Cari

Apa Agama yang Dianut Prabu Siliwangi? | Prasasti Kebantenan - Bukti Situs Keagamaan di Kerajaan Pajajaran


 
[Historiana] - Oleh Alam Wangsa Ungkara. Di zaman sekarang ini, sosok sejarah bahkan kronolgi antar peristiwa disangkutpautkan dengan agama. Termasuk sosok legendaris di Tatar Pasundan, yaitu Prabu Siliwangi. Ada banyak Pertanyaan: apa agama yang dianut Prabu Siliwangi?

Sebenarnya di zaman Pajajaran, mengenai urusan agama adalah urusan pribadi. Bahkan hingga Indonesia di Zaman Kolonialisme, tidak jelas batas identifikasi seseorang dengan dilabeli beragama tertentu. Namun demikian, untuk menelusuri rasa penasaran itu, kita lihat sumber informasu yang paling mendekati kebenaran adalah prasasti. Ada prasasti Kebanten yang dikeluarkan oleh Sri Baduga Maharaja sendiri yang di dalamnya kental dengan nuansa keagamaan.
 
Prasasti Kebantenan ditemukan di Desa Kebantenan, Bekasi pada tahun 1867. Saat ini prasasti disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan nomor inventaris E.42A-E.45. Di dalam isi prasasti tidak tercantum angka tahun, namun menyebutkan nama Sri Baduga Maharaja (1482-1521) serta wilayah Pakuan Pajajaran sehingga dapat diperkirakan berasal dari abad ke-15 Masehi (Ayatrohaedi, 1993: 368). Prasasti Kebantenan berdasarkan isinya dibagi menjadi prasasti Kebantenan I, II, IV yang merupakan pitĕkĕt atau perintah langsung dari raja. Sedangkan prasasti Kebantenan III dan V merupakan peringatan dari raja. Prasasti Kebantenan merupakan prasasti beraksara dan berbahasa Sunda Kuna. Berdasarkan bentuk aksaranya diketahui berasal dari abad ke-15 Masehi. Prasasti ini dibuat dari lempengan tembaga yang sangat tipis oleh sebab itu pada prasasti Kebantenan V aksaranya sulit dibaca kembali.

Pembacaan telah dilakukan oleh peneliti asing atau pun pribumi seperti Holle tahun 1867 dan 1872, C.M. Pleyte tahun 1991, Atja tahun 1990 dan Ayatrohaedi tahun 1990. Prasasti ini dibahas pula sebagai pelengkap uraian sejarah kuna Jawa Barat dalam Sejarah Nasional II (Sumadio, 1993) dan dalam Rintisan Masa Silam Sejarah Jawa Barat Jilid keempat (Danasasmita, 1993/1994). Di bawah ini adalah hasil alih aksara dan bahasa yang dilakukan oleh Ayatrohaedi (dalam Djafar, 1991: 10-11)

Prasasti Kebantenan I (Prasasti Jayagiri)

Prasasti Kebantenan dituliskan di dua lempeng tembaga yang amat tipis masing-masing berukuran 21,5 x 6,5 cm. Lempeng I betuliskan empat baris di kedua belah sisinya dan sebuah lagi bertuliskan hanya pada satu sisinya dengan tiga baris tulisan. Di bawah ini adalah alih aksara dan bahasanya:

Lempeng 1 (E.42a) recto


Lempeng I (E.42a) recto:
//ong on awignam as/tu. nihan/ sakakala ra hyan niskala was/tu kañcana pu/ turun/ ka ra hyan ningrat/ kañcana maka ŋuni ka susuhunan/ ayő na di pakuan/ pajajaran/ pun/ mulah mo mipahe
Terjemahan:
Semoga selamat. Inilah tanda peringatan Rahyang Niskala Wastu Kancana, turun kepada hyang Ningrat Kancana, kemudian diamanatkan kepada Susuhunan yang sekarang di Pakuan Pajajaran. Telah menitipkan

Lempeng 1 (E.42a) verso


Lempeng 1 (E.42a) verso:
dayőhan/ di jayagiri dőn (baca; jőn) dayőhan/ di su(n/)da sĕmbawa ayama nu ŋabayu an/ iña ulah dek/ ŋahőryanan iña ku nadasa. calagra. kapas/ timban. pare dondan pun/ maŋaditudi ka para muhara. mulah dek/ men/
Terjemahan:
dayeuhan di Jayagiri dan dayeuhan di Sunda Sembawa agar ada yang mengurusnya. semua hendaknya jangan mengganggu dengan dasa calagara, kapas timbang dan pare dongdang. Maka diperintahkan kepada para muhara agar jangan

Lempeng 2 (E.42b) recto


Lempeng 2 (E.42b) recto:
ta an/ iña beya pun/ kena iña nu purah dibuhaya mibuhayakőn/ na kacarita an/ pun/ nu pagőh ŋawaka n/ na dewa sasana/ na pun/ o.o
Terjemahan:
memungut biaya (pajak) dari mereka (penduduk) karena mereka itu sangat berbakti kepada ajaran (agama) dan teguh memelihara Dewasasana.

