Cari

Mengapa Uang ini Disebut Lima Ribu Perak? | Sejarah Mata Uang Nusantara


[Historiana] - Barangkali Anda menyadari uang 1000, 5000 atau 100.000 dalam mata uang rupiah sekarang ini saat Anda membaca artikel ini yang tertera 5000 rupiah dan kita membacanya "lima ribu rupiah". Tetapi, dalam kehidupan informal keseharian kita sering menyebutnya "lima ribu perak". Mengapa disebut "perak" tidak disebut "rupiah" dan bukankah uang itu terbuat dari kertas bukan dari logam perak?

Sejarah Mata uang

Sejarah mata uang sangat panjang. Asia Tenggara yang sejak abad belasan menjadi lintasan kapal-kapal dagang, merupakan jalur persimpangan "alat tukar dan pembayaran kuno" dari berbagai jenis. Lombard mencatat (2008: 158), kerang kauri, yang kebanyakan berasal dari Maladewa dan dari Borneo, terutama diedarkan oleh pelabuhan-pelabuhan Bengali (India) yang meneruskannya ke wilayah Arakan, Pegu, hingga Yunnan, yang diteruskan ke Siam.

Selain sistem barter, peradaban mulai mengenal "Alat tukar" sebagai "mata uang". Mata uang ini berbentuk kerang, keramik, perunggu dan logam mulia.

Setelah “periode” benda perunggu dan keramik, selanjutnya giliran kepeng Cina mendominasi persebaran alat pembayaran. Kepeng Cina merupakan uang dari tembaga yang ditempa agar diperoleh bentuk khusus dengan lubang kecil di tengah-tengah diameternya. Lubang tersebut berfungsi untuk mengikat rangkaian kepeng. Idiom “setali tiga uang” memperlihatkan pada kita tentang fungsi lubang pada uang itu.

Kepeng logam Cina mulai menyebar ke Asia Tenggara bersamaan dengan majunya perniagaan Dinasti Sung (960-1279). Salah satu tempat yang banyak dibanjiri kepeng jenis ini adalah Jawa, di mana para pedagangnya berperan besar dalam jaringan perniagaan regional. Mata uang Cina ini beredar terutama di pesisir Jawa. Kendati begitu, kehadiran kepeng Cina ini tak serta merta merata dan langsung tersebar. Orang ketika itu melihatnya sebagai suatu cara untuk memperoleh komoditas yang sangat digemari, yakni tembaga (Lombard, 2008: 159).

Mungkin asal-usul kata "hepeng" dalam bahasa Batak yang berarti uang berasal dari kata "kepeng" China ini.

Istilah "Uang Perak"

Persebaran kepeng Cina di Nusantara berlaku terutama di daerah pesisir sebagai gerbang perniagaan. Para penjelajah Eropa dan teks Cina banyak mencatat keberadaan kepeng Cina sebagai alat pembayaran, terutama di Jawa. Kepeng Cina rupanya telah berlaku di Jawa pada abad ke-12 dan ke-13 Masehi.

Dari sinilah kemungkinan besar dibuatnya mata uang pertama hasil “cetakan” orang Jawa, yang mengambil model dari kepeng Cina. Teks-teks dari Cina berulang kali menyebutkan adanya mata uang dari logam campuran yang dibuat di Jawa. Kronik Cina pertama yang menyebutkan hal itu adalah Lingwai Daida pada abad ke-12, dan Zhufan Zhi karya Zhao Rugua berkali-kali mengutip kalimat-kalimat dalam Lingwai Daida. Pada tahun 1349 kronik Cina lain yang berjudul Daoyi Zhileu memberitakan:
    “Kebiasaan orang negeri itu (Jawa) adalah membuat uang logam dengan campuran perak, timah, timbal, dan tembaga yang dilebur menjadi satu …. Uang itu dinamakan ‘uang perak’.”
Pada abad ke-13, Zhao Rugua dalam karyanya, Zhufan Zhi, memberitakan bahwa para penyelundup mengekspor kepeng dari Cina secara rahasia, karena besarnya permintaan mata uang tersebut di Jawa. Pada 1433, Ma Huan, sekretaris Zheng He, menulis bahwa “mata uang tembaga Cina dengan cap dari pelbagai wangsa lazim dipakai di sana”.

