Cari

Situs Gandoang Wanasigra Sindangkasih Ciamis Jawa Barat


[Historiana] - Desa Wanasigra dan Situs Gandoang serta kawasan disekitarnya merupakan wilayah yang memiliki kandungan sejarah dan nilai budaya yang masih banyak belum terungkap secara luas.

Wilayah Desa Wanasigra diapit dan dikelilingi oleh dua sungai yaitu Sungai Citanduy dan Sungai Cigayam sehingga dua sungai itu dijadikan sebagai batas alam (wawancara dengan Maman Suherman, 1 Maret 2016). Dahulu, pada tahun 1918, Desa Cikedengan (yang diganti namanya menjadi Desa Margaluyu) digabung ke dalam wilayah administratif Desa Wanasigra. Desa Cikedengan merupakan wilayah yang lebih tua sasakalanya, karena pada masa kuna merupakan tempat beristirahat Permana Dikusumah atau Ajar Sukaresi, Penguasa Galuh pada pertengahan abad ke-8 M. Pada tahun 1982 sampai sekarang, Desa Wanasigra dan Desa Margaluyu dipisahkan kembali. Desa Wanasigra membawahi lima kampung, yaitu Dusun Wanasigra, Cipeucang, Cimamut, Margasari, dan Sukasari (Radea, t.t: 44).

Beberapa tulisan yang menyebut Situs Gandoang sebagai Kabuyutan Gandoang. Istilah Kabuyutan dikenal dalam masyarakat Sunda. Masyarakat Sunda kuna mengenal adanya empat macam tempat suci, yaitu (a) dewasasana, (b) kawikuan, (c) Kabuyutan, dan (d) pertapaan. Dewasasana adalah suatu lahan atau area tempat dewa bersemayam. Dalam lingkungan dewasasana tersebut bukan hanya diadakan pemujaan kepada dewa (Hindu-Budha), melainkan juga kepada Hyang (leluhur gaib yang disucikan). Lemah dewasasana tidak hanya berkenaan dengan bangunan-bangunan pemujaan, tetapi juga termasuk tempat bertapa (patapan) dan juga monumen suci untuk memperingati tokoh leluhur yang telah mangkat atau „simbol tentang konsep yang bersifat supernatural‟ yang dinamakan sakakala. Termasuk ke dalam dewasasana adalah kabuyutan dan kawikuan. Kabuyutan adalah tempat yang dikeramatkan dan dijadikan pusaka bersama masyarakat, adapun kawikuan yang arti semula adalah pendeta Budha berkembang untuk menamakan kaum agamawan HinduBudha sangat mungkin merupkan dukuh atau perkampungan khusus kaum agamawan, seperti mandala atau kadewaguruan dalam kebudayaan Jawa kuna zaman Majapahit (Munandar, 2010:58-60).

Di Situs Gandoang Desa Wanasigra tersebut, ada beberapa tinggalan arkeologis antara lain, Naskah Tambaga Wanasigra, Naskah Daluang Gandoang, tombak, keris, dan Makam (makam Syeh Padamatang, makam Mas Jasidin, makam Eyang Bodas, makam santri kesayangan Syeh Padamatang).

Manuskrip atau naskah kuna adalah sebuah kekayaan intelektual yang berperan sebagai media penyampaian hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan, adat istiadat, kebudayaan, dan keagamaan yang pada masanya menjadi sebuah pedoman bagi masyarakat penggunanya karena di dalam manuskrip terdapat berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya masa lampau (Suryani dalam Zaedin, 2015:1). Naskah juga diartikan sebagai tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau. Ekadjati menjelaskan bahwa naskahnaskah nusantara pada umumnya ditulis dengan menggunakan aksara-aksara daerah yang ada di Nusantara. Salah satu daerah yang mempunyai banyak naskah adalah Jawa Barat (Zaedin, 2015:1).

