[Historiana] - Makalah Kebudayaan Logam Jawa Kuna Masa Klasik ini adalah karya: Timbul Haryono. dalam Proceedings Pertemuan Ilmian Arkeologi V. Studi regional -studi kasus. Yogyakarta, 4-7 Juli 1989. Ikatan Arkeologi Indonesia.
I
Selama periode 'Jawa Hindu' atau sering disebut masa 'klasik', temuan artefak-artefak logam menunjukkan keragaman baik dari segi bentuk atau bahan. Sebagaimana telah diketahui bahwa masa klasik di Jawa ditandai oleh masuknya pengaruh kebudayaan India, oleh karena itu dalam banyak hal hasil-hasil budaya material banyak menunjukkan unsur-unsur budaya India. Demikian pula hal tersebut tampak pada artefak-artefak logam khususnya perunggu. Jika dibandingkan dengan artefak logam lainnya, artefak perunggu menunjukkan jumlah yang paling banyak di-temukan. Demikianlah maka pemaparan deskriptif dalam makalah ini lebih dititikberatkan pada artefak perunggu. Pemakaian 'Jawa' sebagai pembatas dimensi ruang didasarkan pertimbangan bahwa pusat-pusat pengaruh kebudayaan India selama 11 abad ditemukan di Jawa, demikian pula halnya dengan lokasi temuan artefak perunggu itu sendiri. Selama kurun waktu tersebut, gaya seni hasil budaya dapat dikelompokkan menjadi dua periode yang lazim disebut periode Jawa Tengah (abadVIII-X: ) dan periode Jawa Timur (abad X -XV M). Sementara itu periode Jawa Timur dapat dibedakan menjadi kesenian Jawa Timur awal (dari awal abad X sampai pertengahan abad XIII) dan kesenian Jawa Timur akhir (dari pertengahan abad XIII sampai abad XV atau awal abad XVI) (Scheurleer & Klokke,1988).
Pokok permasalahan yang diajukan dalam makalah ini adalah seberapa jauh para pande logam Jawa Kuna terpengaruh oleh unsur-unsur India dan seberapa jauh para pande logam tersebut mandiri bebas dari inspirasi India.
II
Di dalam sumber-sumber prasasti sering dijumpai penyebutan sekelompok tukang dengan istilah pandai mas, pandai tamwaga atau tambaga, pandai kamsa atau gangsa, pandai tamra, dan pandai wsi. Sudah barang tentu penyebutan seperti tersebut membuktikan keber-adan golongan tukang di dalam masyarakat Jawa Kuna, yang karena keahliannya menyebabkan kedudukan mereka di dalam masyarakat dianggap penting. Mereka menghasilkan barang-barang yang diperlukan dalam upacara-upacara keagamaan dan barang-barang domestik (van Lohuizen-de Leeuw, I984). Kedudukannya di dalam kelompok masyarakat terbukti dari keterangan beberapa prasasti bahwa para pandai logam tersebut termasuk dalam kelompok mangilala drwya haji. Sebagai contoh misalnya pandai mas dalam prasasti Watukura, prasasti Ramwi, prasasti Paldbuhan; pandai tamwaga dalam prasasti Er Kuwing; pandai tamra dalam prasati Sangsang, prasasti Taji Gunung, prasasti Watukura, dan prasasti Paldbuhan (Jones, 1984:153; periksa Prasasti Koleksi Museum Nasional Jilid I). Sebelum sampai pada pembahasan logam perunggu, terlebih dahulu akan disinggung secara singkat tentang penggunaan logam mas.
