[Historiana] - Di abad ke-21 ini, kita mengenal Sunda sebagai sebuah istilah yang identik dengan Priangan dan Jawa Barat. Sunda adalah Priangan, dan Priangan adalah Jawa Barat. Sunda, Priangan dan Jawa Barat dikenal sebagai sebuah kesatuan yang tak terpisahkan. Namun, pada dasarnya jika melihat sejarahnya, Sunda, Priangan dan Jawa Barat memiliki sejarah dan perkembangannya masing-masing. Lalu sebenarnya apa itu Sunda, Priangan dan Jawa Barat? Apa perbedaan ketiganya jika dilihat dari kacamata sejarah? Mengapa orang-orang banyak mengindentikannya semua itu sebagai suatu kesatuan, padahal sebenarnya masing-masing dari ketianyanya memiliki latar belakang historis dan perkembangannya sendiri.
Mengutip makalah karya Mumuh Muhsin Z, dosen pengajar Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran bahwa Sunda, Priangan, dan Jawa Barat adalah tiga istilah yang secara lokalitas dan spasialitas menunjuk pada wilayah yang relatif sama. Namun demikian, pada ketiga istilah ini terdapat perbedaan nuansa. Sunda lebih menunjukkan aspek kultural, Priangan menunjukkan aspek administratif level keresidenan, dan Jawa Barat juga menunjukkan aspek adminintratif level provinsi. Ketiga istilah ini pun memiliki latar dan perjalanan historis sendiri-sendiri. Perkembangan selanjutnya pun berjalan masing-masing. Tulisan ini mencoba melacak akar historisnya.
Sunda
Sunda Secara etimologis, kata sunda berasal dari bahasa Sanskerta sund atau suddha yang berarti bersinar, terang, putih. Dalam bahasa Kawi dan bahasa Bali pun terdapat kata sunda yang berarti: bersih, suci, murni, tak bernoda, air, tumpukan, pangkat, dan waspada. Claudius Ptolemaeus (90-168 M), ahli geografi berkebangsaan Yunani, dianggap sebagai orang pertama yang menyebut Sunda yang mengacu sebagai nama seuatu tempat. Kata ini digunakannya untuk menunjuk suatu wilayah yang terletak di sebelah timur India.
Terinspirasi oleh Ptolemaeus, para geolog Eropa generasi-kemudian menamai Sunda untuk suatu dataran bagian barat-laut India Timur, sedangkan bagian tenggaranya dinamai Sahul. Selanjutnya, sejumlah pulau yang terbentuk di dataran Sunda diberi nama Kepulauan Sunda Besar dan Kepulauan Sunda Kecil. Istilah yang pertama mengacu pada himpunan pulau yang berukuran besar yang terdiri atas pulau-pulau Sumatera, Jawa. Madura, dan Kalimantan. Istilah yang kedua mengacu pada gugusan pulau-pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, dan Timor.
Selanjutnya, Sunda menjadi nama kerajaan di bagian barat Pulau Jawa, Kerajaan Sunda, yang berdiri pada abad ke-7 (669 M) dan berakhir pada tahun 1579 M, yang beribukota di Pakuan Pajajaran. Sejak keruntuhan kerajaan itu, nama Sunda terutama yang mengacu pada pengertian geografis tidak begitu menonjol.
Istilah Sunda mengemuka lagi pada awal abad ke-20 melalui kelahiran organisasi Paguyuban Pasundan (1914). Perkumpulan ini bertujuan meningkatkan derajat, harkat, martabat, dan kesejahteraan orang Sunda. Organisasi ini pernah mengusulkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda agar nama Province West Java yang dibentuk pada tahun 1926 diubah namanya menjadi Provinsi Pasundan. Usulan tersebut disetujui oleh pemerintah kolonial, sehingga ketetapan tentang pembentukan provinsi ini berbunyi: West Java, in inheemsche talen aan te duiden als Pasoendan (Jawa Barat, dalam bahasa pribumi [bahasa Sunda] menunjuk sebagai Pasundan) (Ekadjati, 1995: 3-4).
Edisi videonya...