Prasasti Kebantenan II (Sunda Sembawa I)

Prasasti Kebantenan II adalah satu lempengan tembaga amat tipis, berukuran 21 x 6,7 cm. Di bagian depan lempengan bertuliskan enam baris tulisan dan bagian belakang lima baris tulisan. Di bawah ini adalah alih aksara dan bahasanya:

Lempeng E.43 recto


Lempeng E.43 recto:
/ /ong pun/ ini pitĕkĕt/ sri baduga maharaja ratu haji di pakwan/ sri san ratu dewata nu dipitĕkĕtan/ mana (baca: nana) lĕ mah dewa sasana su(n)da sĕmbawa mulah aya nu ŋubahya mulah aya nu ŋahőryanan/ te (baca: ti) beh timur hangat/ cira ub/ ka san hyan salila ti barat/ hangat rusĕb/ ka mu(ñ)jul/ ka ci bakeken ciho(ñ/)je ka muhara cimu(ñ/)can pun/ ti kidul/
Terjemahan:
Inilah (surat) pengukuhan Sri Baduga Maharaja, raja penguasa di Pakuan, Sri Sang Ratu Dewata. Yang dikukuhkannya adalah tanah dewasasana di Sunda Sembawa. Jangan ada yang mengganggu, janganlah ada yang mempermainkan. (Batasnya) di sebelah timur dari Ci Raub sampai Sanghyang Salila, di barat dari Rusĕb sampai Munjul, ke Ci Bakekeng, Ci Honje, (sampai) ke muara Ci Muncang, di selatan

Lempeng E.43 verso


Lempeng E.43 verso:
hangat/ lőwőn comon/ mulah mo mihapeya kena na dewa sasana sangar kami ratu saparah jalan/ gede kagirangkőn/ lemah laraŋan/ pigősanőn/ na para wiku pun/ ulah dek waya nu kődő di bőnanŋin ŋagurat/ ke na a in heman/ di wiku pun/
Terjemahan:
dari hutan comon. Jangan tidak mengindahkan, karena Dewasasana sanggar (pemujaan) raja kami. Sepanjang jalan besar ke arah hulu adalah tanah larangan yang telah disediakan untuk para wiku. Jangan ada yang mengingkari (keputusan) yang telah digoreskan ini karena aku sayang pada wiku.

Prasasti Kebantenan III (Sunda Sembawa II)

Prasasti Kebantenan III adalah satu lemoengan tembaga yang amat tipis berukuran 14 x 5,3 cm. Di bagian depan depan bertuliskan lima baris tulisan dan bagian belakang dua baris tulisan.

Lempeng E.44 Recto


Lempeng E.44. recto:
ini pitĕkĕt/ nu seba di pajajaran/ mitĕkĕ tan/ na kabuyutan/ di su(n/)da sĕmbawa aya ma nu ŋaba yu an/ mulah aya nu ñĕkapan/ mulah aya nu munahmunah iña nu hahőryanan/ (baca: ŋahőryanan/) lamun aya nu
Terjemahan:
Inilah pengukuhan yang bersemayam di Pajajaran. Mengukuhkan kabuyutan di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya, jangan ada yang mengurangi, jangan ada yang merintangi atau mengganggu.

Lempeng E.44 verso:
kődő pa(am/)bahna lurah su(n)da sembawa ku a in dititah di pa eh han/ kena eta lurah kawikuan/
Terjemahan:
Jika ada yang memaksa memasuki daerah Sunda Sembawa aku perintahkan agar dibunuh, karena daerah itu tempat kediaman para wiku


Prasasti Kebantenan IV (Gunung Samaya)

Prasasti Kebantenan IV ditulisakan pada sebuah lempengan tembaga yang amat tipis dengan ukuran 20,5 x 6,5 cm. Lempengan ini bertuliskan pada ke dua belah sisinya. Di bagian depan terdiri dari delapan baris tulisan, sedangkan bagian belakang tidak jelas memuat berapa baris karena keadaannya sudah sangat aus. Di bawah ini adalah alih aksara dan bahasanya:

Lempeng E.45


Lempeng E.45 recto:
/ /o/ / pun/ ini pitÄ•kÄ•t/ sri baduga maharaja ratu haji di pakwan/ sri san ratu  dewata nu di pitÄ•kÄ•tan/mana (baca: nana) lmah dewa sasana gunu samaya sugan/n=aya nu dek/ Å‹ahÅ‘riyanan/ iña ku palulurahhan/ ku pallmahhan/ mulah aya nu Å‹ahÅ‘riyanan/ iña ti timur ha(n)gat/ ci upih ti barat/ ha(n)gat/ cilbu ti kidul/ ha(n)gat jalan/ gede pun/ mulah aya nu Å‹ahÅ‘riyanan/ iña ku da sa ku calagara upÄ•ti pangÄ•rs rma (baca: rÅ‘ma) ulah aya nu me(n/)ta an/ iña kena sangar kami ratu nu purah mibuhayakÅ‘n/na ka ratu pun/ nu pagÅ‘h Å‹awakan/ na dewa sasana pun/ o o
Terjemahan:
Inilah tanda pengukuhan Sri Baduga Maharaja, raja yang berkuasa di Pakuan, Sri Baduga Sang Ratu Dewata. Yang dikukuhkannya adalah tanah Dewasasana di Gunung Samaya. Janganlah ada yang hendak mengganggunnya, baik melalui daerahnya maupun melalui tanahnya jangan ada yang mengganggu. Di timur berbatasan dengan Ci Upih, di barat berbatasan dengan Ci Lebu, di selatan berbatasan dengan jalan besar. Janganlah ada yang mengganggunya dengan meminta dasa, calagara, upeti panggĕrĕs rema. Janganlah ada yang memintanya karena ada sanggar (pemujaan) raja kami yang selalu memberi perlindungan kepada raja yang teguh memelihara Dewasasana.

Prasasti Kebantenan V

Prasasti Kebantenan V dituliskan pada lempeng prasasti E.45 verso. Prasasti ini sulit untuk dibaca kembali karena tulisannya sangat tipis serta lempengnya adalah bekas prasasti lama yang ditulis kembali. Di dalam isi prasasti ini banyak menyebutkan daerah-daerah beragama seperti Kabuyutan dan Dewasasana. Daerah-daerah ini dijelaskan dengan batasbatas wilayah sesuai dengan arah mata angin. Prasasti kebantenan diamanatkan kepada penduduk Dayeuhan Jayagiri dan Dayeuhan Sunda Sembawa untuk memelihara Kabuyutan dan Dewasasana. Dayeuh adalah suatu kota, sedangkan Dewasasana adalah tempat keagamaan. Disebutkan di dalam isi prasasti dengan jelas bahwa terdapat Dayeuhan Sunda Kayagiri dan Dewasasana Sunda Sembawa. Dijelaskan pula bahwa Dayeuhan yang di dalamnya terdapat Kabuyutan dan Dewasasana dibebaskan dari pajak (dasacalagara, kapas timbang, pare dongdang) dan siapa pun dilarang untuk mengganggunya. Penjelasan tersebut memperlihatkan bahwa kota yang terdapat daerah keagamaan tersebut dianggap sakral oleh raja dan masyarakatnya.


Prasasti Batutulis

Prasasti Batutulis ditemukan di desa Batutulis, Bogor dan hingga saat ini letak masih di tempat pertama kali ditemukan. Tulisan dalam prasasti Batutulis ini dipahatkan pada sebuah batu pipih yang di bagian sisi atasnya tak simetris bentuknya. Huruf yang dituliskan adalah huruf Jawa Kuna dan berbahasa Sunda Kuna dalam sembilan baris tulisan. Pertama kali dikemukakan di dalam buku The History of Java jilid II karya T.S. Raffles pada tahun 1817, yang disertai pula faksimil-nya. Di bawah ini yaitu hasil terjemahan yang dilakukan oleh Hasan Djafar (1991:4-5):

