Kesuburan tanah ini menjadikan Banten sebagai tempat tumbuhnya tanaman perkebunan yang menarik perhatian pendatang-pendatang dari manca negara. Sepanjang aliran sungai inilah tercatat situs-situs tua penting yang barkaitan dengan berbagai babak sejarah Banten, yakni Kasunyatan, Odel, Kelapadua, Serang, dan Kota Lama Banten Girang.
Banten berasal dari bahasa Jawa kuno "pabanten" yang artinya tempat untuk menaruh sesaji atau persembahan. Sementara "girang" bisa berarti jaya atau senang tetapi dalam kaitannya dengan kota lama Banten, nama Banten Girang berarti "Banten Hulu".
Banten Girang adalah sebuah dataran tinggi yang dekat dengan Desa Sempu. Saat ini masuk wilayah Kota Serang. Letaknya sekitar 10 km dari pelabuhan Banten yang sekarang. Kota tua ini ditandai dengan makam keramat yang dinamai sebagai makam Ki Jongjo. Konon makam ini adalah makam kakak beradik Ki Jong dan Agus Jo yang dijadikan satu sebagai pemeluk Islam yang pertama di Banten.
Fakta sejarah Ki Jongjo semakin dikuatkan dengan kronik Portugis yang ditulis Joao de Barros yang menulis tentang Falatehan yang pada kurun abad 16 pergi ke "Bintam". Di sana dia diterima oleh tokoh terkemuka yang kemudian masuk Islam.
Petilasan Pra-Islam
Banten Girang menjadi tempat yang bersejarah dan dikeramatkan karena berbagai alasan. Di balik makam diduga terdapat watu gulang (batu bersiran). Orang menyebutnya sebagai tahta Pucuk Umun yang merupakan ratu-pandita "Hindu" yang terakhir di sana. Babad setempat, Sajarah Banten bercerita tentang Ki Jongjo seorang punggawa Pakuan yang ditugaskan di sana. Ketika Hasanudin datang ke sana dia langsung memihak pada penguasa Islam yang baru itu.
Satu abad kemudian muncul berita tentang Banten Girang dari pedagang yang ikut kapal kolonial Inggris. Namanya Abdul Mafakir (1596-1651) dan diceritakan dia tinggal di Kelapadua. Pada masa itu Kelapadua adalah pusat pengolahan tebu orang-orang Tiongkok yang telah lama membangun perkebunan tebu dan industri gula. Ahli sejarah menginterpretasikan bahwa tempat tinggal pedagang itu adalah Banten Girang. Interpretasi ini sesuai dengan data Belanda tentang tempat tinggal Sultan Haji di tahun 1678 yang tertulis dia tinggal di hulu Kelapadua.
Data ini lebih diperkuat lagi dengan catatan W Caeff, residen Belanda yang tinggal di akhir abad 17. Dia mencatat bahwa Sultan Ageng, penguasa Banten, pada 1674 telah memutuskan untuk mengadakan rapat bukan di Banten tetapi di "keraton lama" agar menjadi rahasia. Dua tahun kemudian dia menulis bahwa Sultan Ageng memutuskan membangun istana di Banten Girang atau Banten lama sebagai tempat berlindung kaum wanita jika meletus perang. Dari keterangan tersebut terlihat bahwa peninggalan pra Islam di Banten Girang tidak ditelantarkan.
Ibukota Kerajaan Sunda sebelum Pajajaran
Naskah Sajarah Banten, dalam buku "Banten Sebelum Zaman Islam" (Claude Guillot dkk. 1996/1997) memberi banyak petunjuk tentang sebuah ibukota kerajaan kuno yang telah ada sebelum zaman kerajaan Pajajaran. Petunjuk itu terlihat pada cerita tentang hal-hal yang dilakukan oleh Hasanudin ketika datang ke Banten. Dia melakukan sejumlah upacara di tiga gunung yakni Gunung Karang, Gunung Pulasari, dan Gunung Lancar. Untuk nama yang terakhir peneliti sejarah menyimpulkan bahwa itu adalah nama kuno dari Gunung Aseupan yang ada sekarang.
Hasanudin sangat memperhatikan satu gunung yakni Gunung Pulasari. Di Gunung Pulasari itu tinggal keturunan penguasa lama yakni Brahmana Kandali. Sajarah Banten menceritakan bahwa Hasanudin tinggal bersama delapan ratus ajar atau cantrik kalau di Jawa, yang dipimpin oleh Pucuk Umun. Hasanudin tinggal dengan mereka selama lebih dari sepuluh tahun. Para ahli menyimpulkan bahwa selama itu pula proses konversi ke Islam terjadi di Banten.