Uang koin China yang disebut "Caixa". Wikipedia.org

Tome Pires pada awal abad ke-16 memberitakan bahwa caixa Cina adalah mata uang yang lazim berlaku baik di Pasundan maupun di Jawa. Penulis Portugis itu menambahkan bahwa “di Jawa tak ada uang emas dan perak”. Antonio Nunez (1544) menulis bahwa di Sunda 120 caixa “sama dengan satu tanga perak; caixa adalah mata uang dari tembaga yang berlobang di tengah-tengah, yang dikatakan sudah bertahun-tahun lamanya diimpor dari Cina.

Di negeri itu (Sunda) caixa berlimpah-limpah.” Uang kepeng atau “caixa” mungkin dipergunakan sebagai alat pembayaran dalam lalu lintas perniagaan internasional dan perpajakan pada abad ke-14 di sekitar Jawa.

Mengenai “uang perak” dalam kronik Daoyi Zhileu, Indonesian Heritage menyebutkan bahwa pada masa Majapahit terdapat mata uang yang disebut gobog. Inilah yang oleh Lombard (2008: 160) disebut “mata uang takhayul”. Mata uang ini merupakan tiruan kasar dari kepeng Cina, dibuat dari campuran tembaga dengan lubang persegi di tengah-tengah tetapi dengan garis tengah yang lebih besar (kira-kira 4 cm) dari kepeng Cina.

Bentuk lubangnya pun bervariasi: bulat, segi empat, dan segi enam. Pada sisi depan dan belakang, terdapat pelbagai motif—menggantikan aksara Cina—paling sering karakter wayang, dan tak pernah ada cetakan angka nilainya. Tak ada kepastian yang bisa menyatakan di mana uang-uang Jawa itu dicetak.

Juga tak ada bukti atas kekuasaan pemerintah siapa dan kapan uang tersebut dibuat. Mata uang ini sudah berhenti dicetak sebelum awal abad ke-16, dan kini digunakan sebagai zimat oleh orang Jawa karena dianggap pembawa rezeki.

Raffles memberikan dalam bukunya yang sangat tebal The History of Java. Sejumlah gambar mata uang yang ditemukan di sekitar candi-candi yang rapuh, terbuat dari kuningan dan tembaga. Raffles menyertakan gambar-gambar mata uang kuno tersebut dari berbagai zaman, yang diduga berasal dari tahun 852 (tertua) hingga tahun 1568 (termuda).


Ilustrasi Perkampungan kuno

Berdasarkan keterangan dari Kiai Adipati Demak, Raffles menyebutkan adanya penanggalan dengan sistem candrasengkala pada sisi uang-uang logam itu, seperti yang berangka candrasengkala 8651 yang dibaca terbalik menjadi 1568 (caka). Ada pula yang bertarikh 1489 dengan tulisan aksara Jawa “Pangeran Ratu”, gelar bagi seorang pangeran Bantam (Banten) yang berkuasa saat itu dan dikenal oleh orang-orang Jawa.

Namun Raffles meragukan keakuratan penanggalan tersebut. Mata uang ini, begitu pendapat Raffles (2008: 425), kelihatannya merupakan buatan rumah tangga—jadi bukan atas perintah kekuasaan politik tertentu—karena pengerjaannya kasar. Karena itulah Lombard berani menamai “mata uang takhayul”.

Meski demikian, figur-figur yang tergambar di dalamnya secara umum terlihat jelas dan dapat dibedakan satu dengan yang lainnya, ekspresinya pun cukup jelas. Raffles pun melihat sebuah mata uang perak kecil, menggambarkan pagoda Madras, dengan tanda salib kecil, dan karakternya digambarkan kasar dan sulit dipahami.

