Cari

Satria Tanpa Tanding | Wawacan Keyan Santang

[Historiana] - Oleh Alam Wangsa Ungkara. Satria Tanpa Tanding bersumber dari Wawacan Keyan Santang yang dibukukan dengan penyusunnya Ebah Suhaebah. Diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional tahun 2006.

Naskah cerita Satria Tanpa Tanding ini berasal dari daerah Jawa Barat. Judul asli cerita ini adalah Wawacan Keyan Santang (WKS). Cerita tersebut ditulis dalam bahasa Sunda dan disajikan dalam bentuk wawacan/-tembang (sejenis puisi yang dinyanyikan). Wawacan ini telah diterbitkan dalam bentuk buku oleh Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah pada tahun 1982 dengan judul yang sama. Wawacan Keyan Santang memperlihatkan kea-gungan agama Islam. lsi wawacan ini sebagian besar berupa cerita mitologi. Walaupun demikian, dari wawacan ini dapat diambil pelajaran berharga, yaitu tentang keadaan Kerajaan Pajajaran pada masa itu.

Ada beberapa naskah Wawacan Keyan Santang (WKS). Naskah-naskah itu oleh penyusunnya diperoleh dari koleksi perseorangan yang masih tersebar di masyarakat. Koleksi perseorangan itu adalah sebagai berikut:(A) Koleksi Masdarip yang berlokasi di Desa Cinunuk, Kampung Cinunuk Hilir, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut.(B) Koleksi Raden Sujana Diwangsa yang berlokasi di Desa Cinunuk, Kampung Cinunuk Hilir, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut.(C) Koleksi Aki Juhana yang berlokasi di Desa Pamalayan, Kampung Pangucekan, Kecamatan Cisewu, Kabupaten Garut.

Naskah-naskah WKS tersebut selanjutnya diklarifikasikan berdasarkan dugaan ketuaan fisik naskah ataupun teks, tradisi penulisan, serta kelengkapan isinya. Berdasarkan atas pertimbangan tersebut, maka naskah WKS koleksi Masdarip (naskah A) ditetapkan sebagai teks yang tertua dapat dianggap mendekati kepada teks aslinya (Robson, 1988: 11).

Naskah WKS milik Masdarip (Naskah A), adalah Naskah yang diperoleh secara turun–temurun, berturut-turut dari uyutnya yang bernama Asdarip diwariskan kepada Marwi, dan terakhir diwariskan menantu pangeran Papak yang bernama Kyai Zanal Asikin (pemimpin pesantren Cinunuk, garut dahulu) atas perintah pangeran Papak. Konon Pangeran Papak itu adalah seorang tokoh penyebar agama Islam di daerah Cinunuk yang wafat pada tahun 1865. makamnya sampai sekarang masih di ziarahi sebagai makam keramat baik oleh masyarakat Garut dan sekitarnya, maupun masyarakat dari luar kota Garut bahkan dari luar pulau Jawa yang menyakini akan hal itu. 

Naskah WKS memiliki kolofon yang berbunyi, “Kaula nulis geus tutug, nuju waktu duhur ahir, dina Salasa poena, genep welas tanggal sasih, Rayagung ngaranbulanna, anu nulis langkung doip” (Saya sudah selesai menulis, ketika waktu akhir duhur, pada hari Selasa, tanggal enam belas, Rayagung nama bulannya, yang menulis sangat bodoh).

Pada kolofon tersebut tidak menginformasikan nama hari, bulan, dan tahun berdasarkan perhitungan Masehi dan Hijriah. Oleh karena itu, untuk mengetahui perkiraan naskah WKS (A) terlebih dahulu harus diketahui berdasarkan perhitungan tahun Masehi dan Hijriah. Menurut Mayr dan Spuler (1961) bahwa Selasa, 16 Rayagung itu bertepatan dengan tahun 1294 Hijriah. Sedangkan berdasarkan perhitungan Masehi, hari Selasa, 16 Rayagung itu bertepatan dengan hari Rabu, 16 Januari tahun 1877. dengan demikian, naskah WKS (A) diduga ditulis pada tahun 1877.

