[Historiana] - Kerajaan Pajajaran dianggap sebagai kerajaan yang paling stabil. Bediri sejak tahun 670 (atau 669 Masehi) oleh Tarusbawa dan Galuh (612 M) oleh Wretikandayun. Kerajaan Pajajaran sejak Sunda-Galu telah berdiri selama 909 Tahun. Namun tahun 1579 M Kerajaan Pajajaran hancur, sirna in bumi.
Sebenarnya sangat disayangkan bahwa kerajaan besar di tanah sunda tersebut tidak meninggalkan jejak sama sekali, karena memang kemungkinan dihancurkan. Politik bumi hangus yang merupakan budaya baru di tanah sunda waktu itu telah melanda wilayah sunda setelah perbedaan keyakinan dianggap sebagai salah satu sebabnya. Meskipun diyakini bahwa hal tersebut bukan karena perbedaan keyakinan, tetapi lebih mengarah ke perebutan pengaruh di tanah sunda. Sumedang Larang yang telah beragama Islam pun berada di balik kekuatan Pajajaran akhir, dan masih mendukungnya.
Di sinilah bahaya politik bumi hangus, yang sebenarnya bukan merupakn tradisi dari tanah sunda. Politik bumi hangus menjadikan kita harus memulai berbagai hal dari nol lagi. Tidak ada kesinambungan sejarah. Sejarah menjadi terputus, sehingga generasi kemudian selalu memulai ssesuatu dari nol, baik dalam mata pencaharian mauupun teknologi. Itulah mengapa politik bumi hangus itu membahayakan.
Kemenangan besar mungkin diraih pada waktu itu, tetapi dalam jangka panjang sebenarnya bukan hanya karena mampu menaklukan bangsa tersebut, tetapi politik bumi hangus setidaknya telah membunuh peradaban. Peradaban pun putus. Bagi orang yang mengenang kejayaan masa lampau justru akan terjebak pada upaya upaya menampilkan sejarah peradaban dengan cerita-cerita tahayul yang tidak masuk akal.
Kisah keruntuhan Kerajaan Pajajaran diceritakan dalam Naskah Carita Parahiyangan dengan jelasnya. Berawal pasca meninggalnya Sri baduga maharaja Prabu Jayadewata pada tahun 1521 M, dimulainya peperangan antar-keturunannya. Pengganti Sri Baduga, yakni Prabu Surawisesa meskipun telah berusaha mempertahankan kekuasaanya, namun mendapat serangan yang bertubi tubi, akhirnya ia harus rela kehilangan beberapa wilayahnya yaitu Banten, yang justru paling agresif dalam berbagai peperangan melawan Pajajaran.
Selanjutnya, dalam waktu 58 tahun pasca Sri Baduga Maharaja wafat dan 5 penguasa penerusnya, Kerajaan Pajajaran sebagai pusat kerajaan yang paling stabil selama berabad abad akhirnya hancur pada tahun 1579 Masehi.
Setelah Sri Baduga Maharaja wafat, rasa hormat Cirebon terhadap Pajajaran mulai hilang, mungkin pula karena desakan untuk melakukan ekspansi perdagangan dan perniagaan. Dalam pelaksanaannya, kekuatan gabungan Cirebon – Demak pertama-tama menaklukan pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai kerajaan Pajajaran.
Kesultanan (Kerajaan) Cirebon memerangi Kerajaan Pajajaran yang waktu itu telah di perintah oleh Surawisesa, saudara seayah Walangsungsang, dari Kentring Manik Mayang Sunda. Peperangan diperkirakan terjadi lima tahun.
Menurut Naskah Carita Parahyangan, peperangan tersebut terjadi 15 kali dan berakhir di sebelah barat Citarum. Kedua belah pihak saling menunggu. Gabungan pasukan Demak dan Cirebon tidak mampu menembus jantung pertahanan Pajajaran, demikian pula pasukan Pajajaran tidak mampu merebut kembali pelabuhannya yang telah dikuasasi pasukan gabungan Cirebon dan Demak.
Di sebelah timur, Kerajaan Galuh berupaya menguasai Kesultanan Cirebon, Galuh mengirim surat kepada Syarif Hidayatullah untuk bergabung dengan Galuh, sebagai negara yang memiliki hak sejarah atas wilayah Cirebon. Namun permintaan tersebut di tolaknya, bahkan Syarif Hidayatullah dan meminta bantuan Fadillah Khan (Fatahillah) untuk memperkuat pertahanannya di keraton Pakungwati Cirebon. Fadillah Khan mengirim 700 orang pasukan bantuannya untuk mempertahankan Cirebon.
