[Historiana] - Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh disebut-sebut sebagai kerajaan kembar sekaligus penerus kerajaan Tarumanagara. Sejarah selanjutnya, kedua kerajaan itu disebut Kerajaan Sunda saja dan Kerajaan Pajajaran. Apa saja perbedaan kerajaan Sunda Galuh dan kerajaan Pajajaran?
Berdirinya kerajaan Sunda dan Galuh
Sejarah berdirinya kerajaan Sunda dan Galut sebagai akibat pembagian Kerajaan Tarumanagara. Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa, di tahun 669 M menggantikan kedudukan mertuanya yaitu Linggawarman raja Tarumanagara yang terakhir. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, mendirikan Kerajaan Galuh (masih keluarga kerajaan Tarumanegara), untuk memisahkan diri dari kekuasaan Tarusbawa.Dengan dukungan Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya wilayah Tarumanagara dipecah dua. Dukungan ini dapat terjadi karena putera mahkota Galuh bernama Mandiminyak, berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Shima dari Kalingga. Dalam posisi lemah dan ingin menghindari perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Di tahun 670 M, wilayah Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan; yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.
Wilayah Kekuasaan
Sungai Citarum menjadi pembatas antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh adalah dua kerajaan yang merupakan pecahan dari Kerajaan Tarumanagara. Dalam catatan perjalanan Tome Pires (1513), disebutkan bahwa ibukota kerajaan (Dayo, dari bahasa Sunda dayeuh, yang berarti kota) Kerajaan Sunda terletak dua hari perjalanan dari Pelabuhan Kalapa yang terletak di muara Sungai Ciliwung. Keterangan mengenai keberadaan kedua kerajaan ini juga terdapat pada beberapa prasasti. Prasasti di Bogor banyak bercerita tentang Kerajaan Sunda sebagai pecahan Tarumanagara, sedangkan prasasti di daerah Sukabumi bercerita tentang keadaan Kerajaan Sunda sampai dengan masa Sri Jayabupati.Bagian barat dari Sungai Citarum adalah wilayah Kerajaan Sunda
Bagian timur dari Sungai Citarum adalah Wilayah Kerajaan Galuh hingga Sungai Cipamali (Kali Pemali Brebes (Jawa Tengah) dan Kali Serayu Jawa Tengah.
Agama atau sistem kepercayaan
Antara Galuh dengan Sunda memang terdapat perbedaan dalam hal tradisi. Anwas Adiwijaya (1975) mengungkapkan bahwa orang Galuh itu "orang air", sedang orang Sunda "Orang Gunung". Yang satu memiliki "mitos buaya", yang lain "mitos harimau".Di daerah Ciamis dan Tasikmalaya masih ada beberapa tempat yang bernama Panereban. Tempat yang bernama demikian pada masa silam merupakan tempat melabuhkan (nerebkeun) mayat karena menurut tradisi Galuh, mayat harus "dilarung" (dihanyutkan) di sungai. Sebaliknya orang Kanekes yang masih menyimpan banyak sekali "sisa-sisa" tradisi Sunda, mengubur mayat dalam tanah. Tradisi "nerebkeun" di sebelah timur dan tradisi "ngurebkeun" di sebelah barat (membekas dalam istilah panereban dan pasarean).
Peristiwa sejarah telah meleburkan kedua kelompok sub-etnik ini menjadi satu "Orang Air" dengan "Orang Gunung" itu menjadi akrab dan berbaur seperti dilambangkan oleh dongeng Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet (Seekor kura-kura dan seekor monyet). Dongeng yang khas Sunda ini sangat mendalam dan meluas dalam segala lapisan masyarakat, padahal mereka tahu, bahwa dalam kenyataan sehari-hari monyet dan kuya itu bertemu saja mugkin tidak pernah (di kebun binatang pun tidak pernah diperkenalkan).
Lokasi Ibukota
Lokasi ibukota Sunda. Maharaja Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru di daerah pedalaman dekat hulu Sungai Cipakancilan. Dalam Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakal-bakal raja-raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M.Sunda sebagai nama kerajaan tercatat dalam dua buah prasasti batu yang ditemukan di Bogor dan Sukabumi. Kehadiran Prasasti Jayabupati di daerah Cibadak sempat membangkitkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda terletak di daerah itu. Namun dugaan itu tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah lainnya. Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan pada bagian Sungai Cicatih yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak. Sama halnya dengan kehadiran batu bertulis Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak yang tidak menunjukkan letak ibukota Tarumanagara.
