Cari

Kebudayaan Logam Jawa Kuna Masa Klasik




[Historiana] - Makalah Kebudayaan Logam Jawa Kuna Masa Klasik ini adalah karya: Timbul  Haryono. dalam Proceedings Pertemuan Ilmian Arkeologi V. Studi regional -studi kasus. Yogyakarta, 4-7 Juli 1989. Ikatan Arkeologi Indonesia.

I

Selama periode 'Jawa Hindu' atau sering disebut masa 'klasik', temuan artefak-artefak logam menunjukkan keragaman baik dari segi bentuk atau bahan. Sebagaimana telah diketahui bahwa masa  klasik di Jawa ditandai oleh masuknya pengaruh kebudayaan India, oleh karena itu dalam banyak hal hasil-hasil budaya material banyak menunjukkan unsur-unsur budaya India. Demikian pula hal tersebut  tampak pada artefak-artefak logam khususnya perunggu. Jika dibandingkan dengan artefak logam lainnya, artefak perunggu menunjukkan jumlah yang paling banyak di-temukan. Demikianlah maka pemaparan deskriptif dalam makalah ini lebih dititikberatkan pada artefak perunggu. Pemakaian 'Jawa' sebagai pembatas dimensi ruang didasarkan pertimbangan bahwa pusat-pusat pengaruh kebudayaan India selama 11 abad ditemukan di Jawa, demikian pula halnya dengan lokasi temuan artefak  perunggu itu sendiri. Selama kurun waktu tersebut, gaya seni hasil budaya dapat dikelompokkan menjadi dua periode yang lazim disebut periode Jawa Tengah (abadVIII-X: ) dan periode  Jawa Timur  (abad X -XV M). Sementara itu periode  Jawa Timur  dapat  dibedakan menjadi kesenian Jawa Timur awal  (dari awal abad X sampai pertengahan abad XIII) dan kesenian Jawa Timur akhir (dari pertengahan abad XIII  sampai abad XV atau awal abad XVI) (Scheurleer &  Klokke,1988).

Pokok permasalahan yang diajukan dalam makalah ini adalah seberapa jauh para pande logam Jawa  Kuna terpengaruh oleh unsur-unsur India dan seberapa jauh para pande logam tersebut mandiri bebas dari inspirasi India.

II

Di dalam sumber-sumber prasasti sering dijumpai penyebutan sekelompok tukang dengan istilah pandai mas, pandai tamwaga atau tambaga, pandai kamsa atau gangsa, pandai tamra, dan pandai wsi. Sudah  barang  tentu  penyebutan  seperti  tersebut  membuktikan  keber-adan  golongan tukang di dalam masyarakat Jawa Kuna, yang karena keahliannya menyebabkan kedudukan mereka di dalam  masyarakat dianggap penting. Mereka menghasilkan barang-barang yang diperlukan dalam upacara-upacara keagamaan dan barang-barang domestik (van Lohuizen-de Leeuw,  I984). Kedudukannya di dalam kelompok masyarakat terbukti dari keterangan beberapa prasasti bahwa para pandai logam  tersebut termasuk dalam kelompok mangilala drwya haji.  Sebagai contoh misalnya pandai mas  dalam prasasti Watukura, prasasti Ramwi, prasasti Paldbuhan; pandai tamwaga dalam prasasti Er Kuwing;  pandai tamra dalam prasati Sangsang, prasasti Taji Gunung, prasasti Watukura, dan prasasti Paldbuhan (Jones, 1984:153;  periksa Prasasti Koleksi Museum Nasional Jilid  I).  Sebelum sampai  pada pembahasan logam perunggu, terlebih dahulu  akan disinggung secara singkat tentang penggunaan logam mas.