Emas sebagai logam mulia telah menarik perhatian manusia dari masa ke masa karena sifatnya: warna yang menarik, tahan terhadap korosi, serta kemudah-annya untuk dibentuk menjadi berbagai model artefak. Penggunaan emas paling tidak sudah dikenal sejak kira-kira 4500 tahun yang lalu dalam peradaban Mesopotamia (Miksic, 1988;9). Bahkan mungkin lebih tua lagi seperti dibuktikan oleh temuan arkeologis dalam lapisan budaya Ubaid 4400-4300 SM (Mellaart, 1965:129-130). Secara pasti kapan emas mulai dimanfaatkan masyarakat Jawa Kuna belum banyak diketahui. Sumber-sumber Cina dalam sejarah dinasti T'ang (618-971) mengabarkan bahwa Ho-ling selain menghasilkan penyu, cula badak, juga perak dan emas (Groeneveldt, 1880: 15). Studi tentang metalurgi emas Jawa Kuna memang belum banyak (Bosch, 1927; Stutterheim, 1937; Miksic, 1988). Pemanfaatan logam emas pada masa klasik di Jawa dapat digolongkan menjadi:
- (a) untuk benda-benda perhiasan,
- (b) untuk benda-benda religius,
- (c) untuk pelapis pada benda-benda perunggu atau benda lainnya,
- (d) untuk mata uang.
Selain dipakai sebagai benda perhiasan manusia, emas juga dipakai sebagai penghias pada benda lain (pelapis) seperti misalnya pelapis cucuk sebuah kendi dalam bentuk kepala naga (Miksic, 1918:18; PC 197 dan 198). Contoh tersebut menunjukkan bahwa pemilihan logam emas untuk pelapis cucuk kendi dalam bentuk naga tentunya bukan semata-mata untuk mendapatkan nilai tambah secara ekonomis, tetapi - lebih-lebih bagi masyarakat Jawa Kuna - untuk mendapat nilai tambah secara magis simbolis atau filosofis. Sebagai benda perhiasan, logam emas biasanya dibentuk menjadi cincin, gelang, atau perhiasan telinga. Persoalannya menjadi lain jika sebuah cincin misalnya, bertulisan huruf Jawa Kuna dengan huruf terbalik karena ada juga cincin emas dengan tulisan yang tidak dibalik. Pada cincin dengan tulisan 'sri' tidak dibalik, penafsiran fungsinya sebagai perhiasan jari masih jelas. Namun pada cincin dengan tulisan yang sama tetapi dengan huruf terbalik tentunya mempunyai fungsi lain yaitu sebagai stempel (cap). Beberapa cincin stempel bertuliskan: sri, sri hana, atama, paruha maran (Prasasti Koleksi Museum Nasional Jilid I). Sementara itu pada koleksi Museum Nasional Singapura ada yang bertulisan: tarimana dan pralina (?) (Miksic 1988: PC 26k dan PC 265). Penafsiran fungsi khusus stempel emas perlu ditelusuri (Kusen, 1983:9-15).
Emas juga sering dijumpai sebagai benda-benda religius. Bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa pada beberapa candi ditemukan peripih seperti emas bertulisan mantra keagamaan, lempengan emas motif binatang kura-kura, gajah, atau motif padma, tokoh dewa, bahkan lingga-yoni dari bahan emas (Koleksi Museum Nasional, Jakarta). Dalam kaitannya dengan arca perunggu,emas sering kali dipakai sebagai pelapis pada bagian tertentu. Menurut sumber-sumber India, seniman pembuat arca harus mengikuti aturan-aturan tertentu agar arca yang dihasilkan baik dan benar. Kitab Matsya Purana dan Hayasirsa Pancaratra membedakan arca berdasarkan bahan yang dipakai (Banerjea, 1941:226):
(a) . Lepaja adalah yang dibuat dari tanah liat,
(b) . Sikata arca yang dibuat dari pasir,
(c) . Sailaja adalah arca yang dibuat dari batu,
(d) . Darughatita adalah arca yang dibuat dari kayu,
(e) . Pakaja adalah arca yang dibuat dari leburan logam,
(f). Ratnaja arca yang dibuat dari permata
(g). Gandhaja arca yang dibuat dari ramuan wewangian,
(h). Kauaumi adalah arca yang dibuat dari bunga,
(i). Pituli arca yang dibuat dari campuran tepung beras dengan air,
(j). Citraja adalah arca yang digambarkan pada dinding.
Selain itu ada keterangan tentang ukuran besar kecilnya atau mudah tidaknya suatu arca dibawa dalam prosesi sebagaimana diuraikan dalam kitab Vaikhana-sagama (Shukla, 1958:78-79):
- Cala adalah arca yang mudah dibawa karena ukurannya yang kecil,
- Acala adalah arca yang berukuran besar sehingga tidak mudah dibawa,
- Calacala adalah arca berukuran sedang.