Lokasi Ibukota Galuh. Ibukota Galuh pertama di Medangjati di masa pendirian oleh Wretikandayun. Menurut sejarawan W.J Van der Meulen, Pusat Asli Daerah (kerajaan) Galuh, yaitu disekitar Kawali (Kabupaten Ciamis sekarang).
Berdirinya Galuh sebagai kerajaan, menurut naskah-naskah kelompok pertama tidak terlepas dari tokoh Ratu Galuh sebagai Ratu Pertama. Dalam laporan yang ditulis Tim Peneliti Sejarah Galuh (1972), terdapat berbagai nama kerajaan sebagai berikut:
- Kerajaan Galuh Sindula (menurut sumber lain, Kerajaan Bojong Galuh) yang berlokasi di Lakbok dan beribu kota Medang Gili (tahun 78 Masehi?);
- Kerajaan Galuh Rahyang berlokasi di Brebes dengan ibu kota Medang Pangramesan;
- Galuh Kalangon berlokasi di Roban beribu kota Medang Pangramesan;
- Galuh Lalean berlokasi di Cilacap beribu kota di Medang Kamulan;
- Galuh Pataruman berlokasi di Banjarsari beribu kota Banjar Pataruman;
- Galuh Kalingga berlokasi di Bojong beribu kota Karangkamulyan;
- Galuh Tanduran atau Pangauban berlokasi di Pananjung beribu kota Bagolo;
- Galuh Kumara berlokasi di Tegal beribu kota di Medangkamulyan;
- Galuh Pakuan beribu kota di Kawali;
- Galuh Pataka berlokasi di Nanggalacah beribu kota Pataka;
- Kabupaten Galuh Nagara Tengah berlokasi di Cineam beribu kota Bojonglopang kemudian Gunungtanjung;
- Kabupaten Galuh Imbanagara berlokasi di Barunay (Pabuaran) beribu kota di Imbanagara dan Kabupaten Galuh berlokasi di Cibatu beribu kota di Ciamis (sejak tahun 1812
Dua Kerajaan ini, Sunda dan Galuh beberapakali bersatu dan juga beberapa kali berpisah.
Pusat Kerajaan yang Berpindah-pindah
Akibat masalah politik, posisi pusat pemerintahan berkali-kali pindah. Proses kepindahan seperti ini memang merepotkan (menurut pandangan kita) namun pengaruh positifnya jelas sekali dalam hal pemantapan etnik di Jawa Barat. Misalnya keturunan Manarah yang laki-laki terputus sehingga pada tahun 852 tahta Galuh jatuh kepada keturunan Banga, yaitu Rakeyan Wuwus yang beristrikan puteri keturunan Galuh. Sebaliknya adik perempuan Rakeyan Wuwus menikah dengan putera Galuh yang kemudian menggantikan kedudukan iparnya sebagai Raja Sunda IX dengan gelar Prabu Darmaraksa Buana. Kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu belum dapat diterima secara umum, sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh. Prabu Darmaraksa (891 - 895) dibunuh oleh seorang menteri Sunda yang fanatik.Karena peristiwa itu, tiap Raja Sunda yang baru selalu memperhitungkan tempat kedudukan yang akan dipilihnya menjadi pusat pemerintahan. Dengan demikian, pusat pemerintahan itu berpindah-pindah dari barat ke timur dan sebaliknya. Antara tahun 895 sampai tahun 1311 kawasan Jawa Barat diramaikan sewaktu-waktu oleh iring-iringan rombongan raja baru yang pindah tempat.
Ayah Sri Jayabupati berkedudukan di Galuh, Sri Jayabupati di Pakuan, tetapi puteranya berkedudukan di Galuh lagi. Dua raja berikutnya (Raja Sunda ke-22 dan ke-23) memerintah di Pakuan. Raja ke-24 memerintah di Galuh dan raja ke-25, yaitu Prabu Guru Darmasiksa mula-mula berkedudukan di Saunggalah, kemudian pindah ke Pakuan. Puteranya, Prabu Ragasuci, berkedudukan di Saunggalah dan dipusarakan di Taman, Ciamis.
