[Historiana] - Oleh Alam Wangsa Ungkara. Bila membaca judul artikel ini, Anda akan mengira bahwa yang menjadi budaknya adalah bangsa Nusantara. Tdak! Terbalik. Bangsa Nusantaralah yang mengimpor mereke dari negeri Jenggi. Jenggi adalah sebutan untuk bangsa Swahili yang menghuni pesisir di Afrika bagian selatan.
Lokasi bangsa Jenggi ini tercatat dalam perjalanan Ibnu Batuta. Wilayah ini mencakup kawasan pesisir Kenya, Tanzania dan Mozambik utara. Istilah ini juga mencakup beberapa pulau di pesisir Swahili, seperti Zanzibar, Pate dan Kepulauan Komoro. Tatkala Ibnu Batutah selepas meninggalkan Mogadisyu pada 1331, ia melanjutkan perjalanannya dengan menumpangi kapal yang berlayar ke arah selatan menuju kawasan Pesisir Swahili yang disebut "Negeri Orang Jenggi" (bahasa Arab: بلد الزنج, Biladil Zanj) oleh orang-orang Arab.
Buku Merveiless de I'Inde memuat sebuah cerita mengenai kerajaan Sriwijaya, menceritakan tentang kera, di sana dituliskan, "binatang -- binatang yang tampak seperti manusia, dengan wajah sehitam wajah orang Zanggi".
Berikutnya juga diberitakan, "Pada tahun 945/6 Masehi (334 H) tiba "kira-kira seribu perahu" yang dinaiki orang WaqWaq, di daerah "Sofala-nya kaum Zanggi", yaitu di Pantai Mozambik. Orang WaqWaq itu---yang "kepulauannya terletak berhadapan dengan Negeri Cina"---menegaskan sendiri "datang dari jarak yang memerlukan setahun pelayaran".
Mereka mendatangi pantai -- pantai Afrika untuk mencari "bahan yang cocok untuk negeri mereka dan untuk Cina, seperti gading, kulit kura -- kura, kulit macan tutul, ambar". Yang terutama mereka cari ialah budak Zanggi, "karena orang Zanggi itu dengan mudah menanggung perbudakan, dan karena kekuatan fisik mereka".
Kata jenggi ditemukan dalam istilah daftar budak -- budak dalam prasasti -- prasasti Jawa Kuna, seperti prasasti perunggu yang berasal dari tahun 860 Masehi (782 Saka) yang ditemukan di Jawa Timur. Kata jenggi muncul dalam Prasasti Kañcana (Gedangan) pada baris 2 lempeng VI sisi belakang.
Nama orang Jenggi juga muncul dalam Prasasti Lintakan dari perunggu tahun 919 Masehi (841 Saka) dan berasal dari Jawa Tengah. Kata jongi yang berkaitan dengan perbudakan kulit hitam juga dijumpai dalam Prasasti Gandakuti yang berasal dari tahun 964 Saka (1042 Masehi).
Zanggi menjadi saksi bisu perdagangan Kepulauan Nusantara dan Afrika hingga di masa kini. G- Ferand mengutip sebuah teks yang menunjukkan bahwa orang Portugis masih menjumpai pelaut-pelaut Jawa di Madagaskar, ketika mereka sendiri tiba di tempat itu pada abad ke-16, dan pada abad ke-17 orang Belanda sedikit banyak melanjutkan lalu lintas itu dengan mengimpor budak-budak Madagaskar ke Sumatera untuk dipekerjakan dalam tambang emas Salida.
Meskipun begitu, satu-satunya kenangan yang tersisa hingga hingga sekarang adalah keberadaan kelapa ganda besar-besar dari pohon kelapa Kepulauan Seychelles yang terdapat dalam tempat minum atau tempat sirih di antara pusaka keluarga-keluarga ningrat di Jawa dan di pulau-pulau lain. Awalnya diperkirakan bahwa kelapa itu terdampar di pantai Indonesia oleh arus laut, tetapi ada tanda bukti bahwa beberapa buah sengaja dibawa pulang dari pelayaran jauh. Buktinya adalah nama yang selalu diberikan kepada buah itu di Sulawesi: pao jengki, artinya "Buah Dari Negeri Zanggi".
Hal yang menarik tentang kata Zanggi adalah informasi bahwa Zanggi, jengki, jongi, jenggi, merujuk kepada orang-orang berkulit hitam dari pantai-pantai Afrika yang dibawa ke Kepulauan Nusantara dan banyak dijual sebagai budak.