Kekalahan Pajajaran yang sangat fatal terjadi di front timur. Cirebon mampu mengalahkan Galuh di daerah Bukit Gundul Palimanan. Untuk kemudian merebut jantung pertahanan Galuh di Talaga. Peperangan antara Cirebon dengan Galuh yang diperkirakan terjadi pada tahun 1528 sampai dengan 1530 M Cirebon.
Kekalahan pasukan Pajajaran di front timur menyebabkan Surawisesa mengambil langkah politis melalui perjanjian perdamaian. Niat tersebut dilakukan dengan cara mengirimkan duta ke Keraton Pakungwati Cirebon. Susuhunan Jati Kesultanan Cirebon menerima tawaran tersebut, maka pada tahun 1531 terjadilah perdamaian.
Isi dari perjanjian damai tersebut menyetujui, bahwa : “kedua belah pihak (Cirebon dan Pajajaran) saling mengakui kedaulatan masing-masing, sederajat dan bersaudara sebagai ahli waris Sri Baduga Maharaja.
Serangan Pertama ke Pakuan
Pada tahun 1535 Masehi, Maharaja Surawisesa wafat dan digantikan oleh puteranya Sang Ratu Dewata. Pewaris tahta Pajajaran ini cenderung mengabaikan urusan duniawi. Ia lebih memilih untuk mengambil jalan untuk menjadi raja resi, berpuasa, hanya memakan buah-buahan dan minum susu. Mungkin ia merasa jemu dengan urusan duniawi, seperti peperangan yang tidak ada hasilnya yang dilakukan oleh ayahnya. Selain itu, ia sangat percaya sepenuhnya terhadap jaminan perjanjian damai antara Pajajaran – Cirebon tanggal 29 Juni 1531 Masehi yang dilakukan oleh ayahnya.Peristiwa tersebut disindir dalam Carita Parahiangan, “Ya hati-hatilah orang-orang yang kemudian, janganlah engkau kalah perang karena rajin puasa.” Mungkin amanah tersebut dimasa kini dapat dipahami sebagai perlunya menjaga keseimbangan antara urusan duniawi dan masalah akherat (ukhrawi).
Tidak demikian di pihak Panembahan Hasanudin dari Banten Pasisir. Ia kurang setuju atas perjanjian damai Pajajaran – Cirebon. Perjanjian tersebut dianggap hanya aman bagi Cirebon, tetapi menjadi ancaman bagi Banten. Ia menyetujuinya, karena harus taat kepada kebijakan ayahnya, Susuhunan Jati.
Niat Hasanudin untuk menguasai pakuan dilakukan secara terselubung, dengan cara membentuk pasukan khusus tanpa indentitas (tambuh sangkane), sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya ketika merebut Surasowan. Secara garis keturunan dan pandangan keagamaan, Panembahan Hasanudin adalah cicit dari Sri Baduga Maharaja dari alur darah Kawunganten maupun dari Susuhunan Jati. Mungkin ia merasa berhak atas tahta Kerajaan Pajajaran.
Dalam masa pemerintahan Sang Ratu Dewata itulah, pasukan Panembahan Hasanudin menyerang ibukota Pakuan Pajajaran. Akan tetapi serangan itu disongsong pasukan Pakuan dialun-alun Pakuan, sekarang alun-alun Empang, Bogor. Dalam pertempuran itu, gugur Tohaan Ratu Sarendet dan Tohaan Ratu Sanghiyang, perwira-perwira muda pihak Pajajaran.
Peperangan ini dicatat dalam Carita Parahyangan, isinya:
“datangna bancana musuh ganal, tambuh sangkane. Prangrang di burwan ageung. Pejah Tohaan Ratu Sarendet deung Tohaan Ratu Sanghyang”.
(Datang bencana dari laskar musuh. Tak dikenal asal-usulnya. Terjadi perang di alun-alun. Gugurlah Tohaan Ratu Sarendet dan Ratu Sanghyang).
Setelah pasukan Hasanudin gagal menyerang Pakuan, lalu mengundurkan diri, untuk melakukan serangan ke daerah utara, kemudian Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri. Mungkin maksudnya menyerang Pakuan dari arah timur.
Setelah Sang Ratu Dewata wafat, digantikan oleh puteranya, Ratu Sakti, pada tahun 1543 M. Namun Ratu Sakti, dalam menjalankan pemerintahannya sebagai raja kejam.