Priangan
Kata priangan berasal dari kata parahyangan. Akar kata parahyangan adalah hyang atau rahyang, kemudian mendapat awal para- dan akhiran -an atau awalan pa- dan akhiran -an. Pengertian kata ini adalah daerah yang menjadi tempat tinggal tuhan atau dewa (hyang) yang harus dihormati atau daerah yang menjadi tempat tinggal leluhur yang harus dihormati (Ayatrohaedi, 1969). Selain itu, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kata priangan itu berasal dari kata prayangan, yang berarti menyerah dengan hati yang tulus. Pengertian yang kedua ini dikaitkan pada peristiwa sejarah, yaitu menyerahnya Pangeran Suriadiwangsa atau Pangeran Rangga Gempol I (Raja Sumedanglarang terakhir, karena selanjutnya menjadi Bupati) kepada Sultan Agung Mataram pada tahun 1620.
Pada pendapat yang kedua ini terdapat kelemahan, karena ia mengesankan bahwa kata Priangan baru muncul pada tahun 1620. Padahal jauh sebelum itu, yakni pada akhir abad-ke 16, kata priangan sudah muncul dan menjadi judul sebuah naskah Carita Parahyangan. Naskah ini disusun sekitar akhir abad ke- 16, pada masa akhir Kerajaan Sunda. Dalam naskah ini diceritakan sejarah Kerajaan Sunda sejak awal hingga akhir. Di dalamnya dikemukakan daftar raja Sunda berikut lama masa pemerintahannya dan peristiwa-peristiwa yang terjadi serta masalah yang muncul pada masa pemerintahan tiap-tiap Raja Sunda. Isi naskah ini diakhiri oleh cerita mengenai kemunduran Kerajaan Sunda dan masuknya pengaruh Islam ke wilayah kerajaan.
Akan tetapi, memang, nama parahyangan yang menjadi judul naskah tersebut tidak menunjukkan nama wilayah geografis. Oleh karena itu, boleh jadi pemberian nama priangan untuk wilayah geografis bekas Kerajaan Sunda itu terilhami oleh judul naskah itu. Priangan sebagai nama wilayah geografis di bagian barat Pulau Jawa ini terjadi pada tahun Selanjutnya, nama Priangan terus digunakan pada periode-periode berikutnya.
Nama Priangan resmi menjadi nama keresidenan terjadi pada tahun 1815 sewaktu Pulau Jawa dikuasai oleh Pemerintahan Interregnum Inggris pimpinan Thomas Stamford Raffles (1811–1816). Pada periode ini Keresidenan Priangan meliputi lima kabupaten: Cianjur, Bandung, Sumedang, Sukapura, dan Parakanmuncang. Batas-batas administratif wilayah Keresidenan Priangan waktu itu adalah sebelah utara Keresidenan Batavia dan Cirebon, sebelah timur Keresidenan Cirebon dan Banyumas, sebelah selatan dan barat daya adalah Samudera Hindia, dan sebelah barat adalah Keresidenan Banten. Batas-batas alam wilayah ini adalah sebelah utara rangkaian pegunungan Salak-Gede dan Burangrang-Tangkubanparahu; sebelah timur Sungai Citanduy; sebelah barat adalah Pelabuhanratu (Wijnkoopsbaai) dan Ciletu (Zandbaai), sebelah tenggara Selat Pananjung, dan di sebelah selatan dan tenggara adalah Cilauteureun.
Setelah kemerdekaan, Keresidenan Priangan meliputi lima kabupaten dan satu kotapraja, yaitu: Kabupaten Bandung, Garut, Sumedang, Tasikmalaya, Ciamis, dan Kotapraja Bandung. Pada tahun 1964 status keresidenan dihapus, dan diganti dengan istilah wilayah. Provinsi Jawa Barat terdiri atas lima wilayah, salah satunya adalah Wilayah V Priangan.