Naskah Kabuyutan Gandoanga. Foto:tarkahanacarakajawa.blogspot.com

Makam, menurut Ambary adalah suatu sistem penguburan untuk orang muslim, di mana di atas jirat atau permukaan tanah tokoh yang dimakamkan biasanya diletakkan nisan dengan orientasi arah makam utara-selatan. Nisan salah satu penanda dari bangunan makam yang bercorak Islam, pada umumnya terbuat dari bahan batu, kayu, perunggu atau bahan lainnya sesuai dengan keinginan. Bahan bangunan jirat untuk tokoh penguasa daerah, tokoh masyarakat dan penyebar Islam dari bahan yang sama yaitu batu, tidak terlihat perbedaan berdasarkan status sosial, dimungkinkan karena bahan tersebut relatif lebih mudah diperoleh di wilayah tersebut. Selain itu, letak makam kuna jauh dari pemukiman penduduk. Hal ini untuk menunjukkan bahwa dunia orang yang sudah meninggal dan dunia orang yang masih hidup sudah terpisah, sehingga makam harus jauh dari pemukiman (Latifundia, 2013:19). Begitu pula dengan keadaan makam kompleks Situs Gandoang yang jauh dari pemukiman.

Jika melihat peninggalan yang terdapat di Desa Wanasigra tersebut, maka benda-benda maupun lingkungannya termasuk dalam kategori „cagar budaya‟. Seperti dalam UU No. 11 Tahun 2010 dijelaskan, bahwa cagar budaya berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan perlu dikelola oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan meningkatkan peran serta masyarakat untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya. Sedangkan yang bertanggung jawab dalam pengaturan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan adalah negara.

Berikut ini adalah gambaran masingmasing mengenai peninggalan arkeologis Situs Gandoang, yang pertama adalah Naskah Tambaga Wanasigra yaitu sebuah naskah yang ditemukan di Wanasigra berupa piagam dengan berbahan logam lempengan tembaga yang berwarna kuning berbentuk persegi panjang. berukuran naskah 28 cm x 5 cm x 0,2 cm. Ruang tulisan 26 x 3,5 cm. Menggunakan bahasa Jawa Kuno ditulis dalam aksara cacarakan bentuk karangan prosa terdapat tulisan hurufnya ditulis bolak balik dengan cara digurat dengan memakai jara. Kondisi keadaan naskah fisik sudah tidak utuh lagi, logam tersebut telah terbagi dua karena patah tapi sudah dikonservasi dan masih dapat dibaca. Naskah teks aus atau menipis sehingga kurang jelas terbaca.

Naskah yang kedua adalah Naskah Kabuyutan Gandoang, yaitu naskah kuna yang terbuat dari kertas daluwang yang sudah berwarna coklat kehitaman. Kondisi kertasnya sudah rusak, beberapa halaman baik dibagian depan, tengah, maupun akhir terlihat banyak berlubang karena termakan ngengat. Ada beberapa halaman yang robek, tulisan agak samar dan ngeblur.Jika dilihat dari ketebalan tinta dan bentuk karakter aksara yang digunakan dalam penulisan teks, Naskah Gandoang ini sepertinya tidak ditulis oleh satu orang. Penetapan nama Naskah Gandoang ini dikarenakan di dalam teks naskah tidak ditemukan judulnya. Bahasa yang digunakan dalam teks Naskah Gandoang adalah Bahasa Jawa, dan aksara yang digunakan adalah Aksara Jawa (cacarakan). Isi teks Naskah Gandoang berbicara tentang surat (layang, nawala) yang ditulis oleh Susuhunan Senapati Ing Ngalaga kepada Mas Putu atau Mas Putra Imbanagara agar menduduki, memangku, dan mengurusi Galuh. Naskah tersebut tertanggal 22 Maret 1635 tepatnya hari Kamis tanggal 3 bulan Syawal tahun He (Zaedin, 2015:4,5). Apabila dilihat dari titimangsa tersebut, Galuh berada di bawah kekuasaan Mataram. Yang kedua, ada beberapa makam yang terdapat di Desa Wanasigra, yaitu makam Embah Wanasigra yang terletak di sisi Sungai Cigayam Wanasigra, makam Syekh Mbah Azibun di tepi sungai Cigayam Kampung Cisaray, dan makam Syekh Mbah Sarikasih di Gunung Asih, Puncak Asih. Di antara tokoh yang dimakamkan tersebut, ada tokoh yang mempunyai kemiripan dengan Syekh Padamatang (tokoh yang dimakamkan di Situs Gunung Padang Cikoneng), yaitu Mbah Wanasigra. Mbah Wanasigra disebut juga Syekh Padamatan, diduga bahwa Syekh Padamatang dan Syekh Padamatan (Mbah Wanasigra) sepertinya memiliki kekerabatan dekat (Radea, t.t: 43).

