Makam Godog, Kian Santang. Foto: Disparbud Jabar |
[Historiana] - Babad Timbanganten adalah sebuah naskah Sunda yang terdapat dalam koleksi Prof. Ir. Anwas Adiwilaga, Jalan Tarate 7, Bandung. Tebalnya 10 halaman, ditulis dengan huruf Latin, dalam bentuk prosa. Cerita ini rupanya sering disalin atau ditulis kembali. Bandingkan dengan Wawacan Babad Timbanganten (lihat di bawah) dan Sunan Burung Baok.
Pada permulaan cerita dikisahkan Dalem Pasehan yang memerintah negara Mandala Puntang. Ia keturunan Prabu Daluh. Seorang anaknya, yang bernarna Dèwi Maraja Inten, diperistri oleh Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran. Merasa diri telah lanjut usia, Dalem Pasèhan pergi menghadap Prabu Siliwangi untuk meminta penggantinya, yang akan memerintah daerah Timbanganten itu. Prabu Siliwangi menunjuk salah seorang putranya yang bernama Burung Baok. Sebelum berangkat, ia mendapat berbagai nasihat dari sang Dalem Pasèhan pun mendapat amanat, apabila pada suatu waktu Burung Baok berlaku tidak baik, hukumlah tetapi jangan sampai darahnya menetes.
Timbanganteri mendapat kemajuan dan kemakmuran di bawah pemerintahan penguasa baru itu. Kemudian, Sunan Burung Baok berangsur-angsur beralih menjadi penguasa yang lalim. Untuk menyelamatkan rakyatnya, Dalem Pasèhan lalu mengatur siasat. Dalam sebuah pesta yang dilakukan di tepi sungai (pesta marak ikan), Sunan Burung Baok ditangkap beramai-ramai, tubuhnya diikat lalu dimasukkan ke dalam gua. Gua itu kemudian ditutup rapat.
Dengan menggunakan segala kesaktiannya, Sunan Burung Baok berhasil menembus bumi dan muncul di Pajajaran. Peristiwa yang dialaminya diadukan kepada Prabu Siliwangi.
Dalem Pasèhan mengakui kekeliruannya dalam menafsirkan amanat sang raja. Prabu Siliwangi tidak berlanjut marah karena Dalem Pasèhan datang ke Pajajaran dengan mantra-mantra pekasih. Pada saat itu diputuskan bahwa yang akan menjadi penguasa baru adalah putra Prabu Siliwangi dari Dèwi Maraja Inten, yang berasal dari Timbanganten. Putri itu dijemput oleh Batara Pipitu, utusan Dalem Pasèhan. la melahirkan di Mandala Puntang. Karena itu, anaknya diberi nama Permana Dipuntang. Setelah menginjak dewasa, ia diangkat menjadi penguasa Timbanganten dengan gelar Sunan Permana Dipuntang. Keturunannya yang kelak berturut-turut memegang tampuk pemerintahan adalah Sunan Punten Rama Dèwa (berkedudukan di Sangiang Mayak), Sunan Darma Kingking (yang memperistri putri Dayeuh Manggung), dan Sunan Rangga Lawè. Sunan Rangga Lawè mempunyai beberapa orang anak, di antaranya ialah Sunan Gordah yang menurunkan para bupati Bandung dan Sunan Demang Wiranatakusumah yang menurunkan para pembesar di daerah Lèlès, Garut.
Wawacan babad Timbanganten
Ada lagi naskah Sunda yang sekarang menjadi koleksi Bagian Naskah Museum Nasional, Jakarta, dengan nomor katalogus Olt. 30. Naskah itu berasal dari koleksi C.M. Pleyte, peti nomor 121. Tebalnya 27 halaman, ditulis dengan huruf Latin, dalam bentuk wawacan. Cerita ini rupanya telah mengalami beberapa kali penyalinan atau penulisan kembali. Bandingkan dengan Babad Limbangan dan Sunan Burung Baok.Negeri Timbanganten yang termasuk bawahan Pajajaran, diperintah oleh Sultan Pasèhan atau Dalem Pasèhan. Seorang putrinya yang bernama Maraja Inten Dèwata diperistri oleh Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran. Dengan alasan telah lanjut usia, Dalem Pasèhan meminta persetujuan Prabu Siliwangi untuk turun takhta, serta meminta penggantinya. Permohonan itu disampaikan melalui Patih Imbang Jaya. Prabu Siliwangi menetapkan seorang anaknya, yang bernarna Sunan Burung Baok atau Sunan Brahma untuk menggantikan Dalem Pasèhan. Raja muda itu adalah anak Prabu Siliwangi dari salah seorang istrinya, putri jin dari Jabalkap. Karena maklum betul akan tabiat anaknya itu, Prabu Siliwangi menyampaikan pesan kepada Dalem Pasèhan: manakala anaknya itu tidak bisa dididik, hukumlah sekalipun dengan hukum bunuh.
Sunan Burung Baok memang ternyata berperilaku buruk dan tidak pernah mau mendengar nasihat. Dalem Pasèhan dan Patih Imbang Jaya akhirnya memutuskan menghukum raja muda itu dengan jalan memenjarakannya di Ciwedang. Penjara itu sebenarnya adalah sebuah gua yang amat dalam.
Dengan menyadari bahwa dirinya hendak dibunuh, Sunan Burung Baok lalu menembus bumi dan muncul di Durèn Sèwu, Pajajaran. Ketika mendengar pengaduan anaknya, Prabu Siliwangi menjadi sangat marah. Tujuh orang batara dikirimkannya ke Timbanganten dengan perintah menangkap Dalem Pasèhan.
Panembahan Sandi, ayah Dalem Pasèhan, mengetahui apa yang bakal terjadi atas diri anaknya. la segera memberikan dua buah kukuk (sejenis labu, yang telah dikeringkan dan dikosongkan untuk tempat air) yang berisi air pekasih. Yang sebuah harus ditumpahkan di Burungayun, sebuah lagi harus terminum Prabu Siliwangi melalui tangan Maraja Inten Dèwata.
Raja Pajajaran ternyata tidak berlanjut marahnya. Pemerintahan Timbanganten akan diserahkan kepada putranya, yang pada waktu itu masih dalam kandungan putri Maraja Inten Dèwata. Putri itu diantarkan oleh ketujuh batara Pajajaran sampai di Timbanganten. Sunan Burung Baok yang hendak dijatuhi hukuman, memohon kepada sang raja agar hukuman itu ditangguhkan. la bersedia untuk menaklukkan Galuh dan Majapahit. Setelah kesediaannya itu terbukti, Sunan Burung Baok berganti nama menjadi Gagak Lumayung atau Prabu Santang Pertala. Nama-nama itu diberikan oleh Patih Pajajaran yang bernama Patih Arga.
Maraja Inten Dewata melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Panggung Pakuan, atau Sunan Panggung, atau Sunan Puntang, atau Radèn Imbanagara, atau Pujaningrat, atau Radèn Wiragakusnmah. Setelah anaknya naik takhta, Inten Dèwata, lalu bertapa di Gunung Geulis atau Gunung Putri.
Patih Arga dari Pajajaran, datang menjemputnya. Putri itu akhirnya kembali kepada sang raja, dan melahirkan dua orang anak lagi, yaitu Rara Santang dan Walangsungsang.
Sumber
- Ensiklopedia Sastra Sunda. kemendikbud RI -pdf. Diakses 28 Desember 2019