Pada awalnya, minat untuk melakukan telaah atas naskah-naskah Nusantara masih didominasi oleh para sarjana orientalis Barat saja, khususnya para Sarjana dari Belanda (Baried 1994: 45-48). Kegairahan para Sarjana pribumi sendiri untuk mengkaji naskah-naskah Nusantara tersebut kiranya baru muncul sesudah tahun 1965, ketika mulai terjalin berbagai kerjasama antara perguruan tinggi di Indonesia dengan sejumlah institusi di luar negeri.

Berikut isi Wawacan Keyan Santang.

 

Satria Pajajaran

Tersebutlah sebuah kerajaan di Tanah Pasundan. Kerajaan itu bernama Kerajaan Pajajaran. Yang menjadi raja di Pajajaran bernama Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi ini mempunyai seorang Putra yang bernama Gagak Lumayung. Gagak Lumayung biasa juga disebut Prabu Keyan Santang.

Gagak Lumayung terkenal sebagai putra raja yang gagah perkasa, tak ada bandingannya. Di kerajaannya tak seorang pun yang dapat mengalahkannya. Semua kerajaan di wilayah Pulau Jawa sudah ditaklukkannya. Dia sangat terkenal sebagai Wakil Prabu Siliwangi. Karena sakti, Keyan Santang belum pernah melihat darahnya sendiri.

Keyan Santang masih muda dan belum beristri. Yang selalu ada dalam pikirannya hanyalah bertanding dan bertanding. Hal ini menyebabkan ia merasa gundah. Ia ingin sekali melihat darahnya sendiri.

Prabu Siliwangi sangat khawatir melihat keadaan putranya. Oleh karena itu, pada suatu hari ia bertanya kepada Keyan Santang, "Ananda, Keyan Santang, Ayahanda ingin bertanya kepada Ananda. Mengapa Ananda selalu murung. Apa yang menyebabkan keadaan Ananda demikian. Bicaralah kepada Ayahanda, apa yang Ananda inginkan. Apakah Ananda ingin menjadi bupati atau Ananda ingin beristri? Bukankah Ananda tahu bahwa Ayahanda selalu menuruti apa yang Ananda minta. Ayahanda tidak pernah menolak apa yang Ananda inginkan," begitu sabda Prabu Siliwangi. 

Keyan Santang menyembah kepada ayahandanya seraya berkata, "Ayahanda, Ananda bukan ingin menjadi bupati atau ingin menikah."

"Jadi, apa yang Ananda inginkan?" Prabu Siliwangi bertanya lagi. 


"Sebagaimana Ayahanda ketahui, tak ada seorang pun yang dapat mengalahkan hamba. Hamba belum puas bertanding. Hamba ingin sekali melihat darah hamba. Hamba mohon Ayahanda sudi mencarikan hamba lawan bertanding." jawab Keyan Santang.

"Ananda, Keyan Santang, mohon bersabarlah. Ayahanda akan memanggil semua ahli nujum di negeri ini untuk mencari siapa kiranya yang dapat menjadi lawan Ananda," jawab Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi kemudian memanggil Patih yang bernama Raden Arga.

Prabu Siliwangi memerintahkan agar Raden Arga mengumpulkan semua ahli nujum dan orang-orang pintar yang ada di Pajajaran untuk mencari lawan tanding Keyan Santang. "Patih, coba kau kumpulkan semua ahli nujum dan orang pintar yang ada di Pajajaran ini," sabda Prabu Siliwangi kepada patihnya. 

"Daulat, Sang Prabu, gerangan apakah yang Tuanku inginkan dari ahli nujum dan orang-orang pintar tersebut?" tanya Raden Arga.

"Patih, seperti kauketahui, anakku Keyan Santang sekarang ini sedang gundah. Dia ingin sekali bertan-]ing. Akan tetapi, tak seorang pun yang dapat mengalahkannya. Oleh karena itu, aku ingin meminta para ahli 1ujum dan orang-orang pintar agar mencarikan lawan tanding anakku. Siapa tahu, me.reka dapat menunjukkan orang yang dapat mengalahkan anakku," jawab Prabu Siliwangi.