Berikutnya juga diberitakan, "Pada tahun 945/6 Masehi (334 H) tiba "kira-kira seribu perahu" yang dinaiki orang WaqWaq, di daerah "Sofala-nya kaum Zanggi", yaitu di Pantai Mozambik. Orang WaqWaq itu---yang "kepulauannya terletak berhadapan dengan Negeri Cina"---menegaskan sendiri "datang dari jarak yang memerlukan setahun pelayaran".
Mereka mendatangi pantai -- pantai Afrika untuk mencari "bahan yang cocok untuk negeri mereka dan untuk Cina, seperti gading, kulit kura -- kura, kulit macan tutul, ambar". Yang terutama mereka cari ialah budak Zanggi, "karena orang Zanggi itu dengan mudah menanggung perbudakan, dan karena kekuatan fisik mereka".
Kata jenggi ditemukan dalam istilah daftar budak -- budak dalam prasasti -- prasasti Jawa Kuna, seperti prasasti perunggu yang berasal dari tahun 860 Masehi (782 Saka) yang ditemukan di Jawa Timur. Kata jenggi muncul dalam Prasasti Kañcana (Gedangan) pada baris 2 lempeng VI sisi belakang.
Nama orang Jenggi juga muncul dalam Prasasti Lintakan dari perunggu tahun 919 Masehi (841 Saka) dan berasal dari Jawa Tengah. Kata jongi yang berkaitan dengan perbudakan kulit hitam juga dijumpai dalam Prasasti Gandakuti yang berasal dari tahun 964 Saka (1042 Masehi).
Zanggi menjadi saksi bisu perdagangan Kepulauan Nusantara dan Afrika hingga di masa kini. G- Ferand mengutip sebuah teks yang menunjukkan bahwa orang Portugis masih menjumpai pelaut-pelaut Jawa di Madagaskar, ketika mereka sendiri tiba di tempat itu pada abad ke-16, dan pada abad ke-17 orang Belanda sedikit banyak melanjutkan lalu lintas itu dengan mengimpor budak-budak Madagaskar ke Sumatera untuk dipekerjakan dalam tambang emas Salida.
Meskipun begitu, satu-satunya kenangan yang tersisa hingga hingga sekarang adalah keberadaan kelapa ganda besar-besar dari pohon kelapa Kepulauan Seychelles yang terdapat dalam tempat minum atau tempat sirih di antara pusaka keluarga-keluarga ningrat di Jawa dan di pulau-pulau lain. Awalnya diperkirakan bahwa kelapa itu terdampar di pantai Indonesia oleh arus laut, tetapi ada tanda bukti bahwa beberapa buah sengaja dibawa pulang dari pelayaran jauh. Buktinya adalah nama yang selalu diberikan kepada buah itu di Sulawesi: pao jengki, artinya "Buah Dari Negeri Zanggi".
Hal yang menarik tentang kata Zanggi adalah informasi bahwa Zanggi, jengki, jongi, jenggi, merujuk kepada orang-orang berkulit hitam dari pantai-pantai Afrika yang dibawa ke Kepulauan Nusantara dan banyak dijual sebagai budak.
Menurut kroniek Cina pada tahun 813 (atau 815) datang utusan dari kerajaan Holing yang berlokasi di Shepo (translir Cina untuk "Jawa") kepada kaisar Tang dengan memberikan hadiah berupa burung kakak tua beraneka warna, burung pi'n-chia (?), empat budak Seng qi (translir Cina untuk "Jenggi"), dan lain-lainnya. Kaisar sungguh berkenan hati, dan karenanya memberi augerah kehormatan kepada utusan itu.
