[Historiana] - Sejarah Pasang surut negeri kita juga dialami oleh para penganut Khonghucu. Klenteng Hok Tek Tjeng Sin dan Penganut Agama Khonghucu di Majalengka mengalami hal yang sama. Tulisan ini diadaptasi dari Yusuf Anbar Firdausi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pada masa pemerintahan orde baru, agama Khonghucu dilarang oleh pemerintah, sehingga aktivitas keagamaan penganut agama Khonghucu menjadi terhambat. Diskriminasi umat Khonghucu mulai dirasakan dengan diterbitkannya instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina yang melarang segala aktivitas berbau Tionghoa. Kemudian disusul pada tahun 1978 diterbitkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 tanggal 18 November 1978 antara lain menyatakan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha, sehingga mulailah keberadaan penganut agama Khonghucu dipinggirkan. Secara sistematis dan masif dilakukan oleh para menteri dan pejabat terkait serta penguasa setempat oleh para pelaku dan penerus kekuasaan pusat di setiap provinsi, kota dan kabupaten melancarkan praktik diskriminasi tersebut di atas (Buanajaya, 2009).
Tantangan terhadap hak warga bangsa di bidang sosial budaya ini diikuti oleh berbagai peraturan yang mendiskriminasi kehidupan budaya keagamaan yang dipeluk bangsa Indonesia keturunan Tionghoa sehingga berdampak termarginalnya budaya religius Khonghucu bagi masyarakat Indonesia Tionghoa selama 32 tahun lebih.
Diskriminasi hak-hak sipil bagi etnis Tionghoa di berbagai bidang kehidupan budaya keagamaannya: antara lain dianulirnya pencatatan perkawinan secara agama Khonghucu di kantor Catatan Sipil, dihentikan pendidikan agama bagi siswa/mahasiswa beragama Khonghucu, secara sistematis ditiadakannya kolom agama Khonghucu pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK). Hal ini adalah salah satu peristiwa pengebirian hak sipil untuk mereka (Buanajaya, 2009).
Begitu pula yang terjadi di kabupaten Majalengka, tidak jauh berbeda dengan kondisi penganut Khonghucu di daerah lain, keberadaan penganut agama Khonghucu di Majalengka pada akhirnya terpinggirkan. Efek dari keluarnya kebijakan dari pemerintah tentang pelarangan agama Khonghucu ternyata tidak sebatas pada ritual agama saja, namun merembet pada hal lain di luar agama. Terjadi disparitas yang ekstrim dari pengetahuan yang bukan hanya dalam bidang keagamaan dalam pengertian sempit, melainkan dalam bidang yang lebih luas meliputi “hal-hal yang terkait dengan Tionghoa” termasuk adat, tradisi dan filsafat.
Sejarah Kelenteng Hok Tek Tjeng Sin Majalengka
Klenteng, sebagai tempat ibadah agama Khonghucu, juga tidak memiliki nasib yang lebih baik. Rumah ibadah harus menyesuaikan mengikuti agama yang menjadi legal sesuai aturan Negara. Oleh karenanya, muncullah ajaran Tridharma (Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme) untuk adaptasi peraturan pemerintah.(Wibowo, dkk, 2010) Langkah ini diambil cukup kompromis dari sisi politis dan juga keberlangsungan klenteng sebagai sarana ibadah secara bersama-sama penganut agama sejenis, termasuk sebagai upaya menjaga eksistensi bangunan budaya klenteng yang berumur ratusan tahun.Prasasti di Kelenteng Hok Tek Tjeng Sin Majalengka |
Sejah Khonghucu
Agama Khonghucu di negeri asalnya diakui sebagai agama resmi sejak tahun 136 SM (Sebelum Masehi). Agama Khonghucu yang dibawa oleh orang-orang Tiongkok yang datang ke Indonesia menyebar ke beberapa daerah, tumbuh dan berkembang mengikuti pola kedaerahan dimana ia tumbuh dan membaur dengan masyarakat asli daerah itu.1 Kehadiran orang Tionghoa di Indonesia tidak dapat diketahui secara pasti, tetapi diperkirakan bahwa sejak zaman prasejarah telah terjadi penyebaran orang Tionghoa dalam jumlah besar. Kedatangan orang-orang Tionghoa tersebut membawa tradisi-tradisi yang dianggap penting, dan tata kehidupan yang berlaku di daerah asalnya, serta sikap memelihara dan mempertahankan nilai-nilai leluhurnya (Coppel, 1994).
Dalam perkembangannya, kehidupan masyarakat Tionghoa pun ikut berkembang, seperti tumbuh dan berkembangnya agama dan budaya-budaya baru lainnya. Dalam perjalanannya, banyak masyarakat Tionghoa Indonesia yang memeluk agama Khonghucu. Masyarakat Tionghoa ini mempelopori timbulnya agama Khonghucu dengan jalan menformulasikan ajaran-ajaran dan praktik-praktik agama dan kepercayaan serta tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di berbagai pelosok tanah air Indonesia (Sulaiman, 2009).