Dengan demikian arca yang akan dijadikan sebagai pokok permasalahan adalah kelompok pakaja (arca logam). Arca logam dapat dibuat dari emas, perak, atau perunggu. Jika dibandingkan dengan arca logam lainnya maka arca perunggu paling banyak ditemukan. Logam perunggu pada dasarnya adalah campuran antara elemen pokok tembaga (Cu) dengan timah putih (Sn);dan adakalanya masih ditambahkan elemen lain seperti timah hitam (pb), Seng (Zn), atau elemen lainnya dalam jumlah yang relatif kecil.
Berkenaan dengan campuran logam untuk bahan arca perunggu, Di India dikenal adanya dua macam tradisi. Di India Utara campuran logam perunggu disebut astadhatu ialah logam perunggu yang terbuat dari 8 (delapan = asta) elemen: emas, tembaga, timah putih, perak, kuningan, besi, dan air raksa (Stutley, 1985). Sedangkan di India bagian selatan dikenal campuran 'pancaloha' yaitu campuran yang terdiri dari 5 (lima = panca) elemen: emas, tembaga, timah putih, perak, dan kuningan. Pada prakteknya kadang-kadang emas dan perak diganti dengan campuran 10 bagian tembaga, setengah bagian kuningan, dan seperempat bagian timah putih (Zimmer, 1983:111).
Jika keduanya diper-bandingkan maka diperoleh gambaran
India Utara India Selatan
emas emas
tembaga tembaga
timah putih timah putih
perak perak
kuningan kuningan
timah hitam -
besi -
air raksa -
Perbedaannya ialah bahwa campuran elemen di India selatan tidak menggunakan timah hitam, besi, dan air raksa, sedang 3 elemen yang lain sama.
Ada 8 jenis logam yang dianggap mempunyai kedudukan yang tinggi dalam kehidupan masyarakat ialah suvarna (emas), rupya (perak), loha (besi), tamra (tembaga), trapu (timah putih), vangaja (seng), sisaka (timah hitam), riti (kuningan). Di antara 8 jenis logam tersebut suvarna dianggap yang terbaik, 'dewanya' segala jenis logam. Ia dianggap sebagai bagian dari matahari. Kata 'suvarna' dari 'su + var-na' berarti memiliki warna yang indah- sedangkan tafsiron lain 'svarna' yang berarti bersifat 'kesurga-an'. Rupya (perak) dianggap sebagai bagian bulan.Perak ditambahkan di dalam logam campuran membuat tingkat kesucian benda lebih tinggi. Adapun tembaga atau tamra dianggap mempunyai daya magis. Sementara itu riti dikatakan mempunyai kualitas resonansi yang bagus sesuai untuk alat bunyi-bunyian karena sifatnya yang "self sounding". Riti (kuningan) adalah campuran tembaga + seng tampaknya bukan inovasi India karena jenis campuran tersebut diperkenalkan ke India melalui kontak dagang dengan Cina (Walker, 1983:66). Istilah kamsya diartikan sebagai 'brass bell-metal' dan termasuk jenis kuningan (brass); Mungkin sekali istilah pandai kamsa di dalam prasasti Jawa Kuna menunjuk pada tukang pembuat benda-benda kuningan atau pembuat genta (bell) atau alat bunyi-bunyian. Dalam bahasa Jawa Baru menjadi 'gangsa' yang berarti 'gamelan', sedangkan istilah pandai tamra atau tamwaga menjadi 'tembaga' dan kemungkinan menunjuk pada 'tukang pembuat benda-benda dari tembaga atau perunggu. Menarik perhatian ialah kenyataan bahwa dari istilah-istilah untuk penyebutan jenis logam di India seperti tersebut di muka, kata suvarna dan loha tidak masuk menjadi perbendaharaan kata di dalam bahasa Jawa Kuna. Di dalam prasasti-prasasti tidak dijumpai istilah pandai suwarna tetapi pandai mas, tidak ada istilah pandai loha tetapi pandai wsi. Sangat boleh jadi bahwa kerajinan barang-barang emas dan besi adalah asli Jawa.