Jenggi adalah orang berkulit hitam, yang berasal dari Afrika Selatan dan Afriks Timur, yaitu dari Zanzibar dan Etiopia, sebagai "budak belian" (Zoetmulder, 1995:421). Sebutan "Jenggi" terdapat di dalam sumber data susastra maupun prasasti, seperti Kakawin Sumanasantaka karya Mpu Monaguṇa.Pujangga Kediri. Juga tercantum dalam Kakawin Kresnayana (35.10). Dalan daftar abdi pada prasasti Jawa bertarikh 860 Masehi, dengan sebutan "hulun jenggi". Para budak Jenggi tersebut dikirim dari Afrika ke Jawa, bahkan ada yang lalu dikirim ke China. Berita ini memiliki kesesuaian dengan pemberitaan Ibn Lakis bahwa pada tahun 945 M tiba kapal-kapal yang dinaiki oleh orang Wak-wak di Sofala pada permukiman Orang Zenggi/Jenggi (Mozambik). Orang Wak-wak disebut berasal dari kepulauan yang berhadapan dengan China. Kata “Wak-wak” boleh jadi berasal dari kata "Jawak (Jawa)". Orang Wak-wak telah menempuh pelayaran selama satu tahun untuk sampai ke tempat Orang Zenggi guna untuk mencari barang barang seperti gading gajah, cula badak, kulit penyu, emas, perak. Pelabuhan Sofala berdiri pada abad ke-8 Masehi. Memelihara hamba sahaya berkulit hitam, bahkan menggaulinya, diyakini membawa daya lindung magis terhadap kerajaan dan menanbah kekuatan magis bagi mereka yang mensanggamainya..
Dipercaya atau tidak, nenek moyang kepulauan Nusantara sudah melakukan pelayaran hingga mencapai pantai -pantai Afrika seperti Pantai Mozambik dan Madagaskar. Dengan pengetahuan mengenai astronomi -menentukan arah dan musim menggunakan bintang- telah terbentuk jalur pelayaran Kepulauan Nusantara -- Pantai Afrika yang mungkin juga dijadikan pedoman bagi bangsa -- bangsa barat untuk melanjutkan pelayaran mereka menjelajahi dunia timur jauh.
Lukisan Portugis di Cambay India Ada sosok wanita asia dipayungi oleh seorang Jenggi |
Ada yang menarik dari Lukisan penjelajah Portugis di atas ketika mengunjungi Cambay India pada abad ke-16. Ada sosok wanita asia dipayungi oleh seorang Jenggi. Tidak disebutkan negeri asal wanita dalam lukisan. Berdasarkan kebaya yang digunakan, kita sangat familiar dengan kebaya Melayu atau Jawa. Lalu siapakah wanita itu? tidak ada keterangan lebih lanjut.
Lukisan di atas mengingatkan kita pada profil relief Candi Borobudur. Apakah mereka yang ditampilkan berambut keriting itu adalah orang Jenggi? Perdagangan budak ini terjadi sejak jaman kerajaan Hindu -- Budha, yang
tertua berasal dari tahun 860 Masehi, dan masih berlangsung hingga
bangsa Portugis menginjakkan kaki ke pantai Afrika. Perlu kajian penelitian lebih lanjut.
Kemanakah Budak Jenggi itu?
Menurut Hawley dalam bukunya "India in Africa, Africa in India: Indian Ocean Cosmopolitanisms" menjelaskan adanya impor budak dari Pulau Jawa ke Timur Tengah pada tahun 1658 hingga 1807. Budak-budak itu dikirim dari Jawa, Sulawesi, Makasar, Bali, Timor, Ternate, Makao dan lain-lain. Di dalamnya para budak itu tidak hanya bangsa Jenggi (Zanj) tetapi juga bangsa Nusantara (Indonesia sekarang).
Nama Jenggi juga disebutkan dalam Naskah Lontar Sanghyang Siksakandang Karesian yang ditulis tahun 1518 M. Naskah menyebut Jenggi dalam konteks bahasa yang dikenal Kerajaan Pajajan. Berikut kutipannya:
Aya ma nu urang dek ceta, ulah salah geusan nanya. Lamun dek nyaho di carek para nusa ma: carek Cina, Keling, Parasi, Mesir, Samudra, Banggala, Makasar, Pahang, Kala(n)ten, Bangka, Buwun, Beten. Tulangbawang, Sela, Pasay, Parayaman, Nagara Dekan, Dinah, Andeles, Tego, Maloko, Badan, Pego, Malangkabo, Mekah, Buretet, Lawe, Saksak, Se(m)bawa, Bali, Jenggi, Sabini, Ngogan, Kanangen, Kumering, Simpang Tiga, Gumantung, Manumbi, Babu, Nyiri, Sapari, Patukangan, Surabaya, Lampung, Jambudipa, Seran, Gedah, Solot, Solodong, Bali. Indragiri, Tanjung Pura, Sakampung, Cempa, Baluk, Jawa; sing sawatek para nusa ma sang jurubasa darmamurcaya tanya.Terjemahannya
Bila kita hendak bertindak, jangan salah mencari tempat bertanya. Bila ingin tahu bahasa negara-negara lain, seperti: bahasa Cina, Keling, Parsi, Mesir, Samudra, Banggala, Makasar, Pahang, Kelantan, Bangka, Buwun, Beten, Tulangbawang, Sela, Pasay, Negara Dekan, Madinah, Andalas, Tego, Maluku, Badan, Pego, Minangkabau, Mekah, Buretet, Lawe, Sasak, Sumbawa, Bali, Jenggi, Sabini; Ogan, Kanangen, Momering, Simpang Tiga, Gumantung, Manumbi, Babu, Nyiri, Sapari, Patukangan, Surabaya, Lampung, Jambudipa, Seran, Gedah, Solot, Solodong, Indragiri, Tanjung Pura, Sakampung, Cempa, Baluk, Jawa; segala macam [bahasa] negara-negara lain, tanyalah juru basa darmamurcaya.
