Cari

Kian Santang dan Kian Sancang adalah Sosok historis? Telusur istilah Santang dan Sancang


 

[Historiana] - Oleh Alam Wangsa Ungkara. Nama Sancang bagi sebagian warga Sunda sudah tidak asing lagi karena nama ini mirip dengan nama daerah pakidulan Garut "Leuweung Sancang" alias Hutan Sancang. Keberadaan Hutan Sancang sendiri terkait mitos Prabu Siliwangi beserta para pengikutnya yang berubah wujud menjadi harimau (basa Sunda: Maung) dan menetap di hutan sancang. Konon peristiwa itu terjadi karena Prabu Siliwangi tidak mau di-Islamkan oleh putranya yaitu 'Kian Santang'

 

Nama Kian Santang ini menjadi kontroversi. Apakah sosok sejarah ataukan sosok imajiner? ditambah lagi  bahwa Kian Santang adalah kekeliruan penyebutan warga Sunda yang seharusnya "Kian Sancang". Jadi mana yang benar?

 

Prabu Siliwangi dan Prabu Kian Santang adalah sosok legendaris. Tidak main-main, nama Siliwangi diabadikan sebagai nama Komando Daerah Militer, KODAM III/Siliwangi. Demikian pula Batalyon Infantri Raider 301 Prabu Kian Santang. Tentunya kedua sosok legendaris ini adalah sosok historis. Mari kita telusuri.


Analisis Etimologi

 
Telusur terminologi Kian atau keyan perlu dilakukan. Kata kian berasal dari raka i~rakean~rakryan. Istilah ini adalah sebuah gelar yang bisa kita telusuri dari Naskah Carita Parahyangan dan prasasti-prasasti Kerajaan Medang atau Mataram hindu. Pendiri Kerajaan Mataram Hindu adalah Raka i Mataram Sang Ratu Sanjaya (raka dari Mataram yang bernama Ratu Sanjaya). Sanjaya juga menjadi raja ke-2 Kerajaan Sunda-Galuh, sekaligus raja Kalingga san Mataram Hindu.
 

Pada masa Mataram Kuno di Jawa Tengah, terdapat sebuah gelar dalam prasasti-prasasti dari abad ke-8 hingga abad ke-10, diantaranya yaitu raka atau rakai (kadang ditulis rake). Sesudah masa itu, gelar rakai cenderung tidak lagi dipakai, diganti dengan rakryan, yang tingkatnya sepadan dengan gelar rakai. Ada pun gelar rakryan (kadang ditulis rake[y]an) kemungkinan besar merupakan gabungan dari kata raka dan aryan dan merajuk kepada gelar jabatan administrasi kerajaan.
 
 
Penggunaan gelar rakryan mulai rajin dipergunakan pada masa Pu Sindok abad ke-10 di Jawa Timur dan berlangsung hingga zaman Kerajaan Kadiri, Singasari, dan Majapahit. Raka adalah seorang pemimpin atau penguasa yang telah berhasil menguasai sejumlah wanua (komunitas desa) yang disebut watak. Sederhanya Raka adalah Kepala Daerah Watak.


Ada pun wanua adalah wilayah kecil yang dipimpin oleh seorang rama (bapak desa), dan gabungan dari sejumlah wanua disebut watak di mana namanya diberikan pada raka. Dewan yang terdiri atas para rama disebut karaman (arti harfiahnya “tanah para rama”).
 
Struktur organisasi Kerajaan Medang
Watak dipimpin oleh seorang Raka (Rakryan)
Dan para rakryan dipimpin seorang Raja atau Ratu


 


Kembali kita lihat gelar Raka i Mataram Sang Ratu Sanjaya yang bisa kita terjemahkan raka dari Mataram yang bernama Ratu Sanjaya. Sangat jelas bahwa Sanjaya adalah nama pribadinya, ia seorang raka di Mataram dan juga bergelar Ratu atau Raja Sanjaya. Di Tatar Sunda, menyebutnya sebagai "Rakai Sanjaya" atau "Rakyan Sanjaya". Gelar Raka atau Rakryan diikuti nama tempat, bukan nama pribadi. Raka i Mataram diterjemahkan Raka di Mataram. Jadi yang benar penyebutannya Raka i Mataram, Sang Ratu Sanjaya. Jadi tidak mungkin penyebutannya Raka i Sanjaya yang diterjemahkan Raka di Sanjaya. Aneh bukan? Karena Sanjaya bukan nama tempat, tetapi nama peibadinya. Hal inilah yang membuat kita bingung bila membandingkan nama-nama rakai atau rakryan pada raja-raja Sunda dan galuh.
 