Dalam abad ke-14 sebutan SUNDA itu sudah meliputi seluruh Jawa Barat, baik dalam pengertian wilayah maupun dalam pengertian etnik. Menurut Pustaka Paratwan i Bhumi Jawadwipa, Parwa I sarga 1, nama Sunda mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman untuk Ibukota kerajaan Tarumanagara yang baru didirikannya bernama Sundapura. Idealisme kenegaraan memang terpaut di dalamnya karena Sundapura mengandung arti kota suci atau kota murni, sedangkan Galuh berarti permata atau batu mulia (secara kiasan berarti gadis).
Daftar Raja-raja Galuh dan Sunda
Berkaitan dengan bersatu dan berpisahnya antara Kerajaan Sunda dan Galuh, periodisasi raja kita pisahkan disaat 2 kerajaan ini terpisah.Raja-raja yang pernah berkuasa di Galuh:
- Wretikandayun (Rahiyangta ri Menir, 612-702)
- Mandiminyak atau Prabu Suraghana (702-709)
- Sanna atau Séna/Sannaha (709-716)
- Purbasora (716-723)
- Rakeyan Jambri/Sanjaya, Rakai Mataram/Harisdarma (723-732); Galuh bersatu dengan Sunda
- Tamperan Barmawijaya (732-739)
- Sang Manarah (739-746)
- Rakeyan ri Medang (746-753)
- Rakeyan Diwus (753-777)
- Rakeyan Wuwus (777-849)
- Sang Hujung Carian (849-852)
- Rakeyan Gendang (852-875)
- Dewa Sanghiyang (875-882)
- Prabu Sanghiyang (882-893)
- Prabu Ditiya Maharaja (893-900)
- Sang Lumahing Winduraja (900-923)
- Sang Lumahing Kreta (923-1015)
- Sang Lumahing Winduraja (1015-1033)
- Rakeyan Darmasiksa (1033-1183)
- Sang Lumahing Taman (1183-1189)
- Sang Lumahing Tanjung (1189-1197)
- Sang Lumahing Kikis (1197-1219)
- Sang Lumahing Kiding (1219-1229)
- Aki Kolot (1229-1239)
- Prabu Maharaja (1239-1246)
- Prabu Bunisora (1357-1371)
- Mahaprabu Niskala Wastu Kancana (1371-1475)
- Dewa Niskala (1475-1483)
- Ningratwangi (1483-1502)
- Jayaningrat (1502-1528)
- maharaja cipta sanghyang di galuh (1528-1595)
Sementara menurut Naskah Wangsakerta daftar lengkap raja-raja yang bertahta di Kerajaan Galuh antara lain:
- Sang Wretikandayun (534-592) Saka (S)/ (612/3-670/1) M (Masehi) sebagai Raja Galuh.
- Sang Mandiminyak/ Suraghana (624-631) Saka/ (702/3-709/10) M.
- Sang Senna atau Sanna, 631-638 Saka/ (709/10-716/7) M.
- Sang Purbasura (638-645) Saka/ (716/7-723/4) M.
- Sang Sanjaya, Rakai Mataram (645-654) Saka/ (723/4-732/3) M, sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
- Sang Tamperan (654-661) Saka/ (732/3-739/40) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
- Sang Manarah (661-705) Saka/ (740-784), sebagai penguasa Galuh.
- Sang Manisri (705-721) Saka/ (783/4-799/800) Masehi sebagai raja Galuh.
- Sang Tariwulan (721-728) Saka/ (799/800-806/7) sebagai raja Galuh.
- Sang Welengsa (728-735) Saka (806/7-813/4) M sebagai raja Galuh.
- Prabhu Linggabhumi (735-774) Saka/ (813/4-852/3) M sebagai raja Galuh.
- Danghyang Guru Wisuddha (774-842) Saka/ (852/ 3-920/1) M sebagai ratu Galuh.
- Prabhu Jayadrata (843-871) S/ (921/2-949/50 M sebagai ratu Galuh.
- Prabhu Harimurtti (871-888) S/ (949/50-966/7) M.
- Prabhu Yuddhanagara (888-910) S/ (966/7-988/9) M sebagai ratu Galuh.