Dalam naskah
Sanghyang Siksa Kandang Karesian tidak menyebutkan konteks lain tentang
negeri Jenggi, selain konteks bahasa. Namun dalam Naskah Sanghyang Sasana Mahaguru terdapat kalimat 'teguran' dari Pandita terhadap perbudakan. Perilaku memperbudak manusia disebut sebagai salah satu "Trimala Wisesa" yaitu tiga keadaan kotor atau berdosa.
Nya ieu nu disebut ‘trimala wisésa’ (tilu ceda dina kakawasaaan). Ayana di sang prabu, rama, resi jeung tarahan. Ieu écésna mah: aya nu katingali keur susah, kalah dijual dijieun budak beulian, atawa dirampas jeung dipaéhan. Nya éta nu disebut ‘pancakapataka’ (lima kasangsaraan), disebut ogé ‘trimala wisesa’ (tilu kaayaan kotor dina kakawasaan), omongan Sang Pandita.Terjemahan
Inilah yang disebut tiga malapetaka dalam kekuasaan "Trimala Wisesa". Adanya di Sang Prabu, Rama, Resi dan tarahan. Inilah penjelasannya: Ada yang terlihat sedang susah, lalu dijual diperbudak, atau dirampas dan dibunuh. Itulah yang disebut lima kesengsaraan "Pancapataka" disebut juga tiga malapetaka dalam kekuasaan "trimala wisesa", Ucap Sang Pendeta.
Adanya 'teguran' Sang Pandita dalam naskah di atas, bisa jadi menunjukkan bahwa peristiwa perbudakan itu memang terjadi.
Kisah Putri Tandurang Gagang dan Gambaran Karma
Kisah Putri Galuh bernama Tanduran Gagang memang 'aneh dan tidak masuk akal'. Naskah awal yang menceritakan Dewi Tanduran Gagang adalah Babad Galuh yang ditulis pada kertas Eropa bercap Pro Patria beraksara Cacarakan. Situlis pada abad ke-19 oleh Kyai Surengrania tahun 1876. Naskah disimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon (Ekajati, 1999). Naskah ini rupanya turunan dari naskah Babad Tanah Jawi.
Bagi masyarakat yang melandaskan segala aktivitasnya berdasarkan sistem religi, maka mitologi dan dongeng adalah fakta sekaligus acuan hidup. Kenyataan fiksi adalah kenyataan sosial yang tak terbantah. Kisah-kisah yang tertera dalam kakawin, kidung, carita, serat, kemudian hikayat, babad, sajarah, dan wawacan, banyak mengandung alam pikiran seperti itu, yang bagi kita manusia modern akan menimbulkan kerutan di kening seraya setengah menyanggahnya.
Babad Galuh dimulai dari silsilah Ciung Wanara dan Hariangbanga. Dari sini kita dapat melihat kesamaan isi dengan Babad Tanah Jawi. Masa hidup tokoh Ciung Wanara dan Hariang Banga dalam pantun tersebut—yang seyogyanya diasumsikan sebagai tokoh sejarah Sang Manarah dan Rahiyang Banga yang hidup di abad ke-8 menurut Carita Parahyangan (disusun abad ke-16)—malah berada di abad ke-13. Kekacauan masa hidup si tokoh dan ketumpangtindihan masalah tempat cerita dalam pantun tersebut diserap begitu saja oleh masyarakat awam di zamannya sebagai peristiwa sejarah yang nyata. Namun dalam kisah Babad atau Wawacan memang berisi anakronisme. Ada banyak pesan tersembunyi di dalamnya yang penuh silib siloka.