Emas sebagai logam mulia telah menarik perhatian manusia dari masa ke masa karena sifatnya:  warna yang menarik, tahan terhadap korosi, serta kemudah-annya untuk dibentuk menjadi berbagai  model artefak. Penggunaan emas paling tidak sudah dikenal sejak kira-kira 4500 tahun yang  lalu  dalam peradaban Mesopotamia (Miksic, 1988;9). Bahkan  mungkin lebih tua lagi seperti dibuktikan oleh temuan arkeologis dalam lapisan budaya Ubaid 4400-4300 SM  (Mellaart, 1965:129-130). Secara pasti kapan emas mulai dimanfaatkan masyarakat Jawa Kuna belum banyak diketahui.  Sumber-sumber Cina dalam sejarah dinasti T'ang (618-971) mengabarkan bahwa Ho-ling selain  menghasilkan penyu, cula badak, juga perak dan emas (Groeneveldt,  1880:  15).  Studi tentang  metalurgi emas Jawa Kuna memang belum banyak (Bosch, 1927; Stutterheim, 1937; Miksic, 1988). Pemanfaatan logam emas pada masa klasik di Jawa dapat digolongkan menjadi:
  • (a) untuk  benda-benda perhiasan,  
  • (b) untuk benda-benda religius,  
  • (c) untuk pelapis pada benda-benda perunggu atau benda lainnya,  
  • (d) untuk mata uang.  

Selain dipakai sebagai benda perhiasan manusia, emas juga dipakai sebagai penghias pada  benda  lain (pelapis) seperti misalnya pelapis cucuk sebuah kendi dalam bentuk kepala naga (Miksic, 1918:18;  PC 197 dan 198). Contoh tersebut menunjukkan bahwa pemilihan logam emas untuk pelapis  cucuk kendi dalam bentuk naga tentunya bukan semata-mata untuk mendapatkan nilai  tambah secara ekonomis, tetapi - lebih-lebih bagi masyarakat Jawa Kuna - untuk mendapat nilai tambah secara magis simbolis atau filosofis. Sebagai benda perhiasan, logam emas biasanya  dibentuk menjadi cincin, gelang, atau perhiasan telinga. Persoalannya menjadi lain jika sebuah  cincin misalnya, bertulisan huruf Jawa Kuna dengan huruf terbalik karena ada juga cincin emas dengan tulisan yang tidak dibalik.  Pada cincin dengan tulisan 'sri' tidak dibalik, penafsiran  fungsinya sebagai  perhiasan jari masih jelas. Namun pada cincin dengan tulisan yang sama tetapi dengan  huruf terbalik tentunya mempunyai fungsi lain yaitu sebagai stempel (cap). Beberapa cincin stempel  bertuliskan: sri, sri hana, atama, paruha maran (Prasasti Koleksi Museum Nasional Jilid I). Sementara itu pada koleksi Museum Nasional Singapura ada yang bertulisan: tarimana dan pralina (?) (Miksic  1988: PC 26k dan PC 265). Penafsiran fungsi khusus stempel emas perlu ditelusuri  (Kusen, 1983:9-15).

Emas juga sering dijumpai sebagai benda-benda religius. Bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa pada beberapa candi ditemukan peripih seperti emas bertulisan mantra keagamaan, lempengan emas motif binatang kura-kura, gajah, atau motif padma, tokoh dewa, bahkan lingga-yoni dari bahan emas  (Koleksi Museum Nasional, Jakarta).  Dalam kaitannya dengan arca perunggu,emas sering kali dipakai sebagai pelapis pada bagian tertentu. Menurut sumber-sumber India, seniman pembuat arca harus mengikuti aturan-aturan tertentu agar arca yang dihasilkan baik dan benar. Kitab Matsya Purana dan Hayasirsa Pancaratra membedakan arca berdasarkan bahan yang dipakai (Banerjea,   1941:226):
(a) . Lepaja  adalah yang dibuat dari tanah liat,
(b) . Sikata  arca yang dibuat dari pasir,
(c) . Sailaja  adalah arca yang dibuat dari batu,
(d) . Darughatita  adalah arca yang dibuat dari kayu,
(e) . Pakaja   adalah arca yang dibuat dari leburan logam,
(f).  Ratnaja   arca yang dibuat dari permata
(g). Gandhaja arca yang dibuat dari ramuan wewangian,
(h). Kauaumi  adalah arca yang dibuat dari bunga,
(i).  Pituli   arca yang dibuat dari campuran tepung beras dengan air,
(j).  Citraja   adalah arca yang digambarkan pada dinding.