Ketika situasi Pajajaran sedang memburuk, ia tidak lagi memperdulikan etika kenegaraan. Ia membunuh orang-orang tak berdosa, merampas harta rakyat tanpa perasaan malu, tidak berbakti kepada orang tua, dan menghinakan para pendeta. Ia menikahi “rara hulanjar” gadis yang sudah bertunangan, bahkan yang menjadi puncak ketidak etisannya, menikahi ibu tirinya. Sang Ratu Sakti diturunkan dari tahtanya, pada tahun 1551 M. Kelemahan Pajajaran ini tidak sempat dimanfaatkan Banten, karena saat itu Hasanudin sedang mengerahkan pasukannya ke Pasuruan, membantu Sultan Trenggono dari Demak.
Ekspansi Banten Kewilayah Timur Jawa
Panembahan Hasanudin memiliki peranan yang cukup besar ketika ia masih berstatus Bupati bawahan Cirebon. Pada masa tersebut Sultan Trenggono mengutus adiknya, yakni Nyi Pembayun, isteri dari Fadillah Khan, meminta bantuan pasukan Banten agar bergabung dengan pasukan Fadillah Khan (Bupati Kalapa), untuk menaklukkan, Blambangan, Panarukan dan Pasuruan. Dalam penyerangan tersebut, Demak menyertakan Pasukan Portugis untuk membantunya.Pada masa itu Demak tidak lagi memusuhi Portugis, bahkan Portugis diijinkan membuka kantor dagang di Banten Pasisir, serta menempatkan armada lautnya disana. Armada Portugis pada saat itu dipimpin oleh Tome Pinto (pelaku penanda tangan perjanjian Pajajaran - Portugis 21 Agustus 1522 M di Pakuan). Dari catatan Tom Pires inilah sejarah ini diketahui.
Mungkin cerita ini akan sangat menganggu mengingat peristiwa penandatanganan Perjanjian Pajajaran – Portugis di pahami sebagai kesalahan Pajajaran melakukan kolaborasi dengan pihak asing dalam mempertahankan kedaulatannya. Namun akan menjadi lain ketika mengetahui sejarah selanjutnya, terutama ketika Demak menyertakan Portugis untuk menaklukan Blambangan, Panarukan dan Pasuruan.
Begitu pula pandangan Demak. Awalnya dimasa pemerintahan Raden Patah sangat memusuhi Portugis. Namun ketika Banten, Sunda Kelapa dan Cirebon sudah berada dibawah pengaruhnya, demi kepentingan perdagangan maka Demak tidak mengharamkan untuk menjalin persahabatan dengan Portugis.
Ketika Banten Pasisir sudah berubah menjadi Kerajaan Surasowan, dunia perdagangannya semakin pesat. Islam telah mewarnai Surasowan menjadi Negara perniagaan. Menurut Yosep Iskandar (2005): dari catatan perjalanan (terjemahan Saleh Danasasmita) dapat digambarkan sebagai berikut:
Dari Malaka berlayar lagi, Setelah 17 hari, tibalah aku dipelabuhan Banten tempat yang biasa dikunjungi orang Portugis untuk berdagang. Disana keperluan untuk muatan kapal kita, merica, ketika itu sedang sangat jarang didapat diseluruh negeri. Karena itu kami terpaksa harus tinggal disini selama musim hujan.
Telah berlangsung dua bulan lamanya kami dalam perdagangan yang menyenangkan di sini, ketika raja Demak penguasa seluruh Pulau Jawa, Bali, Madura, Angenia mengirim utusan kepada Tagaril, raja Sunda, meminta bantuan dengan pesan bahwa dalam tempo setengah bulan harus datang ke Jepara tempat peralatan perang sedang disiapkan untuk menyerang Pasuruan.
Bala bantuan Banten ketika itu berkekuatan yang terdiri dari 30 calaluzes dan 10 jurupango diperlengkapi dengan keperluan perjalan dan peralatan perang. Dalam 40 kapal itu terdapat 7.000 orang diluar para pendayung. Sedangkan dari Portugis menyertakan 40 orang. Kesertaan Portugis tentunya setelah mendapat konsensi, bahwa Portugis akan dibantu di Banten, sehingga janji ini mendorong Portugis untuk membantu peperangan ini.
Dari catatan Tome Pinto, menyebutkan, bahwa Raja Sunda (Hasanudin) bertolak dari pelabuhan Banten pada tanggal 5 januari 1546 dan tiba pada tanggal 19 bulan itu dikota Jepara. Disana peralatan perang sedang disiapkan.
Dari catatan ini diketahui pula adanya kepentingan politik perdagangan antara Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Demak dengan Portugis. Walaupun 24 tahun yang lalu Portugis telah mengadakan perjanjian dagang dengan Pajajaran, namun kemudian berpaling dan mengikat persahabatan dengan negara-negara yang memiliki pelabuhan dagang. Pada waktu semua pelabuhan milik Pajajaran sudah direbut Demak. Hal ini ditegaskan dalam vatatan Tome Pinto, bahwa raja Demak penguasa seluruh Pulau Jawa, Bali, Madura, Angenia.