Cukup banyak nama penguasa dan raja Jawa yang bergelar raka, misalnya Raka i Pikatan (Raka dari wilayah Pikatan). Raka i Pikatan (Raka dari wilayah Pikatan) dan Raka i Mataram Sang Ratu Sanjaya (raka dari Mataram yang bernama Ratu Sanjaya). Nama-nama lainnya Raka i Panangkaran, Raka i Panunggalan, Raka i Warak, Raka i Garung, Raka i Pikatan, Raka i Kayuwangi, Raka i Watuhumalang, Raka i Watukura Dyah Balitung, Raka i Layang Dyah Tulodong, Raka i Sumba Dyah Wawa dan lain sebagainya.
 
 
 
Dan jika seorang raka telah diberi gelar maharaja, gelar rakai atau rake lazimnya tetap digunakan, misalnya pada Sri Maharaja Raka i Kayuwangi yang berarti bahwa penguasa ini sebelum bergelar raja merupakan raka dari Kayuwangi. Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung dapat kita kenali dari namanya bahwa ia seorang Raka di Watukura bernama Dyah Balitung. Selnjutnya nama itu diiikuti gelarnya menjadi: Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambu.



Gelar Rakryan pada Nama Raja Sunda dan Galuh

Daftar susunan raja-raja Sunda dan Galuh berdasarkan beberapa sumber. Diataranya bisa didapatkan dari sumber primer berupa prasasti dan sebagian lagi berasal dari sekunder berupa naskah lontar dan sumber tersier berupa Babad. Kemudian disusun oleh beberapa pihak menjadi tabel nama-nama yang dilengkapi masa kurun waktu pemerintahannya.


Berikut penulis ambil contoh sebagian dari daftar raja-raja Galuh
  1. Wretikandayun (Rahiyangta ri Menir, 612-702)
  2. Mandiminyak atau Prabu Suraghana (702-709)
  3. Sanna atau Séna/Sannaha (709-716)
  4. Purbasora (716-723)
  5. Rakeyan Jambri/Sanjaya, Rakai Mataram/Harisdarma (723-732);
  6. Tamperan Barmawijaya (732-739)
  7. Sang Manarah (739-746)
  8. Rakeyan ri Medang (746-753)
  9. Rakeyan Diwus (753-777)
  10. Rakeyan Wuwus (777-849)


Sementara menurut Naskah Wangsakerta daftar lengkap raja-raja yang bertahta di Kerajaan Galuh antara lain:
  1. Sang Wretikandayun (534-592) Saka (S)/ (612/3-670/1) M (Masehi) sebagai Raja Galuh.
  2. Sang Mandiminyak/ Suraghana (624-631) Saka/ (702/3-709/10) M.
  3. Sang Senna atau Sanna, 631-638 Saka/ (709/10-716/7) M.
  4. Sang Purbasura (638-645) Saka/ (716/7-723/4) M.
  5. Sang Sanjaya, Rakai Mataram (645-654) Saka/ (723/4-732/3) M, sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
  6. Sang Tamperan (654-661) Saka/ (732/3-739/40) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
  7. Sang Manarah (661-705) Saka/ (740-784), sebagai penguasa Galuh.
  8. Sang Manisri (705-721) Saka/ (783/4-799/800) Masehi sebagai raja Galuh.
  9. Sang Tariwulan (721-728) Saka/ (799/800-806/7) sebagai raja Galuh.
  10. Sang Welengsa (728-735) Saka (806/7-813/4) M sebagai raja Galuh.


Dalam daftar nama-nama raja atau pangeran di kerajaan Sunda dan Galuh dikenal Rakryan (rakeyan/rakian/kian/ken) dan Rahyang (Rahiang). Belum didapatkan sumber yang pasti mengenai perbedaan Rakeyan dan Rahiyang ini. Namun dapat diasumsikan bahwa keduanya merupakan gelar kehormatan atau keagungan dilihat dari kata 'ra' yang artinya 'agung'. Mungkinkah rakeyan gelar bangsawan sementara rahyang adalah gelar keagamaan? Gelar Rahyang sebagai sebuah gelar keagamaan dapat diterima berdasarkan kronologinya bahwa raja-raja galuh adalah keturunan dari Maharajaresi Manikmaya yang berkedudukan di Kamandalaan kendan (sekarang Cicalengka Bandung) yang kemudian bermetamorfosis menjadi kerajaan Kendan. Jadi Gelar Rahyang menunjukkan posisi kepemimpinan kenegaraan sekaligus keagamaan.
 