Prasasti Batu Tulis Bogor


Transkripsi:
wan na pun/ iti sakakala prĕbu ratu purana pun/ diwas/tu diya wiŋaran/ (dibaca; diŋaran) prĕbu guru dewata prana diwas/tu diya diŋaran/ sri baduga maharaja ratu haji di pakwan/ pajajaran/ sri san ratu de wata pun/ ya nu ñusuk/ na pakwan/ diya anak/ rahyan dewa nis/ kala sa(n)sida mok/ ta di guna tiga i(n)cu rahyan nis/kala was/tu ka(n/)cana sa(n) sida mok/ta ka nusa lara(n). ya siya nu ñiyan/ sakaka la gugunuŋan/ ŋabalay/ ñiyan/ samida ñiyan/ sa(n) hyang talaga (wa) rna mahawijaya ya siya pun/: wa ŋĕ(m)ban/ bumi i saka pañcapan/ da
Terjemahan:
semoga selamat inilah tanda peringatan (untuk Prebu Ratu) yang telah mangkat. Dinobatkan beliau dengan nama Prebu Guru Dewataprana. Dinobatkanlah beliau dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Beliaulah yang membuat parit pertahanan Pakuan. Beliau putra Rahyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana mendiangi Nusalarang. Beliaulah yang membuat tanda peringatan Berupa gunung-gunungan, memperkeras jalan, membuat samida, membuat sang hiyang Talaga (wa) rena Mahawijaya. Beliaulah itu pada tahun Saka pañca pandawa ŋĕ(m)ban bumi (= 1455 Saka/1533 Masehi)

Hasil terjemahan Hasan Djafar sama dengan hasil pembacaan Danasasmita (1983/84: 6-7). Melihat isi yang dituliskan, jelas bahwa prasasti ini dibuat setelah Sri Baduga Maharaja meninggal dunia (prÄ•bu ratu purane), sehingga prasasti ini dibuat untuk menghormati leluhur yang telah meninggal dunia. Prasasti ini dibuat atas perintah Surawisesa, yang lebih dikenal dengan Ratu Sangiang, yakni putra dari Sri Baduga. 

Pada masa kerajaan Sunda Kuna tidak dapat diketahui secara pasti kapan masuk dan bagaimana munculnya agama Hindu atau Buddha. Hal itu disebabkan tidak banyak ditemukan bangunan atau media untuk melakukan kegiatan keagamaan yang nyata seperti halnya candi dan arca dewa yang banyak ditemukan di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Jawa Barat hanya ditemukan monumen-monumen yang masih berupa bangunan terbuat dari batu-batu besar yang sering kali dikaitkan dengan selang waktu yang lebih tua dari kerajaan Sunda Kuna.

Tinggalan arkeologi berupa artefak atau bangunan yang berhubungan dengan aktivitas keagamaan di daerah Jawa Barat sangatlah terbatas. Begitu pula dengan sisa peninggalan arkeologi di wilayah Ciamis, tidak banyak tinggalan fisik berupa bangunan suci masa Hindu Buddha yang ditemukan.
 
Bagaimana kesimpulannya? Penulis menyerahkan kepada para pembaca semuanya. Dalam dunia literasi kita ditantang untuk berpikir logis dan kritis. Literasi dianggap sebagai kemampuan dasar bertahan hidup di era demokrasi post-modern. Literasi adalah kemampuan membaca, menulis dan berpikir kritis. Inilah yang akan menjadi pondasi perkembangan dunia pengetahuan yang objektif dan konstruktif. Tidak lagi diarahkan oleh 'kepentingan' dan standar aturan yang ditentukan, tetapi dat data-data yang direkonstruksi menjadi sebuah informasi apa adanya.

Sejak masa awal kebijakan pendidikan oleh pemerintah Hindia Belanda bernama Politik Etis hingga sekarang, pemahaman literasi sering kali disandingkan dengan berpendidikan. Walau pada hari ini kenyataannya kita bisa saksikan bahwa banyak orang berpendidikan tinggi ternyata tidak punya kemampuan literasi.


