[Historiana] - Gempa bumi menjadi ancaman yang semakin sering terjadi di Indonesia belakangan ini. Bahkan beberapa diantaranya diikuti tsunami. Kejadian gempa bumi yang besar dan membahayakan selama ini adalah adanya pergerakan lempeng tektonik benua, Padahal ada ancaman juga gempa tektonik akibat aktivitas sesar. Apa itu sesar? Di geologi, Sesar ( patahan ) adalah fraktur planar atau diskontinuitas dalam volume batuan, di mana telah ada perpindahan signifikan sebagai akibat dari gerakan massa batuan. Sesar-Sesar berukuran besar di kerak bumi merupakan hasil dari aksi gaya lempeng tektonik , dengan yang terbesar membentuk batas-batas antara lempeng, seperti zona subduksi atau sesar transform. Energi yang dilepaskan menyebabkan gerakan yang cepat pada sesar aktif yang merupakan penyebab utama gempa bumi. Menurut ilmu geofisika, sesar (Patahan) terjadi ketika batuan mengalami tekanan dan suhu yang rendah sehingga sifatnya menjadi britlle (rapuh).
Bidang Sesar adalah bidang yang mewakili permukaan fraktur pada patahan. Sebuah jejak sesar (fault trace) atau garis sesar ( fault line) adalah perpotongan dari bidang sesar dengan permukaan tanah. Sebuah jejak sesar biasa diplot pada peta geologi untuk mewakili suatu patahan.
Karena Sesar biasanya tidak berdiri tunggal atau sendiri, ahli geologi menggunakan istilah zona sesar ketika mengacu pada zona deformasi yang kompleks terkait dengan bidang sesar.
Dua buah sesar bersandingan non-vertikal biasa disebut hanging wall dan footwall. Berdasarkan definisi, Hanging wall terjadi di atas bidang sesar dan footwall terjadi di bawah bidang sesar. Terminologi ini datang dari dunia pertambangan: ketika mereka sedang bekerja di tubuh mineral berbentuk tabular, penambang berdiri di atas footwall di bawah kakinya dan dengan hanging wall berada di atas mereka.
Jakarta dilewati Sesar Baribis?
Ahli geodesi Australia Achraff Koulali, pada 2016 lalu mempublikasikan temuannya tentang sesar aktif melintang sekitar 25 kilometer di selatan Jakarta, kepanjangan dari Sesar Baribis.Sesar ini melintang dari Purwakarta, Cibatu (Bekasi), Tangerang, dan Rangkasbitung. Jika ditarik lurus dari Cibatu ke Tangerang, secara kasar sesar ini melewati beberapa kecamatan di Jakarta seperti Cipayung, Ciracas, Pasar Rebo, dan Jagakarsa.
Pakar geologi dari Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Danny Hilman Natawidjaja menyebut riset Koulali ini valid.
Namun, menurutnya, Sesar Baribis ini belum banyak yang meneliti. “Jadi [yang ada] masih yang Koulali itu yang dari GPS, detailnya belum,” ujar Danny seperti dikutip dari Tirto.id
Selain metode yang digunakan Koulali, menurut Danny, sejarah gempanya akan mulai dipelajari juga. “Saat ini ada beberapa teman yang sudah meneliti, tapi kita belum buat summary-nya, belum kita diskusikan, dan belum kita publikasi.”
Danny mengatakan, pemerintah sudah meminta untuk melakukan studi terkait Sesar Baribis. Ia tidak menjelaskan kapan pastinya penelitian akan dilakukan.
Ia mengatakan dalam waktu beberapa tahun ke depan, rencananya tim dari Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen) yang terdiri dari berbagai tenaga ahli gempa dari berbagai instansi akan mulai penelitian. Organisasi yang terkait ialah BMKG, LIPI, Badan Geologi, ITB, UGM, dan instansi yang punya peneliti gempa.
Sejarah Gempa di Jakarta
Riset sejarah dan simulasi dilakukan Ngoc Nguyen serta timnya untuk menemukan dugaan kuat dua gempa besar di Jakarta pada 1780 dan 1834, yang berpusat dari Sesar Baribis.Gempa pada 22 Januari 1780 disebut sebagai gempa terbesar yang pernah terjadi di Jawa. Kekuatannya mencapai 8,5 skala Richter. Getarannya terasa di seluruh Jawa dan Sumatera bagian selatan.
Sesar Baribis (Baribis Trust). Gambar: A. Koulali et al. / Earth and Planetary Science Letters |
Riset sejarah Alfred Wichmann, ahli geologi Hindia Belanda, menyebut guncangan gempa membuat Batavia porak-poranda, 27 gudang dan rumah runtuh di kanal Zandzee dan Moor.
Setelah gempa, ledakan dahsyat berlangsung selama dua menit dari Gunung Salak. Gempa juga memompa Gunung Gede berdahak.
Simulasi skenario Nguyen menemukan, ketika gempa terjadi, seluruh wilayah Depok, sebagian Tangerang Selatan, beberapa Kecamatan di Jakarta seperti Jagakarsa, Pasar Rebo, Ciracas, dan Cipayung, serta sebagian daerah Bogor utara (dari Cibinong, Parung, Parung Panjang) terguncang cukup parah dengan skala Mercalli X.
Artinya, jika gempa tahun 1780 terjadi sekarang, wilayah di atasnya bakal rusak parah, rangka rumah seketika reyot dan bangunan retak, pondasi sedikit berpindah, pipa-pipa di dalam tanah putus.