Alat Tukar dan Pembayaran Kuno; Masa Uang Emas dan Perak

Penempaan logam putih, menurut Lombard, dimulai pertama kali di Bengali pada abad ke13. Pada periode yang kurang lebih sama, di Sumatra Utara dimulai penempaan uang emas—yang bertahan hingga abad ke-18. Ini terlihat dari bukti adanya mata uang mas bermotif Sultan Muhammad Malik al-Zahir dari Samudra Pasai (1297-1326).

Mata uang tersebut kecil saja dengan garis tengah 10 mm dan berat 0,58 gram. Di Pasai itu telah ditempa mata uang dari timah, yang kemudian ditiru di Malaka pada pertengahan abad ke-15. Setelah Sultan Mughayat Syah (meninggal pada 1530) memaksa orang menerima dominasi Aceh Darussalam, maka berlangsunglah penempaan emas (bukan lagi timah) di Kota Aceh.

Tak diragukan lagi bahwa Pulau Sumatra disebut dengan nama yang indah dan menggiurkan: Swarnadwipa, “Negeri Emas”. Pada masa kejayaan Kesultanan Aceh, daerah Minangkabau merupakan sumber-sumber emas yang merangsang perekonomian Aceh, namun kemudian habis pada akhir abad ke-17, yang mana membuat Belanda yang sebelumnya menaruh harapan besar, kecewa. Sekarang yang tersisa adalah tambang emas di Simau, dekat Bengkulu).

Sementara sumber-sumber emas di Jawa—tempat lahir cincin-cincin emas yang indah pada abad ke-9 dan ke-10 dan tempat asal pertukangan emas masa selanjutnya (Majapahit)— pada abad ke-15 sudah tak ada lagi. Emas tersebut yang berbentuk bubuk atau batangan tak pernah dicetak menjadi uang di Jawa. Di saat makin jarangnya emas, berkembanglah uang kepeng Cina dalam jumlah besar serta munculnya bengkel penempaan uang di berbagai wilayah Nusantara.

Selain emas, logam lain yang digunakan sebagai bahan mata uang adalah timah. Barang bukti bahwa di Malaka pernah ada penempaan uang timah adalah penemuan uang timah dari masa Sultan Muzaffar Syah (1445-1459). Pada abad ke-15 pula Siam mulai membuat tikal perak berupa bola-bola kecil yang mempunyai berat tetap dan bercap. Pada awal abad ke-16, Tome Pires memberitakan adanya “tikal” di Ayutya dan Pegu.

Di Kamboja, Raja Khan (1498-1505) telah memerintahkan penempaan mata uang pertama dari perak. Pada abad selanjutnya, abad ke-16 dan ke-17 di Kamboja ditempa pula mata uang (di Patani dan di Kelantan) dari emas bergambar kijang, mata uang dari timah dan perak (di Kedah dan Perak). Ada pula logam campuran Banten dan emas dari Makassar yang ditempat menjadi mata uang di daratan Kamboja.

Mata uang dirham dari emas yang ditemukan di Samudra Pasai tentu dikeluarkan oleh pemerintahan Sultan Pasai. Ini berhubungan erat dengan perkembangan perniagaan di Sumatra dan kemudian Malaka (Raja Malaka, Parameswara menikah dengan putri Sultan Pasai, lalu masuk Islam).

Uang emas pertama dicetak atas perintah Sultan Muhammad (1297-1326). Berat untuk setiap kepingnya adalah 0.60 gram, mutu 19-20 karat, garis tengah 10 mm. Semua raja Pasai menuliskan frasa al-sultan al-‘adil pada dirham mereka, yang diambil dari teks Al Quran:

“Allah menitahkan keadilan, membuat kebajikan, kebebasan seluruh umat manusia serta keturunannya, serta Allah melarang segala perbuatan memalukan dan ketidakadilan ….”