- Prabhu Linggasakti (910-934) S/ (988/9-1012/3) M sebagai ratu Galuh.
- Resiguru Dharmmasatyadewa (934-949) S (1012/3-1027/8) M sebagai raja Galuh.
- Prabhu Arya Tunggalningrat (987-1013) S/ (1065/6-1091/2) M sebagai raja wilayah Galuh.
- Resiguru Bhatara Hyang Purnawijaya (1013-1033) S/ (1091-1111) M sebagai ratu Galuh.
- Bhatari Hyang Janawati (1033-1074) S/ (1111/2-1152/3) M sebagai ratu Galuh dengan ibukota Galunggung.
- Prabhu Dharmmakusuma (1074-1079) S/ (1152/3-1157/8) M sebagai maharaja Galuh dan Sunda.
- Prabu Guru Darmasiksa (1097-1219) S/ (1157/8-1297/8) M sebagai maharaja Galuh dan Sunda.
- Rakeyan Saunggalah (1109-1219) S/ (1167/8-1297/8) M sebagai ratu Galuh, (1219-1225) S/ (1297/8-1303/4) M menjadi Maharaja Galuh dan Sunda.
- Maharaja Citragandha (1225-1233) S/ (1303/4¬-1311/2) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
- Maharaja Linggadewata (1233-1255) S/ (1311/2-1333/4) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
- Maharaja Ajiguna (1255-1262) S/ (1333/4-1340/1) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
- Maharaja Ragamulya (1262-1272) S/ (1340/1¬-1350/1) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
- Maharaja Linggabhuwana (1272-1279) S/ (1350/1-1357/8 M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
- Mangkubhumi Suradhipati (1279-1293) S/ (1357/8-1371/2) M, Maharaja Galuh dan Sunda .
- Mahaprabu Niskala Wastu Kancana (1293-1397) S/ (1371/2¬-1475/6), Maharaja Galuh dan Sunda.
- Dewa Niskala atau Ningrat Kancana (1397-1404) S/ (1475/6-1482/3 M, sebagai raja Galuh.
- Prabhu Ningratwangi (1404-1423) S/ (1482/3-1501/2) M, sebagai ratu Galuh mewakili kakaknya, Sri Baduga Maharaja penguasa Galuh dan Sunda.
- Prabhu Jayaningrat (1423-1450) S/ (1501/2-1528/9) M Prabhu Jayaningrat bukan ratu Galuh terakhir, dan kerajaan Galuh tidak ditaklukkan oleh Kerajaan Cirebon namun Kawali tidak jadi pusat Kerajaan Galuh tetapi berpindah ke Galuh Salawe Pangauban di Cimaragas, Ciamis.
- Maharaja Cipta Sanghyang di Galuh Salawe ( 1528-1595 ) di Cimaragas, Ciamis. Masa Kerajaan Galuh berakhir di jaman Mataram 1595 saat itulah raja raja di seluruh pulau Jawa termasuk galuh di turunkan statusnya menjadi kebupatian oleh Mataram.
- Prabu Cipta Permana (1595-1618) M raja Kerajaan Galuh terakhir? Dapat pula dilihat dalam Daftar Bupati Ciamis dimana Adipati Panaekan (1618 - 1625) M sebagai bupati Galuh pertama (Kerajaan Galuh jadi Kabupaten Galuh sampai tahun 1914) atau Ciamis (nama Kabupaten Ciamis sejak 1916 zaman bupati Aria Sastrawinata yang menjabat tahun 1914 - 1935)
- Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 - 723)
- Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)
- Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
- Rakeyan Banga (739 - 766)
- Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
- Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)
- Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)
- Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
- Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)
- Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)
- Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
- Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)
- Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
- Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)
- Munding Ganawirya (964 - 973)
- Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)
- Brajawisésa (989 - 1012)
- Déwa Sanghyang (1012 - 1019)
- Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
- Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)
- Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)
- Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)
- Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)
- Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)
- Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
- Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)
- Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)
- Prabu Linggadéwata (1311-1333)
- Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
- Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
- Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
- Prabu Bunisora, Adik Linggabuanawisesa (1357-1371)
- Prabu Niskala Wastu Kancana putra Linggabuanawisesa (1371-1475)
- Prabu Susuktunggal (1475-1482) sebagai Raja Sunda saja, karena sepeninggal Prabu Niskala Wastu Kancana kerajaan dipecah dua di antara Prabu Susuktunggal dan Prabu Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat.