Selain perbedaan dalam hal jenis campuran perunggu antara India Utara dan Selatan, masih dijumpai adanya perbedaan yang penting dalam salah satu aspek tekndlogi. Meskipun kedua-duanya menggunakan teknik cetak lilin-hilang (cire perdue) atau madhu-chchistavidhana sebagaimana disebutkan di dalam kitab Silpa-sastra dan Manasara, keduanya membedakan teknik cetak rongga (sushira) dan teknik cetak padat (ghana). Tentang teknik cire perdue telah banyak dibicarakan dalam berbagai kesempatan sehingga tidak perlu diulang lagi di sini (Hodges, 1982). Hanya sedikit perlu dicatat bahwa tentang berat masing-masing elemen logam menurut tradisi India Selatan telah diuraikan dalam Abhilashitarthachintamani sebagai berikut (Sivaramamurti, 1981:16): "Berat atau jumlah logam kuningan, tembaga, perak atau emas untuk bahan pembuatan arca ditentukan berdasarkan berat lilin yang digunakan dalam cetakan; kuningan dan tembaga sebanyak 8 kali berat lilin, perak sebanyak 12 kali dan emas sebanyak 16 kali". Dari keterangan tersebut diperoleh gambaran perbandingan komposisi elemen: tembaga : perak : emas = 2 : 3 : 4 Komposisi elemen seperti tersebut tidak dijumpai dalam artefak perunggu Jawa Kuna. Adapun jenis tanah liat yang digunakan dalam cetak logam adalah (Shukla, 1958:111-112):
- Kathina adalah tanah liat keras dibuat dari campuran bubuk bata, rumah serangga (semut), sari buah labu, ditambah sedikit air dilumatkan menjadi satu.
- Manda-kathina adalah tanah liat agak keras yang dibuat dari campuran bahan seperti nomor 1 di atas ditambah dengan kotoran sapi.
- Mrdvi adalah tanah liat yang lunak dibuat dari campuran satu bagian bubuk gerabah dengan empat bagian tanah liat.
- Mrdvtara adalah tanah liat yang sangat lunak dibuat dari campuran satu bagian bubuk gerabah dengan kotoran sapi.
Khusus untuk pembuatan kowi atau musha dibuat dari campuran tanah liat, arang sekam, dan bubuk gerabah.
Berkenaan dengan teknik cetak rongga dan teknik cetak padat, masing-masing mempunyai pertimbangan filosofis tersendiri. Menurut kebiasaan di India Selatan pembuatan arca logam tidak boleh dengan teknik rongga karena akan berakibat fatal bagi pembuatnya atau bagi masyarakat seperti terjadi bahaya kelaparan, kematian anggota keluarga, pertengkaran satu sama lain. Arca yang berongga dianggap tidak sempurna. Rongga berarti kosong, Kekosongan identik dengan kehilangan. Arca sebagai persembahan kepada dewa (deva dana) yang dibuat rongga (kosong) berarti mendustai dewa yang diberi persembahan (Zimmer, 1983:111).
Berkebalikan dengan kebiasaan India Selatan ialah bahwa arca logam di India Utara biasa dibuat dengan teknik rongga. Pertimbangan yang utama adalah rongga di tubuh arca dimaksudkan sebagai tempat gulungan lempengan logam (kertas) bertuliskan mantra magis yang berfungsi untuk "menghidupkan" arca. Kalimat mantra merupakan tubuh spiritual yang berkait dengan aspek pendengaran dan fikiran sedangkan tubuh arca (bentuk fisiknya) yang dapat dilihat dan diraba melambangkan aspek penglihatan. Antara 'naman' (na-ma) dan 'rupa' (bentuk) keduanya saling melengkapi. Lempengan mantra yang dimasukkan ke dalam rongga arca merupakan bagian inti yang sangat vital. Arca logam yang sudah dikosongkan dari 'isinya' berarti telah kehilangan kekuatan spiritualnya dan oleh karena itu dianggap tidak berguna lagi (ziramer, 1983:112).