Ada pun jenis mata uang lain, yaitu mata uang buatan Eropa, kebanyakan dari perak. Terhadap mata uang Eropa ini, begitu Tome Pires bersaksi, penduduk Nusantara begitu menghargainya. Dan begitu melihat mata uang Portugis, orang Jawa berkata bahwa “negeri yang menempa mata uang semacam itu mestinya seperti Jawa.”

Satu setengah abad kemudian, pendapat Pires dibenarkan oleh Tavernier: “Ada pun mata uang dari perak … para raja membiarkannya berlaku sebagaimana datangnya dari negeri-negeri asing, dan tidak meleburnya.

Menurut Lombard, di Bantam, di seluruh Jawa, di Batavia, dan di beberapa tempat di Maluku, yang kelihatan hanya real-real Spanyol, riksdalder dari Jerman, dan ecu dari Prancis, sebagian besar setengah-realan, perempat-realan, dan perdelapan-realan”

Duit VOC

Uang atau Duit?

Kata uang mungkin berasal dari ’wang’, yakni alat pembayaran yang terbuat dari emas. Emas digunakan untuk pembayaran 'barang mahal', seperti kambing. Sementara perak untuk pembayaran 'barang murah', seperti ayam. Untuk barang-barang lebih murah digunakan koin berbahan tembaga, besi, kuningan, dan lainnya.

Dugaan lain kata 'uang' berasal dari kata 'daluwang'. Daluwang adalah kertas yang dibuat dari kulit pohon, umumnya dikenal luas di Jawa Barat. Dulu uang ORI dibuat dari kertas daluwang. Dikabarkan, kata uang berasal dari bahasa Jawa 'wang' atau Bahasa Melayu 'uwang'.

Ada juga yang berpendapat kata 'uang' berasal dari 'wang', nama pecahan zaman dulu. Bahkan 'wang' dianggap nama orang, ahli keuangan Tiongkok, Wang An-shi (1076). Uang emas Tiongkok dari zaman Wang An-shi pernah beredar di Nusantara.

Setelah uang emas dan uang perak menghilang karena diganti uang kertas, kata ’uang’ dan ’duit’ berubah penggunaannya menjadi sebutan untuk semua alat tukar. Bedanya, kata ’uang’ digunakan untuk menyebut alat tukar secara formal, sebaliknya kata ’duit’ hanya digunakan dalam bahasa pergaulan..

Duit (bahasa Belanda: duit, bahasa Jerman: deut) adalah sebutan informal untuk uang dalam bahasa Indonesia dan bahasa Melayu.

Istilah ini berasal dari nama salah satu uang koin logam yang digunakan dalam perdagangan di Belanda serta wilayah di barat Jerman yang berbatasan dengannya (wilayah distrik Kleve dan Geldern) pada abad ke-17 dan ke-18. Indonesia, Malaysia dan beberapa wilayah di Amerika dan Afrika yang pernah berada di bawah pemerintahan VOC dan kolonial Belanda kemudian juga turut menggunakannya. Koin duit digunakan di Belanda sampai dengan tahun 1854.

Secara etimologis, kata duit/deut berasal dari kata bahasa Norse Kuno thveit yang artinya sejenis koin kecil, namun arti harfiahnya ialah "kepingan-kepingan".

Menurut penggunaannya di Belanda, satu 8 duit setara dengan satu stuiver dan 160 duit setara dengan satu gulden. Umumnya koin duit dibuat dari tembaga, namun adapula yang dari perak dan emas.


Perak sebagai Mata Uang

Perak, dalam bentuk elektrum (paduan emas–perak), dibuat koin untuk membuat uang sekitar tahun 700 SM oleh bangsa Lydia. Kemudian, perak dimurnikan dan dibuat koin dalam bentuk murninya. Banyak bangsa menggunakan perak sebagai basis nilai moneternya. Pada abad modern, perak bulion mempunyai kode mata uang ISO XAG. Nama pound sterling (£) mencerminkan fakta bahwa itu awalnya mewakili nilai satu pound berat menara perak sterling (sterling silver); sejarah mata uang lainnya, seperti livre Perancis, memiliki etimologi serupa.