Referensi

  1. Ayatrohaedi. “Sanghyang Siksa”, Buletin Yaperna, Berita Ilmu-ilmu Sosial dan Kebudayaan, 8,2, Agustus, hlm. 70-76. Jakarta: Yayasan Perpustakaan Nasional, 1975.
  2. __________. ”Pajajaran atau Sunda?”, Majalah Arkeologi Th 1 No 4, hlm. 46-54. Jakarta: Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1978.
  3. __________. “Masyarakat Sunda Sebelum Islam”, Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia Jilid IX No.1, hlm. 33-41. Jakarta Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1980/81. 
  4. __________. “Kerajaan  Sunda”, Sejarah  Nasional  Indonesia  II:  Jaman  Kuna, Editor  Umum  Marwati: Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, hlm. 355-390. Jakarta: Balai Pustaka. Edisi ke-4, jilid 4, 1993.
  5. __________.  Jatiniskala:  Kehidupan  Kerohanian  Masyarakat  Sunda  Sebelum Islam. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993.
  6. Ayatrohaedi (penyunting). Kamus Arkeologi Indonesia (Edisi ke-2), Laporan Fakultas Sastra   Universitas   Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979
  7. Atja. Carita Parahiyangan: Titilar Karuhunan Urang Sunda Abad Ke-16 Masehi. Bandung: Yayasan Kebudayaan Nusalarang, 1968.
  8. Boechari.  “Epigrafi  dan  Sejarah  Indonesia”, Majalah  Arkeologi, I(2), hlm.  1-40. Jakarta: Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Univerisitas Indonesia, 1977.
  9. Danasasmita, Saleh. Ya Nu Nyusuk Na Pakwan: Prasasti Batutulis Bogor. Bandung: Lembaga Kebudayaan Univeristas Padjadjaran, 1973.
  10. _______________. “Hubungan Sri Jayabhupati dan Prasasti Gegerhanjuang”, Seri Sundalana 5: Mencari Gerbang Pakuan dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda, hlm. 44-77. Jakarta: PT Kiblat Buku Utama, 2006.
  11. Danasasmita dkk, Saleh. Rintisan Penelusuran Masa Silam: Sejarah Jawa Barat (4 Jilid). Bandung: Proyek Penerbitan Buku Sejarah Jawa Barat, Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, 1983/84.
  12. ___________________. Sewakadarma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), 1987. Deetz, James. Invitation to Archaeology. New York: The Natural History Press, 1967.
  13. Djafar, Hasan. “Prasast-Prasasti dari Masa Kerajaan-Kerajaan Sunda”, makalah dalam Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuan Padjajaran, diselenggarakan oleh Universitas Pajajaran bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Pusat Penelitian Arkeologi Indonesia, Bogor 11-13 November, 1991.
  14. ____________. “Prasasti dan Historiografi”, dalam Seminar Sejarah Nasional IV, Sub Tema Historiografi, cetakan kedua, hlm. 177-216. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1991a.
  15. _____________. Kompleks Percandian di Kawasan Situs Batu Jaya, Karawang, Jawa Barat Kajian Sejarah Kebudayaan. Disertasi. Depok: Universitas Indonesia, 2007.
  16. Djatisunda, Anis. “Kecap Ngabalay dina Prasasti Batutulis”, dalam Majalah Basa Sunda Balebat, hlm 8-10. Edisi 09, Februari-Maret. Bogor, 2008.
  17. Ekadjati, Edi S. Naskah Sunda, Invetarisasi dan Pencatatan. Bandung: Kerjasama Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran dengan Toyota Foundation, 1988.
  18. _____________. Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta: Pustaka Jaya, 1993.
  19. _____________. Kebudayaan Sunda: Zaman Pajajaran, jilid 2. Jakarta: Pustaka Jaya, 2007.
  20. Falah, W. “Pola Pergantian dan Tipe Kepemimpinan Raja di Kerajaan Sunda”, dalam Berkala Arkeologi XIV, hlm. 115-118. Jakarta: Balai Arkeologi, 1994.
  21. Saringendyanti, Etty. “Penempatan Situs Upacara Masa Hindu-Buda:  Kajian Lingkungan Fisik Kabuyutan di Jawa Barat. Tesis. Depok: Universitas Indonesia, 1993.
  22. Satjadibrata, R. Kamus Basa Sunda. Djakarta: Perpustakaan Perguruan Kementrian P.P dan K, 1954.
  23. Soebadio, Hariyati. “Kepribadian Budaya Bangsa” dalam Ayatrohaedi (Penyunting), Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), hlm. 18-25. Jakarta: Pustaka Jaya, 1986. 
  24. Soejono, R.P (Penyunting). Sejarah Nasional Indonesia: Jaman Prasejarah di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984.
  25. Soesanti, Ninie. “Analisis Prasasti”, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi VII. Cipanas 12-16 Maret 1996,  jilid I, hlm. 171-182. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1997.
  26. Sugono, Dandy, dkk. Kamus Bahasa Sunda Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
  27. Utomo, Bambang Budi. Arsitektur Bangunan Suci Masa Hindu Buddha di Jawa Barat. Jakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Proyek Peneltian dan Pengembangan Arkeologi, 2004. 
  28. Widyastuti, Endang. “Variasi Bentuk Ganesa dan Perkembangan Religi di Jawa Barat”, dalam Kresno Yulianto (Penyunting), Tradisi, Makna dan Budaya Materi, hlm. 28-39. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 2004.
  29. Zoetmulder, P.J. ”The Significance of the Study of Culture and Religion for Indonesian Historiography”, dalam Soedjatmoko, Muhammad Ali, G.J.Resink, dan G.Mc.Kahin, An Introduction to Indonesian Historiography, hlm 326-330. Ithaca/New York: Cornell University Press, 1965.
Baca Juga

Sponsor