Selain itu ada keterangan tentang ukuran besar kecilnya atau mudah tidaknya suatu arca dibawa dalam prosesi sebagaimana diuraikan dalam kitab Vaikhana-sagama (Shukla, 1958:78-79):
  1. Cala adalah arca yang mudah dibawa karena ukurannya yang kecil,  
  2. Acala adalah arca yang berukuran besar sehingga tidak mudah dibawa,  
  3. Calacala  adalah arca berukuran sedang. 

Dengan demikian arca yang akan dijadikan sebagai pokok permasalahan adalah kelompok pakaja (arca logam). Arca logam dapat dibuat dari emas, perak, atau perunggu. Jika dibandingkan dengan  arca logam lainnya maka arca perunggu paling banyak ditemukan. Logam perunggu pada dasarnya  adalah campuran antara elemen pokok tembaga (Cu) dengan timah putih (Sn);dan adakalanya masih  ditambahkan elemen lain seperti timah hitam (pb), Seng (Zn), atau elemen lainnya dalam jumlah yang relatif kecil.


Berkenaan dengan campuran logam untuk bahan arca perunggu, Di India dikenal adanya dua macam tradisi. Di  India Utara campuran logam perunggu disebut astadhatu ialah logam perunggu yang terbuat dari 8 (delapan  = asta) elemen: emas, tembaga, timah putih, perak, kuningan, besi, dan air raksa (Stutley, 1985). Sedangkan di India bagian selatan dikenal campuran 'pancaloha' yaitu campuran yang terdiri dari 5 (lima  = panca) elemen: emas, tembaga, timah putih, perak, dan kuningan. Pada prakteknya kadang-kadang emas dan perak diganti dengan campuran 10  bagian tembaga, setengah bagian kuningan, dan seperempat bagian timah putih (Zimmer, 1983:111).

Jika  keduanya  diper-bandingkan maka diperoleh  gambaran

India  Utara                     India  Selatan 
emas                                       emas                   
tembaga                                  tembaga                   
timah putih                             timah  putih
perak                                      perak                      
kuningan                                kuningan                 
timah hitam                            -
besi                                         -
air  raksa                                -

Perbedaannya  ialah  bahwa campuran  elemen di  India  selatan  tidak menggunakan timah hitam, besi, dan air raksa, sedang 3 elemen yang lain sama.

Ada 8 jenis logam yang dianggap mempunyai kedudukan yang tinggi dalam kehidupan masyarakat  ialah suvarna (emas), rupya (perak), loha (besi), tamra (tembaga), trapu (timah  putih), vangaja (seng), sisaka (timah hitam), riti (kuningan). Di antara 8 jenis logam tersebut suvarna dianggap yang  terbaik, 'dewanya' segala jenis logam. Ia dianggap sebagai bagian dari matahari. Kata 'suvarna' dari  'su + var-na' berarti memiliki warna yang indah-  sedangkan tafsiron lain 'svarna' yang berarti bersifat  'kesurga-an'. Rupya (perak) dianggap sebagai bagian bulan.Perak ditambahkan di dalam  logam campuran membuat tingkat kesucian benda lebih tinggi. Adapun tembaga atau tamra  dianggap mempunyai daya magis. Sementara itu riti dikatakan mempunyai kualitas resonansi yang bagus sesuai untuk alat bunyi-bunyian karena sifatnya yang "self  sounding"Riti (kuningan) adalah campuran  tembaga + seng tampaknya bukan inovasi India karena jenis campuran tersebut  diperkenalkan ke India melalui kontak dagang dengan Cina (Walker, 1983:66). Istilah kamsya diartikan sebagai 'brass bell-metal' dan termasuk jenis kuningan (brass); Mungkin sekali istilah  pandai kamsa di dalam prasasti Jawa Kuna menunjuk pada tukang pembuat benda-benda kuningan atau  pembuat genta (bell) atau alat bunyi-bunyian. Dalam bahasa Jawa Baru menjadi 'gangsa' yang  berarti 'gamelan', sedangkan istilah pandai tamra atau tamwaga menjadi 'tembaga' dan kemungkinan menunjuk pada 'tukang pembuat benda-benda dari tembaga atau perunggu. Menarik perhatian ialah kenyataan bahwa dari istilah-istilah untuk penyebutan jenis logam  di India seperti tersebut di muka, kata suvarna dan loha tidak masuk menjadi perbendaharaan kata di  dalam bahasa Jawa Kuna. Di dalam prasasti-prasasti tidak dijumpai istilah  pandai suwarna  tetapi  pandai mas, tidak ada istilah pandai loha tetapi pandai wsi. Sangat boleh jadi bahwa kerajinan barang-barang emas dan besi  adalah asli Jawa.