Suatu hal yang jarang dibahas dalam kondisi ini, yakni kesempatan Pajajaran untuk menguasai kembali daerahnya yang telah direbut Cirebon – Demak. Keengganan Pajajaran untuk menggunakan kesempatan ini dimungkinkan karena penguasa Pajajaran percaya terhadap Perjanjian Cirebon – Pajajaran untuk tidak saling mengganggu.
Sedangkan setiap serangan Panembahan Hasanudin dilakukan tanpa menggunakan identitas Banten, sehingga tidak ada kecurigaan Pajajaran terhadap Banten dan Cirebon. Spekulasi kedua, yang banyak disebut-sebut dikaitkan dengan tabiat Ratu Sakti yang saat itu berkuasa di Pajajaran. Ia dianggap tidak memikirkan negara, kecuali kesenangannya. Dimungkinkan pula cemoohan para penulis sejarah terhadapnya diakibatkan dari “laweurnya" Ratu Sakti tidak menggunakan kesempatan untuk mengembalikan wilayah Pajajaran.
Serangan Kedua Ke Pakuan
Pada masa itu kerajaan Pajajaran sudah tidak lagi sekuat dulu, menginat ada beberapa masalah dalam negeri yang melumpuhkan roda pemerintahan. Seperti masa Ratu Dewata yang lebih memilih sebagai raja resi ketimbang mengurus negara. Sebaliknya, penggantinya, yakni Ratu Sakti diangap paling kejam dan tidak mau tahu urusan rakyat.Akibat yang dilakukan pada dua periode tersebut, pada masa pemerintahan Prabu Nilakendra, Pajajaran sudah demikian bobrok. Rakyat dilanda kelaparan. Masa ini dikenal dengan sebutan masa Kaliyuga.
Pada masa Kaliyuga (zaman kejahatan dan kemaksiatan), Nilakendra masih sempat membuat bendera keramat, memperindah keraton dengan membangun taman berbalay (dihampari batu), mendirikan bangunan megah 17 baris yang dilukisi dengan emas, menggambarkan bermacam-macam cerita. Setiap keratin dimeriahkan oleh pesta-pora, makan enak, disertai minum-minum (tuak) sampai mabuk. Mengenai Prabu Nilakendra, tidak ada ilmu yang disukainya, kecuali perihal makanan lezat yang sesuai dengan kekayaannya. Itulah bunga pralaya yang disebut kaliyuga. Pajajaran telah berada diambang kehancuran.
Pada jaman Nilakendra muncul kembali serangan dari pasukan tidak dikenal indentitasnya, menggempur ibukota Pakuan. Prabu Nilakendra tidak berdaya, ia meloloskan diri meninggalkan keratin. Prabu Nilakendra tidak pernah diketahui kapan wafatnya dan dimana dipusarakannya. Mungkin ia meninggal ditengan hutan belantara dalam keadaan sengsara sebatang kara.
Peristiwa ini digambarkan didalam Naskah Carita Parahyangan:
“Tohaan Majaya alah prangrang mangka tan nitih ring kadatwan”Nasib ibukota Pakuan, dimasa bodohkan begitu saja, dipercayakan kepada semua pembesar yang tidak menyertainya dalam pelarian. Para pembesar kerajaan Pajajaran dengan segala daya upaya mempertahankan keraton Pakuan Pajajaran. Berkat perlindungan parit pertahanan dan benteng yang dibangun oleh Sri Baduga Maharaja, Keraton dapat diselamatkan.
(Tohaan Majaya kalah perang dan ia tidak tinggal di Keraton).
Kondisi di Pakuan pasca ditinggalkan oleh Prabu Nilakendra, sudah tidak berfungsi sebagai ibukota. Sebagian penduduk telah mengungsi ke wilayah pantai selatan, membuat pemukiman baru didaerah Cisolok dan Bayah. Sebagian lagi meninggalkan Pakuan mengungsi ke timur, diantaranya terdapat pembesar kerajaan, Senapati Jayaprakosa beserta adik-adiknya.
Sebagian penduduk Pakuan yang ada pertalian darah kekerabatan dengan keluarga keraton, ikut mengungsi dengan satu-satunya raja yang bersedia meneruskan tahta Pajajaran, yaitu Sang Ragamulya Suryakancana, putra Prabu Nilakendra. Ia mengungsi ke wilayah barat laut, tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang.