Selain makam Syekh Padamatan, ada makam lain yaitu makam Mas Jasidin (yang dianggap sebagai penerus Syekh Padamatan), makam Eyang Bodas (pengawal/ajudan), dan makam santri-santri Syekh Padamatan yang tidak diketahui namanya. Disekitar makam juga ada banyak batu-batu yang tersusun rapi, dan menurut informasi, batu-batu tersebut merupakan tempat duduk santri-santri Syekh Padamatan ketika sedang mendengarkan ceramah Syekh Padamatan.

Cerita rakyat tentang Syekh Padamatang dimulai dari tahun 1677, yang pada saat itu Syekh Padamatang sudah menjadi pemimpin di Wanasigra dan menjadi pelopor pembangunan dengan membuka kawasan permukiman. Selain itu, Syekh Padamatang juga melakukan syiar agama Islam kepada masyarakatnya. Pada suatu saat ketika Syekh Padamatang melaksanakan syukuran lembur sekaligus kaul untuk khitanan putranya yang bernama Yuda Perwira, pengantin sunat yang berpakaian tenunan berwarna gelap dari celupan nila, menghilang. Dan ditemukan sudah menjadi mayat di dalam sumur dekat kandang kerbau. Keributan yang ditimbulkan warga membuat kerbau-kerbau panik dan menyerang warga. Tiga orang warga tewas akibat terjangan kerbau. Kemudian Syekh Padamatang mengeluarkan pantangan, yaitu dilarang menanggap kesenian yang alat waditranya berupa go’ong gede, tidak boleh menyembelih kerbau untuk hajatan, tidak boleh membuat sumur dengan lubang bundar dengan anyaman bambu, pengantin sunat dilarang menggunakan baju pengantin berwarna hitam dan warga dilarang menebang pohon-pohon di Kabuyutan Wanasigra (Radea, t.t: 43-44). Yang ketiga, warga Desa Wanasigra memiliki tradisi leluhur, yakni Merlawu. Tradisi ini selalu dilaksanakan setiap minggu kedua bulan Maulud. Prosesi Merlawu dimulai hari Kamis dengan membersihkan area dan memagar makam. Setelah jam 12 siang,  makam-makam yang ada di situs tersebut disirami. Pada hari Jum‟at, kegiatan dimulai dari jam 5 pagi. Kegiatan yang dilaksanakan pada hari Jum‟at adalah pengajian. Sebelum masuk ke area pemakaman, alas kaki harus dilepas (Wawancara dengan Lili, tanggal 26 Desember 2016).