Selain perbedaan dalam hal jenis campuran perunggu antara India Utara dan Selatan, masih dijumpai  adanya perbedaan yang penting dalam salah satu  aspek tekndlogi.  Meskipun kedua-duanya menggunakan teknik cetak lilin-hilang (cire perdue) atau madhu-chchistavidhana sebagaimana  disebutkan di dalam kitab Silpa-sastra dan Manasara, keduanya membedakan teknik cetak rongga  (sushira) dan teknik cetak padat (ghana). Tentang teknik cire perdue telah banyak dibicarakan dalam  berbagai kesempatan sehingga tidak perlu diulang lagi di sini (Hodges, 1982). Hanya sedikit perlu  dicatat bahwa tentang berat masing-masing elemen logam menurut tradisi India Selatan telah diuraikan dalam Abhilashitarthachintamani sebagai berikut (Sivaramamurti, 1981:16): "Berat atau  jumlah logam kuningan, tembaga, perak atau emas untuk bahan pembuatan arca ditentukan  berdasarkan berat lilin yang digunakan dalam cetakan; kuningan dan tembaga sebanyak 8 kali berat  lilin, perak sebanyak 12 kali dan emas sebanyak 16 kali". Dari keterangan tersebut diperoleh gambaran perbandingan komposisi elemen: tembaga : perak : emas =  2 : 3 : 4   Komposisi elemen seperti tersebut tidak dijumpai dalam artefak perunggu Jawa Kuna. Adapun jenis tanah liat yang digunakan dalam cetak logam adalah (Shukla, 1958:111-112):  
  1. Kathina adalah tanah liat  keras  dibuat  dari campuran bubuk bata, rumah serangga (semut),  sari  buah labu,  ditambah  sedikit air dilumatkan menjadi  satu.  
  2. Manda-kathina adalah tanah liat  agak keras  yang  dibuat  dari  campuran  bahan  seperti  nomor 1 di atas ditambah  dengan  kotoran  sapi.  
  3. Mrdvi adalah tanah liat  yang  lunak  dibuat  dari  campuran  satu  bagian bubuk gerabah dengan empat  bagian tanah  liat.  
  4. Mrdvtara adalah tanah liat  yang  sangat  lunak dibuat  dari  campuran  satu  bagian bubuk gerabah  dengan  kotoran sapi. 

Khusus untuk pembuatan kowi atau musha dibuat dari campuran tanah liat, arang sekam, dan bubuk gerabah.

Berkenaan dengan teknik cetak rongga dan teknik cetak padat, masing-masing mempunyai pertimbangan filosofis tersendiri.  Menurut kebiasaan di India  Selatan pembuatan arca logam tidak  boleh dengan teknik rongga karena akan berakibat fatal bagi pembuatnya atau bagi masyarakat seperti terjadi bahaya kelaparan, kematian anggota keluarga, pertengkaran satu sama  lain.  Arca  yang  berongga  dianggap tidak sempurna.  Rongga berarti kosong,  Kekosongan identik dengan kehilangan.  Arca sebagai persembahan kepada dewa (deva dana) yang dibuat rongga (kosong) berarti mendustai dewa yang diberi persembahan (Zimmer, 1983:111).