Masuk dan Berkembangnya Agama Khonghucu di Majalengka
Sejarah perjalanan dan perkembangan agama Khonghucu (Kong jiao) sangatlah panjang. Tidak seperti agama-agama lain yang bersifat agresif dalam usahanya mendapatkan banyak pemeluk, agama Khonghucu lebih menekankan pada sikap membina diri sendiri (dan menghindari sikap menuntut orang lain). Karena itulah perkembangan agama Khonghucu (terutama perihal penyebaran ajaran maupun perkembangan jumlah penganutnya) agak sulit dilacak dengan pasti.Dalam agama lain seperti Islam, Kristen, Buddha dan lain-lain yang umatnya gampang dikenali hanya dengan suatu "sumpah masuk agama" misalnya pembaptisan di agama Kristen dan pembacaan kalimat syahadat di agama Islam, maka seorang penganut agama Khonghucu tulen sangat sulit untuk dikenali karena "Kekhonghucuan" mereka diukur dalam perbuatan dan tingkah laku mereka sepanjang hidupnya. Karena itulah seorang penganut agama Khonghucu semasa hidupnya tidak "berani" menyebut dirinya sebagai penganut agama Khonghucu karena hal ini akan dinilai sendiri oleh generasigenerasi sesudahnya (Ongkoham, 2008).
Sulit untuk menyebutkan secara pasti kapan agama Khonghucu pertama kali dibawa dari Tiongkok ke Indonesia. Seperti diuraikan di atas, ajaran agama Khonghucu tidak disebarkan secara agresif. Ajaran agama Khonghucu diwariskan dari generasi ke generasi melalui bimbingan keluarga dimana seorang ayah akan memberikan teladan perbuatan kepada anaknya dan begitu seterusnya sang anak mewariskannya kepada cucunya. Karena alasan inilah agama Khonghucu yang "terbawa" ke Indonesia sudah bercampur baur dengan ajaran agama Buddha dan agama Tao.
Masuk dan berkembangnya agama Khonghucu di Kabupaten Majalengka diperkirakan terjadi pada akhir Abad 18 atau awal Abad 19. Sebagai buktinya adalah adanya Klenteng Hok Tek Tjeng Sin yang berdiri pada Tahun 1803 (lihat Gambar di atas). Bagi sebagian masyarakat pendatang Tionghoa yang mulai masuk ke Kabupaten Majalengka pada akhir abad 19, keberadaan Klenteng Hok Tek Tjeng Sin bukan merupakan daya tarik utama bagi mereka untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena faktor yang membuat mereka datang ke Majalengka adalah perniagaan.
Generasi pertama dari keluarga besar masyarakat Tionghoa yang ada di Kabupaten Majalengka saat ini adalah para kontraktor. Jadi, agama Khonghucu hanya merupakan salah satu aspek yang mereka bawa, namun bukan menjadi alasan utama mereka datang ke Kabupaten Majalengka. Pada masa-masa berikutnya, barulah Klenteng Hok Tek Tjeng Sin digunakan sebagai tempat belajar mengajar, disamping fungsi utamanya yang merupakan rumah ibadah bagi para penganut Agama Khonghucu.
Data Penganut Khonghucu di Majalengka |
Dalam Buku Kabupaten Majalengka dalam Angka Tahun 2016, penduduk Kabupaten Majalengka yang menganut agama Khonghucu pada Tahun 2015 hanya berjumlah 8 orang yang tersebar di 6 kecamatan, yaitu Kecamatan Lemahsugih, Kecamatan Maja, Kecamatan Majalengka, Kecamatan Dawuan dan Kecamatan Panyingkiran. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.28 Walaupun demikian, penduduk Kabupaten Majalengka yang beragama Khonghucu diduga lebih dari 8 orang, tetapi karena mereka tidak mengubah kembali nama agama di KTP nya, dan tetap menggunakan nama agama sebelumnya ketika mereka dilarang menulis agama Khonghucu di KTP tersebut.
Referensi
- Coppel, Charles A. 1994. "Tionghoa Indonesia Dalam Krisis". Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. hal. 31.
- Sulaiman. 2009. "Agama Khonghucu: Sejarah, Ajaran, dan Keorganisasiannya di Pontianak Kalimantan Barat". Jurnal Analisa. Volume XVI, No. 01, Januari-Juni 2009.
- Buanajaya, B.S. 2009. "Penelitian Historis Keberadaan Budaya Keagamaan Khonghucu Di Indonesia "(Surakarta: Matakin-Dewan Rohaniawan Agama Khonghucu Indonesia, 2009). Hal. 55.
- Wibowo. dkk. 2010. "Setelah Air Mata Kering".. Jakarta: Kompas. Hal. 194.
- Ongkoham. 2008. "Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina - Sejarah Etnis Cina di Indonesia" (Depok: Komunitas Bambu.Hal. 121.