Dari sekian bagian penduduk yang mengungsi, ada sebagian lagi yang mencoba bertahan di Pakuan, bersama beberapa orang pembesar kerajaan yang ditugaskan menjaga dan mempertahankan keraton Sri Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati (keraton Pajajaran). Walaupun sudah tidak berfungsi, kehidupan di Pakuan pulih kembali.
Prabu Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya, berupaya menegakkan kembali Kerajaan Pajajaran, dengan ibukotanya di Pulasari. Ia bertahta tanpa mahkota, sebab semua perangkat dan atribut kerajaan telah dipercayakan kepada Senapati Jayaprakosa dan adik-adiknya untuk diselamatkan. Mungkin juga pemilihan Pulasari pada waktu itu karena masih ada raja daerah, Rajataputra, bekas ibukota Salakanagara. Namun ada juga yang menyebutkan, bahwa Pulasari bukanlah ibukota seperti yang lajim digambarkan dalam suatu pemerintahan. Pulasari waktu itu sebagai Kabuyutan, daerah yang dikeramatkan. Digunakan oleh Suryakancana untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.
Menurut Yosep Iskandar, Prabu Ragamulya Suryakancana seperti sudah mempunyai firasat, bahwa pusat kerajaannya harus di Pulasari Pandeglang. Mungkin berdasarkan petunjuk spiritual (uga), bahwa ia harus kembali ketitik-asal (purbajati). Mungkin juga ia “mengetahui” melalui bacaan lontar, catatan tentang “Rajakasawa” yang mengisahkan “Karuhun” (leluhur) Jawa Barat. Atau hanya berdasarkan “dorongan batin” yang ia miliki sebagai pewaris darah raja.
Sulit dibayangkan, sebab pusat kerajaannya yang baru, justru berdampingan dengan Kerajaan Surasowan. Yang pasti, Pulasari yang dijadikan ibukota Kerajaan Pajajaran tersebut adalah “patilasan” (bekas) pemukiman yang dahulu kala didirikan oleh Sang Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya dalam abad kedua Masehi. Di Pulasari pula Sang Dewawarman mendirikan Rajatapura, ibukota Salakanagara pada tahun 130 Masehi. Namun sejarah mencatat, bahwa: Prabu Ragamulya Suryakancana gugur di Pulasari oleh pasukan Maulana Yusuf.
Sepeninggalnya Nilakendra, Pakuan masih memiliki aktifitas seperti biasanya, namun memang sudah tidak lagi digunakan sebagai persemayamannya raja Pajajaran. Benteng Pakuan memiliki pertahanan yang sangat kuat. Bukan karena ada parit-parir dan benteng-benteng pertahanan yang dahulu dibangun Sri Baduga Maharaja, melainkan juga soliditas dan ketangguhan sisa-sisa prajurit Pajajaran yang masih bermukim dibenteng.
Kehancuran Pakuan berdasarkan versi Banten dikarenakan ada pengkhianatan dari “orang dalam yang sakit hati”. Konon terkait dengan masalah jabatan. Saat itu ia bertugas menjaga pintu gerbang dan membukanya dari dalam untuk mempersiapkan pasukan Banten memporakporandakan Pakuan. Benteng Pakuan akhirnya dapat ditaklukan. Penduduk Pakuan yang dengan susah payah membangun kembali kehidupannya pasca penyerangan kedua kembali dilanda bencana maut. Mereka dibinasakan tanpa ampun. keraton Sri Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati yang dijadikan simbol Pajajaran dibumi hanguskan.
Pasca penghancuran Pakuan kemudian Banten mengarahkan serangannya ke Pulasari, Prabu Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya yang setia berupaya melawan sekuat tenaga. Namun pada akhirnya Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya gugur di Pulasari.
Menurut Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219:
Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala.
(Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka” bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M).
Referensi:
- Atja, Drs. 1968. "Tjarita Parahjangan". Bandung: Jajasan Kebudayaan Nusalarang.
- Danasasmita, Saleh. 1984. "Sejarah Jawa Barat: rintisan penelusuran masa silam." Bandung: Jawa Barat : Proyek Penerbitan Buku Sejarah.
- Ekajati, Edi S. 2005. "Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah)" - Jilid 1 Cet Kedua. Bandung: Pustaka Jaya.
- Iskandar, Yoseph. 1997. "Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa)". Bandung: Geger Sunten – Bandung.
- "Pajajaran Burak: Tragedi hancurnya. by Adeng Lukmantara. Sunda Siabah Diakses 27 Mei 2018.
- "Runtuhnya Pajajaran" Inilah dunia kita.com Diakses 27 Mei 2018