Serat Sakender yang ditulis di abad ke-19, contohnya, mengisahkan bahwa pendudukan VOC di Tatar Priangan harus diterima karena orang Belanda merupakan keturunan raja Pajajaran. Diceritakan bahwa Murjangkung (Jan Pieterszoon Coen, pendiri Batavia) dilahirkan dari seorang putri keturunan raja Pajajaran, sementara ayahnya adalah Sukmul, keponakan Raja Spanyol. Karena itu, kepemimpinan para gubernur jenderal Kompeni, yang disebut sebagai keturunan Murjangkung, haruslah diterima oleh masyarakat Priangan, sebagaimana mereka mengakui Sunan Mataram, mengingat Murjangkung berjanji akan melindungi Nyi Ratu Kidul dan juga wilayah Priangan.
Kisah di atas serupa dengan yang dibeberkan Babad Galuh dan Wawacan Sajarah Galuh yang menerangkan bahwa penguasaan Kompeni terhadap Sunda Kelapa dan kemudian Priangan sudah diramalkan oleh Ki Ajar Sukaresi yang berkata bahwa kelak wilayah Priangan akan dikuasai oleh raja asing yang membalas sakit hatinya. Konon, putri Ki Ajar dari seorang putri raja Pajajaran tersebut, yang bernama Nyi Tanduran Gagang, dijadikan “istri bergilir” oleh raja Cirebon, raja Banten, dan raja Mataram. Dari kemaluannya selalu keluar api panas jika hendak dicampuri, dan akhirnya oleh ketiga mantan suaminya diserahkan kepada orang Eropa dengan imbalan masing-masing sebuah meriam. Mengetahui kabar buruk itu, ibu si putri melapor kepada suaminya, Ki Ajar, yang kemudian mengucapkan kutukan bahwa kelak raja Jawa akan tunduk kepada penguasa asing keturunan Nyi Tanduran Gagang. Inilah langkah (para) bupati Galuh untuk menenangkan masyarakatnya agar tetap tunduk pada Kompeni yang saat itu telah berkuasa atas Mataram, Cirebon, dan Banten. Ramalan dan kutukan dijadikan senjata dan benteng untuk melindungi diri dari kekalahan yang total.
Mari kita lihat pesan tersirat dalam kisah Nyi/Dewi Tanduran Gagang. Seorang perempuan terhormat ini harus menjadi 'pelacur' dan budak. Ini adalah gambaran karma yang 'harus' dijalani pribumi. Tanpa disadari, mungkin ada pesan dari para Pandita yang weruh permana tingal untuk mengingatkan kita bahwa apa yang terjadi dahulu disaat leluhur kita berjaya memperbudak bangsa Jenggi. Kemudian Nyi Tanduran Gagang melahirkan bangsa Belanda yang menjadi tuan bagi bangsa Nusantara. Di sini sangat jelas seperti menggambarkan kita sedang menjalani karma. Bahkan berlangsung 350 tahun.
Jika kita bisa mengaji diri, tentu kita akan tersadar dari semua peristiwa yang terjadi bukanlah kebetulan. Dalam konsepsi karma, yang kita jalani hari ini adalah akibat yang disebabkan peristiwa di masa lalu. Jika demikian, maka kita berdoa kepada Tuhan yang Maha Kuasa, kiranya Tuhan mengampuni dosa-dosa kita dan leluhur kita. Dan.. kita bersaksi bahwa bangsa ini telah menjalani karmanya dan berkatilah kami menjadi bangsa yang berjaya kembali dengan penuh cita dan welas asih.
Referensi
- Hawley, John C. "India in Africa, Africa in India: Indian Ocean Cosmopolitanisms" googlebooks Diakses 6 Juli 2020.
- "Ibnu Batutah" wikipedia.org
- "Mengenal "Zanggi" dari Masa ke Masa" oleh Shri Werdhaning Ayu. kompasiana.com Diakses 6 Juli 2020.
- Lombard, Denys. 2005. "Nusa Jawa: Jaringan Asia". Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. googlebooks Diakses 6 Juli 2020.
- Cahyono, M. Dwi [Arkeolog dan dosen UM]. "Fenomena Sosial Remang 'Pelacuran' Jawa Kuna". jurnalmalang.com Diakses 6 Juli 2020.
- Ekajati, Edi Suhardi. 1999 "Jawa Barat, koleksi lima lembaga". Jakarta: Yayasan Obor Indonesia