 
Selain itu ada gelar prabu (perbu atau prebu) sebagai raja kecil dan bila memimpin beberapa prabu bawhan bergelar Mahaprabu. Pun demikian dikenal pula istilah raja untuk wilayah (vassal) dan Maharaja untuk pemimpin para raja.
 
 
Daftar nama raja di atas adalah nama yang sering kita lihat disingkat atau disederhanakan oleh para penulisnya. Akibatnya satu sama lain dari susunan nama-nama itu nampak sepert berlainan. Contoh kita amati nama yang paling awal yaitu Sang Wretikandayun. Apakah ini gelar dan nama pribadinya? 


Sumber acuan yang bisa kita gunakan adalah Naskah Lontar Carita Parahyangan. Kita bisa membandingkan nama-nama yang beredar dengan Rahyang Ta ri Menir Maharaja Suradarma Jayaprakosa Sang Wretikandayun. Kita dapat membacanya seorang Rahyang di Menir (suatu tempat/wilayah) dan bergelar Maharaja Suradarma Jayaprakosa Sang Wretikandayun. Lalu siapa nama pribadinya? ia bernama Daniswara semasa kecilnya.


Kedua, Rakeyan Jambri/Sanjaya, Rakai Mataram/Harisdarma. Penulisan nama ini membingungkan. Rakeyan (rakryan) Jambri seharusnya dapat dibaca sebagai 'Raka di Jambri'. Pertanyaannya apakah jambri nama sebuah tempat? Sementara penulisan Rakai Mataram sudah benar. Harisdarma mungkin adalah nama kecilnya.


Selanjutnya ada nama-nama Rakeyan ri Medang, Rakeyan Diwus, Rakeyan Wuwus. Rakeyan ri Medang dapat kita baca sebagai Raka di Medang (nama wilayah). Rakeyan Diwus, adalah seorang Raka di Diwus atau Raka di Wus? apakah sama dengan Rakeyan Wuwus?


Namun ada beberapa nama raja yang dapat ditelusuri dan akhirnya dimengerti. Diantaranya raja Sunda ke-5 yaitu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766-783) dapat dibaca sorang Raka dari Medang bergelar Prabu Hulukujang. Kemudian kita dapat memperbaiki penamaan Rakeyan Wuwus di atas yaitu Rakeyan Wusus Prabu Gajah Kulon atau aya yang menulisnya Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819-891). Dan berikut nama-nama yang benar penulisannya hingga dapat kita baca perjalanan kariernya yaitu: Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi (913-916), Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa (916-942), Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung (973-989), Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155-1157), Rakeyan Saunggalah Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175-1297).

 

Kian Santang. 

Kian Santang dalam kisah Babad Wawacan Keyan Santang atau Wawacan prebu Keyan Santang, memberikan informasi bahka gelar kian atau kean berasal dari kata rakeyan/rakryan atau rakai. Namun, kita belum bisa mengidentifikasi bahwa Santang adalah nama sebuah tempat atau wilayah. Jika mengacu pada pemaparan di atas bahwa nama Rakryan atau Kian diikuti nama tempat. Apakah harus demikian? Jika merujuk pada naskah Cariosan Prabu Siliwangi yang ditulis pada tahun 1435 M, terdapar gelar rakryan dan sakyan. Gelar rakryan untuk laki-laki dan sakyan untuk perempuan. Contoh dalam naskah itu menyebutkan Sakyan Ambetkasih dan Sakyan Kentring Manik Mayang Sunda. Apakah gelar itu langsung diikuti nama pribadinya? sepertinya tidak. Nama Ambetkasih dan Kentring Manik Mayang Sunda terlihat sebagai nama gelar bukan nama pribadinya. Ambetkasih dapat dimaknai wanita dari negeri Sindangkasih dan Kentrik Manik Mayang Sunda dapat dimaknai sebagai permata dari negeri Sunda (maksudnya putri Sunda). Keduanya menunjukkan nama wilayah.

 

Bagaimana dengan nama Kian Santang? apakah Santang adalah nama pribadinya? Apakah benar Kian Santang adalah penyebutan keliru dari Kian Sancang

 

Analisis asal-usul kata (etimologis) 'Santang' maupun 'Sancang' harus dilakukan terlebih dahulu. Seperti pemaparan di atas bahwa gelar Rakian atau Kian diikuti nama tempat. Kita dapat mengenai bahwa 'Sancang' adalah nama sebuat tempat di Garut Selatan di pesisir Laut Kidul. Sementara "Santang" tidak kita ketahui bahwa nama itu adalah nama sebuah tempat. Kian disebutkan sebagai singkatan dari "rakian-rakeyan-rakryan" yang dianggap setara dengan kata "raden" dalam bahasa Jawa Baru.Sebenarnya ada perbedaan diantara keduanya. Bila rakryan diikuti nama tempat, sedangkan raden diikuti nama pribadi.