Berkebalikan dengan kebiasaan India Selatan ialah bahwa arca logam di India Utara biasa dibuat  dengan teknik rongga. Pertimbangan yang utama adalah rongga di tubuh arca dimaksudkan sebagai  tempat gulungan lempengan logam (kertas) bertuliskan mantra magis yang berfungsi untuk  "menghidupkan" arca.  Kalimat mantra merupakan tubuh spiritual yang berkait dengan aspek pendengaran dan fikiran sedangkan tubuh arca (bentuk fisiknya) yang dapat dilihat dan diraba melambangkan aspek penglihatan. Antara 'naman' (na-ma) dan 'rupa' (bentuk) keduanya   saling  melengkapi.  Lempengan mantra yang dimasukkan ke dalam rongga arca merupakan bagian inti  yang  sangat vital.  Arca logam yang sudah dikosongkan dari 'isinya' berarti telah kehilangan  kekuatan spiritualnya dan oleh karena itu dianggap tidak berguna lagi (ziramer, 1983:112).


III

Pemaparan tentang situasi pengarcaan logam di India seperti di muka kiranya dapat dipakai  sebagai  bahan acuan untuk membahas perkembangan kebudayaan perunggu Jawa Kuna, khususnya dalam masalah kontak budaya antara India dengan Jawa. Persoalan yang pokok adalah apakah unsur-unsur budaya India yang selama ini diamati melalui karya-karya monumental dari bahan batu dapat pula  diamati melalui karya seni cetak logam? Untuk hal itu pendekatan yang juga tidak kalah pentingnya adalah pendekatan teknologik. Pendekatan yang telah banyak dilakukan adalah melalui pendekatan gaya seni (seni bangunan, seni arca). Perbedaannya ialah pada pendekatan melalui gaya seni aspek yang dibahas terutama aspek bentuk (eksternal)  sedang pada pendekatan teknologik mengamati aspek struktur (internal). Berbeda denganartefak dari bahan batu ataupun tanah, pada artefak logam terjadi proses teknologi yang bertahap dan pada masing-masing tahap dapat melahirkan ciri-ciri khusus yang membedakan budaya antara daerah satu dengan daerah lain.  Pendekatan melalui gaya  seni arca telah dilakukan oleh Prof. Bernet Kempers ketika membahas arca-arca perunggu yang ditemukan di Nalanda pada 1915. Dalam penggalian di situs bekas biara yang dibangun oleh  Balaputra itu telah ditemukan tidak kurang dari 200 artefak logam termasuk arca (Bernet  Kempers,  1933).

Pada mulanya F.D.K.Bosch dalam karangannya tentang peninggalan di Nalanda berpendapat bahwa artefak perunggu di situs tersebut menunjukkan ciri-ciri kesenian Jawa-Hindu oleh karena itu artefak artefak tersebut dibuat di Jawa atau Sumatra dan kemudian dibawa ke Nalanda oleh para peziarah. Alasan yang dikemukakan adalah sifat keagamaan yang diwakili arca perunggu Nalanda sana dengan yang ada di Jawa dan pada abad ke-8 - 9 seni cetak perunggu di India utara masih jarang jika dibandingkan dengan yang terjadi di Jawa (Bosch, 1925:584-588).  Dan lagi biasanya para pande-logam pada periode Pala menggunakan bahan kuningan (brass) sebagai pengganti perunggu. DR.  A.J.Bernet Kempers berpendapat sebaliknya bahwa arca Nalanda tersebut menunjukkan persamaan  dengan karya seni periode Pala di India Utara. Kesimpulan tersebut diperoleh setelah secara rinci  membandingkan unsur-unsur ikonografik, penggarapan stela, pakaian - perhiasan (Bernet  Kempers, 1933:2-70).  Kenyataan juga membuktikan bahwa pada beberapa arca perunggu terdapat inskripsi  yang menyebut nama raja Devapâla dari kerajaan Pala. Adanya beberapa persamaan gaya atau  atribut lainnya antara arca perunggu Nalanda dengan arca perunggu Jawa Hindu oleh Bernet  Kempers dipakai sebagai bukti bahwa pengaruh kesenian Pala meluas sampai ke Jawa bukan sebaliknya.

