Cari

Raja Airlangga & Maharaja Sri Jayabupati | Tragedi dan Pergumulan Bathin

Prasasti Sanghyang Tapak
Sumber: wikipedia.org
[Historiana] - Kerajaan Sunda atau Kerajaan Pasundan adalah kerajaan yang pernah ada antara tahun 669 dan 1579 Masehi di bagian Barat pulau Jawa (Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah sekarang). Kerajaan ini bahkan pernah menguasai wilayah bagian selatan Pulau Sumatera.  Sunda merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan Kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 669 (591 Saka),

Kerajaan ini bercorak Hindu dan Buddha, kemudian sekitar abad ke-14 diketahui kerajaan ini telah beribukota di Pakuan Pajajaran serta memiliki dua kawasan pelabuhan utama di Kalapa dan Banten.

Kerajaan Sunda runtuh setelah ibukota kerajaan ditaklukan oleh Maulana Yusuf pada tahun 1579. Sementara sebelumnya kedua pelabuhan utama Kerajaan Sunda itu juga telah dikuasai oleh Kerajaan Demak pada tahun 1527, Kalapa ditaklukkan oleh Fatahillah dan Banten ditaklukkan oleh Maulana Hasanuddin.

Sumber sejarah Kerajaan Sunda beberapa prasasti dan berita dari luar, beberapa karya sastra dan karya bentuk lainnya dari naskah lama juga digunakan dalam merunut keberadaan Kerajaaan Sunda, antaranya Naskah Carita Parahyangan, Pararaton, Bujangga Manik, Naskah didaktik Sanghyang siksakanda ng karesian, dan naskah sejarah Sajarah Banten.

Berdasarkan Prasasti Kebonkopi II (Sanghyang Tapak), yang berbahasa Melayu Kuno dengan tarikh 932, menyebutkan seorang "Raja Sunda menduduki kembali tahtanya". Hal ini dapat ditafsirkan bahwa Raja Sunda telah ada sebelumnya. Sementara dari sumber Tiongkok pada buku Zhufan Zhi yang ditulis pada tahun 1178 oleh Zhao Rugua menyebutkan terdapat satu kawasan dari San-fo-ts'i yang bernama Sin-to kemudian dirujuk kepada Sunda.

Maharaja Sri Jayabuphati

Dalam Naskah Carita Parahiyangan, disebut nama Prabu Detya Maharaja. Dan dalam naskah Wangsakerta dan juga Prasasti yang ditemukan di Cibadak menjelaskan tentang Raja Sunda yang ke-20 Prabu Detya Maharaja ini, yaitu Maharaja Sri Jayabhupati.

Hal yang unik dan menarik dari Raja Sri Jayabhupati ini, yaitu dari gelar dan prasasti yang ditemukan mengenainya bercorak jawa timuran. Karena ia sendiri merupakan menantu dari Raja Darmawangsa Teguh.

Prabu Detya Maharaja Sri Jayabhupati merupakan raja kerajaan sunda ke-20, yang berkuasa dari tahun 1030-1042 M. Ia naik tahta menggantikan ayahnya Prabu Sanghiyang Ageung (1019-1030 M).
Dalam Naskah Carita Parahiyangan, Sri Jayabhupati sebut “Prabu Datia Maharaja” yang berkuasa di tanah sunda selama 12 tahun, dan di Galuh selama 7 tahun.

Ayahnya Prabu sanghiyang Ageng 1019-1030 M), dan ibunya merupakan  putri asal Sriwjaya, yang masih kerabat Raja Wura Wuri. Kemudian Prabu sangiang Ageung menikahkan  Sri Jayabupati dengan putri raja terakhir Dinasti Sanjaya, Raja Darmawangsa Teguh.

Patung Airlangga yang didewakan
berupa Dewa Wisnu.
Sumber: wikipedia.org

Raja Airlangga

Nama Airlangga berarti "Air yang melompat". Ia lahir tahun 990. Ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu dari Wangsa Warmadewa. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan mengadakan penaklukan ke Bali, mendirikan koloni di Kalimantan Barat, serta mengadakan serangan ke Sriwijaya.

Airlangga (Bali, 990 - Belahan, 1049) atau sering pula ditulis Erlangga, adalah pendiri Kerajaan Kahuripan, yang memerintah 1009-1042 dengan gelar Abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa. Sebagai seorang raja, ia memerintahkan Mpu Kanwa untuk mengubah Kakawin Arjunawiwaha yang menggambarkan keberhasilannya dalam peperangan. Di akhir masa pemerintahannya, kerajaannya dibelah dua menjadi Kerajaan Kadiri dan Kerajaan Janggala bagi kedua putranya. Nama Airlangga sampai saat ini masih terkenal dalam berbagai cerita rakyat, dan sering diabadikan di berbagai tempat di Indonesia.