 

Nama rakryan atau rakyan/rakeyan atau Rakian pada zaman Sanjaya tidak disingkat menjadi "Kian" tetapi menjadi "Rakai" atau "Rake". Namun dalam Naskah Cariosan Prabu Siliwangi mengenal penyingkatan nama Rarkyan dan Skayan menjadi kyan atau kian atau ken yang digunakan sebagai gelar bagi seorang laki-laki atau perempuan. Gelar Kian atau ken kemudian muncul di Jawa Timur yang kita kenal dengan nama-nama seperti Ken Angrok, Ken Dedes, ken Umang dan lain-lain. 

 

Setelah Kian Santang, kenapa di zaman sesudahnya tidak ada lagi tokoh yang menggunakan gelar kian? Demikian pula gelar Ken di Jawa Timur pasca zaman ken Angrok tidak muncul lagi. Jika Kian Santang berasal dari nama gelar rakryan atau rakyan/rakeyan atau Rakian, maka seharusnya disebut pula sebagai "Rakai Santang" seperti pendahulunya yaitu Rakai Sanjaya. Di masa setelah Rakai Mataram Sang ratu Sanjaya, maka para penggantinya di Kerajaan Mataram Hindu. Jika Kian adalah sebuah gelar, berarti nama pribadinya adalah Santang (?).


Mari kita lihat struktur pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno atau Medang. Dimana Raja pertamanya adalah Sanjaya. Ia adalah juga raja Sunda ke-2 setelah Sang Tarusbawa atau Sri Maharaja Tarusbawa mengubah nama Kerajaan Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Tentunya, Sanjaya mengatur sistem pemerintahan di Kerajaan Sunda, Galuh, Kalingga dan Mataram (karena ia menguasa negeri-negeri itu).

 

Sosok Kian Santang ini disebut-sebut sebagai salah seorang putra Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja) dari Nyai Subang Larang. Kian Santang adalah anak bungsu dengan 2 orang kakaknya bernama Rara Santang dan Walangsungsang. Bila kita cermati nama Kian Santang dan kakak perempuannya bernama "Rara Santang", ada hal yang janggal. Bila diperhatikan dengan seksama, ada 2 orang putra-putri Prabu Siliwangi yang menggunakan nama "Santang" yaitu Kian Santang dan Rara (Roro) Santang. Bila disetarakan bahwa kata Kian adalah Raden dan Rara (roro) adalah Nyai, maka ada sosok 'Raden Santang' dan 'Nyai Santang'. Kedua orang itu namanya sama = Santang? Lebih bingung lagi dengan sebutan masyarakat di zaman sekarang yaitu Raden Kian Santang. Istilah ini tumpang tindih karena gelar raden belum ada di zaman Kerajaan Pajajaran. Gelar raden baru eksis sejak Kekuasaan Sultan Agung Mataram Islam di Yogyakarta. Kemudian menyebarluaskan sastra Kesultanan Mataram Islam ke semua wilayah bawahannya termasuk Tatar Pasundan, kecuali Banten dan Batavia. Gelar stara Raden adalah Tubagus di wilayah Banten.


Dalam cerita rakyat, Kian Santang mengejar Prabu Siliwangi untuk di-Islam-kan. Oleh sebab itu, Kerajaan Pajajaran Ngahiyang dan prabu Siliwangi berubah menjadi maung atau harimau. Mengenai siapa sosok Kian Santang masih misteri hingga sekarang. Dalam Wawacan Walangsungsang, sama sekali tidak menceritakan Kian Santang. Bahkan ada sumber lain mengisahkan bahwa Walangsungsang menceritakan kisah Kian Santang kepada umatnya. Oleh karena itu, ada hipotesa bahwa Kian Santang adalah sosok imajiner yang menggambarkan kisah Walangsungsang. Dari berbegai sumber menerangkan bahwa Walangsungsang memiliki banyak nama antara lain Maulana Ifdil Hanafi, Haji Tan Eng Hoat, Haji Abdullah Iman atau Pangeran Cakrabuana atau Mbah Kuwu Sangkan atau Sunan Rohmat atau Sunan Godok atau Kean Santang

 

Kisah lainnya terkait Kian Santang berjumpa dengan Sayidina Ali bin Abi Thalib serta Rasulullah dan para sahabat alinnya tidak kita bahas. Kisah-kisah seperti ini tidak dapat dijadikan sumber historis. Namun demikian, dalam kisah babad ada sebuah tujuan yang dimaksudkan oleh penulisnya. Diantaranya sebagai pengukuhan syiar agama dan penggambaran bahwa ajaran yang dibawa Kian Santang otentik dengan menggambarkan bahwa Kian Santang sendiri bertatap muka langsung dengan Rasulullah. 