Pernyataan Bosch bahwa logam kuningan lebih banyak digunakan pada  periode Pala dibandingkan dengan perunggu perlu didukung oleh data-data metalurgis. Demikian pula pendapat Bernet Kempers bahwa arca Nalanda dibuat oleh para pande logam setempat, akan lebih menarik jika diadakan studi perbandingan komposisi elemen antara perunggu Jawa Kuna dengan perunggu Nalanda, Dengan data-data ikonografik dan gaya seni, Pauline Lunsingh Scheurleer dan Marijke J. Klokke mengelompokkan artefak-artefak perunggu koleksi Rijks-museum Amsterdam menjadi 7 kelompok  secara kronologik (scheurleer & Klokke, 1988):
  • a. Kelompok 1 - adalah arca perunggu yang dibuat di India Selatan tetapi ditemukan di Indonesia dan yang dibuat di Jawa tetapi mendapat pengaruh gaya India Selatan.  
  • b. Kelompok 2 - adalah arca perunggu yang dibuat di India Timurlaut yang ditemukan di Jawa dan arca perunggu buatan Jawa tetapi menunjukkan pengaruh India timurlaut. Termasuk  dalam kelompok ini adalah arca Nalanda gaya Pala.  
  • c. Kelompok 3 - adalah arca perunggu yang secara keseluruhan menunjukkan gaya seni periode Jawa Tengah. Arca kelompok ini seringkali menunjukkan percampuran unsur India Utara dan Selatan yang telah diserap bersama-sama.  Kelompok ini ditempatkan pada abad ke-9 atau  pertengahan abad ke-9. 
  • d. Kelompok 4 - adalah arca perunggu yang dibuat para pande logam Jawa Kuna dan ditempatkan di antara akhir periode Jawa Tengah dan permulaan periode Jawa Timur.
  • e.  Kelompok 5 - adalah arca-arca perunggu gaya 'Ngan-juk1.  Pada umumnya arca kelompok ini mepunyai ornamentasi yang lebih raya dan lengkap, badan umumnya digambarkan ramping.  
  • f.  Kelompok 6  - adalah arca-arca yang dibuat di Sumatra, dan 
  • g. Kelompok 7 - adalah arca-arca selain  Jawa dan Sumatra. 