Ciri khas proses konversi ke Islam pada kurun transisi terlihat pada riwayat Hasanudin yang mengharuskan para Ajar untuk tetap menempati Gunung Pulasari walaupun mereka sudah Islam. Sebab menurut Hasanudin jika tempat itu kosong tanpa pendeta maka tanah Jawa akan berakhir. Kisah ini menemukan data kesejarahannya dalam penelitian yang dilakukan oleh Rouffaer dan Ijzermann di tahun 1915. Penelitian itu menunjukkan bahwa pada akhir abad 16 masih terdapat sebuah desa bernama Sura yang ada di kaki Gunung Karang. Di sana tinggal sekelompok pendeta beragama Hindu yang atas izin raja Banten, tinggal di sana. Konon mereka adalah para pendeta yang mengungsi ke barat akibat konflik yang terjadi di Pasuruan.
Hasanudin sangat memperhatikan satu gunung yakni Gunung Pulasari. Di Gunung Pulasari itu tinggal keturunan penguasa lama yakni Brahmana Kandali. Sajarah Banten menceritakan bahwa Hasanudin tinggal bersama delapan ratus ajar atau cantrik kalau di Jawa, yang dipimpin oleh Pucuk Umun. Hasanudin tinggal dengan mereka selama lebih dari sepuluh tahun. Para ahli menyimpulkan bahwa selama itu pula proses konversi ke Islam terjadi di Banten.
Arca Bongkok
Di Desa Sanghyang Dengdek, Kecamatan Pulasari, sekarang bernama Saketi, Kabupaten Pandeglang, terdapat satu arca purba yang dinamakan "Sanghyang Dengdek". Bentuknya menyerupai sosok laki-dengan bentuk kepala yang dipahat kasar menyerupai patung zaman megalitik dalam bentuk pendek dan gemuk. Balai Arkeologi Nasional menyebutnya sebagai batu menhir yang berbentuk manusia. Tinggi arca ini 95 cm dengan keliling badan 120 cm dan diameter kepala 20 cm.
Nama "dengdek" menurut balai arkeologi menunjukkan bentuk bahu yang tidak datar alias satu sisi lebih rendah.
![]() |
Sanghyang Dengdek, Arca Polinesia di Kaki Gunung Pulosari |
Banyak dugaan bahwa bentuk bulat, agak pendek, tubuh tidak simetris, sangat sesuai dengan kepercayaan orang Jawa kuno yang mengenal sosok mistik dengan ciri-ciri badan yang mengalami deformasi. Orang Jawa mengenalnya sebagai Semar, Punta, atau Sabdapalon. Di Gunung Pulasari ini terdapat arca "bongkok yang terpuja" dalam bentuk batu yang agak membungkuk.
Raja Bahujaya
Cornelis Marinus Pleyte (1863-1917) atau disingkat CM Pleyte adalah peneliti sejarah sekaligus kurator Museum Royal Batavian Society of Arts and Science, yang sekarang menjadi Museum Nasional Jakarta. Semasa hidup dia mengajar sejarah dan etnologi di Administration School in Batavia yang letaknya juga berada di sekitar Gambir.
Pleyte mempunyai sebuah naskah tentang sejarah Banten sebelum Islam, naskah itu bernama Wawacan Banten Girang. Para ahli memperkirakan naskah ini dibuat pada sekitar abad 18 atau 19. Walaupun dibuat di masa yang cukup baru, naskah koleksi Pleyte ini menunjukkan beberapa ciri kalau sumbernya berasal pada kisaran abad 16 atau 17. Naskah ini mempunyai dua bagian. Yang pertama adalah kisah tentang perang antara Banten dengan Lampung. Sedangkan bagian kedua menceritakan dukungan militer Banten Girang kepada kerajaan Majapahit saat menghadapi kesulitan besar. Kedua kisah ini mempunyai keterkaitan karena tokoh yang ada di dalamnya sama yakni Hariang Banga dan Ciung Wanara.
Raja Banten Girang bernama Bahujaya dia berperang dengan raja Lampung yang bernama Sukarma. Dalam naskah dikisahkan raja Lampung mendapat dukungan dari Palembang, Bangkahulu, Padang dan Batak. Sedangkan raja Bahujaya mempunyai dua panglima yang hebat yakni Hariang Banga dan Ciung Wanara. Penelusuran De Graff dan Pigeaud beberapa kali menyebutkan Arya Bangah yang mungkin sama dengan Hariang Banga sebagai anak dari perempuan ratu dari Cirebon. Sedangkan Ciung Wanara merupakan simbol kebangsawanan Sunda yang mungkin berumur lebih lama dari periode kerajaan Banten Girang.
