Selain gambaran kehidupan raja-raja dan rakyat dari kedua kerajaan kembar ini, ada hal lain yang juga mengundang rasa kepenasaran kita para pemerhati sejarah Sunda, adalah batas-batas wilayah kekuasaan kedua kerajaan ini.
Penulusuran sumber informasi, kita merujuk pada beberapa naskah lontar yang telah diteliti para sejarawan dan dinyatakan otentisitasnya.
Carita Parahyangan diperkirakan ditulis ketika Kota Pakuan-Pajajaran masih ada meskipun dalam detik-detik akhir keruntuhannya. oleh serangan Banten tahun 1579.
Naskah ini merupakan bagian dari naskah yang ada pada koleksi Museum Nasional Jakarta dengan nomor register Kropak 406. Naskah bermedia daun lontar dengan aksara yang ditoreh menggunakan pisau pangot ini mengisahkan sejarah Kerajaan Galuh dan Sunda sejauh pengetahuan penulisnya, termasuk sepak terjang raja-rajanya seperti Wretikandayun, Rahiyang Sanjaya, Rahyang Darmasiksa, Sri Baduga Maharaja, Surawisesa, hingga riwayat Kerajaan Sunda yang beribukota di Pakuan (atau Pakuan Pajajaran) berakhir, seiring makin teguhnya kekuasaan-kekuasaan bercorak Islam di pesisir Jawa Barat seperti Banten, Cirebon, dan Jayakarta.
Batas Kerajaan dalam Naskah Carita Parahyangan
Di saat membahas pembagian kekuasaan antara wilayah kekuasaan (alas) Tohaan di Sunda (Maharaja Tarusbawa), Batara Danghyang Guru, dan Rahyang Isora, penulis Carita Parahyangan ini menulis kata “Tarum” sebagai sebuah sungai. Begini kutipannya:
Ayeuna ta karah: Alas Da[ng]ngyang Guru di tengah; alas Ra[h]hyang Isora ti wetan, para lor Paraga deung Ciloti[r]ran; ti kulon Tarum ka kulon alas Tohaan di SundaTerjemahannya: Sekarang begini: wilayah (kekuasaan) Danghyang Guru di tengah (maksudnya Gunung Galunggung dan sekitarnya); wilayah (kekuasaan) Rahyang Isora di timur, di utaranya Paraga (Kali Progo sekarang) dan (Sungai) Cilotiran; di barat Tarum ke baratnya adalah wilayah Tohaan di Sunda.
Lazim di zaman kerajaan masa lalu dimana sungai (dan gunung serta laut) menjadi pembatas wilayah, Sungai Citarum oleh Rahyang Sanjaya, setelah ada kemelut politik-militer di antara para penguasa Sunda-Parahyangan saat itu, lantas dijadikan batas antara Galuh dengan Sunda-Pajajaran di abad ke-7 M agar persengketaan menjadi reda.
Yang menarik, dari data di atas terbayang secara implisit bahwa Citarum merupakan pembatas wilayah budaya antara Sunda dengan Galuh. Dengan begitu, setidaknya hingga abab ke-7, kata Sunda masih merujuk kepada entitas budaya yang hidup di sebelah barat Citarum, sementara kata Galuh atau Parahyangan merujuk kepada entitas budaya yang berlangsung di sebelah timur Citarum hingga Kali Progo dan Cilotiran. Kali Progo (Hanacaraka:ꦏꦭꦶꦥꦿꦒ, Kali Praga) adalah sebuah sungai yang mengaliri Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Berdasarkan naskah Carita Parahyangan, mengindikasikan bahwa Sanjaya akan memerintah di pulau Jawa meneruskan pemerintahan kedua orang tuanya.
- Kalingga diperintah oleh Sanjaya (di bumi Mataram )
- Galuh-Sunda diserahkan kepada Tamperan.
- Daerah kekuasaan Dangiang Guru Sempak Waja diserahkan kepada Saung Galah dibawah kekuasaan Resi Demunawan.
- Daerah sebelah Timur Paralor dan cilotiran menjadi daerah kekuasaan Iswara Narayana adik Parwati Putra Maharani Sima.
Berdasarkan gambaran dari Naskah Carita Parahyangan, batas Kerajaan Galuh lebih ke timur di Kali Progo Sleman daerah Istimewa Yogyakarta di bagian selatan. Sedangkan nama Cilotiran (Sungai Cilotiran), tidak dapat penulis tentukan. Nama Cilotiran sudah tidak eksis di zaman sekarang. Yang jelas, nama Cilotiran harus dicari di bagian utara Jawa Tengah berupa sungai yang bermuara ke Laut Jawa. Di bawah ini perkiraan wilayah pembagian oleh Sanjaya.