Dari pengelompokan seperti tersebut tampak bahwa secara kronologik arca gaya Amarawati dan gaya Pala di Jawa termasuk arca perunggu yang paling tua. Gaya tersebut pertama kali dijadikan model oleh para pematung Jawa. Dalam perkembangan berikutnya unsur-unsur India diolah sedemikian rupa disesuaikan dengan tradisi Jawa. Selama masa itu dalam seni cetak perunggu di Jawa  merupakan masa formatif. Setelah melalui pengalaman yang panjang akhirnya para pande logam  mulai 'independen' dari hal gaya. Dengan demikian kelompok arca perunggu dapat dibedakan menjadi 3 kelompok besar:
  1. arca yang berasal dari India,  
  2. arca yang berasal dari Indonesia tetapi menunjukkan unsur India, 
  3. arca yang dibuat di Indonesia (Jawa).
Setelah dibahas sedikit tentang pengaruh gaya India pada seni cetak perunggu Jawa Kuna selanjutnya aspek teknik perunggu Jawa Kuna dalam kaitannya dengan pengaruh India, yaitu konsep pancaloha dan asta dhatu. Ada dua segi yang harus diperhatikan untuk menelaah konsep tersebut ialahsegi kualitatif dan segi kuantitatif. Segi kualitatif menyangkut pada macam elemen logam yang dicampurkan, sedangkan segi kuantitatif menyinggung perbandingan komposisi elemen bahan. Data-data kualitatif sementara menunjukkan bahwa perunggu Jawa Kuna mempunyai elemen Cu, Sn, Zn,  Pb, dan beberapa artefak yang mengandung Fe. Sebegitu jauh belum ditemukan elemen emas (Au) dan perak (Ag) sebagai bahan campuran. Secara sepintas tampaknya menunjukkan bahwa konsep pancaloha dan astadhatu tidak dikenal atau tidak dipraktekkan di Jawa. Meskipun demikian ada kesan bahwa di Jawa atau para pande logam Jawa Kuna juga mempunyai anggapan tentang emas dan perak sebagai bahan yang penting untuk  benda-benda  ritual.  Kesan tersebut diperoleh dari data  berikut ini (Koleksi Museum Nasional  Jakarta):

Nama                         No.  inv.                 Keterangan           
Wairocana                  8242                       perunggu  berlapis  emas
Tara                            6590                       perunggu  berlapis  emas pa-da bagian  bibir  dan  urna
Budha                         588                         perunggu  berlapis  emas pa da bagian  bibir  dan  urna
Awalokiteswara          7515                       perunggu  berlapis  emas pa da bagian  bibir  dan  urna
Siwa                           8708.B: I   75         bibir  berlapis  emas
Siwa  (koleksi  SPSP DIY)                       bibir  berlapis  emas
                                                                   mata  berlapis perak

Penggunaan  emas sebagai  bahan keseluruhan  benda   ritual  sangat  terbatas:
Lingga - yoni  A  80/780     bahan  dari  emas
Wisnu          A   2/486         bahan  dari  emas
Budha          A  20/596c      bahan  dari  emas
Siwa            A  30/517d      bahan  dari  emas
Siwa            A  75/517c      bahan  dari  emas
Siwa            A  74/517        bahan  dari  emas

Sementara itu di Bali diperoleh data tentang bahan untuk genta upacara (Anom, 1971:10):
a.  bahan  utama: emas bercampur perunggu
b. bahan madya : perak  bercampur perunggu
c.  bahan nista   : kuningan bercampur perunggu

Jenis pertama dan kedua dipakai oleh para pendeta; jenis ketiga untuk para pemangku,pembantu pendeta. Mungkin sekali penambahan emas dan perak pada bagian tertentu arca.dewa oleh masyarakat Jawa Kuna bukan semata-mata untuk mendapatkan nilai tambah segi ekonomis tetapi  untuk mendapatkan nilai tambah segi filosofisnya. Analisis kuantitatif sementara ini masih di dalam proses pelaksanaan sehingga pembahasan secara khusus akan disampaikan pada kesempatan yang  lain.

Suatu hal lain yang masih perlu diperhatikan sebagai bahan kajian adalah dalam hal teknik pembuatan. Seperti telah disebut bahwa di India dikenal teknik rongga dan teknik padat yang bermakna simbolik. Teknik rongga didasarkan pada fungsi rongga untuk tempat menaruh mantra. Bagaimanakah halnya dengan arca perunggu Jawa Kuna? Apakah fungsi rongga yang demikian itu juga dikenal oleh para pande logam Jawa?  Pengkajian sementara menunjukkan bahwa arca-arca perunggu Jawa Kuna (terutama yang berukuran kecil) tidak menunjukkan adanya rongga di tubuhnya.  Meskipun demikian kita masih perlu mempertimbangkan bagian asana atau lapik arca.  Hampir semua arca pada bagian asana berbentuk cekungan (tidak padat), sehingga seandainya dibalik akan berbentuk seperti wadah.  Sejauh ini belum ditemukan 'isi'  pada bagian tersebut.  Untuk  itu kita perlu berhati-hati jika  menemukan arca yang pada bagian lapik masih tertutup  agar pada waktu membersihkan tidak ada data yang hilang atau rusak.

