Selang 1 tahun kemudian, yaitu tahun 670 M, Sang Maharaja Tarusbawa mengubah nama Kerajaan Tarumanagara menjadi "Kerajaan Sunda". Alasannya untuk menaikkan pamor Tarumanagara yang mulai meredup. Alih-alih dapat menaikan pamor kerajaan, yang terjadi justru pernyataan "mahardika" atau merdeka dari Sang Wretikandayun Raja Galuh yakni terlepasnya kerajaan Galuh dari Kerajaan Sunda (pengganti Tarumanagara). Karena Kerajaan Sunda saat itu lemah dan Sang Tarusbawa tidak ingin terjadi pertumpahan darah, dan juga Galuh didukung Kerajaan Kalingga, akhirnya tuntuan Galuh untuk mahardika dikabulkan.
Kerajaan Galuh terus berlangsung. Beberapa raja memimpin kerajaan Galuh. Tetapi pada tahun-tahun tertentu, Kerajaan Galuh bersatu kembali dengan kerajaan Sunda dan berpisah kembali di waktu lainnya. Dalam sejarahnya, Kerajaan Galuh dan Sunda 3 kali terpisah dan 3 kali bersatu. Penyatuan Galuh Sunda pada zaman Rakai Sanjaya, raja ke-5 Kerajaan Galuh (dan Sunda). Sanjaya berkuasa 645-654 Saka atau 723-732 Masehi, sebagai Maharaja Galuh dan Sunda. Kemudian di masa Ciung Wanara dan Hariang Bangsa, Sunda dan Galuh terpisah kembali. Ciung Wanara (Sang Manarah) berkuasa di Galuh pada tahun 661-705 Saka atau 740-784 Masehi.
Penyatuan Sunda-Galuh kedua pada masa Prabhu Dharmmakusuma 1074-1079 Saka atau 1152-1157 Masehi sebagai maharaja Galuh dan Sunda. Prabhu Dharmakusuma adlah pendahulu Prabhu Dharmasiksa. Sejak terpisahnya Sunda Galuh di zaman Ciung Wanara, 413 tahun kemudian bersatu kembali di zaman pemerintahan Maharaja Dharmakusuma ini.
Pemisahan ketiga adalah semenjak Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana mangkat pada tahun 1397 Saka atau 1371¬1475 M, Kerajaan Galuh dan Sunda dipisahkan lagi untuk kedua orang putranya. Kedua putranya ialah: Dewa Niskala sebagai Raja Galuh dan Susuk Tunggal sebagai Raja Sunda.
Dewa Niskala atau Ningrat Kancana berkuasa sejak tahun 1397-1404 Saka atau 1475-1482 Masehi, sebagai raja Galuh. Pemisahan Sunda-Galuh tidak lama hanya 7 tahun.
Penyatuan Ketiga adalah ketika Prabhu Dewa Niskala berputra Jayadewata dinikahkan dengan putri Susuktunggal (Raja Sunda) yaitu Kentring Manik Mayang Sunda. Secara otomatis Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda berada di satu tangan yaitu, Prabhu Jayadewat atau Prabu Dewantaprana Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi (III).
Ketika Jayadewata atau Sribaduga Maharaja berkuasa di Sunda-Galuhm nama kerajaan termashur dengan nama Pajajaran. Sementara itu, di kerajaan Galuh tetap ada raja Galuh sebagi bagian dari Kerajaan Pajajaran. Prabhu Ningratwangi (1404-1423 S -1482-1501 M), berkuasa sebagai ratu Galuh mewakili kakaknya, Sri Baduga Maharaja.
Ktika Prabhu Dewaprana Sri Baduga Maharaja wafat dan digantikan putranya Prabhu Surawisesa (Maharaja Surawisesa). Ia berkuasa selama 14 tahun (1521-1535 M). Dalam tahun 1533, tepat 12 tahun setelah ayahnya (Sri Baduga Mahara) wafat, ia membuat sasakala (tanda peringatan) buat ayahnya. Ditampilkannya di situ karya-karya besar yang telah dilakukan oleh Susuhunan Pajajaran. Itulah Prasasati Batutulis yang diletakkannya di Kabuyutan tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa lingga batu ditanamkan.
Sementara itu di Galuh tetap ada raja, yaitu Prabhu Jayaningrat (1423-1450 Saka atau 1501-1528 Masehi). Pun demikian, putra dari Sribaduga Maharaja lainnya dari Nyai Subanglarang, yaitu Prabhu Walangsungsang menjadi Raja di Kesultanan Cirebon. Disaat pemerintahan Jayaningrat ini terjadi upaya penaklukan oleh kerajaan Cirebon. Penyerangan juga terjadi terhadap Prabhu Surawisesa di Pajajaran (Kerajaan Pusat).