Kramat Talun Cirebon sebagai Makam Prabu Cakrabuana


Dimana makam Pangeran Walangsungsang? Ada Keramat Talun Pangeran Cakrabuana Mbah Kuwu Sangkan di Desa Cirebon Girang, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon terdapat 2 makam kramat. Juru bicara Keramat Talun, Mochamad Tohir menuturkan, Pangeran Cakrabuana merupakan putra mahkota Kerajaan Pajajaran, berjuluk Pangeran Walangsungsang. Karena berbeda prinsip dalam hal agama dengan ayahnya, Prabu Siliwangi, pada usia 14 tahun Pangerang Walangsungsang keluar dari Kerajaan Pajajaran menuju Godog di Garut. Makam itu bukan bukan makam Mbah Kuwu Sangkan tetapi makam santri untuk membantu Mbah Kuwu dalam menjalankan syiar Islam.

 

Baca juga: Gelar Rakryan dan Sakyan di Zaman Kuno

 

Bagaimana dengan Kian Sancang? Asal-usul nama Kian Sancang berasal dari cerita rakyat secara tutur tinular. Demikian adanya untuk kisah yang terjadi diluar istana tidak ditulis dalam catatan resmi. Bahkan penulisan babad, serat dan kidung pun bersifat istana sentris. Sosok Kian Sancang adalah nama seorang pemuda dari sebuah tempat bernama Sancang. Konon ia turunan Maharaja Kertawarman Raja Tarumanagara dari seorang perempuan kasta rendah (sudra) di tepi sungai Cikaengan Hutan Sancang bernama Nhay Arum honje.

 

Dari nama Kian Sancang ini sangat lekat dengan nama "leuweung Sancang" atau hutan Sancang. Menurut cerita rakyat pakidulan, bahwa sosok Kian Sancang berbeda dengan Kian Santang. Warga Sunda sering mempertukarkan kedua nama ini sebagai satu sosok. Kian Santang hidup pada abad ke-15, sedangkan Kian Sancang hidup pada abad ke-7. Rakeyan Sancang (lahir 591 M) putra Raja Kertawarman (Kerajaan Tarumanagara 561 – 618 M). Rakeyan Sancang inilah yang sering dirancukan dengan putra Sri Baduga Maharaja, yaitu Raja Sangara, yang menurut Babad Godog dan Wawacan Keyan Santang (WKS) yang terkenal dengan sebutan Prabu Kiansantang atau Sunan Rohmat Suci.

 

Penulisan nama Kian Sacang diduga sama dengan Rakryan Sancang. Penulisan nama ini sesuai dengan kaidahnya bahwa gelar Rakryan atau Kian diikuti nama tempat yaitu Sancang. Dengan demikian tidak diketahui nama pribadinya.

 

 

Kerajaan Sunda dalam Kronik China dan Jepang

Kata Sunda tercatat dalam kronik Cina sejak abad ke-13 dalam naskah tulisan Chaujuka (Zhao Ru Gua)—Zhu Fan Zhi (Catatan dari Negri Asing) 1225—dengan sebutan ‘XintuoSint’o. Naskah itu menunjukkan hubungan dagang dan diplomatik Sunda-Cina sudah tercatat dalam kronik Cina, sebelum naskah Sunda mencatatnya.

Sunda dalam naskah Cina digambarkan sebagai kerajaan makmur dengan hasil bumi berupa lada, semangka, tebu, labu botol, kacang-kacangan, dan terung. Chaujuka—pengawas perdagangan maritim di Quanzhou—menulis, di Sunda jarang terdapat pedagang asing. Nama Sunda pada naskah Cina kuno berikutnya menempel pada penggambaran Jawa dengan nama ‘Sun La’ dalam kronik Cina bertarikh 1339 berjudul Daoyi Zhilue (Catatan Singkat dari Negeri Asing) karya Wang Dayuan. Naskah Cina Ming Shi bagian Cheng He Zhuan (Kitab Sejarah Dinasti Ming bab kisah perjalanan Cheng Ho) sezaman dengan Siksa Kandang Karesian. Nama Sunda tercatat dengan kata ‘Sun La’. Demikian pula nama Sunda tercatat dalam naskah Cina Xiyang Chaogong Dianlu (Catatan Pemberian Tribut dari Asia Tenggara) dengan kata ‘Xun Ta’.