Patih Arga melaksanakan perintah Prabu Sili-wangi. Ia mengumpulkan ahli nujum dan orang pintar yang ada di Pajajaran. Semua ahli nujum yang ada di Kerajaan Pajajaran dipanggilnya. Mereka diminta untuk menunjukkan siapa kiranya yang dapat mengalahkan Keyan Santang. Setelah semua ahli nujum dan orang-orang pintar itu berkumpul, Prabu Siliwangi bersabda.

"Wahai, hadirin sekalian, mungkin kalian bertanya mengapa kalian para ahli nujum dan orang-orang pintar kupanggil ke tempat ini."

"Daulat Tuanku, kami tidak tahu apakah yang harus hamba lakukan untuk Tuanku," jawab para ahli nujum. 


"Kalian tentu mengetahui bahwa putraku Keyan Santang sudah tidak ada yang mampu mengalahkannya. Sekarang ini anakku sedang gundah karena tidak mempunyai lawan tanding. Aku ingin kalian mencarikan lawan tanding untuk putraku. Siapakah kiranya yang dapat mengalahkan putraku, Keyan Santang."

Ada seorang ahli nujum, kakek-kakek dari arah belakang para ahli nujum mengatakan

"Benar sabda raja Prabu, menurut pendapat saya mencari lawan di pulau Jawa tentunya tidak ada yang dapat menandingi yang unggul hanya putranda, Perbu Keyan Santang sakti. Hanya yang jelas tentunya ada yang menjadi lawan putra Gusti (tetapi) bukan berasal dari pulau Jawa adanya di negeri Mekah namanya Bagenda Ali bin Tolib. Tetapi negeri itu jauh sekali adanya di pusat bumi Mekah adanya di negeri Arab bahkan menurut kata orang jauhnya. dapat disebut masa Allah tetapi dengan putra gusti (Keyan Santang). Itu belumlah tentu yang unggul dari bagian perang tidak tahu mana yang kalah hanya yang jelas tentunya bakal setanding begitulah menurut saya"

"Kita lihat siapa yang akan menang. Dimanakah orang itu?" Tanya Prabu Siliwangi.

Ketika Prabu selesai dengan pertanyaan tersebut, beliau melihat kepada ahli nujum itu. Namun, ahli nujum itu sudah tidak ada. Ia hilang tanpa bekas. Prabu Siliwangi sangat terkejut.  Lalu, beliau bertanya kepada yang hadir di tempat itu.

"Ke manakah perginya kakek yang menunjukkan lawan tanding putraku itu? Siapakah sebenarnya dia itu?" tanya Prabu Siliwangi.

"Ampun Tuanku, kami tidak mengetahui siapa dan dari mana kakek tersebut berasal. Kami  semua belum pernah melihatnya sebelum ini," jawab para ahli nujum. Keyan Santang tercengang mendengar pembicaraan itu. Sayang sekali kakek itu menghilang. Padahal, ia belum tahu di mana letaknya negeri Mekah itu.

Setelah itu, Keyan Santang segera mohon diri kepada ayahandanya. Ia akan pergi ke negeri Mekah untuk mencari Baginda Ali.

"Ayahanda, Ananda mohon izin Ayahanda untuk pergi ke negeri Mekah. Ananda ingin bertemu dan bertanding dengan Baginda Ali," Keyan Santang mohon diri kepada Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi tidak menjawab sepatah kata pun. Dia tidak mampu melarang Keyan Santang pergi. Dia berpikir, percuma Keyan Santang dilarang karena Keyan Santang akan tetap memaksa pergi. Akhirnya, beliau mengizinkan kepergian putranya. 

Keyan Santang segera meninggalkan ayahandanya. Ia tidak menunggu hingga esok harinya. Hari itu juga ia  pergi mencari Baginda Ali.

