Kedua, kata "Ambu" bermakna harfiah adalah Ibu dalam bahasa Sunda. Sunan Ambu adalah sosok betari atau Dewi sebagai perempuan gaib penguasa khayangan dalam kepercayaan Sunda buhun. Namun peranannya lebih dari itu, karena sosoknya juga dianggap sebagai "ibu" dari kebudayaan Sunda. Arti Sunan Ambu sendiri berasal dari Bahasa Sunda Susuhunan Ambu, Susuhunan adalah "seseorang yang dimuliakan", sementara ambu bermakna "ibu". Maka dapat diartikan sebagai "Ibu yang dimuliakan", "Ratu Ibu" atau "Dewi Ibu", yang di dalam mitologi masyarakat Sunda yang bermakna sebagai "ibu" yang merawat tanah air serta lingkungan hidup yang harus dimuliakan.
Keberadaan sosok Dewi dalam ajaran lama sangat membingungkan para sejarawan. Temuan arkeologi menunjukan sebaran sosok penguasa ghaib atau yang disembah pada zaman pra-sejarah adalah sosok perempuan. Padahal dalam masa berburu dan mengumpulkan makanan, dominasi peran laki-laki lebih menonjol. Begitupula dalam kesejaran Sunda, sosok Dewi penguasa kahiyangan justru perempuan. Baca juga: Agama Sebelum Adam | Ketika Dewa Utama Adalah Perempuan.
Acra Dewi di Malta |
Nama Sunan Ambu dapat ditemukan di cerita-cerita rakyat seperti "Lutung Kasarung" dan "Mundinglaya Dikusumah", yang menjelaskan bahwa penguasa kahyangan adalah sosok perempuan yang memiliki nama Sunan Ambu. Hakikat bahwa yang menjadi penguasa kahyangan adalah perempuan mungkin merupakan manifestasi dari kepercayaan asli Sunda Buhun sebelum masuknya agama-agama patriarki seperti Hindu.
Hingga zaman Hindu di tanah Sunda pun, Sunan Ambu masih memiliki tempat di hati masyarakat Sunda. Ia memiliki wilayahnya sendiri yang berbeda dari tempat tinggal manusia maupun dewa-dewi, yaitu Padang Tengah (kahyangan) dimana ia berkuasa atas para pohaci (bidadari) dan bujangga (bidadara).
Nama Sunan Ambu barangkali sudah tidak dikenali lagi kalangan muda di tatar Pasundan. Namun bagi orang tua dan generasi muda yang mencintai Budaya Sunda tentu akan mengenal sosoknya. Sunan Ambu dianggap sebagai Ibu dari Budaya Sunda. Keberadaannya untuk memberikan ajaran welas asih kepada sesama.
Ajaran Sunda Buhun
Sunda buhun diartikan sebagai Sunda Purba (purwa). Kata Purwa berarti "awal' atau "mula-mula" atau "awitan/wiwitan". Baca juga: Sunda Buhun - Ageman Sunda Purba Pra-Sejarah.
Saya (penulis) melakukan penelusuran jejak ajaran pra-sejarah di tatar sunda. Dalam Komunitas Pencinta Arkeologi Sunda (Komara Sunda), saya melakukan pengumpulan data-data dari mandala-mandala di tatar Sunda yang disebutkan dalam Naskah Sunda Kuno (NSK) seperti disampaikan Undang A Darsa.
Aksara Awal Sunda Buhun
Aksara awal Sunda telah ada sebelum aksara Kaganga. Aksaranya mirip dengan huruf paku Mesir. Secara fnonologis, pengucapannya mirip dengan bahasa dalam vedic. Lokasi awal budaya Sunda purba diperkirakan kini tenggelam di laut jawa di bagian utara Banten hingga Semarang. (Sumber penelusuran Komara Sunda, 2018).
Patung/Arca Sunan Mitera/Dewi Mytheera Sunda Purba Gambar: Imajiner |
Nama Dewi ini barangkali asing. Sunan Mitera adalah penguasa bumi. Digambarkan sebagai wanita berpostur besar. Selama ini kita mengenal penguasa bumi adalah Dewi pertiwi. Barangkali setelah masa Hindu, Dewi penguasa bumi yang semula Sunan/Dewi Mitera menjadi Dewi pertiwi.
Pertiwi (Sanskerta: pṛthvī, atau juga pṛthivī) adalah Dewi dalam agama Hindu dan juga "Ibu Bumi" (atau dalam bahasa Indonesia "Ibu Pertiwi"). Sebagai pṛthivī matā "Ibu Pertiwi" merupakan lawan dari dyaus pita "Bapak Angkasa". Dalam Rgveda, Bumi dan Langit seringkali disapa sebagai pasangan, mungkin hal ini menekankan gagasan akan dua paruh yang saling melengkapi satu sama lain.