Tradisi ritual Merlawu. Foto: Tribunnews.com

Pada tahun ini, tahun 2016, kegiatan Merlawu diikuti oleh ratusan warga. Acara ini digelar pada bulan Mulud di Situs Gandoang, tepatnya hari Jumat tanggal 16 Desember 2016.Tradisi turun temurun tersebut dilakukan salah satunya sebagai bentuk penghargaan serta menghormati jasa pendiri Desa Wanasigra yakni Syekh Padamatang. Ulama yang merupakan utusan Sunan Gunung Djati dari Cirebon, berhasil membuka hutan belukar yang menjadi Wanasigra, seperti halnya ritus tradisi lainnya, Merlawu juga digelar sederhana, namun sarat makna tersirat. Beberapa larangan juga tetap dipegang teguh ketika memasuki Situs Gandoang. Misalnya ketika memasuki kompleks pemakaman Syekh Padamatang, pengunjung dilarang mengenakan alas kaki. Demikian pula tidak boleh meludah maupun bicara sembarangan. Prosesi Tradisi Merlawu diawali dengan acara pembukaan yang diisi sambutan dari pemerintah daerah, Sekda, dilanjutkan oleh sesepuh dan tokoh agama. Setelah dilakukan tawasulan dilanjutkan dengan makan bersama. Tidak sedikit warga saling bertukar makanan yang sengaja dibawa dari rumah. Merlawu bukan untuk memuja atau mengkultuskan, melainkan untuk menghargai dan menghormati jasanya. Merlawu selalu dilaksanakan pada bulan Mulud. Selain berdoa, juga mengganti pagar bambu yang secara tersirat membentengi diri dari perbuatan atau pengaruh tidak baik. Akses menuju Situs Gondoang masih berupa jalan tanah. Untuk itu, kedepannya, tidak menutup kemungkinan akses jalan di luas situs, dapat diaspal, termasuk beberapa fasilitas pendukung. Salah satu kendala untuk menangani atau penataan kawasan luar situs Gandoang karena sebagian tanahnya merupakan milik masyarakat. Dengan demikian, lokasi tersebut terlebih dahulu harus dibebaskan.

Peninggalan Arkeologis Situs Gandoang Wanasigra antara lain, Naskah Tambaga Wanasigra, Naskah Daluang Gandoang, tombak, keris, dan Makam (makam Syeh Padamatang, makam Mas Jasidin, makam Eyang Bodas, makam santri kesayangan Syeh Padamatang).Naskah Tambaga dan Naskah Daluang disimpan di rumah warga. Sedangkan letak makam jauh dari pemukiman penduduk.Hal ini untuk menunjukkan bahwa dunia orang yang sudah meninggal dan dunia orang yang masih hidup sudah terpisah, sehingga makam harus jauh dari pemukiman. Begitu pula dengan keadaan makam kompleks Situs Gandoang yang jauh dari pemukiman

Sumber: Diadaptasi dari Jurnal Candrasangkala Vol. 4, No. 1 (Mei 2018) karya Yadi Kusmayadi
Referensi:
  1. Ariyanto, Yoesoef Boedi. 2014. “Manfaat Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya untuk Kepentingan Pembangunan Nasional” Prosiding Seminar Nasional Arkeologi 2014. Bandung: Alqa Print. Bishop, Penny A dan Kathleen Brinegar.
  2. Winter 2011. “Student Learning And Engagement In The Context Of Curriculum Integration”. Middle Grades Research Journal. 6.4. p207. 
  3. Daniel, Dominique. February 2012. “Teaching Students How to Research the Past: Historians and Librarians in the Digital Age”. The History Teacher.Volume 45 Number 2.
  4. Fountain,Gregor ; Michael Harcourtdan Mark Sheehan. May 2011. “Historical Significance And Sites Of Memory”. Set: Research Information for Teachers (Wellington). p26.  
  5. Furchan, Arief. 2011. Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  6. Latifunda, Effie. 2013. “Pengaruh Budaya PraIslam Pada Makam Di Desa Salakaria
    Kecamatan Sukadana-Ciamis”. Jurnal Pubawidya Volume 2 No 1. Bandung: Balai Arkeologi.
  7. Lubis, Nina Herlina, dkk. 2013. Sejarah Kerajaan Sunda. Bandung: Yayasan MSI.
  8. Moleong, Lexy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosda Karya.
    Sharer, Robert J & Wendy Ashmore. 2003. Archaeology: Discovering Our Past. New York: The Mcgraw-Hill Companies.
  9. Sjamsudin, Helius. 2012. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
  10. Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
  11. Undang-Undang Republik Indonesia No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya
  12. Widja, I Gde. 1991. Sejarah Lokal: Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah. Bandung: Angkasa

Baca Juga

Sponsor