sakti, sebagai berikut:
“Lawasniya ratu dalapan tahun, kenana ratu twahna kabancana ku estri larangan ti kaluaran deung kana ambu téré. Mati-mati wong tanpa dosa, ngarampas tanpa prégé, tan bak ti ring wong-atuha, asampé ring sang pandita. Aja tinut dé sang kawuri, polah sang nata. Mangkana Sang Prebu Ratu, carita inya.”Pada akhirnya naskah ini menyebutkan dengan kalimat : “Aja tinut de sang kawuri pola sang nata - Janganlah ditiru oleh mereka yang (hidup) kemu dian kelakuan raja ini.“ Ratu Sakti setelah wafat dimakamkan di Pengpelangan.
Pajajaran Melemah dari Dalam
Pengganti Ratu Sakti adalah Prabu Nilakendra, berkuasa dari tahun 1551 sampai dengan 1567 masehi. Pada masa pemerintah Prabu Nilakendra Pakuan jajaran sudah kembali menata Pakuan. Prabu Nilakendra membuat bendera-bendera (Sanghyang Panji); memperindah keraton; membalay tanah dan membuat taman-taman disekitar pintu larangan; membangun tiang-tiang keraton yang berjumlah tujuh belas; serta membuat ukiran dengan bermacam-macam kisah. Naskah Carita Parahyangan menyebutkan: ”To haan di Majaya ..... Nu ngibuda Sanghiyang Panji, mahayu na kadatwan, dibalay manelah taman mihapitkeun dora larangan. Nu migawe bale-bobot pituwe Jas jajar, tinulis pinarada warnana caca ritaan.”Pembangunan kembali fisik Pakuan dimungkinkan tidak disertai dengan membangun kekuatan spiritual, spiritual dan keamanan. Padahal keadaan masa itu merupakan akumulasi dari keadaan sebelumnya. Pajajaran mulai turun pamor sepeninggal Prabu Surawisesa. Pada masa Nilakendra musuh makin gencar mengganggu keamanan wilayah Pajajaran, bahkan sudah sangat mengganggu keamanan didalam kota Pakuan. Naskah Carita Parahyang an menggambarkan,: “Pada jaman manusia sejagat tidak mengala mi kejahatan disebutnya jaman sejahtera (kreta), jauh dari keseng saraan dan hidup bahagia. Tidak ada yang menyebabkan kehancu- ran alam. Pada jaman dopara, jaman perunggu; seterusnya ber ganti kejaman kali, jaman beusi - Hanteu ta yuga dopara kasiksa tikang wong sajagat, kreta ngaraniya. Hanteu nu ngayuga sangha ra, kreta, kreta. Dopara luha gumenti tang kali (Kaliyuga).” . Inilah gambaran pada akhir masa Prabu Nilakendra.
Pada jaman ini, musuh lemes sudah nampak kepermukaan, seperti adanya pembangkangan masyarakat dan pembesar kepada perangkat pemerintahan dan pemuka agama. Konon terbetik kabar, di Pakuan sudah tidak mengabaikan lagi prinsip,: ”nyatu tamba ponyo, nginum twak tamba hanaang" (makan sekedar lapar, minum menghilangkan dahaga), bahkan naskah Carita Parahyang an menyebutkan: “Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan" (Para petani merasa kurang akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu).
Sepeningal Nilakendra para penduduk banyak yang mengungsi kesekitar pelosok kotanya, sebagian lagi ke Pulasari. Para kera bat keraton sebagian besar masih banyak yang tinggal di Keraton, namun ada juga yang kembali kenegara dibawah Pajajaran. Sisa nya bertahan bersama pasukan pengawal yang dipercaya menja- ganya. Para penjaga ini dikemudian hari dikenal dengan sebutan Bareusan Panganginan, dalam tradisi pantun disebutkan, dipim- pin oleh tiga orang Senapati, yakni Demang haurtangtu; Puun Bu luh Pananjung; dan Guru Alas Lintang Kedesan.
Benteng Pakuan sekalipun sudah ditinggalkan rajanya masih tetap sulit dijebol, sehingga Maulana Yusuf memerlukan waktu sembilan tahun sejak naik tahta untuk untuk mempersiapkan penyerangan besar-besaran. Didalam Serat Banten menyebutkan pe ristiwa pemberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerang an ke Pakuan, dalam Pupuh Kinanti, “Nalika kesah pu nika-ing sasih Muharam singgih-wimbaning sasih sapisan-dinten ahad tahun alif-punika sakalanya-bumi rusak rekeih iki" (Waktu keberangkatan itu-terjadi bulan Muharam-tepat pada awal bulan-hari Ahad tahun Alif-inilah tahun Sakanya-satu lima kosong satu).