Sunan Mitera atau Dewi Mytheeraa barangkali mengacu sebagai tempat kelahiran (asal lahirnya) Batara Kresna yaitu Mathura. Mathura sebagai nama Kerajaan di dalam Purana (pra-weda Hindu). Seperti dalam wiracarita Mahabharata, Mathura merupakan ibukota Kerajaan Surasena, dipimpin oleh Kamsa, paman Kresna.
Kerajaan Surasena adalah sebuah kerajaan Wangsa Yadawa yang muncul dalam kisah epik Mahabharata. Ibukota kerajaan Surasena bernama Mathura, didirikan oleh Satrughna, adik Raja Rama yang memerintah di Kerajaan Kosala pada zaman Treta Yuga.
Menurut ajaran agama Hindu, Treta yuga (Dewanagari: त्रेतायुग) adalah jenjang zaman yang kedua dalam siklus Yuga. Zaman ini merupakan lanjutan dari zaman Satyayuga, zaman ketika moral manusia sempurna. Zaman Tretayuga merupakan zaman sebelum Dwaparayuga. Zaman ini berlangsung selama 1.296.000 tahun.
Ataukah Mytheera berkaitan dengan Mithila (Sanskerta: मिथिला, Mithilā) adalah ibukota kerajaan Wideha, seperti yang diceritakan dalam wiracarita Ramayana. Kota ini terletak di lembah sungai Gangga sebelah timur, pada masa sekarang termasuk wilayah Uttar Pradesh dan negara bagian Bihar di India, dan termasuk wilayah Nepal. Kota ini diduga sama dengan Janakpur, letaknya di distrik Dhanusa di Nepal. Negara Wideha seringkali disetarakan dengan Mithila meskipun Mithila sebenarnya adalah ibukotanya, sama halnya dengan Kerajaan Kosala disamakan dengan Ayodhya meskipun Ayodhya merupakan ibukota Kerajaan Kosala.
Legenda mengenai Mithila ada selama berabad-abad. Gautama Buddha maupun Vardamana Mahavira dikatakan pernah tinggal di Mithila. Kota ini juga menjadi pusat sejarah India selama milenium awal, dan berkontribusi dalam berbagai karya sastra.
Bahasa Maithili dituturkan di Mithila. Ahli bahasa menyimpulkan Maithili sebagai bahasa India timur, dan merupakan bahasa yang berbeda dengan bahasa Hindi, bahasa persatuan India. Maithili sebelumnya dianggap sebagai dialek bahasa Hindi maupun Bengali. Dalam kenyataannya sekarang Maithili merupakan salah satu dari delapan bahasa resmi di India.
Referensi yang paling penting mengenai Mithila? Mithila adalah wiracarita Hindu, Ramayana, di mana istri Rama yaitu Sita dikatakan pernah menjadi puteri di negeri tersebut, lahir sebagai puteri Janaka, pemimpin Mithila dari Janakpur. Raja Mithila lainnya yang terkenal pada zaman kuno adalah Raja Bhanumath, Satghumanya, Suchi, Urjnama, Satdhwya, Kriti, Anjan, Arisnami, Srutayu, Supasyu, Suryasu, Srinjay, Sourmabi, Anena, Bhimrath, Satyarath, Upangu, Upgupt, Swagat, Snanand, Subrachya, Supraswa, Subhasn, Suchurut, Susurath, Jay, Vijay, Critu, Suny, Vith Habya, Dwati, Bahulaswa, Kriti Tirtiya.
Pertiwi juga disebut Dhra, Dharti, Dhrthri, yang artinya kurang lebih "yang memegang semuanya". Sebagai Prthvi Devi, ia adalah salah satu dari dua sakti Batara Wisnu. Sakti lainnya adalah Laksmi.
Pandangan Ajar Pikukuh Sunda Berbeda dengan India
Prthvi adalah bentuk lain Laksmi. Nama lain untuknya adalah Bhumi atau Bhudevi atau Bhuma Devi.
Pemikiran dalam Pikukuh Sunda mengenai "Ibu Agung / Ibu Pertiwi" rupanya bukan hanya slogan, sebab pada kenyataannya ibu / bumi ini benar-benar "hidup" (bernafas, bergerak dan tubuhnya dialiri berbagai unsur), jadi prinsip kerja tubuh bumi mirip dengan raga manusia atau setidaknya; kondisi bumi ditentukan oleh manusia dan juga sebaliknya kondisi manusia ditentukan oleh bumi (jagat alit - jagat agung).