Dalam berbagai prasasti yang dikeluarkannya, Airlangga mengakui sebagai keturunan dari Mpu Sindok dari Wangsa Isyana dari kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah.

Hubungan Raja Airlangga dan Maharaja Sri Jayabhupati

Kedua Raja ini sama-sama menanti Dharmawangsa Teguh di Bhumi Mataram. Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa Teguh (saudara Mahendradatta, ibunya) di Watan, ibu kota Kerajaan Medang (sekarang sekitar Maospati, Magetan, Jawa Timur).

Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur, mertua raja Airlangga (1019-1042). Oleh karena itu, Sri Jayabhupati mendapat gelar dari mertuanya yang bercirikan Jawa-Timuran. Menurut Prasasti Sanghyang Tapak yang berangka tahun 1030 (952 Saka), diketahui bahwa kerajaan Sunda dipimpin oleh Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwana Mandala Swaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa. Prasasti ini terdiri dari 40 baris yang ditulis dalam Aksara Kawi pada 4 buah batu, ditemukan di tepi sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi.

Tragedi dan Pergolakan Bathin

Pada masa kekuasaannya, Sri Jayabhupati diuntungkan oleh sistem kekeluargaan besar di zamannya. Ibunya merupakan putri dari raja Sriwijaya, sedang istrinya berasal dari Medang Bhumi Mataram. Jadi secara politik, dia diuntungkan oleh sistem kekluargaan tersebut.

Tetapi hal ini menjadi lain, ketika justru terjadi persaingan antara Sriwijaya dengan penguasa Medang Bhumi Mataram waktu itu. Dan penulis sejarah sering mengatakan bahwa kerajaan mertuanya hancur  kalah karena serangan raja Wurawuri, yang merupakan sekutu Sriwijaya di Jawa.

Ketika rencana penyerangan Raja Wura Wuri ke Raja Dharmawangsa Teguh disampaikan kepada Sri Jayabhupati disertai "pesan" agar Kerajaan Sunda tidak ikut campur dalam rencana penyerangan tersebut. Hal ini membuat pergolakan bathin yang berat bagi Maharaja Sri Jayabhupati. Di satu sisi Wurawuri juga keluarganya dari garis Ibu yang berasal dari Sriwijaya. Di sisi lain, Dharmawangsa adalah mertuanya di Bhumi Mataram.

Konon penyebab penyerangan Raja Wura Wuri ke Raja Mataram Dharmawangsa Teguh adalah rasa sakit hati karena putri Dharmawangsa menolak lamarannya dan lebih memilih Airlangga sebagai menantunya.  Ketika pesta pernikahan sedang berlangsung, tiba-tiba kota Wwatan diserbu Raja Wurawari yang berasal dari Lwaram (sekarang desa Ngloram, Cepu, Blora), yang merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya. Kejadian tersebut tercatat dalam prasasti Pucangan (atau Calcutta Stone). Pembacaan Kern atas prasasti tersebut, yang juga dikuatkan oleh de Casparis, menyebutkan bahwa penyerangan tersebut terjadi tahun 928 Saka, atau sekitar 1006/7.

Dalam serangan itu, Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan (wanagiri) ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Saat itu ia berusia 16 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.

Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat yang memintanya supaya membangun kembali Kerajaan Medang. Mengingat kota Wwatan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan.

Pada tahun 1023, Kerajaan Sriwijaya yang merupakan musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa raja Colamandala dari India. Hal ini membuat Airlangga lebih leluasa mempersiapkan diri untuk memperluas kekuasannya di Pulau Jawa.

Airlangga naik tahta dengan gelar Abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Airlangga juga memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah, bahkan pengaruh kekuasaannya diakui sampai ke Bali. Menurut prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang).

Referensi

  1. Babad Tanah Jawi. 2007. (terj.). Yogyakarta: Narasi
  2. Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
  3. Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
  4. Tim Temukan Situs Wura-Wari di Cepu, Ekspedisi Bengawan Solo "Kompas" 2007, edisi Sabtu, 16 Juni 2007.
  5. De Casparis, J.G., Airlangga, The Threshold of the Second Millennium, IIAS Newsletter Online, No. 18. Diakses 8 Juli 2008 (alamat baru diakses 3 Des 2013).
Baca Juga

Sponsor