- Jayadéwata Sri Baduga Maharaja putra Dewa Niskala, 1482-1521)
- Prabu Surawisésa (1521-1535)
- Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
- Prabu Sakti (1543-1551)
- Prabu Nilakéndra (1551-1567)
- Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
- Wretikandayun 670-702
- Rahyang Mandiminyak 702-709
- Rahyang Bratasenawa 709-716
- Rahyang Purbasora 716-723 sepupu no. 3
- Sanjaya Harisdarma 723-724 anak no. 3
- Adimulya Premana Dikusuma 724-725 cucu no. 4
- Tamperan Barmawijaya 725-739 anak no. 5
- Manarah 739-783 anak no. 6
- Guruminda Sang Minisri 783-799 menantu no. 8
- Prabhu Kretayasa Dewakusalesywara Sang Triwulan 799-806
- Sang Walengan 806-813
- Prabu Linggabumi 813-852
- Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus 819-891 ipar no. 12
Untuk penyederhanaan susunan raja-raja di atas, berikut ini dipisahkan untuk kerajaan Galuh. Raja-raja Galuh dari Wretikandayun sampai Prabu Gajah Kulon
Penyederhanaan daftar Raja-raja Sunda dari Prabu Tarusbawa sampai Prabu Sri Jayabupati
- Maharaja Tarusbawa 669-723
- Sanjaya Harisdarma 723-732 cucu-menantu no. 1
- Tamperan Barmawijaya 732-739
- Rakeyan Banga 739-766
- Rakeyan Medang Prabu Hulukujang 766-783
- Prabu Gilingwesi 783-795 menantu no. 5
- Pucukbumi Darmeswara 795-819 menantu no. 6
- Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus 819-891
- Prabu Darmaraksa 891-895 adik-ipar no. 8
- Windusakti Prabu Dewageng 895-913
- Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi 913-916
- Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa 916-942 menantu no. 11
- Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa 942-954
- Prabu Limbur Kancana 954-964 anak no. 11
- Prabu Munding Ganawirya 964-973
- Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung 973-989
- Prabu Brajawisesa 989-1012
- Prabu Dewa Sanghyang 1012-1019
- Prabu Sanghyang Ageng 1019-1030
- Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati 1030-1042
- Prabu Dewa Niskala (1475-1482)
Penyatuan Kerajaan Sunda dan Galuh
Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa 2 kerajaan ini pernah bersatu dengan sebutan "Kerajaan Sunda" dan sebuatan "Kerajaan Pajajaran". Berikut ini periode Sebutan Kerajaan Sunda untuk penyatauan Sunda dan Galuh.
Raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati
- Darmaraja 1042-1065
- Langlangbumi 1065-1155
- Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur 1155-1157
- Prabu Darmakusuma 1157-1175
- Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu 1175-1297 berkedudukan di Saunggalah, kemudian pindah ke Pakuan.
- Prabu Ragasuci 1297-1303 berkedudukan di Saunggalah dan dipusarakan di Taman, Ciamis.
- Prabu Citraganda 1303-1311 berkedudukan di Pakuan. Ketika wafat ia dipusarakan di Tanjung.
- Prabu Linggadéwata 1311-1333 berkedudukan di Kawali.
- Prabu Ajiguna Linggawisésa 1333-1340 berkedudukan di Kawali, adalah menantu Prabu Lingga Dewata (menantu no. 8)
- Prabu Ragamulya Luhurprabawa 1340-1350
- Prabu Maharaja Linggabuanawisésa 1350-1357 tewas dalam Perang Bubat
- Prabu Bunisora 1357-1371 paman no. 13
- Prabu Niskala Wastu Kancana 1371-1475 anak no. 11
- Prabu Susuktunggal 1475-1482
Zaman Penyatuan Sunda dan Galuh
Periode penyatuan kerajaan Sunda dan Galuh terjadi pada masa pemerintahan:
- Prabhu Sanjaya Harisdarma 723-732 M (Raja Galuh ke 5 dan Sunda-Galuh ke-2) Sunda Galuh bersatu dan pecah lagi di masa Sang Manarah (Ciung Wanara) 740-784 M
- Prabhu Dharmmakusuma 1152/3-1157/8 M Sunda-Galuh bersatu dan terpisah ladi dima pemerintahan masa Dewa Niskala atau Ningrat Kancana 1475/6-1482/3 M.
- Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521 M) di zaman Pajajaran.bersatu hingga burak (bubar) Sirna ing bhumi di masa pemerintahan Prabu Raga Mulya atau Nusiya Mulya atau Suryakancana,
Raja-raja Pajajaran
Penyatuan Kerajaan Sunda dan Galuh disebut-sebut sebagai "Kerajaan Pajajaran" yang dimulai masa pemerintahan Prabu Jayadewata atau Sribaduga Maharaja (Prabu Siliwangi). Prabu SIliwangi Putra Prabu Dewa Niskala (Galuh) dan Menantu Raja Susuktunggal atau Sang Haliwungan (Sunda).
Berikut adalah raja-raja Sunda yang memerintah di Pakuan Pajajaran:
- Prabu Jayadéwata Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di Pakuan (Bogor sekarang)
- Prabu Surawisésa (1521 – 1535), bertahta di Pakuan
- Prabu Déwatabuanawisésa atau Ratu Dewata (1535 – 1543), bertahta di Pakuan
- Prabu Sakti atau Ratu Sakti (1543 – 1551), bertahta di Pakuan
- Prabu Nilakéndra atau Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin dan anaknya, Maulana Yusuf
- Prabu Ragamulya atau Nusiya Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari Pandeglang
Prabu Dewa Niskala menyerahkan Tahta Kerajaan Galuh kepada puteranya Jayadewata. Demikian pula dengan Prabu Susuktungal yang menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda kepada menantunya ini (Jayadewata). Dengan peristiwa yang terjadi tahun 1482 itu, kerajaan warisan Wastu Kencana berada kembali dalam satu tangan. Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai "Susuhunan" karena ia telah lama tinggal di sini menjalankan pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan. Zaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Ratu Jayadewata yang bergelar Sri Baduga Maharaja yang memerintah selama 39 tahun. Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Berakhirnya zaman Pajajaran pada raja terakhir Prabu Raga Mulya atau Nusiya Mulya atau Prabu Suryakancana (1482 - 1579), ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana (Tempat duduk tempat penobatan tahta) dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa di boyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu "mengharuskan" demikian.
Referensi
- Atja 1968. Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Maséhi. Bandung: Yayasan Kabudayaan Nusalarang. .
- Ayatrohaedi 2005. Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah Panitia Wangsakerta dari Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Darsa, Undang A. 2004. “Kropak 406; Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan“, Makalah disampaikan dalam Kegiatan Bedah Naskah Kuno yang diselenggarakan oleh Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga. Bandung-Jatinangor: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran: hlm. 1 – 23.
- Ekadjati, Edi S. 1995. Sunda, Nusantara, dan Indonesia; Suatu Tinjauan Sejarah. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran pada Hari Sabtu, 16 Desember `1995. Bandung: Universitas Padjadjaran.
- Ekadjati, Edi S. 1981. Historiografi Priangan. Bandung: Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran.
- Ekadjati, Edi S. (Koordinator). 1993. Sejarah Pemerintahan di Jawa Barat. Bandung: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
- Raffles, Thomas Stamford. 1817. The History of Java, 2 vols. London: Block Parbury and Allen and John Murry.
- Raffles, Thomas Stamford. 2008. The History of Java (Terjemahan Eko Prasetaningrum, Nuryati Agustin, dan Idda Qoryati Mahbubah). Yogyakarta: Narasi.
- Z., Mumuh Muhsin. Sunda, Priangan, dan Jawa Barat. Makalah disampaikan dalam Diskusi Hari Jadi Jawa Barat, diselenggarakan oleh Harian Umum Pikiran Rakyat Bekerja Sama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat pada Selasa, 3 November 2009 di Aula Redaksi HU Pikiran Rakyat.
- Uka Tjandrasasmita. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Kepustakaan Populer Gramedia.
- E. Rokajat Asura. (September 2011). Harisbaya bersuami 2 raja - Kemelut cinta di antara dua kerajaan Sumedang Larang dan Cirebon. Penerbit Edelweiss.