Patanjala adalah urat-urat air yang mengaliri raga-tubuh Ibu Agung (bumi), dari hulu ke hilir dan kembali berulang, siklus tersebut telah terjadi sejak milyaran tahun yang lalu. Urat-urat bumi yang mengalir dari puncak-puncak gunung turun membawa berbagai mineral dan sari-pati makanan yang dibutuhkan oleh hewan, tumbuhan serta manusia, hingga kelak melahirkan berbagai "peradaban".
Maka teori yang menyebutkan bahwa seluruh bangsa yang memiliki peradaban adi-luhung berawal dari sungai itu "benar", seperti : Huang Ho dan Yang Tse Kiang, Amazon &dan Misissipi, Gangga, Nil, Eufrat dan Tigris, dan sebagainya. Namun demikian, tentu semua perkembangan peradaban tersebut harus berlandas dan dipicu oleh ilmu pengetahuan yang luhur (kecerdasan, kebijakan dan kebajikan), tanpa hal tersebut mustahil terbangun tatanan peradaban.
Gunung Parang Purwakarta |
Masyarakat Sunda kini tidak lagi mengenali kisah mitos Gunung Parang sebagai tempat persemayaman Sunan Ambu.
Meskipun demikian, Sunan Ambu sendiri tidak 'mengatakan' bahwa Dia berada di Gunung Parang.
Bisa jadi Sunan Ambu yang mengenalkan "penguasa" bumi Sunan/Dewi Mitera adalah sosok yang berbeda sama sekali dengan Ajaran Hindu-India.
Situs Batu Tumbung
Situs Batu tumbung terletak di Desa Cidaresi, Kecamatan Cipeucang, Kabupaten Pandeglang-Banten. Dalam bahasa Indonesia ‘tumbung’ adalah kemaluan wanita. Menurut masyarakat setempat kemaluan wanita ini dapat ditafsirkan sebagai simbol kesuburan atau lambang kesucian.Goresan pada batu itu berbentuk segi tiga dengan lubang di tengah-tengah. Itulah yang menyebabkan goresan itu menyerupai dan kemudian disebut kemaluan wanita atau tumbung.
Dari sanalah penduduk setempat menamakannya “batu tumbung” yang berarti kemaluan wanita. Diduga batu Cidaresi ini menggambarkan simbol kesuburan, atau sebagai lambang kesucian wanita. Agar terjaga kelestariannya, saat ini Batu Bergores Cidaresi sudah dilindungi oleh pagar.
Istilah tumbung terdapat dalah Naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian.
...naraka; hengan lamun kapehayu ma sinengguh utama bijilna ti irung. Sungut ulah barang carek kenana dora bancana na lunas papa naraka; hengan lamun kapahayu ma sinengguh utama bijihna ti sungut. Leu-ngeun mulah barang cokot kenana dora bancana na lunas papa naraka; hengan lamunna kapahavu ma sinengguh utama bijilna ti leungeun. Suku ulah barang tincak kenana dora bancana na lunas papa naraka; hengan lamunna kapahayu ma sinengguh utama bijilna ti suku. Payu ulah dipake keter kenana dora bancana na lunas papa naraka. hengan lamunna kapahayu ma sinengguh utama bijilna ti payu, Baga purusa ulah dipake kancoleh kenana dora bancana na lunas papa naraka. hengan lamunna kapahayu ma sinengguh utama dijilna ti baga lawan purusa,Ya ta sinangguh dasa kreta ngara(n)na. Anggeus kapahayu ma dora sapuluh, rampes twahna urang reya Maka nguni twah sang dewa ratu.
artinya:
(...neraka: namun bila hidung terpelihara, kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari hidung. Mulut jangan sembarang bicara karena menjadi pintu bencana di dasar kenistaan neraka; namun bila mulut terpelihara. kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari mulut. Tangan jangan sembarang ambil karena menjadi pintu bencana di dasar kenistaan neraka; namun bila tangan terpelihara. kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari tangan. Kaki jangan sembarang melangkah karena menjadi pintu bencana, penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; namun bila kaki terpelihara. kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari kaki. Tumbung jangan dipakai keter karena menjadi pintu bencana di dasar kenistaan neraka; namun bila tumbung terpelihara, kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari tumbung. Baga-purusa jangan dipakai berjinah, karena menjadi pintu bencana, penyabab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; namun bila baga-purusa terpelihara, kita akan memperoleh keutamaan dari baga dan purusa, Ya itulah yang disebut dasa kreta. Kalau sudah terpelihara pintu [nafsu] yang sepuluh, sempurnalah perbuatan orang banyak. Demikian pula perbuatan sang raja.)
Referensi
- Hatmadji, Drs. H. Tri. 2007. "Ragam Pusaka Budaya Banten" Serang: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang.
- "Sunan Ambu" wikipedia.org