Selama kepergian putranya, Prabu Siliwangi selalu memasang kuping. Ia selalu mencari tahu apa yang terjadi dengan putranya. Dalam pengembaraannya, Keyan Santang tiba di suatu tempat yang asri. Di tempat ini Keyan Santang bersemedi untuk meminta petunjuk tentang letak negeri Mekah, tempat Baginda Ali tinggal. Ketika bersemedi, ia mendengar suara tanpa wujud. Suara itu menyuruh Keyan Santang untuk berganti nama menjadi Garantang Setra. Suara itu pun menyuruh agar Keyan Santang segera berangkat ke arah barat.

Serta merta Keyan Santang bangkit dari semedi-nya, lalu berjalan ke arah barat. Akhirnya, ia sampai ke pinggir laut. Di sana ia bolak-balik. Dalam hati ia berpi-kir, menembus bumi aku bisa, berjalan di atas taut biasa, terbang di angkasa sudah dilakukan sejak kecil. Lebih baik aku terbang saja agar cepat sampai di tujuan. Aku ingin segera bertanding dengan Baginda Ali.

Dalam perjalanannya Keyan Santang atau Garantang Setra selalu berpikir-pikir. Ia melihat ke arah selatan, lalu ke arah utara. Setelah itu, ia menengok ke timur. Tak lama kemudian, ia menenggok ke arah barat kembali. Dia terus terbang berkeliling dengan harapan dapat menemukan negeri Mekah. Ia terbang sambil melihat-lihat mungkin saja ia sudah sampai di negeri Mekah.

Ketika Keyan Santang sedang dalam perjalanan mencari Baginda Ali, ia bertemu dengan seorang putri yang sangat cantik. Putri yang ditemui Keyan Santang itu tidak tahu tentang ayah bundanya. Kecantikan putri itu tiada bandingannya di seluruh Tanah Jawa. Kulitnya kuning, seperti emas baru disepuh. Pinggangnya sangat ramping. Matanya bersinar berkilauan.

Putri yang sangat cantik itu turun dari pelangi. Sanggulnya dihiasi untaian bunga yang semerbak wa-nginya. Ketika melihat Keyan Santang di pinggir pantai, putri cantik itu menghampiri Keyan Santang yang sedang berjalan-jalan di atas laut terkejut ketika melihat putri yang sangat cantik di depannya. Lalu, ia bertanya kepada putri itu.

"Wahai Adinda yang sangat cantik, siapakah gerangan Tuan? Apa yang sedang Tuan Putri lakukan sendirian di pinggir laut ini?" tanya Keyan Santang kepada sang Putri.

"Aduhai, Kanda, Dinda pun ingin bertanya apa yang sedang Kanda lakukan di sini. Dari mana Kanda berasal. Dinda lihat sepertinya Kanda sedang resah dan gundah," sang Putri bukannya menjawab malah balik bertanya. 


"Adinda putri, Kandalah yang seharusnya bertanya kepada Adinda. Kanda tidak melihat dari mana Adinda datang. Kanda terkejut karena Adinda tiba-tiba sudah ada di hadapan Kanda. Kanda adalah Keyan Santang. Kanda berasal dari negeri Pajajaran di Tanah Jawa," sahut Keyan Santang lagi.

"Kanda Keyan Santang, maksud hamba datang ke sini adalah ingin menyerahkan diri hamba. Hamba ingin menyerahkan diri kepada siapa saja· yang dapat mengambilkan bintang-bintang di angkasa. Hamba mau menjadi istri dari orang yang dapat mengambil dan menguntai semua bintang di langit," jawab sang Putri.

"Milik siapakah bintang di langit itu Dinda Putri?" Keyan Santang bertanya.

"Hamba dengar, bintang-bintang itu milik Baginda Ali dari negeri Mekah, yang terkenal kegagahannya. Hamba ingin memiliki bintang miliknya," jawab sang Putri.

Keyan Santang terkejut ketika mendengar bahwa bintang-bintang di langit tersebut milik Baginda Ali, apalagi ketika putri itu memuji kegagahan Baginda Ali. Keyan Santang tersinggung. Dalam hatinya ia marah. Ia terkenal gagah tanpa tandingan. Mengapa sekarang ada orang lain yang dipuji kegagahannya di depan dirinya. Ia pun ingat kepada apa yang dikatakan kakek ahli nujum yang menghilang. Lavyan yang dapat menandinginya adalah Baginda Ali. Dia semakin marah ketika ingat pada pujian kakek ahli nujum, ditambah pula dengan pujian yang d iberikan putri di hadapannya terhadap Baginda Ali.