Banten Kuno dalam Catatan Keramik
Penggalian yang dilakukan Guillot pada paruh awal 90-an ternyata mampu menggambarkan kronologi kerajaan kuno di hulu teluk Banten yang diperkirakan sudah ada sejak zaman kebesaran Sriwijaya. Temuan terbanyak tembikar kuno memuncak dalam kurun abad 12 hingga abad 14. Periode ini merupakan transisi ketika Sriwijaya perlahan-lahan memudar kejayaan lautnya dan digantikan oleh Majapahit dari timur.
Setelah melalui berbagai metode perbandingan yang cukup rumit, para ahli memperkirakan Banten Girang telah dihuni setidaknya sejak abad 10. Kuantitas temuan keramik perlahan semakin banyak dan mencapai puncaknya di abad 13 dan 14. Setidaknya ini menjelaskan tentang kemajuan ekonomi Banten Girang. Banyaknya keramik dari Cina juga memperlihatkan kedekatan khusus Banten Girang dengan Cina yang oleh para ahli diperkirakan tidak hanya berupa hubungan dagang tetapi juga sudah menjadi hubungan kekerabatan. Asal-usul keramik yang ditemukan di Banten Girang bahkan menunjukkan sumber pembuatan sejak jaman dinasti Tang, Song, dan Yuan.
Uniknya pada perkiraan umur abad 15 terjadi pengurangan jumlah keramik yang sangat drastis. Guillot dan kawan kawan menduga bahwa itu terjadi karena penaklukan Banten Girang oleh Pakuan. Pada masa itu lah mulai terjadi perpindahan bandar-bandar perdagangan ke kawasan lain seperti muara sungai Cisadane, Ciliwung, dan Citarum.
Cornelis Marinus Pleyte (1863-1917) atau disingkat CM Pleyte adalah peneliti sejarah sekaligus kurator Museum Royal Batavian Society of Arts and Science, yang sekarang menjadi Museum Nasional Jakarta. Semasa hidup dia mengajar sejarah dan etnologi di Administration School in Batavia yang letaknya juga berada di sekitar Gambir.
Pleyte mempunyai sebuah naskah tentang sejarah Banten sebelum Islam, naskah itu bernama Wawacan Banten Girang. Para ahli memperkirakan naskah ini dibuat pada sekitar abad 18 atau 19. Walaupun dibuat di masa yang cukup baru, naskah koleksi Pleyte ini menunjukkan beberapa ciri kalau sumbernya berasal pada kisaran abad 16 atau 17. Naskah ini mempunyai dua bagian. Yang pertama adalah kisah tentang perang antara Banten dengan Lampung. Sedangkan bagian kedua menceritakan dukungan militer Banten Girang kepada kerajaan Majapahit saat menghadapi kesulitan besar. Kedua kisah ini mempunyai keterkaitan karena tokoh yang ada di dalamnya sama yakni Hariang Banga dan Ciung Wanara.
Raja Banten Girang bernama Bahujaya dia berperang dengan raja Lampung yang bernama Sukarma. Dalam naskah dikisahkan raja Lampung mendapat dukungan dari Palembang, Bangkahulu, Padang dan Batak. Sedangkan raja Bahujaya mempunyai dua panglima yang hebat yakni Hariang Banga dan Ciung Wanara. Penelusuran De Graff dan Pigeaud beberapa kali menyebutkan Arya Bangah yang mungkin sama dengan Hariang Banga sebagai anak dari perempuan ratu dari Cirebon. Sedangkan Ciung Wanara merupakan simbol kebangsawanan Sunda yang mungkin berumur lebih lama dari periode kerajaan Banten Girang.
Banten Kuno dalam Catatan Keramik
Penggalian yang dilakukan Guillot pada paruh awal 90-an ternyata mampu menggambarkan kronologi kerajaan kuno di hulu teluk Banten yang diperkirakan sudah ada sejak zaman kebesaran Sriwijaya. Temuan terbanyak tembikar kuno memuncak dalam kurun abad 12 hingga abad 14. Periode ini merupakan transisi ketika Sriwijaya perlahan-lahan memudar kejayaan lautnya dan digantikan oleh Majapahit dari timur.
Setelah melalui berbagai metode perbandingan yang cukup rumit, para ahli memperkirakan Banten Girang telah dihuni setidaknya sejak abad 10. Kuantitas temuan keramik perlahan semakin banyak dan mencapai puncaknya di abad 13 dan 14. Setidaknya ini menjelaskan tentang kemajuan ekonomi Banten Girang. Banyaknya keramik dari Cina juga memperlihatkan kedekatan khusus Banten Girang dengan Cina yang oleh para ahli diperkirakan tidak hanya berupa hubungan dagang tetapi juga sudah menjadi hubungan kekerabatan. Asal-usul keramik yang ditemukan di Banten Girang bahkan menunjukkan sumber pembuatan sejak jaman dinasti Tang, Song, dan Yuan.