Prabhu Jayaningrat di kerajaan Galuh terdesak oleh Kesultanan Cirebon tetapi tidak ditaklukkan oleh Kerajaan Cirebon namun Kawali tidak lagi menjadi pusat Kerajaan Galuh tetapi berpindah ke Galuh Salawe Pangauban di Cimaragas, Ciamis.
Prabhu (Maharaja) Cipta Sanghyang di Galuh Salawe - dan Galuh Pangauban (1580-1595) memerintah kerajaan dari Cimaragas, Ciamis. Masa Kerajaan Galuh berakhir tahun 1595 karena ditaklukan oleh Ksultanan Mataram Islam. Saat itulah raja raja di seluruh pulau Jawa termasuk Galuh di turunkan statusnya menjadi kebupatian oleh Mataram. Prabhu Cipta Sanghyang digantikan Prabu Cipta Permana (1595-1618) M. Selanjutnya Cipta Permana digantikan oleh Raden Ujang Ngoko atau Adipati Panaekan. Dilihat dari Gelar "Adipati", jelaslah bahwa raja Kerajaan Galuh terakhir adalah Prabhu Cipta Permana.
Dapat pula dilihat dalam Daftar Bupati Ciamis dimana Adipati Panaekan (1618 - 1625) M sebagai bupati Galuh pertama (Kerajaan Galuh jadi Kabupaten Galuh sampai tahun 1914) atau Ciamis (nama Kabupaten Ciamis sejak 1916 zaman bupati Aria Sastrawinata yang menjabat tahun 1914 - 1935).
Tragis Nasib Galuh
Semasa dikuasai Cirebon, wilayah Galuh masih status kerajaan bawahan namun saat dikuasai oleh Mataram diturunkan statusnya menjadi kabupaten/ kadipaten. Galuh yang semula kerajaan diubah statusnya menjadi kabupaten dan gelar raja, prabu atau sanghyang menjadi adipati. Adipati Panaekan diangkat menjadi Wedana Bupati Mataram di tatar Priangan oleh Sultan Agung 1613 - 1645 M, penguasa Mataram.Ketika Sultan Agung mulai bersiap untuk menyerang VOC di Batavia pada tahun 1625, ia memerintahkan bupati-bupati dari priangan untuk berpartispasi. Hal ini menjadikan perbedaan pendapat di antara para bupati. Perselisihan semakin panas, terutama antara Dipati Panaekan dan Singaperbangsa. Panaekan ingin secepatnya menyerang, sebelum VOC semakin kuat. Sementara, Singaperbangsa berpendapat lebih baik pasukan memperkuat dulu logistik sebelum berangkat menyerang.
Gugurnya Sang Adipati
Puncaknya, Adipati Panaekan terbunuh pada tahun 1625 M. Jenazah Sang Wadana Bupati dihanyutkan ke sungai Ci Muntur. Setelah ditemukan oleh pengikutnya, kemudian dimakamkan di Situs Karangkamulyan. Adipati Panaekan digantikan oleh putranya yang bernama Ujang Purba, yang bergelar Dipati Imbanagara (1625-1636). Konon, karena peristiwa tersebut Singaperbangsa kemudian memindahkan Kertabumi ke Bojonglopang, Banjar Kolot sekarang. Oleh karena itu, Kertabumi disebut juga Kabupaten Bojonglopang, dan merupakan cikal bakal Kota Banjar.Galuh Kawali sepeninggal Prabu Jayaningrat
Sepeninggal Prabu Jayaningrat, penguasa Galuh pindah ke Galuh Salawe. Sementara itu Galuh Kawali tetap ada pemerintahan namun dalam pengaruh Cirebon:- Pangeran Dungkut (lungkut) (1528 - 1575 M) putra Lanangbuana, raja kuningan menjadi penguasa Galuh Kawali pengganti Jayaningrat.
- Pangeran Bangsit (1575-1592 M) disebut juga Mas Palembang putra Pangeran Dungkrut.
- Pangeran Mahadikusumah/Apun di Anjung (1592 M) putra Pangeran Bangsit.
- Pangeran Usman (1643) menikahi putri Pangeran Mahadikusumah dan ia yang pertama dimakamkan di situs kawali.
- Dalem Adipati Singacala (1643-1718 M) putra Adidempul Cicit pangeran Bangsit, menikahi Nyi Anjungsari putri Pangeran Usman.