Selama abad ke-19, bimetalisme yang tersebar luas di sebagian besar negara dikacaukan oleh penemuan deposit perak yang besar di Amerika; khawatir akan anjloknya nilai perak dan akhirnya mata uang mereka, sebagian besar negara telah beralih ke standar emas pada tahun 1900. Dalam beberapa bahasa, termasuk Sansekerta, Spanyol, Perancis, dan Ibrani, istilah perak dapat berarti uang.

Abad ke-20 adalah saksi gerakan bertahap menuju mata uang fiat, dengan hilangnya hubungan moneter dengan logam mulia di sebagian besar negara setelah dollar Amerika Serikat menggantikan standar emas pada tahun 1971; mata uang terakhir yang didukung oleh emas adalah franc Swiss, yang juga menjadi mata uang fiat murni pada 1 Mei 2000. Selama periode yang sama, perak secara bertahap berhenti digunakan dalam koin yang beredar. Di Inggris Raya standar perak dikurangi dari 0,925 menjadi 0,500 pada tahun 1920. Koin yang semula dibuat dari perak mulai dibuat dari paduan tembaga-nikel pada tahun 1947; koin yang ada tidak ditarik, tetapi berhenti beredar sebagai kandungan perak telah melebihi nilai nominal. Pada tahun 1964 Amerika Serikat menghentikan pencetakan uang receh dan kartal perak; koin perak beredar terakhir kalinya tahun 1970 bernilai setengah dolar dengan kadar perak 40%.Pada tahun 1968 Kanada mencetak koin perak terakhir mereka yang beredar, uang receh dan kartal berkadar perak 50%.

Puncaknya pada abad setelah Perang Saudara di Amerika Serikat, harga perak jauh di bawah nilai nominal koin perak yang beredar, mencapai titik nadirnya sekitar $0,25 per ounce pada tahun 1932. Berdasarkan ukuran ini, koin perak Amerika Serikat efektif merupakan koin fiat sepanjang sejarah mereka. Hingga tahun 1963 harga perak naik di atas ambang $1,29 per ounce, titik di mana kadar perak dalam koin Amerika Serikat pra-1965 adalah sama dengan nilai tertera itu sendiri.

Koin perak masih dicetak di beberapa negara sebagai item memoratif atau koleksi, tetapi tidak diedarkan untuk umum.

Perak digunakan sebagai mata uang oleh beberapa individu, dan merupakan alat pembayaran yang sah di negara bagian Utah, Amerika Serikat. Koin perak dan bulion juga digunakan sebagai investasi untuk menjaga terhadap inflasi dan devaluasi.

Referensi

  1. "Perkembangan Alat Tukar dan Pembayaran Kuno di Nusantara" wacana.co diakses 1 November 2018.
  2. Raffles, Thomas Stamford. 1878 cetakan 1965. "The History of Java" Vol I - II. London: Oxford University Press. 
  3. Aung, Maung Hting. 1967. "A History of Burma". New York - London: Columbia University Press.
  4. Lombard, Dennys. 2008. "NUSA JAWA: SILANG BUDAYA: Kajian Sejarah Terpadu". Alih Bahasa: Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat, Nini Hidayati Yusuf.. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Judul asli "LE CARREFOUR JAVANAIS Essai d’histoire global e IIL Uheritage des royaumes concentriques". 1990 ficole des Hautes fitudes en Sciences Sociales, Paris.
  5. "US Half Dollar Timeline". Metallicoin. United States: metallicoin.com. Diakses tanggal 9 May 2013.
  6. Daniela Pylypczak-Wasylyszyn. "The Historical Value of Silver: A 2000-Year Overview". CommodityHQ.com.
  7. "Silver Price History 1960-1965 - The Silver Institute".
  8. William Yardley (29 May 2011). "Utah Law Makes Coins Worth Their Weight in Gold (or Silver)". The New York Times.
Baca Juga

Sponsor