Uniknya pada perkiraan umur abad 15 terjadi pengurangan jumlah keramik yang sangat drastis. Guillot dan kawan kawan menduga bahwa itu terjadi karena penaklukan Banten Girang oleh Pakuan. Pada masa itu lah mulai terjadi perpindahan bandar-bandar perdagangan ke kawasan lain seperti muara sungai Cisadane, Ciliwung, dan Citarum.
Ibukota Kerajaan
Sumber-sumber portugis menguatkan dugaan bahwa Banten Girang sebenarnya adalah ibukota kerajaan tua. Gambaran Diogo Couto yang ditulis di abad 18 menjelaskan tentang kota di tengah-tengah teluk yang amat besar, panjangnya empat ratu depa di sisi laut dan lebih panjang lagi di sisi daratan. Di salah satu bagian kota ada benteng dengan tembok bata setebal tujuh jengkal. Bagian atasnya terbuat dari dinding kayu dan bertingkat dua.
Catatan Couto ternyata mampu menjelaskan mengapa sejak abad 15, telah menjadi poros pelayaran yang sangat penting. Sumber Cina Shunfeng Xiangsong, tempat ini dinamakan "Wan-tan" dan "shun-t'a" yang menjadi tempat pelayaran dari Aru-Banten, Aceh-Banten, Banten-Banjar, Banten-Demak, dan Banten-Timor. Sumber arab di akhir abad 15 yang ditulis Sulaiman al Mahri menjelaskan tentang pelabuhan di dekat "Djebel Sunda" atau Gunung Gede.
Satu hal lagi yang menguatkan kondisi Banten Girang sebagai ibukota kerajaan adalah adanya jejak Sungai Cibanten sebagai sungai besar yang dulunya bisa dilayari kapal-kapal dagang. Sebuah peta Banten bertahun 1635 menjelaskan tentang sungai Cibanten lengkap dengan dua jalan penghubung ke ibukota kerajaan di kiri dan kanannya. Catatan orang Denmark tahun 1637 memperlihatkan kalau dia masih bisa menggunakan perahu dari Banten menuju Serang. Jalan di sebelah kiri kanan sungai Cibanten menurut penduduk sekitar dinamakan "jalan sultan" yang menyusuri sungai menuju tiga gunung api.
Sumber-sumber portugis menguatkan dugaan bahwa Banten Girang sebenarnya adalah ibukota kerajaan tua. Gambaran Diogo Couto yang ditulis di abad 18 menjelaskan tentang kota di tengah-tengah teluk yang amat besar, panjangnya empat ratu depa di sisi laut dan lebih panjang lagi di sisi daratan. Di salah satu bagian kota ada benteng dengan tembok bata setebal tujuh jengkal. Bagian atasnya terbuat dari dinding kayu dan bertingkat dua.
Catatan Couto ternyata mampu menjelaskan mengapa sejak abad 15, telah menjadi poros pelayaran yang sangat penting. Sumber Cina Shunfeng Xiangsong, tempat ini dinamakan "Wan-tan" dan "shun-t'a" yang menjadi tempat pelayaran dari Aru-Banten, Aceh-Banten, Banten-Banjar, Banten-Demak, dan Banten-Timor. Sumber arab di akhir abad 15 yang ditulis Sulaiman al Mahri menjelaskan tentang pelabuhan di dekat "Djebel Sunda" atau Gunung Gede.
Satu hal lagi yang menguatkan kondisi Banten Girang sebagai ibukota kerajaan adalah adanya jejak Sungai Cibanten sebagai sungai besar yang dulunya bisa dilayari kapal-kapal dagang. Sebuah peta Banten bertahun 1635 menjelaskan tentang sungai Cibanten lengkap dengan dua jalan penghubung ke ibukota kerajaan di kiri dan kanannya. Catatan orang Denmark tahun 1637 memperlihatkan kalau dia masih bisa menggunakan perahu dari Banten menuju Serang. Jalan di sebelah kiri kanan sungai Cibanten menurut penduduk sekitar dinamakan "jalan sultan" yang menyusuri sungai menuju tiga gunung api.
Sumber
- "Banten Sebelum Islam; Ibukota Kerajaan Kuno Sebelum Pajajaran" indonesia.go.id Diakses 6 Juli 2020.
- "Banten Girang, Riwayat Banten (Hulu) yang Jaya" indonesia.go.id Diakses 6 Juli 2020.
- "Sanghyang Dengdek, Arca Polinesia di Kaki Gunung Pulosari" kemdikbud.go.id Diakses 6 Juli 2020.