Galuh Pangauban Leluhur Adipati Panaekan
Kerajaan Galuh Pangauban didirikan oleh Prabu Haur Kuning (sekarang) di wilayah desa Putrapinggan, Kalipucang, Pangandaran kecamatan Kalipucang, Pangandaran (diperkirakan sekitar 1535 M). Raja ini memiliki tiga orang putra yang bernama prabhu Upama, Prrabhu Sanghyang Cipta dan Prabhu Sareuseupan Agung. Sebagai anak tertua, Maharaja Upama mewarisi kerajaan Galuh Pangauban dari ayahnya. Prabhu Sanghyang Cipta diberi wilayah Salawe (Cimaragas) dan mendirikan Kerajaan Galuh Salawe. Sedangkan Prabu Sareuseupan Agung menjadi raja di wilayah Cijulang.Mahkota Prabhu Haur Kuning. Kisi disimpan di Museum Galuh Imbanagara, Ciamis. Foto detik.com |
Kerajaan Galuh Pangauban berada Ciamis Selatan - kini masuk wilayah Pangandaran. Nama Galuh Pangauban adalah kerajaan kecil (dipimpin semacam kandaga lante) tempat Pangauban (perlindungan). Terletak antara Cipamali dan Cisanggarung lalu ke daearah aliran Sungai Citanduy. Kerajaan Galuh yang dirancang oleh Pucuk Umum (Pangauban) dibangun oleh Kamalarang dibantu oleh masyarakat Pakidulan yang tempatnya di tengah hutan berjarak dari laut sepenyirihan (kurang lebih 5 km) luasnya kurang lebih 100 depa persegi (sekitar 1,2 m).
Sekelilingnya dipagar tanaman Haur Kuning yang berduri, sebelah Utara dibuat alun-alun yang luasnya 50 depa persegi, di sebelah Selatan ada tanah kosong seluas 50 deupa persegi. Bangunan keratonnya sangat sederhana tenggaranya didirikan tujuh rumah untuk para menteri dan pegawai negara yang penting. Di sekitar rumpun haur dikelilingi oleh perumahan rakyat yang setia sebanyak 100 orang ditambah oleh rakyat Bagolo serta Kamulyan Maratama, Maradua, dan Maratiga yang setia kepada Prabu Haur Kuning dalam membangun pusat Galuh Pangauban.
Pada tahun 1516 M Pucuk Umum (Pangauban) karena simpati kepada Islam dan ajarannya pernah memimpin pasukan ke Malaka membantu Patih Yunus dari Kesultanan Demak atas perintah Raden Patah. Tapi Pucuk Umum tidak mau diangkat menjadi pimpinan Islam karena alasannya harus menyerang kerajaan Pajajaran sedangkan Pajajaran itu adalah eyangnya, akhirnya Pucuk Umum dibuang ke Ujung Kulon bersama istrinya.
Prabu Haur Kuning (1535 – 1580 M) adalah raja pertama Galuh Pangauban yang telah disiapkan sebelumnya oleh ayahnya Pucuk Umum (Pangauban). Maharaja Cipta Sanghiang (1580 – 1595 M) putra Prabu Haur Kuning yang menjadi raja Galuh Gara Tengah dengan Gelar Prabu Cipta Sanghyang Permana dan termasuk Raja Galuh terakhir yang beragama Hindu jasadnya dilarung di Ciputrapinggan sekarang adalah desa Putrapinggan, Kalipucang, Pangandaran. Prabu Cipta Permana (1595 – 1618 M) Ratu Galuh yang pertama masuk Islam karena menikahi Tanduran Tanjung putri Maharaja Mahadikusumah, penguasa Cirebon di Galuh Kawali.
Sebelum tahun 1596 M Cirebon belum terikat oleh Mataram bahkan daerah Ciamis Utara yang dimaksud utara Citanduy ada di bawah kekuasaan Cirebon termasuk Panjalu, Ciamis. Pada tahun 1618, Mataram menguasai Galuh dimulai pergantian gelar Raja yang tadinya bergelar Ratu atau Sanghyang dengan gelar Adipati yaitu bupati di bawah kekuasaan Mataram.
Referensi
- Atja (1968). Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Maséhi. Bandung: Yayasan Kabudayaan Nusalarang. .
- Ayatrohaedi (2005). Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah Panitia Wangsakerta dari Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Darsa, Undang A. 2004. “Kropak 406; Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan“, Makalah disampaikan dalam Kegiatan Bedah Naskah Kuno yang diselenggarakan oleh Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga. Bandung-Jatinangor: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran: hlm. 1 – 23.
- Ekadjati, Edi S. 1995. Sunda, Nusantara, dan Indonesia; Suatu Tinjauan Sejarah. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran pada Hari Sabtu, 16 Desember `1995. Bandung: Universitas Padjadjaran.
- Ekadjati, Edi S. 1981. Historiografi Priangan. Bandung: Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran.
- Ekadjati, Edi S. (Koordinator). 1993. Sejarah Pemerintahan di Jawa Barat. Bandung: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
- Raffles, Thomas Stamford. 1817. The History of Java, 2 vols. London: Block Parbury and Allen and John Murry.