 

Berdasarkan beberapa artikel yang penulis buat sebelumnya, terdapat indikasi kuat bahwa keagamaan Kerajaan Pajajaran terdapat anasir ajaran Buddhisme (Agama Buddha) disamping pengaruh ajaran lama yakni Jati Sunda (Sunda wiwitan) dan Hindu. Contohnya dalam prasasti Kebantenan dan naskah-naskah Sunda kuno menyebut 'Wiku' untuk para pemimpin tertinggi kegamaan. Kata Wiku ini berasal dari kata Biku/Bikhu/Biksu yang kita ketahui sebagai pemimpin agama Buddha. Juga memasukan panteon Hindu yaitu nama-nama dewa Hindu dalam kesusastraan Sunda Kuno disamping keberadaan sosok 'ibu ilahiah' Sunan Ambu dan sosok tertinggi "Hiyang". Prasasti Pasir Muara dengan jelas terdapat ukiran bunga teratai yang disebut Padma.

 

Ukiran Padma pada Prasasti Pasir Muara

Bagi masyarakat Tiongkok, bunga teratai merupakan ikon Buddhisme yang diagungkan. Ia pun menjadi simbol dari kesucian dan kemurnian. Tak hanya menjadi ikon ajaran Buddha, bunga teratai juga menjadi ikon ajaran Taoisme. Dan beberapa naskah Sunda Kuno sering menyebutkan China atau Tiongkok. Pun demikian dalam kronik China terdapat naskah adanya hubungan Tingkok semenjak Kerajaan Salakanagara, Tarumanagara dan Kerajaan Sunda (Pajajaran). Juga kronik penjelajah Portugis seperti Tome Pires dan J De Baros melaporkan adanya orang-orang Tiongkok dan Ryukyu (Jepang) yang melakukan perdagangan di Pelabuhan Sunda Kelapa pada awal abad ke-16.

 

Tak dapat disangkal, bunga teratai masuk ke Tiongkok melalui pengaruh ajaran Buddha yang menyebar dari India sejak masa Dinasti Qin (221-206 SM). Ajaran Buddha semakin berkembang pada masa Dinasti Tang (618-907M) dan semakin terkenal dengan munculnya kisah Perjalanan ke Barat.

Bunga teratai yang dianggap berasal dari India merupakan singgasana bagi Dewa Brahma. Teratai juga merupakan bunga suci yang dibawa oleh Dewa Wisnu. “Om mani Padma Hum,” demikian doa dalam bahasa Sansekerta yang sering diucapkan oleh para Lama, “semoga jiwa kita seperti tetesan air yang berada di ujung daun teratai sebelum jatuh pada danau kedamaian abadi—sebelum moksa menuju nirwana. Seiring dengan masuknya ajaran Buddha ke Tiongkok, teratai pun menjadi ikon dan simbol yang menjadi bagian dalam kebudayaan masyarakat Tiongkok, baik di Tiongkok daratan maupun di perantauan. 



Kian Santang dan Kian Sancang dalam Kronik China dan Jepang

Nama Kian muncul dalan sejarah Kerajaan Ryukyu (sekarang Okinawa Jepang). Ketika itu kerajaan Ryukyu adalah sebuah kerajaan independen dan tidak dibawah kekaisaran Jepang. Meskipun Shogun Tokugawa berkali-kali menyerang Kerajaan Ryukyu, masih tidak dapat menganeksasi kerajaan ini. Barulah ketika Kaisar Meiji berkuasa di Jepang, Kerajaan Ryukyu jatuh ke Kekaisaran Jepang. Terjadi beberapakali misi diplomatik perundingan dari Kerajaan Ryukyu ke Edo (Tokyo sekarang). Tersebutlah seorang duta Kerajaan Ryukyu yang biasa berhubungan dengan penguasa negeri asing adalah 'Kian Nyūdō Bangen'. Dia dikenal 'master teh' dalam etika negosiasi minum fengan teh. Dia juga terkenal karena buku hariannya, Kian Nikki, yang mencatat Invasi Ryukyu 1609. Kerajaan Ryukyu baru bergabung dengan Jepang secara resmi dianeksasi oleh Jepang pada tahun 1879 sebagai Prefektur Okinawa.