III
Pemaparan tentang situasi pengarcaan logam di India seperti di muka kiranya dapat dipakai sebagai bahan acuan untuk membahas perkembangan kebudayaan perunggu Jawa Kuna, khususnya dalam masalah kontak budaya antara India dengan Jawa. Persoalan yang pokok adalah apakah unsur-unsur budaya India yang selama ini diamati melalui karya-karya monumental dari bahan batu dapat pula diamati melalui karya seni cetak logam? Untuk hal itu pendekatan yang juga tidak kalah pentingnya adalah pendekatan teknologik. Pendekatan yang telah banyak dilakukan adalah melalui pendekatan gaya seni (seni bangunan, seni arca). Perbedaannya ialah pada pendekatan melalui gaya seni aspek yang dibahas terutama aspek bentuk (eksternal) sedang pada pendekatan teknologik mengamati aspek struktur (internal). Berbeda denganartefak dari bahan batu ataupun tanah, pada artefak logam terjadi proses teknologi yang bertahap dan pada masing-masing tahap dapat melahirkan ciri-ciri khusus yang membedakan budaya antara daerah satu dengan daerah lain. Pendekatan melalui gaya seni arca telah dilakukan oleh Prof. Bernet Kempers ketika membahas arca-arca perunggu yang ditemukan di Nalanda pada 1915. Dalam penggalian di situs bekas biara yang dibangun oleh Balaputra itu telah ditemukan tidak kurang dari 200 artefak logam termasuk arca (Bernet Kempers, 1933).
Pada mulanya F.D.K.Bosch dalam karangannya tentang peninggalan di Nalanda berpendapat bahwa artefak perunggu di situs tersebut menunjukkan ciri-ciri kesenian Jawa-Hindu oleh karena itu artefak artefak tersebut dibuat di Jawa atau Sumatra dan kemudian dibawa ke Nalanda oleh para peziarah. Alasan yang dikemukakan adalah sifat keagamaan yang diwakili arca perunggu Nalanda sana dengan yang ada di Jawa dan pada abad ke-8 - 9 seni cetak perunggu di India utara masih jarang jika dibandingkan dengan yang terjadi di Jawa (Bosch, 1925:584-588). Dan lagi biasanya para pande-logam pada periode Pala menggunakan bahan kuningan (brass) sebagai pengganti perunggu. DR. A.J.Bernet Kempers berpendapat sebaliknya bahwa arca Nalanda tersebut menunjukkan persamaan dengan karya seni periode Pala di India Utara. Kesimpulan tersebut diperoleh setelah secara rinci membandingkan unsur-unsur ikonografik, penggarapan stela, pakaian - perhiasan (Bernet Kempers, 1933:2-70). Kenyataan juga membuktikan bahwa pada beberapa arca perunggu terdapat inskripsi yang menyebut nama raja Devapâla dari kerajaan Pala. Adanya beberapa persamaan gaya atau atribut lainnya antara arca perunggu Nalanda dengan arca perunggu Jawa Hindu oleh Bernet Kempers dipakai sebagai bukti bahwa pengaruh kesenian Pala meluas sampai ke Jawa bukan sebaliknya.
Pernyataan Bosch bahwa logam kuningan lebih banyak digunakan pada periode Pala dibandingkan dengan perunggu perlu didukung oleh data-data metalurgis. Demikian pula pendapat Bernet Kempers bahwa arca Nalanda dibuat oleh para pande logam setempat, akan lebih menarik jika diadakan studi perbandingan komposisi elemen antara perunggu Jawa Kuna dengan perunggu Nalanda, Dengan data-data ikonografik dan gaya seni, Pauline Lunsingh Scheurleer dan Marijke J. Klokke mengelompokkan artefak-artefak perunggu koleksi Rijks-museum Amsterdam menjadi 7 kelompok secara kronologik (scheurleer & Klokke, 1988):
- a. Kelompok 1 - adalah arca perunggu yang dibuat di India Selatan tetapi ditemukan di Indonesia dan yang dibuat di Jawa tetapi mendapat pengaruh gaya India Selatan.