Batas Kerajaan Sunda, Galunggung, Galuh dan Kalingga oleh Sanjaya menurut Naskah Parahyangan |
Dalam Naskah Bujangga Manik
Naskah kedua adalah Bujangga Manik, yang ditulis pada daun nipah dengan tinta hitam di zaman Kerajaan Sunda masih eksis. Walau tak ada penanggalan di dalamnya, naskah ini memberikan bayangan latar belakang cerita sang tokoh utama yang bernama Bujangga Manik alias Ameng Layaran alias Prebu Jaya Pakuan, ini berlangsung di akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16. Bayangan ini diperoleh berdasarkan toponimi Malaka, Demak, dan Majapahit yang disebutkan oleh naskah bersangkutan.Sang tokoh sendiri merupakan rakean (pangeran/anak raja) Pakuan yang memilih membujang dan hidup sebagai petapa yang berziarah ke pelbagai gunung, mandala, katiagian, dan kabuyutan (perguruan dan tempat suci pra-Islam) yang tersebar di Pulau Jawa dan Bali.
Bujangga Manik, pertapa Hindu-Sunda, melakukan pengembaraan suci dari istana Pakuan (sekarang, Bogor), melewati wilayah utara Jawa bagian barat. Dia lalu menyusuri pantai utara Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga ke ujung Jawa bagian timur. Dari sana, dia kembali ke Sunda lewat selatan.
Dalam perjalanannya, Bujangga Manik melalui perbatasan budaya Sunda dan Jawa, yaitu Sungai Cipamali. Di perbatasan kedua negara ini rupanya ada tempat yang dikeramatkan. Sebelum menyeberang ke Jawa, dia menyempatkan diri singgah di Arega Jati kemudian ke Jalatunda.
Agus Aris Munandar dalam Siliwangi, Sejarah, dan Budaha Sunda Kuna menjelaskan, Arega jati mungkin merupakan suatu perbukitan atau bukit yang dinamakan Jati. Sebab arega berasal dari kata Sanskerta, Agra yang artinya Gunung. Sementara Jalatunda merupakan petirtaan atau sumber air yang disucikan.
Sekarang, di dekat perbatasan Kabupaten Kuningan dan Brebes ada tiga puncak bukit yang disebut penduduk dengan Gunung Tilu. Bentuk tiga bukit berdekatan, dalam budaya Jawa kuno dan Sunda Kuno, merupakan jelmaan puncak Mahameru yang bergerigi. Sementara Arega Jati bisa berarti Gunung Sejati atau sejatinya gunung. Itu tak lain adalah simbol Gunung Meru, di mana dewa-dewa bersemayam.
Batas Kerajaan Sunda-Galuh dan Jawa (Majapahit) menurut Naskah Bujangga Manik |
Menurut Catatan Portugis - Tome Pires
Menurut penjelajah Portugis, Tome Pires dalam catatannya, Suma Oriental pada abad ke-16. Pelabuhan Cimanuk menjadi pembatas kedua negeri itu. Sungainya membelah dan mengalir di antara wilayah Sunda dan Jawa.Karenanya, kendati sama-sama ada di Pulau Jawa, orang akan mengira dua kerajaan itu berada di pulau yang berbeda. “Siapapun yang pernah datang ke tempat ini akan melihat bahwa kedua negeri sesungguhnya berada di tanah yang sama, karena dahan terluar dari pohon itu saling bersentuhan,” jelas Pires.
Pelabuhan ini berada di bawah kekuasaan Raja Sunda. Cimanuk menjalankan perdagangan yang baik, di mana Jawa juga berdagang dengannya.
Jika menurut Pires perbatasan Sunda-Jawa pada abad ke-16 berada di Sungai Cimanuk, yang kini mengaliri wilayah Indramayu hingga Garut, itu berbeda pada masa yang lebih tua. Wilayah Kerajaan Sunda pada masa Pires sepertinya menyempit jika dibandingkan keterangan dalam catatan perjalanan Bujangga Manik.
Menurut Jacobus Noorduyn, ahli linguistik Belanda, catatan Bujangga Manik mungkin ditulis pada sekira perempat kedua abad ke-15. Tak mungkin lebih awal dari itu. Tak mungkin pula lewat dari 1511, yaitu ketika Malaka dirampas oleh orang Portugis.
Pada masa itu, menurut Noorduyn, masih disebut wilayah Kerajaan Majapahit membentang bertemu batas dengan wilayah Kerajaan Sunda. Sungai di Brebes menjadi pembelahnya. Sungai itu dulu disebut Cipamali. Sekarang ia disebut Kali Pamali.
“(Wilayah Majapahit, red.) meliputi seluruh bagian yang penduduknya berbahasa Jawa di pulau itu, kecuali mungkin daerah Demak,” jelas Noorduyn.
Batas Kerajaan Sunda-Pajajaran dan Jawa menurut Tome Pires |