Cari

Sunda Buhun - Ageman Sunda Purba Pra-Sejarah




[Historiana] - Ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengakui eksistensi Aliran Kepercayaan, tidak serta merta geliatnya tampak di masyarakat. Apakah karena julahnya kecil? Tidak juga. Terdapat 12 Juta orang penganut aliran kepercayaan di Indonesia. Aliran kepercayaan asli Nusantara tidak seperti agama-agama besar (mainstream) yang gemar menggerakkan massa di jalan-jalan. Mereka lebih merendah dan lebih berfokus pada individu debagai mahluk ciptaan Tuhan yang hanya berhubungan secara pribadi dengan Tuhan.

Tidak ada gerakan politik dalam aliran kepercayaan pada mulanya. Semoga tetap demikian cara berpikir dan berperilaku aliran kepercayaan ini. Ini sesuai dengan watak asli kepercayaan Nusantara.

DI Jawa Barat aliran kepercayaan yang paling dikenal adalah SundaWiwitan atau agama Jati Sunda. Sunda Wiwitan yang disebarkan oleh Madrais di Cigugur Kuningan disebut-sebut sebagai cikal bakal Sunda Wiwitan. Awalnya Madrais (biasa disebut Kyai Madrais) menyebutnya Agama Djawa Soenda. Madrais bukanlah pencipta ajaran ini, namun ia menggali kembali kepercayaan kuno.

Benarkah Agama Jati Sunda yang sering disebut dalam beberapa Naskah Kuno Lontar adalah sama dengan Sunda Wiwitan? Bagaimana pula dengan Aliran Sunda Buhun?

Mari kita kupas secara lengkap. Menurut etimologi bahasa, kata Sunda Wiwitan berasal dari kata Sunda dan Wiwitan. Sunda mengacu pada masyarakat yang mendiami wilayah kerajaan Sunda-Galu yang terbentang dari Banten hingga Brebes di Jawa Tengah. Saat itu Sunda tidak saja mengacu pada etnis namun juga sebuah ajaran atau Pikukuh. Wiwitan berarti mula-mula. Dengan demikian Sunda Wiwitan adalah Sunda mula-mula. Bila ditambahkan ajaran atau Pikukuh Sunda Wiwitan berarti ajaran Sunda mula-mula (awal mula).

Sementara itu, Sunda Buhun adalah Sunda Kuno. Dengan demikian dianggap seperti setara dengan Sunda Wiwitan. Sunda Buhun lebih jauh lagi sebelum adanya kerajaan Sunda-Galuh dan Pajajaran. Ketika Masa Pemerintahan Kerajaan Tarumanagara, telah disebutkan bahwa hanya pihak kerajaan saja yang menganut agama Hindu, Sementara rakyat masih ngagem (menganut) ajaran leluhurnya. Mungkin ini yang di sebut Sunda Buhun atau barangkali ajaran tersebut tidak diberi label nama tertentu. Ajaran yang dianut rakyat Salakanagara (pendahulu Tarumanagara) yaity tahun 150-an Masehi telah menganut agama/kepercayaan yang dipimpin oleh Aki Tirem.

Namun demikian, ada faktor yang lebih mendalam yang membedakan keduanya. Bila kita sama-sama belajar mencermati ajar pikukuh Sunda Wiwitan yang eksis sekarang ini berbeda dengan Sunda Buhun.

Keyakinan kepercayaan Urang Kanekes (Baduy) lebih mendekati Sunda Wiwitan yang berarti mula, pertama, asal, pokok, jati. Dengan kata lain, agama yang dianut oleh orang Kanékés ialah agama Sunda asli. Menurut Carita Parahiyangan adalah agama Jatisunda. Seacara umum masyarakat awam terhitung sedikit mengetahui ajaran jati Sunda karena orang Kanékés cenderung tertutup membicarakan kepercayaannya.

Jika isi agama Sunda Wiwitan dideskripsikan, tampak keyakinan kepada kekuasaan tertinggi pada Sang Hiyang Keresa (Yang Maha Kuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Disebut pula Batara Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib), yang bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep agama Hindu (Brahma, Wisnu, Syiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Séda Niskala.

Dalam mitologi orang Kanékés, ada tiga macam alam: (1) Buana Nyungcung, tempat bersemayam Sang Hiyang Keresa, yang letaknya paling atas; (2) Buana Panca Tengah, tempat manusia dan makhluk lain berdiam; dan (3) Buana Larang, yaitu neraka yang letaknya paling bawah.

Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapisan alam, tersusun dari atas ke bawah. Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang atau menurut kropak 630 bernama Alam Kahiyangan atau Mandala Hiyang. Lapisan alam ini tempat tinggal Nyi Pohaci Sanghiyang Asri dan Sunan Ambu.