- b. Kelompok 2 - adalah arca perunggu yang dibuat di India Timurlaut yang ditemukan di Jawa dan arca perunggu buatan Jawa tetapi menunjukkan pengaruh India timurlaut. Termasuk dalam kelompok ini adalah arca Nalanda gaya Pala.
- c. Kelompok 3 - adalah arca perunggu yang secara keseluruhan menunjukkan gaya seni periode Jawa Tengah. Arca kelompok ini seringkali menunjukkan percampuran unsur India Utara dan Selatan yang telah diserap bersama-sama. Kelompok ini ditempatkan pada abad ke-9 atau pertengahan abad ke-9.
- d. Kelompok 4 - adalah arca perunggu yang dibuat para pande logam Jawa Kuna dan ditempatkan di antara akhir periode Jawa Tengah dan permulaan periode Jawa Timur.
- e. Kelompok 5 - adalah arca-arca perunggu gaya 'Ngan-juk1. Pada umumnya arca kelompok ini mepunyai ornamentasi yang lebih raya dan lengkap, badan umumnya digambarkan ramping.
- f. Kelompok 6 - adalah arca-arca yang dibuat di Sumatra, dan
- g. Kelompok 7 - adalah arca-arca selain Jawa dan Sumatra.
Dari pengelompokan seperti tersebut tampak bahwa secara kronologik arca gaya Amarawati dan gaya Pala di Jawa termasuk arca perunggu yang paling tua. Gaya tersebut pertama kali dijadikan model oleh para pematung Jawa. Dalam perkembangan berikutnya unsur-unsur India diolah sedemikian rupa disesuaikan dengan tradisi Jawa. Selama masa itu dalam seni cetak perunggu di Jawa merupakan masa formatif. Setelah melalui pengalaman yang panjang akhirnya para pande logam mulai 'independen' dari hal gaya. Dengan demikian kelompok arca perunggu dapat dibedakan menjadi 3 kelompok besar:
- arca yang berasal dari India,
- arca yang berasal dari Indonesia tetapi menunjukkan unsur India,
- arca yang dibuat di Indonesia (Jawa).
Nama No. inv. Keterangan
Wairocana 8242 perunggu berlapis emas
Tara 6590 perunggu berlapis emas pa-da bagian bibir dan urna
Budha 588 perunggu berlapis emas pa da bagian bibir dan urna
Awalokiteswara 7515 perunggu berlapis emas pa da bagian bibir dan urna
Siwa 8708.B: I 75 bibir berlapis emas
Siwa (koleksi SPSP DIY) bibir berlapis emas
mata berlapis perak
Penggunaan emas sebagai bahan keseluruhan benda ritual sangat terbatas:
Lingga - yoni A 80/780 bahan dari emas
Wisnu A 2/486 bahan dari emas
Budha A 20/596c bahan dari emas
Siwa A 30/517d bahan dari emas
Siwa A 75/517c bahan dari emas
Siwa A 74/517 bahan dari emas
Sementara itu di Bali diperoleh data tentang bahan untuk genta upacara (Anom, 1971:10):
a. bahan utama: emas bercampur perunggu
b. bahan madya : perak bercampur perunggu
c. bahan nista : kuningan bercampur perunggu
Jenis pertama dan kedua dipakai oleh para pendeta; jenis ketiga untuk para pemangku,pembantu pendeta. Mungkin sekali penambahan emas dan perak pada bagian tertentu arca.dewa oleh masyarakat Jawa Kuna bukan semata-mata untuk mendapatkan nilai tambah segi ekonomis tetapi untuk mendapatkan nilai tambah segi filosofisnya. Analisis kuantitatif sementara ini masih di dalam proses pelaksanaan sehingga pembahasan secara khusus akan disampaikan pada kesempatan yang lain.