- Raffles, Thomas Stamford. 2008. The History of Java (Terjemahan Eko Prasetaningrum, Nuryati Agustin, dan Idda Qoryati Mahbubah). Yogyakarta: Narasi.
- Z., Mumuh Muhsin. Sunda, Priangan, dan Jawa Barat. Makalah disampaikan dalam Diskusi Hari Jadi Jawa Barat, diselenggarakan oleh Harian Umum Pikiran Rakyat Bekerja Sama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat pada Selasa, 3 November 2009 di Aula Redaksi HU Pikiran Rakyat.
- Uka Tjandrasasmita. (2009). Arkeologi Islam Nusantara. Kepustakaan Populer Gramedia.
- E. Rokajat Asura. (September 2011). Harisbaya bersuami 2 raja - Kemelut cinta di antara dua kerajaan Sumedang Larang dan Cirebon. Penerbit Edelweiss.
- Atja, Drs. (1970). Ratu Pakuan. Lembaga Bahasa dan Sedjarah Unpad. Bandung.
- Atmamihardja, Mamun, Drs. Raden. (1958). Sadjarah Sunda. Bandung. Ganaco Nv.
- Joedawikarta (1933). Sadjarah Soekapoera, Parakan Moencang sareng Gadjah. Pengharepan. Bandoeng,
- Lubis, Nina Herlina., Dr. MSi, dkk. (2003). Sejarah Tatar Sunda jilid I dan II. CV. Satya Historica. Bandung.
- Herman Soemantri Emuch. (1979). Sajarah Sukapura, sebuah telaah filologis. Universitas Indonesia. Jakarta.
- Edi S. Ekajati (2005). Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Jakarta: Pustaka Jaya. ISBN 979-419-329-1.
- Richadiana Kartakusuma (1991). Anekaragam Bahasa Prasastidi Jawa Barat Pada Abad Ke-5 Masehi sampai Ke-16 Masehi: Suatu Kajian Tentang Munculnya Bahasa Sunda. Tesis (yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Arkeologi. Jakarta: Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
- Yoséph Iskandar (1997). Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Bandung: Geger Sunten.
- Zamhir, Drs. (1996). Mengenal Museum Prabu Geusan Ulun serta Riwayat Leluhur Sumedang. Yayasan Pangeran Sumedang. Sumedang.
- Sukardja, Djadja. (2003). Kanjeng Prebu R.A.A. Kusumadiningrat Bupati Galuh Ciamis th. 1839 s / d 1886. Sanggar SGB. Ciamis.
- Sulendraningrat P.S. (1975). Sejarah Cirebon dan Silsilah Sunan Gunung Jati Maulana Syarif Hidayatullah. Lembaga Kebudayaan Wilayah III Cirebon. Cirebon.
- Sunardjo, Unang, R. H., Drs. (1983). Kerajaan Carbon 1479-1809. PT. Tarsito. Bandung.
- Suparman, Tjetje, R. H., (1981). Sajarah Sukapura. Bandung
- Surianingrat, Bayu., Drs. (1983). Sajarah Kabupatian I Bhumi Sumedang 1550-1950. CV.Rapico. Bandung.
- Soekardi, Yuliadi. (2004). Kian Santang. CV Pustaka Setia.
- Soekardi, Yuliadi. (2004). Prabu Siliwangi. CV Pustaka Setia.
- Tjangker Soedradjat, Ade. (1996). Silsilah Wargi Pangeran Sumedang Turunan Pangeran Santri alias Pangeran Koesoemadinata I Penguasa Sumedang Larang 1530-1578. Yayasan Pangeran Sumedang. Sumedang.
- Widjajakusuma, Djenal Asikin., Raden Dr. (1960). Babad Pasundan, Riwajat Kamerdikaan Bangsa Sunda Saruntagna Karadjaan Pdjadjaran Dina Taun 1580. Kujang. Bandung.
- Winarno, F. G. (1990). Bogor Hari Esok Masa Lampau. PT. Bina Hati. Bogor.
- Olthof, W.L. (cetakan IV 2008). Babad Tanah Jawi - mulai dari Nabi Adam sampai tahun 1647. PT. Buku Kita. Yogyakarta Bagikan.
- Hardjasaputra, A. Sobana & H.D. Bastaman, Edi S. Ekadjati, Ajip Rosidi, Wim van Zanten, Undang A. Darsa. (2004). Bupati di Priangan dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda. Pusat Studi Sunda.
- Nina H. Lubis, Kunto Sofianto, Taufik Abdullah (pengantar), Ietje Marlina, A. Sobana Hardjasaputra, Reiza D. Dienaputra, Mumuh Muhsin Z. (2000). Sejarah Kota-kota Lama di di Jawa Barat. Alqaprint. ISBN 979-95652-4-3.