Karena merasa tertantang, Keyan Santang menyanggupi permintaan putri yang cantik itu. Dia menatap bintang-bintang yang berkilauan di angkasa. Ketika ia melihat ke arah putri, ia terkejut karena putri itu sudah tidak ada. Sarna halnya dengan kakek nujum dahulu, sang putri pun hilang tanpa bekas dari hadapan Keyan Santang. Prabu Keyan Santang segera terbang cepat sekali ke angkasa. Ia akan mengambil bintang-bintang di langit. Akan tetapi, hal itu rupanya tidak mudah. Bintang-bintang tersebut mempermainkannya dan terus-menerus menghindarinya.

Keyan Santang kesal sekali. Bintang-bintang itu sukar sekali diraihnya. Ketika dia naik, bintang-bintang itu turun ke burni. Ketika dia turun ke bumi, bintang-bintang pun melesat ke udara. Begitu saja terus-menerus. Siang dan malam Keyan Santang tidak bosan-bosannya mengejar-ngejar bintang. Namun, bintang itu tetap saja selalu menghindari kejarannya.

Keyan Santang marah bukan kepalang. Amarahnya meledak-ledak. Tanpa mengenal Ielah, dia terus mengejar-ngejar bintang. Tanpa disadarinya, Keyan Santang sudah berada di atas negeri Mekah.


Pertemuan Tak Terduga

Sebagai akibat perbuatan Keyan Santang, bumi Mekah bergetar. Di seluruh pelosok Mekah serasa ada gempa. Para penduduk pun panik dan bertanya-tanya. Apa gerangan yang menyebabkan terjadinya gempa ini. 


Rasulullah di Mekah mendengar suara hingar-bingar di udara. Beliau diberi tahu oleh Malaikat Jibril: "Ya Rasulullah, Kekasih Allah, ada seorang pemuda dari Pulau Jawa. Orang itu sangat gagah. Saat ini orang itu ada di atas negeri Mekah. Orang itu bernama Keyan Santang. Keyan Santang yang sangat gagah berani itu menantang Baginda Ali. Saat ini Keyan Santang sedang mengejar-ngejar bintang di angkasa negeri Mekah," demikian kata Malaikat Jibril.

Rasulullah mendengarkan perkataan Malaikat Jibril dengan seksania. Setelah itu, beliau segera menitahkan Baginda Ali untuk menemui pemuda tersebut.

"Ali, coba lihat apa yang terjadi di negeri kita ini. Bumi terasa bergoncang. Gempa terasa di mana-mana. Carilah apa yang jadi penyebab semua ini," perintah Rasulullah kepada Baginda Ali.

"Baiklah, Rasulullah, hamba akan mencari penyebab semua kekacauan ini," jawab Ali.

"Jika kau temukan penyebab semua ini, usirlah dia. Suruhlah dia meninggalkan negeri kita ini," kata Rasulullah kembali.

Baginda Ali kemudian memohon diri kepada Rasulullah untuk mencari penyebab kekacauan di negeri Mekah. 

 


Sementara Ali pergi mencari penyebab kekacauan ini, seorang raja dari kerajaan jin yang bernama Ratu Jin menghadap Rasulullah. Ratu Jin ingin menunjukkan baktinya kepada Rasulullah. Sebagai tanda bakti, ia memberikan sebuah tiang. Tiang itu berwarna kuning emas. Tiang itu sangat bagus dan dapat dijadikan tiang mesjid. Rasulullah berkata kepada Ratu Jin.

"Ratu Jin, bagus sekali tiang yang kau bawa. Cocok sekali kalau tiang itu dijadikan tiang penyangga mesjid."

"Daulat, ya Rasulullah. tiang ini adalah tanda bakti hamba kepada Tuanku. Hendak dijadikan apa saja tiang ini terserah kepada Tuanku," kata Ratu Jin.