Sunda Wiwitan dan Sunda Buhun

Bila kita cermati kedua aliran kepercayaan Sunda, yaitu Sunda Wiwitan dan Sunda Buhun keduanya dapat dipersamakan. Titik temu keduanya adalah adanya Sosok Sunan Ambu. Ibu keilahian adalah Sunan Ambu. Sosok Dewi (perempuan) sebagai penguasan alam semesta adalah ajaran Pra-Sejarah. Silahkan baca: Agama Sebelum Adam | Ketika Dewa Utama Adalah Perempuan

Namun dalam perkembangan berikutnya dalam berbagai turunan aliran kepercayaan Sunda Wiwitan sering mengabaikan sosok Sunan Ambu. Tergantikan dengan berbagai Sanghyang dan ada juga turunan aliran kepercayaan ini yang lebih tertuju Siliwangi. Tentu ini adalah hal lebih baru lagi.

Sunda sebagai entitas etnis memeliki sikap handap asor. Jiwa yang saling menghargai dan menghormati. Silih asah, Silih asih, Silih asuh. Perbedaan cara pandang tersebut tidak membuatnya saling menyalahkan. Dalam kosmologi dan konsepsi aliran kepercayaan Urang Sunda tak mengenal istilah bid'ah, bidat, musyrik, kafir, penghujatan, dan lain sebagainya. Tidak ada penghakiman urang Sunda terhadap keyakinan Sunda lainnya. Anggapan bahwa Urang mah hurip jeung hirupna geus aya nu ngersakeun

Pandangan hidup Urang Sunda adalah memberi manfaat bagi orang lain. Isitlah dalam Kitab Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian adalah tapa di nagara. Tapa diartikan Dharma dalam bahasa agama Budha, artinya berbakti. Jadi Tapa ka Nagara adalah berbakti pada negara.

Kitab Suci Sunda
Cara pandang keagamaan berbeda satu sama lain. Demikian pula jika membuat aturan klasifikasi agama juga sangat berbeda. Ada pandangan bahwa agama haruslah ada Nabinya, kitabnya dan syarat-syarat lainnya. Kontroversi ini di kalangan para ahli teologi belum berakhir, bahkan hingga hari ini. Silahkan ada bisa searching klasifikasi agama dari berbagai pandangan para ahli.

Sekali lagi, bagi urang Sunda yang lebih mengedepankan isi daripada baju dan seabreg kosmetika luaran. Alih-alih memperebutkan kebenaran, bagi Urang Sunda adalah menjalani hidup secara benar. Ukuran benar dan salah secar common sense juga dapat dipahami. Misalnya, mencuri, mabuk, membunuh dan memperkosa adalah perbuatan hina. Rasa dan bathin yang memberikan penilaian atas perilaku tersebut.

Kemudian, beberapa naskah kuno Sunda (NSK) yang memberikan ajaran didaktis banyak yang dijadikan pedoman berperilaku bagi urang Sunda. Sebut saja Kita Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian. Kitab ajaran didaktis tersebut lebih mirip disebut sebagai KUHP daripada sebagai kitab suci. Jauh lebih mendalam bila kita memahami Kitab Sewaka Darma dan Siksa Guru. Istilah Siksa bermakna "ajaran". 

Kitab-kitab tersebut bahkan tidak membubuhkan siapa penulisnya. Yang tertera hanyalah tanggal atau tahun penulisannya. Ini menunjukan bahwa kitab tersebut milik umum (masyarakat) dan bukan karya atau hasil pemikiran penulisnya. Penulis (biasanya seorang Pandita/Guru Resi) tidak mengklaim tulisan tersebut sebagai miliknya. Keberadaan suatu naskah keagamaan yang tahun penulisannya tercantum, tidak menunjukkan bahwa ajaran tersebut baru ada saat naskah ditulis, melainkan hanya menulis ulang (copy-an). Contohnya Naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian terdapat 2 naskah yang kini tersimpan di Perpustakaan nasional republik Indonesia (PNRI). Pertama naskah daun lontar dengan kode L-624 dan naskah daun Nipah dengan kode L-630. Keduanya berisi ajaran dan narasi yang sama. perbedaannya, selain media tulis adalah jenis aksaranya. Dengan demikian kedua naskah hanyalah sebuah copy dari ajaran yag telah lama dilaksanakan urang Sunda jauh sebelumnya.

Ikutlilah ajaran dalam kitab ini. Jika hidupnya lebih kreta (makmur), jiwamu lebih tingtrim (tentram) dan lebih penyayang terhadap sesama adalah bukti kebenaran. Namun bukan berarti menunjukkan bahwa kitab ini benar, sekali lagi bukan kitab ini yang benar. Tetapi Tuhan lah yang benar. Sanghyang Kersa lah yang mengajarkan kebenaran itu untukmu. Kamu bakal heubeul hirup (berumur panjang).

Cag***
Baca Juga

Sponsor