Hanya beberapa saat benteng Pakuan dapat dikuasainya. Konon menurut berita Banten, gerbang Pakuan dibukakan oleh Ki Jonggo, salah seorang komandan pasukan pengawal, yang masih saudara dengan salah satu komandan pasukan Banten. Itu pun di lakukan karena merasa sakit hati, tak pernah dapat kenaikan pangkat. Me nurut sumber dari Cirebon Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakha masa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala-Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian te rang bulan Wesaka tahun 1501 Saka, bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’ awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M.
Hanya beberapa saat benteng Pakuan dapat dikuasainya. Konon menurut berita Banten, gerbang Pakuan dibukakan oleh Ki Jonggo, salah seorang komandan pasukan pengawal, yang masih saudara dengan salah satu komandan pasukan Banten. Itu pun di lakukan karena merasa sakit hati, tak pernah dapat kenaikan pangkat. Me nurut sumber dari Cirebon Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakha masa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala-Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian te rang bulan Wesaka tahun 1501 Saka, bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’ awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M.
Penduduk Pakuan Pajajaran Tercerai Berai
Para penduduk pakuan banyak yang pergi mengungsi. Menurut sumber Babad ada pula senapati Pajajaran yang melarikan diri kearah timur, antara lain tiga orang bersaudara, yakni Jayaperkosa, Pancar Buana dan Wiradijaya. Mereka memiliki perjalanannya tersendiri, ikut serta membantu Pangeran Angkawijaya menjadi Prabu Geusan Ulun, raja Sumedanglarang untuk meneruskan trah raja-raja Sunda. Yang unik dari perjalanannya tentang penyelamatan Sanghyang Pake, pakean raja-raja Pajajaran yang akan dilantik menjadi raja Pajajaran. Pakean ini diselamatkan oleh Jayaperkosa bersaudara kearah Sumedanglarang, untuk diserahkan kepada Anggakawijaya. Dengan demikian Geusan Ulun dianggap sebagai penerus raja-raja Sunda.
Adapula yang mengungsi kedaerah Bayah dan Cisolok, Sukabumi selatan. Menurut sumber Pantun Bogor, rombongan pengungsi keraton terpecah-pecah. Rombongan raja mengung si ke wilayah Tegal Buleud, Sukabumi Selatan. Kelompok kedua di pimpin oleh tiga orang senapati Bareusan Panganginan. Pasukan ini semula sebagai pasukan khusus penjaga Pakuan atau pengawal istana. Yakni Demang haurtangtu; Puun Buluh Pananjung; dan Guru Alas Lintang Kedesan.
Kelompok ketiga dipimpin Prabu Anom, menuju Cibeo Kanekes, kecamatan Leuwi Damar, Lebak Banten. Kelompok keempat yang terkecil. Mereka terdiri dari jumlah yang paling sedikit, yakni Nay Putri Purnamasari, putri bungsu raja Pajajaran dari istrinya yang ketujuh, dan suaminya Rahyang Kumbang Bagus Setra. Mereka dikawal seorang Puragabaya yang bernama Rakean Kalang Sunda. Kelompokan inilah yang banyak dikisahkan dan dianggap ba nyak meninggalkan jejak.
Memang sulit mencari berita tentang penghancuran Pakuan pada masa itu, namun secara resmi Pakuan ditemukan kembali pa da tanggal 1 September 1687, dalam keadaan kosong oleh Ser san Scipio, pasukan ekspedisi Kompeni Belanda. Dalam laporannya menyebutkan, bahwa: ”istana tersebut dan terutama tempat du duk yang ditinggikan–sitinggil–kepunyaan raja Jawa Pajajaran, sekarang ini masih dikerumuni dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau.”
Referensi
- Tresnawati, Euis.,. "Kerajaan Sumedang Larang" E-Jurnal "Patanjala" Kemendikbud. pdf
- Permana, Agus Setia., "Pakuan (1482-1579): Upaya rekonstruksi sejarah melalui sumber tradisional dan sejarawan modern". tuturussangrakean.blogspot.co.id
- Mago: Cruzada dos Feiticeiros Perseguidores do Vácuo. Site.google.com