Jawa Barat
Provinsi Jawa Barat dibentuk tanggal 1 Januari 1926. Pembentukan provinsi ini dituangkan dalam Staatsblad (Lembaran Negara) Tahun 1925 Nomor 378 tanggal 14 Agustus. Masyarakat Sunda waktu itu menyebutnya sebagai Provinsi Pasundan. Provinsi Jawa Barat merupakan propinsi yang pertama kali dibentuk. Kemudian menyusul dibentuk Provincie Oost Java (Provinsi Jawa Timur) pada tahun 1928, dan Provincie Midden Java (Provinsi Jawa Tengah) tahun Provinsi Jawa Barat pada awal pembentukannya meliputi lima keresidenan dan enam kotapraja (stadsgemeente). Kelima keresidenan itu adalah Banten, Batavia (Jakarta), Buitenzorg (Bogor), Priangan (Preanger Regentschappen), dan Cirebon; dan keenam kotaptaja itu adalah: Batavia, Meester Cornelis, Buitenzorg, Bandung, Cirebon, dan Sukabumi.
Luas wilayah Jawa Barat pada masa itu kira-kira sama dengan bekas wilayah Kerajaan Sunda. Kerajaan Sunda saat itu menerapkan sistem pemerintahan “federal” yang memberikan otonomi penuh kepada kerajaan-kerajaan bawahannya (vassal). Kerajaan-kerajaan bawahan yang dimaksud antara lain adalah Banten, Sunda Kalapa, Cirebon, dan Sumedanglarang.
Rupanya, Pemerintah Kolonial Belanda menetapkan luasan dan cakupan wilayah West Java ini sangat mempertimbangkan aspek historis, yakni mengacu pada masa Kerajaan Sunda Pajajaran. Oleh karena itu, adalah keliru bila kemudian ada identifikasi “Jawa Barat adalah Sunda; Sunda adalah Jawa Barat”. Identifikasi seperti itu tidak historis. Secara historis, pada kata “Jawa Barat” tidak ada konotasi etnis atau kultur. Etnis dan kultur Sunda hanya identik dengan Priangan; sedangkan Priangan (Preanger Regentschappen) hanyalah salah satu dari keresidenan yang ada di lingkup pemerintahan Provinsi Jawa Barat.
Dalam perkembangan selanjutnya, Batavia keluar dari Provinsi Jawa Barat, disusul oleh Banten pada tahun 2000.
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, sedikit banyak telah disebutnya perbedaaan dari Sunda, Priangan dan Jawa Barat yang sebenarnya kurang tepat jika ketiganya diidentikkan bersama.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Sunda lebih merupakan identitas kultural dengan ciri-cirinya tersendiri, lepas dari aspek administratif-geografis. Priangan menunjuk pada ciri kultural dan administratif-geografis. Melekat pada kata Priangan adalah ciri kultur kesundaan dan sekaligus menjadi salah satu keresidenan di Provinsi Jawa Barat. Sedangkan Jawa Barat adalah nama yang merujuk pada aspek geografis-administratif. Secara geografis, Jawa Barat terletak di bagian barat Pulau Jawa; secara administratif Jawa Barat merupakan level pemerintahan provinsi. Memang, secara historis dan realitasnya etnis mayoritas penghuni Provinsi Jawa Barat adalah Sunda, kultur dominannya pun Sunda. Akan tetapi, Jawa Barat tidak identik dengan Sunda atau Priangan.
Referensi
- Muhsin, Mumuh. "Sunda, Priangan dan Jawa Barat: Analisis berdasarkan pola gerak sejarah". docplayer.info Diakses 22 Agustus 2020. Note: Pengajar Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.
- Darsa, Undang A. 2004. “Kropak 406; Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan“, Makalah disampaikan dalam Kegiatan Bedah Naskah Kuna yang diselenggarakan oleh Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga. Bandung-Jatinangor: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran: hlm. 1–23.
- Ekadjati, Edi S. 1995. "Sunda, Nusantara, dan Indonesia; Suatu Tinjauan Sejarah". Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran pada Hari Sabtu, 16 Desember `1995. Bandung: Universitas Padjadjaran.
- ____________. 1981. "Historiografi Priangan". Bandung: Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran.
- Raffles, Thomas Stamford. 1817. "The History of Java", 2 vols. London: Block Parbury and Allen and John Murry.
- Raffles, Thomas Stamford. 2008. "The History of Java" (Terjemahan Eko Prasetaningrum, Nuryati Agustin, dan Idda Qoryati Mahbubah). Yogyakarta: Narasi.