- Atja, Drs. 1970. Ratu Pakuan. Lembaga Bahasa dan Sedjarah Unpad. Bandung.
- Atmamihardja, Mamun, Drs. Raden. 1958. Sadjarah Sunda. Bandung. Ganaco Nv.
- Joedawikarta (1933). Sadjarah Soekapoera, Parakan Moencang sareng Gadjah. Pengharepan. Bandoeng,
- Naskah Carita Parahyangan (1580), fragmen Kropak 406. Naskah beraksara Sunda Kuno, bahasa Sunda Kuno. Koleksi: Perpustakaan Nasional RI.
- Lubis, Nina Herlina., Dr. MSi, dkk. 2003. Sejarah Tatar Sunda jilid I dan II. Bandung: CV. Satya Historica
- Herman Soemantri Emuch. 1979. Sajarah Sukapura, sebuah telaah filologis. Universitas Indonesia. Jakarta.
- Edi S. Ekajati. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Jakarta: Pustaka Jaya. ISBN 979-419-329-1.
- Richadiana Kartakusuma 1991. Anekaragam Bahasa Prasastidi Jawa Barat Pada Abad Ke-5 Masehi sampai Ke-16 Masehi: Suatu Kajian Tentang Munculnya Bahasa Sunda. Tesis (yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Arkeologi. Jakarta: Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
- Yoséph Iskandar 1997. Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Bandung: Geger Sunten.
- Zamhir, Drs. 1996. Mengenal Museum Prabu Geusan Ulun serta Riwayat Leluhur Sumedang. Yayasan Pangeran Sumedang. Sumedang.
- Sukardja, Djadja. 2003. Kanjeng Prebu R.A.A. Kusumadiningrat Bupati Galuh Ciamis th. 1839 s / d 1886. Sanggar SGB. Ciamis.
- Sukardja, H. Djadja, 2002. Situs Karangkamulyan. Ciamis: H. Djadja Sukardja S. Cet-2.
- Sulendraningrat P.S. 1975. Sejarah Cirebon dan Silsilah Sunan Gunung Jati Maulana Syarif Hidayatullah. Lembaga Kebudayaan Wilayah III Cirebon. Cirebon.
- Sunardjo, Unang, R. H., Drs. 1983. Kerajaan Carbon 1479-1809. PT. Tarsito. Bandung.
- Suparman, Tjetje, R. H., 1981. Sajarah Sukapura. Bandung
- Surianingrat, Bayu., Drs. 1983. Sajarah Kabupatian I Bhumi Sumedang 1550-1950. CV.Rapico. Bandung.
- Soekardi, Yuliadi. 2004. Kian Santang. CV Pustaka Setia.
- Soekardi, Yuliadi. 2004. Prabu Siliwangi. CV Pustaka Setia.
- Tjangker Soedradjat, Ade. 1996. Silsilah Wargi Pangeran Sumedang Turunan Pangeran Santri alias Pangeran Koesoemadinata I Penguasa Sumedang Larang 1530-1578. Yayasan Pangeran Sumedang. Sumedang.
- Widjajakusuma, Djenal Asikin., Raden Dr. 1960. Babad Pasundan, Riwajat Kamerdikaan Bangsa Sunda Saruntagna Karadjaan Pdjadjaran Dina Taun 1580. Bandung: Kujang.
- Winarno, F. G. 1990. Bogor Hari Esok Masa Lampau. PT. Bina Hati. Bogor.
- Olthof, W.L. (cetakan IV 2008). Babad Tanah Jawi - mulai dari Nabi Adam sampai tahun 1647. PT. Buku Kita. Yogyakarta.
- A. Sobana Hardjasaputra, H.D. Bastaman, Edi S. Ekadjati, Ajip Rosidi, Wim van Zanten, Undang A. Darsa. 2004. Bupati di Priangan dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda. Pusat Studi Sunda.
- A. Sobana Hardjasaputra (Ed.). 2008. Sejarah Purwakarta.
- Nina H. Lubis, Kunto Sofianto, Taufik Abdullah (pengantar), Ietje Marlina, A. Sobana Hardjasaputra, Reiza D. Dienaputra, Mumuh Muhsin Z. 2000. Sejarah Kota-kota Lama di di Jawa Barat. Alqaprint. ISBN 979-95652-4-3.