"Berapa harga yang harus kubayar untuk tiang itu?" tanya Rasulullah.

"Ampun, ya Rasulullah, hamba tidak berniat menjualnya. Tiang ini betul-betul merupakan persembahan hamba kepada Rasulullah," jawab Ratu Jin.

"Ratu Jin, kami tidak mau memberatkan engkau. Jika kami tidak membayar harga tiang itu, tentu engkau akan rugi. Tiang itu pasti mahal harganya. Oleh karena itu, biarlah kami membayar sesuai dengan biaya yang engkau keluarkan," kata Rasulullah.

"Ampun, Rasulullah, hamba tetap tidak mau menerima bayaran sepeser pun," kata Ratu Jin teguh dalam pendiriannya.

Perdebatan tentang harga tiang itu terus berlangsung. Rasulullah tetap mau rnembayar tiang itu. Sebaliknya, Ratu Jin tetap menolaknya.

"Saya ingin meminta pendapat dari Saudara-Saudara yang hadir di sini. Berapa harga yang pantas untuk tiang ini?" tanya Rasulullah kepada hadirin di ruangan itu.

"Rasulullah, kami tidak tahu berapa harga tiang itu," jawab yang hadir serempak. "Bagaimana jika tiang ini kita bayar lima ratus ribu rupiah? Aku harap Ratu Jin menerima apa yang aku putuskan," demikian kata Rasulullah.

"Ampun, ya Rasulullah; hamba tidak dapat manerima bayaran itu. Lima ratus ribu tidak cukup untuk harga tiang itu. Namun, jika hamba tidak menerima uang itu, bukan karena kekurangannya. Hamba tidak akan menerima sekalipun dibayar lima juta," jawab Ratu Jin.

"Aku tahu niatmu, Ratu Jin. Aku tahu bahwa engkau sangat ingin menunjukkan baktimu kepadaku. Aku terima semua itu. Akan tetapi, jika tiang ini tidak dibayar, aku merasa merugikanmu," kata Rasulullah.

"Hamba tidak akan menerima bayaran seperser pun," Ratu Jin kukuh mempertahankan keinginannya.

"Ratu Jin, jika engkau tidak mau dibayar dengan uang, pilihlah apa yang ingin engkau jadikan bayaran," akhirnya Rasulullah mengalah melihat kukuhnya pendirian Ratu Jin.

"Ampun, ya Rasulullah, kalau Paduka akan mem-berikan imbalan, baiklah hamba akan menentukan pilihan," demikian kata Ratu Jin yang juga ingin menghormati pemberian Rasulullah.

"Katakan saja apa keinginanmu," kata Rasulullah.

"Rasulullah, berilah hamba suatu barang yang beratnya sama dengan tiang ini." Orang-orang yang hadir, tidak terkecuali para sahabat, tercengang mendengar permintaan Ratu Jin itu. Namun, Rasulullah hanya tersenyum mendengarnya, kemudian beliau berkata.

"Syukurlah engkau telah menentukan pilihan, Ratu Jin. Dengan demikian, aku dapat memikirkan apa yang pantas kuberikan kepadamu."

"Ampun, Tuanku, hamba tidak bermaksud merepotkan Tuanku." 

"Tidak apa-apa, Ratu Jin. Sekarang aku akan mengabulkan permintaanmu," kata Rasulullah sambil mengambil sehelai kertas dan sebatang pena. Kemudian,  beliau menuliskan lapadz bismillah. Setelah itu, tulisan bismillah itu ditimbang bersama dengan tiang kuning persembahan dari Ratu Jin.

Karena mukjizat Rasulullah, tulisan bismillah itu jauh le bih berat daripada tiang. Semua yang hadir terkesima melihatnya. Sementara itu, Ratu Jin tersenyum-senyum karena memang itu yang diharapkannya. Dia mengharapkan mukjizat Rasulullah selalu menyertai dirinya. Segeralah Ratu Jin itu memberikan tiang persembahannya dan menerima tulisan bismillah dari Rasulullah.

Setelah serah terima tiang kuning, Rasulullah berkata kepada semua yang hadir.