Pada gempa kedua, 10 Oktober 1834, Javasche Courant mengabarkan guncangan parah terjadi di Batavia, Banten, Karawang, Bogor, dan Priangan pada pagi buta. Gemetar tanah terasa hingga Tegal dan Lampung bagian barat. Kekuatan gempa diprediksi sekitar 7 Skala Richter (SR).
Gempa merusak bangunan vital di Het Groot Huis (Istana Gubernur Jenderal) di Sawah Besar Batavia. Sebagian Istana Bogor ambruk. Kerusakan terparah dilaporkan di Cianjur: mayoritas bangunan roboh.
Beda dari gempa 1789, getaran gempa 1834 tidak mengarah ke arah barat tetapi lebih condong ke arah Bekasi, Karawang, dan Jonggol. Meski tidak dihantam skala intensitas Mercalli X seperti gempa 1780, kondisi Jakarta tetap rawan jika dua gempa ini menggeliat dari dalam perut bumi sekarang, yang bisa mencapai skala VIII.
Jika divisualisasikan, gempa ini berpotensi menyebabkan kerusakan ringan pada bangunan dengan konstruksi kuat; retakan pada konstruksi bangunan kurang baik; dinding lepas dari rangka rumah; cerobong asap pabrik dan monumen-monumen roboh; serta air menjadi keruh. Daya rusak ini sama seperti gempa di Banda Aceh 2004 dan Yogyakarta 2006.
Jika dibayangkan terjadi pada kondisi sekarang, dengan pemukiman berkembang lebih padat dan jumlah penduduk melimpah, potensi pengungsi pada gempa tahun 1780 itu berkisar 50 juta orang dan gempa tahun 1834 mencapai 62 juta orang pada hari ini. Artinya, efek gempa tergolong sangat dahsyat karena sanggup membuat sepertiga penduduk Jawa yang berjumlah 162 juta kehilangan rumah.
Dan, bagaimana jika dihitung berdasarkan jumlah korban?
Kekuatan gempa tahun 1780 ditaksir bisa membunuh 34.000 orang dan gempa tahun 1834 menelan 40.000 korban jiwa dalam kondisi sekarang.
Akankah Terulang?
Pakar gempa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Danny Hilman Natawidjaja berpendapat kemungkinan sesar aktif Baribis melintasi kawasan DKI Jakarta masih perlu penelitian mendalam.Peneliti Pusat Geoteknologi LIPI tersebut mencatat selama ini belum ada riset yang memuat data secara mendetail mengenai aktivitas sesar itu di wilayah Jakarta.
"Kalau tentang Sesar Baribis yang kemungkinan melewati Jakarta itu benar. Tapi perlu pembuktian lebih lanjut, karena data detailnya belum ada," kata Hilman di Jakarta, pada Rabu (25/10/2017) seperti dikutip Antara.
Dia menegaskan informasi tentang keberadaan Sesar Baribis sepanjang 25 kilometer yang melintang dari Cipayung, Ciracas, Pasar Rebo hingga Jagakarsa bukan berasal dari LIPI.
Hal yang perlu diketahui meliputi lokasi, sebaran, zona sesar aktif, dan karakteristik sumber gempa bumi. Data tersebut diperlukan untuk menganalisis bahaya goncangan gempa, baik pada batuan dasar maupun tanah permukaan, sehingga risiko akibat gempa dan mitigasinya dapat diperkirakan.
Berdasarkan katalog gempa milik profesor geologi asal Jerman Arthur Wichmann, gempa amat kuat pernah muncul di Jakarta pada 5 Januari 1699, sekitar pukul 01.30 WIB. Dampaknya, bangunan roboh, longsor di Gunung Gede Pangrango dan Gunung Salak, banjir bandang berisi lumpur dan kayu memenuhi Sungai Ciliwung di Batavia yang mengalir hingga ke laut.
Dalam simposium internasional di Institut Teknologi Bandung pada 2015, ahli geofisika, geodesi dan surveying dari Research School of Earth Sciences, Australian National University and Geoscience Australia Phil R Cummins menyebut gempa kuat juga tercatat terjadi di Jakarta pada 1780. Kekuatan gempa diperkirakan lebih dari 8 MMI. Sumber gempa besar itu diperkirakan dari sesar Baribis.
Sementara berdasarkan analisis pakar dari Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG, sesar Baribis selama ini diperkirakan terletak di bagian utara Jawa Barat. Sesar aktif ini membentang mulai dari Purwakarta hingga ke daerah Baribis di Majalengka. Gempa kuat yang bersumber dari sesar ini diduga pernah terjadi pada tahun 1862 di Karawang.
Referensi
- Koulali, Achraff et al. 2016. "The kinematics of crustal deformation in Java from GPS observations: Implications for fault slip partitioning" Earth and Planetary Science Letters dx.doi.org pdf Diakses 4 Januari 2019
- "Pendapat Pakar LIPI Soal Dugaan Sesar Baribis Melintasi Jakarta" tirto.id oleh Addi M Idhom - 25 Oktober 2017 Diakses 4 Januari 2019.
- "Ahli Geologi: Sesar Baribis Potensi Ancaman Gempa Dahsyat Jakarta" oleh Rizky Ramadhan - 3 Oktober 2018 tirto.id Diakses 4 Januari 2019
- "Sesar" Wikipedia.org Diakses 4 Januari 2019