Ilustrasi Gempa bumi. Foto: banten.co |
[Historiana] - Sudah seperti kita duga pasca-bencana di Indonesia. Muncul perdebatan secara tak langsung tentang gempa 7.4 SR dan tsunami yang melanda Sulawesi Tengah. Ada yang menduga sebagai azab. Sebagian meyakini sebagai fenomena alam biasa. Mana yang benar?
Bencana tentu mendatangkan kesedihan bagi setiap orang. Bahkan ada yang sampai merasakan kesengsaraan karena kehilangan anggota keluarganya. Sayangnya, ada sebagian saudara kita yang dengan seketika menghukumi bencana alam sebagai azab. Mereka menggunakan sejumlah dalil untuk menguatkan pandangannya.
Pandangan ini agak menyakitkan. Terutama bagi saudara kita yang menjadi korban bencana. Sudah kehilangan keluarga maupun harta, mereka masih terkena sangkaan sedang diazab. Naudzubillah.
Baca juga: Gempa Bumi Guncang Nusantara: Negeri Yang Diazab Tuhan? Negeri Terkutuk?
Kejadian gempa bumi di Nusantara yang kini menjadi Indonesia bukanlah hal yag baru. Di awal tahun 2018 ini saja terjadi gempa bumi mengguncang Propinsi Banten.
Gempa bumi Banten 2018 adalah sebuah gempa berkekuatan 6,1 SR yang melanda Indonesia pada tanggal 23 Januari 2018, Pukul 13.34 WIB di Samudera Hindia selatan Pulau Jawa. Pusat gempa berjarak 43 km dari Kota Muarabinuangeun, Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak, Banten dengan kedalaman 10 Km. Guncangan gempa bumi dirasakan di sebagian besar masyarakat di Provinsi Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta dan sebagian kecil Jawa Tengah mulai dari Sukabumi, Bandung, Pandeglang, Jabodetabek, Purwakarta, Kebumen, Bantul hingga wilayah Lampung.
Banten memang rawan gempa. Seperti dilansir Banten.co, Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan pesisir pantai selatan Provinsi Banten masuk dalam kategori rawan gempa bumi dan tsunami.
Perdebatan dan Pandangan Tidak Adil
Tidak sulit kita mendapati perdebatan dan ungkapan menyudutkan korban gempa bumi sebagai Azab Tuhan. Bentuk penafsiran ini mulai dari website (ucnews.com, arrahmah.com) blog, video Youtube, hingga diberbagai platform media sosial seperti Twitter, Facebook, Group WhatApps, Instagram dan lain-lain.
Penilaian perlu adil! Mengutip penjelasan di atas, kita bisa membandingkan 2 kejadian gempa bumi Palu-Donggala dan Banten. Kita tidak membandingkan dengan Lombok, karena ungkapan yang sama juga terjadi untuk korban gempa bumi lombok.
Gempa Banten 23 Januari lalu berkekuatan cukup besar, Korban kerusakan 1000 unit bangunan dan korban meninggal duniapun ada. Namun, di wilayah Kasepuhan "Urang Kanekes" atau lebih dikenal sebagai "Suku Baduy" tidak mengalami kerusakan.
Seperti diberitakan CNN Indonesia, Perkampungan Suku Baduy di Kecamatan Leuwidamar, Lebak Banten, sama sekali tak mengalami kerusakan saat gempa bumi mengguncang kawasan tersebut
Penjelasan yang ada bahwa kondisi masyarakat Baduy dengan konstruksi rumah kayu dan mengikuti aturan leluhur dalam pembuatan bangunan adalah alasannya. Nah, dalam hal ini kita bandingkan dengan korban gempa sepanjang 2018 yang ramai disebut azab (begitu terjadi, medsos diramaikan dengan pernyataan politisasi bencana). Mengapa tidak kita bandingkan sebagai kesalahan konstruksi saja. Jika di Baduy berkonstruksi aman terhadap gempa, mengapa tidak kita sebutkan bangunan di Palu-Donggala tidak aman terhadap gempa? Sebaliknya ungkapan Azab malah disematkan kepada mereka yang menjadi korban gempa bumi. Ini sebuah "perbandingan yang tidak adil"
Rumah Urang Kanekes (Suku Baduy) |
Jika analisisnya bangunan, ya bandingkan struktur bangunan. Jika Korban gempa bumi - Tsunami diazab, maka Urang Kanekes Baduy Diberkati. Jadi begitu bukan? Disisi lain membahas sains (struktur bangunan), dibandingkan dengan kasus serupa dalam pandangan religi. Kita harus adil (fairplay). Jika demikian adanya, hukum alam atau Sunatullah berlaku.
Lalu bagaimana dengan Kota Las Vegas di Amerika Serikat yang dijadikan pusat perjudian dan Tidak terkena gempa? Apakah bukti bahwa Tuhan memberkati Las Vegas? Kita tentu tak berani mengatakan hal itu. Yang jelas, hingga saat ini kita hanya mampu menganalisisnya secara sain dari sisi topografis dan geologis wilayah tersebut.