Apakah misi diplomatik Kian Nyūdō Bangen pernah ke Kerajaan Pajajaran? Mungkin saja. Kian Nyūdō Bangen membuat diary berjudul 'Kian Nikki' dari tahun 1566-1653 M. Sementara Kerajaan Pajajaran baru runtuh 1579 M. Bisa jadi Kian Nyūdō Bangen pernah berkunjung ke Pajajaran dalam misi diplomatik perdagangan antar bangsa. Namun demikian, tidak ada catatan dalam negeri mengenai orang-orang dari Kerajaan Ryukyu di pulau Jawa khusus Pajajaran. Juga tidak ditemukan apakah istilah 'Kian' ini berkonotasi 'seorang duta' bagi warga Sunda? Bila demikian, wajar dalam kisah Kian Santang dalam 'Wawacan keyan Santang' digambarkan sebagai seorang duta utusan langsung Rasulullah untuk meng-Islam-kan tanah Jawa.

 

 

Kian Sancang

Kian Sancang zaman tarumanagara? Jika Kian Sancang (menurut cerita rakyat) hidup di zaman pemerintahan Raja Kertawarman (Kerajaan Tarumanagara 561 – 618 M), maka kita bisa menelusuri kronik Tiongkok dari Zaman Dinasti Tang. Dinasti Tang, dalam romanisasi Wade-Giles ditulis Dinasti T‘ang, adalah salah satu dinasti Tiongkok yang menggantikan Dinasti Sui dan mendahului periode Lima Dinasti dan Sepuluh Kerajaan.


Dinasti Tang yang bertahan sampai sekitar tiga ratus tahun (618-907). Kaisar Tang merupakan penguasa yang pertama menaruh banyak perhatian pada wilayah pantai Tiongkok Tenggara (sekarang termasuk Provinsi Guangdong, Fujian, dan Zhejian). 


Tang, dengan ibu kotanya Chang’an (sekarang disebut Xi’an di Provinsi Shaanxi), memperluas wilayahnya ke semua penjuru; ke utara wilayah Tang meliputi Monggolia dan Siberia Selatan, ke arah barat sampai “Laut” Aral di Asia Tengah, ke barat sampal batas timur Persia (sekarang disebut Iran), ke selatan sampai daerah yang sekarang termasuk Vietnam Utara dan Laos bagian timur, ke timur taut sampai setengah dan Jazirah Korea (bagian barat). Bahkan, Tibet, yang katanya tidak bisa ditundukkan, bisa dikatakan berhasil dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan Tang sehingga Tibet merupakan kerajaan yang tunduk dan setia kepada kaisar Tang


Kemajuan negara Tang tidak hanya dalam bidang kemiliteran (untuk memperluas wilayah kekuasaan), tetapi juga dalam bidang-bidang lain, seperti ilmu pengetahuan, kesenian, kebudayaan, dan masih banyak bidang lain lagi, sehingga keturunan imigran-imigran Tiongkok di negeri lain seperti Amerika Serikat, Indonesia, dan di negara-negara lain, setelah beberapa generasi, masih sangat bangga menyebut dirinya Tangren, atau orang Tang di Indonesia.

 

Jika Kian Sancang dipoposisikan hidup pada zaman raja Kertwarman (561 – 618 M),  maka masuk akal jika dikaitkan dengan zaman Dinasti tang di Tiongkok (618 – 907 M).


Kisah seorang bikhu Buddha Bodhiruci (572–727). Ia seorang biksu Buddha dari selatan Tianzhu (India) yang melakukan perjalanan ke timur. Lahir dari keluarga Brahmana di selatan Tianzhu, awalnya bernama Dharmaruci tetapi diberi nama “Bodhiruci” oleh Permaisuri Wu. Mengetahui reputasinya, Kaisar Gaozong (Dinasti Tang) mengundangnya untuk tinggal di Chang'an pada tahun 683 M. Setelah kematian Kaisar Gaozong, Bodhiruci pergi ke Luoyang, di mana ia menerjemahkan dan menerbitkan sembilan belas kitab Buddha (dua puluh jilid). Dia juga membantu Yijing dalam terjemahan baru Avatamsaka Sutra. Setelah kembalinya Kaisar Zhongzong, ia tinggal di Kuil Xichongfu di Chang'an, di mana ia menerjemahkan dan menerbitkan Dabaojijing. Secara total, dia menerjemahkan lima puluh tiga kitab suci dalam 111 jilid selama hidupnya. Pada tahun 724, ia pindah ke Luoyang, dan ia tinggal di Kuil Zhangshou sampai kematiannya pada November 727 M pada usia 155 tahun. Setelah kematiannya, ia diberi gelar anumerta Kaiyuan Yiqie Bianzhi Sancang. Apakah kata Sancang berasal dari Tiongkok? apakah berasal dari kata sàn chǎng? sàn chǎng artinya (1) untuk dikosongkan; (2) (pertunjukan) sampai akhir.