IV

Uraian di muka kiranya memberikan gambaran sepintas kilas tentang seni arca logam Jawa Kuna dalam hubungannya dengan India.  Dari segi gaya seni keterikatan dengan India masih tampak terutama sekali pada masa formatif. Dari segi teknologi tidak terbukti secara jelas bahwa pande  logam Jawa Kuna meniru teknik yang diterapkan di tanah asalnya.  Bahkan mungkin dapat dikatakan  independen dari pengaruh India.   Hal demikian terjadi karena jauh sebelum pengaruh budaya India datang, kemampuan teknologi logam telah dimiliki masyarakat Jawa. Justru di sinilah terlihat kemampuan menyaring dan mengolah unsur-unsur India sesuai dengan kondisi setempat. Untuk menutup karangan ini,  kita kutipkan pernyataan A.Van Lohuizen-de Leeuw (198^:9): "Thus, the Indo-Javanese art should  not  be  re-garded as a  raere adoption of Indian  patterns  but  as an indigenous creative  process  born  from  the  appreciation  of Indian  aesthetical  ideals being  intimately  associated  with  the  Indian religions"

DAFTAR FUSTAKA 

  1. Banerjea, Jitendra Nath 1941. The Development of Hindu Iconography. Calcutta; University of Calcutta. 
  2. Bernet  Kempers, A.J. 1933. The Bronzes of Nalanda  and Hindu-Javanese Art. Leiden: E.J.Brill Ltd. 
  3. Bosch, F.D.K. 1927 "Gouden vingerringen uit het Hindoe-Javaansche  Tijdperk",  DJAWA 7:305-320 
  4. Groeneveldt, W.P. 1880. Notes  on the Malay  Archipelago and Malacca compiled from  Chinese Jources. Verhandelingen van hot Bataviaasch  Genoot-schap van Kunsten en Wetenschappen   39   
  5. Hodges, Henry 1932. Artifacts An Introduction to Early Kate-rials and Technology. London: John  Baker  
  6. I Gusti Ngurah Anom 1973. Fungsi Genta Pendeta di Bali. Skripsi Sarjana, Yogyakarta- Universitas  Gadjah  Mada 
  7. Jones, Antoinette M.  Barrett  1984. Early Tenth Century Java from the Inscription.  Dordrecht-Holland: Foris Publicaions  
  8. Kusen 1983. Catatan singkat  mengenai cincin bertulisan "§ramana", Berkala  Arkeologi IV  (2) :9-15  
  9. Mellaart, James. 1965. Earliest  Civilizations of the Near East. London: Thanes & Hudson
  10. Miksic,  John  1988. Small Finds: Ancient Javanese Gold. Singapore: National Museum  
  11. Scheurleer, P.L.& K.J.Klokke. 1983. Divine Bronze Ancient Indonesian  Bronze from A.D. 600 to 1600. Leiden:  E.J.  Brill 
  12. Shukla,  D.N.  1938. Vastu Sastra. II. Hindu  Canons of Iconography and Painting.   Gorakhpur: Go-rakhpur  University  Press  
  13. Sivaramamurti,  C  198l. South Indian Bronzes. New Delhi: Lalit Kala Akademi 
  14. Stutley,  Margaret  1985. The Illustrated Dictionary of Hindu Iconography. London: Boutledge  & Kegan Paul  
  15. Van   Louhuizen-de  Leeuw  1984. Indo-Javanese Metalwork. Stuttgart: Linden Museum   Bestandkatalog Walker, Benjamin  I983. Hindu World. New Delhi: Munshiram  Kanoharlal  Publishers Pvt Ltd. 
  16. Zimmer,  Heinrich  1983. The Art of Indian Asia. Text. Princeton: Princeton University Press

Baca Juga

Sponsor