Jika saja (kita sedang mengandaikan), rumah-rumah di seluruh Indonesia mengikuti aturan adat dari leluhurnya bahwa bangunan rumah berupa rumah kayu dan panggung. Mungkin kejadiannya akan sama seperti yang dialami saudara kita Urang Kanekes Baduy Banten, Ciptagelar-Sukabumi, Kampung Naga - Tasikmalaya Jawa Barat yang masih menggunakan konstruksi rumah kayu. Bukan tanpa sebab, leluhur Nusantara membangun rumah dari kayu dengan atap ijuk atau rumbia. Bukan berarti leluhur kita tak bisa membuat batu-bata. Ingat bahwa peninggalan menakjubkan candi-candi dari batu-bata merah bahkan batu andesit juga buah karya leluhur Nusantara. Lalu mengapa mereka tak membangun rumah dari batu atau bata merah? Tentunya mereka telah mengalami peristiwa gempa bumi.
Penulis sangat kagum dengan Urang Kanekes (Suku Baduy) yang masih menerapkan pituah leluhur dalam membuat konstruksi bangunan rumah. Demikian pula kasepuhan lainnya. Semoha Tuhan selalu memberikan berkah dan kelapangan bagi kita semua.
Baca juga: Begini Kisah Leluhur Nusantara Tentang Gempa Bumi Dan Tsunami.
Rumah adat Sulawesi Tengah. Foto: kompas.com |
Seperti diberitakan kompas.com, bangunan tradisional Indonesia merupakan hasil dari pengetahuan masyarakat yang hidup selaras dengan lingkungan. Rifai Mardin, dosen teknik arsitektur dari Universitas Tadulako, menuturkan, masyarakat zaman dulu telah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kondisi wilayah tempat tinggalnya. Pengetahuan ini tercermin dalam berbagai tradisi, termasuk dalam merancang bangunan.
Penyebar Korban Hoaks Azab Gempa Palu-Donggala Ditangkap
oni Afriadi, lelaki di Kota Batam, Kepulauan Riau, ditangkap aparat kepolisian karena menyebar hoaks yang mendiskreditkan korban gempa serta tsunami Kota Palu dan Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Demikian diberitakan suara.com (03/10).
Ia mengunggah dan menyebar foto sesosok mayat perempuan ke media-media sosial. Joni lantas mengklaim mayat perempuan itu bernama Lili Ali dan terkena azab karena sempat meminta gempa sebelum musibah terjadi di Palu serta Donggala sekitarnya.
Polisi menggelar konfrensi pers terkait ditangkapnya pelaku penyebar hoax, Rabu (3/10/2018). [Kokorimba/Batamnews] |
Terlepas dari bencana yang memakan ribuan korban jiwa ini, ada pertanyaan yang mulai banyak diabaikan manusia saat ini. Termasuk sebagian besar umat beragama di Indonesia. Untuk apa manusia diciptakan?
Kita Berharap Diberkati Tuhan
Semua manusia beragama, apapun agamanya selalu berharap berkat (berkah) Tuhan. Demikian pula korban gempa bumi Aceh, Situbondo, Palu-Donggala, Urang Kanekes Baduy Banten, Lombok dan seluruh wilayah Indonesia.
Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar, menyatakan bahwa rangkaian bencana alam yang melanda Indonesia akhir-akhir ini bukanlah azab melainkan musibah. Dia mengimbau masyarakat berhati-hati dalam membuat kesimpulan atas berbagai peristiwa alam itu. Demikian diberitakan viva.co.id
Makian, hujatan atau cap terkena Azab tidaklah elok. Jikapun ditenggarai ada orang yang dianggap menyimpang dari aturan agama, hendaklah "dirangkul" agar kembali ke jalan yang benar. Dakwah dengan hikmah! Dakwah bil hikmah adalah menyampaikan dakwah dengan cara yang arif bijaksana, yaitu melakukan pendekatan sedemikian rupa sehingga pihak objek dakwah mampu melaksanakan dakwah atas kemauannya sendiri, tidak merasa ada paksaan, tekanan maupun konflik.
Referensi
- "Gempa bumi Banten 2018" wikipedia.org Diakses 20 Oktober 2018
- "Rumah Suku Baduy Tak Rusak saat Lebak Diguncang Gempa 6,1 SR" cnnindonesia.com Diakses 20 Oktober 2018
- "Gempa dan Tsunami; Azab atau Fenomena Alam? Temukan Jawabannya di Sini" rakyatku.com Diakses 2018
- "Membedakan Bencana Sebagai Azab Atau Penghapus Dosa" dream.co.id Diakses 20 Oktober 2018
- "Imam Besar Masjid Istiqlal: Gempa dan Tsunami di Palu Bukan Azab" viva.co.id Diakses 20 Oktober 2018
- "Rumah Tradisional Sulawesi, Tahan Gempa dan Tsunami", kompas.com Penulis : Rosiana Haryanti
Editor : Hilda B Alexander - "BMKG Sebut Daerah Pesisir Pantai Selatan Banten Rawan Gempa dan Tsunami" banten.co Diakses 20 Oktober 2018
- "FPI Bicara Soal Penyebab Gempa dan Tsunami di Palu" Sindonews.com Diakses 20 Oktober 2018