Menurut Chinese Language Center.

  1. sàn adalah untuk berpencar; putus (pertemuan dll); untuk membubarkan; untuk menyebarkan; untuk menghilangkan; untuk memecat
  2. chǎng adalah tempat besar yang digunakan untuk tujuan tertentu; tahap; adegan (dari sebuah drama); mengukur kata untuk kegiatan olahraga atau rekreasi; mengukur kata untuk jumlah ujian


Jika menurut bahasa Mandarin bahwa San artinya membubarkan/menceraiberaikan dan tang artinya dinasti tang dari Tiongkok. Mungkin bisa tersambung dengan cerita rakyat bahwa 'tokoh kian Santang' diceritakan sejak zaman Tarumanagara sebagai epik kepahlawanan. Bahwa Kian Santang adalah sosok pengusir (menceraiberaikan) pasukan Kaisar Tang dari Tiongkok. Masuk akal dari asal-usul bahasa, tetapi tidak ditemukan rujukan bahwa zaman Dinasti Tang pernah melakukan invasi militer ke tanah Jawa.



Referensi

    1. "Cariosan Prabu Siliwangi". versi digital Published by revikuswara, 2020-01-06. liphtml5.com Diakses 30 Agustus 2020. 
    2. National Geographic.grid.id "Menyingkap Simbol Teratai Di Klenteng" 18 Juli 2014 Diakses 30 Agustus 2020. 
    3. "Dinasti Tang (618-907)". kumparan.com Diakses 30 Agustus 2020.
    4. Ekadjati,  Edi  S.,  1985. "Naskah  Sunda  Lama  Kelompok  Badad".  Jakarta:  Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
    5. ___________,    1985. “Pendekatan  Sejarah  Atas  Peninggalan-peninggalan Tertulis  Tentang  Prabu  Siliwangi”dalam  Seminar  Sejarah  dan  Tradisi Tentang Prabu Siliwangi. Bandung: 20-24 Maret.
    6. ___________,1988. "Naskah  Sunda:  Inventarisasi  dan  Pencatatan". Bandung: Universitas Padjadjaran
    7. Koswara, Dedi. "Buku Bahan Perkuliahan Sastra Buhun: Intrepretasi Semiotik WKS". pdf. Bandung: Fakutas Pendidikan Bahasa dan Sastra UPI. Diakses 8 Agustus 2020.
    8. wikipedia.org "Kertawarman" Diakses 30 Agustus 2020.
    9. Kawabata , Miki. 2011. "(Re)locating Identities in the Ancestral Homeland: The Complexities of Belonging among the Migrants from Peru in Okinawa". Disertasi Doktoral Department of Anthropology and Sociology School of Oriental and African Studies University of London. London: SOAS University of London. core.ac.uk Diakses 26 Agustus 2020. 
    10. Bangen, Kian nyūdō (1566-1653). 2009. "Kian Nikki: Okinawagaku kenkyū shiryō; 6." Okinawa-ken Ginowan-shi: Yōju Shorin, 2009. 
    11. Marzuki, Surlina dkk. 1992/1993. "Wawacan Perbu Kean Santang". Jakarta: Direktorat Jenderal dan Nilai Tradisional Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara - Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
    12. "Mbah Kuwu Sangkan Ternyata Miliki Lima Nama" fajarsatu.com 09/12/2019 Diakses 30 Agustus 2020.
    13. "sàn chǎng", ApproaChinese. Diakses 30 Agustus 2020. 
    14. "sànchǎng" Chinese Language Center - yellowbridge.com Diakses 30 Agustus 2020.
    15. Suhaebah, Ebah. 2006. "Satria Tanpa Tanding". Cetakan ke-2 Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. 
    16. Su-il, Jeong. 2016. "The Silk Road Encyclopedia". Printed in the Republic of Korea. Library of Congress Control Number: 2016936870
    17. Sumardi, Jakob. 2001. "Fokus: Kraton Sunda dalam Pantun". Bandung: Pikiran Rakyat, 18 Maret 2001 hal 4 
Baca Juga

Sponsor