Suatu hal lain yang masih perlu diperhatikan sebagai bahan kajian adalah dalam hal teknik pembuatan. Seperti telah disebut bahwa di India dikenal teknik rongga dan teknik padat yang bermakna simbolik. Teknik rongga didasarkan pada fungsi rongga untuk tempat menaruh mantra. Bagaimanakah halnya dengan arca perunggu Jawa Kuna? Apakah fungsi rongga yang demikian itu juga dikenal oleh para pande logam Jawa? Pengkajian sementara menunjukkan bahwa arca-arca perunggu Jawa Kuna (terutama yang berukuran kecil) tidak menunjukkan adanya rongga di tubuhnya. Meskipun demikian kita masih perlu mempertimbangkan bagian asana atau lapik arca. Hampir semua arca pada bagian asana berbentuk cekungan (tidak padat), sehingga seandainya dibalik akan berbentuk seperti wadah. Sejauh ini belum ditemukan 'isi' pada bagian tersebut. Untuk itu kita perlu berhati-hati jika menemukan arca yang pada bagian lapik masih tertutup agar pada waktu membersihkan tidak ada data yang hilang atau rusak.
IV
Uraian di muka kiranya memberikan gambaran sepintas kilas tentang seni arca logam Jawa Kuna dalam hubungannya dengan India. Dari segi gaya seni keterikatan dengan India masih tampak terutama sekali pada masa formatif. Dari segi teknologi tidak terbukti secara jelas bahwa pande logam Jawa Kuna meniru teknik yang diterapkan di tanah asalnya. Bahkan mungkin dapat dikatakan independen dari pengaruh India. Hal demikian terjadi karena jauh sebelum pengaruh budaya India datang, kemampuan teknologi logam telah dimiliki masyarakat Jawa. Justru di sinilah terlihat kemampuan menyaring dan mengolah unsur-unsur India sesuai dengan kondisi setempat. Untuk menutup karangan ini, kita kutipkan pernyataan A.Van Lohuizen-de Leeuw (198^:9): "Thus, the Indo-Javanese art should not be re-garded as a raere adoption of Indian patterns but as an indigenous creative process born from the appreciation of Indian aesthetical ideals being intimately associated with the Indian religions"
DAFTAR FUSTAKA
- Banerjea, Jitendra Nath 1941. The Development of Hindu Iconography. Calcutta; University of Calcutta.
- Bernet Kempers, A.J. 1933. The Bronzes of Nalanda and Hindu-Javanese Art. Leiden: E.J.Brill Ltd.
- Bosch, F.D.K. 1927 "Gouden vingerringen uit het Hindoe-Javaansche Tijdperk", DJAWA 7:305-320
- Groeneveldt, W.P. 1880. Notes on the Malay Archipelago and Malacca compiled from Chinese Jources. Verhandelingen van hot Bataviaasch Genoot-schap van Kunsten en Wetenschappen 39
- Hodges, Henry 1932. Artifacts An Introduction to Early Kate-rials and Technology. London: John Baker
- I Gusti Ngurah Anom 1973. Fungsi Genta Pendeta di Bali. Skripsi Sarjana, Yogyakarta- Universitas Gadjah Mada
- Jones, Antoinette M. Barrett 1984. Early Tenth Century Java from the Inscription. Dordrecht-Holland: Foris Publicaions
- Kusen 1983. Catatan singkat mengenai cincin bertulisan "§ramana", Berkala Arkeologi IV (2) :9-15
- Mellaart, James. 1965. Earliest Civilizations of the Near East. London: Thanes & Hudson
- Miksic, John 1988. Small Finds: Ancient Javanese Gold. Singapore: National Museum
- Scheurleer, P.L.& K.J.Klokke. 1983. Divine Bronze Ancient Indonesian Bronze from A.D. 600 to 1600. Leiden: E.J. Brill
- Shukla, D.N. 1938. Vastu Sastra. II. Hindu Canons of Iconography and Painting. Gorakhpur: Go-rakhpur University Press
- Sivaramamurti, C 198l. South Indian Bronzes. New Delhi: Lalit Kala Akademi
- Stutley, Margaret 1985. The Illustrated Dictionary of Hindu Iconography. London: Boutledge & Kegan Paul
- Van Louhuizen-de Leeuw 1984. Indo-Javanese Metalwork. Stuttgart: Linden Museum Bestandkatalog Walker, Benjamin I983. Hindu World. New Delhi: Munshiram Kanoharlal Publishers Pvt Ltd.
- Zimmer, Heinrich 1983. The Art of Indian Asia. Text. Princeton: Princeton University Press