"Hai para sahabat dan hadirin sekalian, pertemuan ini kita akhiri saja. Kalian boleh kembali ke tempat masing-masing."

"Baiklah, ya Rasulullah," kata hadirin yang langsung mohon diri dari ruangan pertemuan itu. Ruang pertemuan itu menjadi lengang.

Sementara itu, Baginda Ali yang pergi mencari penyebab kekacauan di negeri Mekah mendapatkan seorang pria muda sedang mengejar bintang-bintang di langit. Pemuda yang tidak lain dari Keyan Santang itu terus mengejar-ngejar bintang. Keyan Santang tidak menyadari ada seseorang yang memperhatikannya.

Baginda Ali asyik memperhatikan usaha Keyan Santang mengejar bintang-bintang. Bintang-bintang yang beruntai itu selalu menghindari kejaran Keyan Santang. Dia melihat betapa gagahnya pemuda yang sedang mengejar bintang itu. Pakaiannya sangat bagus Parasnya sangat tampan. Kelihatannya pemuda itu bukanlah pemuda sembarangan. Lama kelamaan, Keyan Santang merasakan ada yang memperhatikannya. Ketika melihat ke bawah, ia menemukan seorang lelaki tengah memperhatikannya. Dia tidak tahu bahwa yang sedang memperhatikannya itu adalah Baginda Ali.

Keyan Santang turun ke bumi, lalu menghampiri Baginda Ali dan berkata.
"Senang sekali aku melihat ada orang di sini. Aku ingin t ahu apa nama negeri ini?"

"Wahai pemuda yang gagah berani, siapakah gerangan Tuan dan dari manakah Tuan berasal?" Baginda Ali balik bertanya.

"Aku Keyan Santang, satria tanpa tanding . Aku berasal dari negeri Pajajaran di Tanah Jawa." jawab Keyan Santang dengan congkaknya.

"Apa maksud Tuan datang ke negeri kami?" Baginda Ali kembali bertanya.

"Aku tidak bermaksud datang ke negeri ini. Aku hendak mencari negeri Mekah," jawab Keyan Santang

"lnilah negeri Mekah," jawab Baginda Ali.

"Kalau begitu aku sudah sampai di tempat tujuan", kata Keyan Santang.

"Ada apa gerangan Tuan mencari negeri Mekah?" tanya Baginda Ali.

"Aku mempunyai dua maksud. Pertama, aku mendapat petunjuk bahwa orang yang dapat menandingiku berasal dari sini. Orang itu bernama Baginda Ali Kedua, aku mengikuti sayembara dari seorang putr1 untuk menangkap bintang. Jika bintang-bintang itu ber hasil kutangkap, putri itu akan menjadi milikku," Keyan Santang mengutarakan maksudnya panjang lebar.

"Mengapa Tuanku sangat tertarik dengan sayembara putri itu? Apakah Tuan ingin dia menjadi istri Tuan?" tanya Baginda Ali.

"Bukan itu penyebabnya. Aku tertarik dengan sayembara putri itu karena bintang-bintang itu, katanya, milik Baginda Ali. Telah dua orang yang menyebut nama Baginda Ali. Oleh karena itu, aku ingin segera bertemu dengan orang yang bernama Baginda Ali itu," kata Keyan Santang. 

"Jadi, kalau Tuan sudah mendapatkan bintang-bintang itu, tentu Tuan akan meninggalkan negeri ini. Tuan akan segera mempersembahkan bintang-bintang itu kepada sang Putri."

"Tidak, aku tidak akan meninggalkan tempat ini kalau aku belum bertemu dengan Baginda Ali. Walaupun bintang-bintang itu sudah berhasil aku petik, aku akan tetap mencari Baginda Ali. Aku ingin tahu sehebat apa Baginda Ali itu. Dapatkah dia menandingiku?" jawab Keyan Santang dengan tinggi hatinya. Dia tidak menyangka bahwa yang dihadapannya itu adalah Baginda Ali.

Mendengar perkataan Keyan Santang itu, Baginda Ali mengucapkan alhamdulillah. Ia berpikir betapa sombongnya pemuda ini. Pemuda ini merasa tidak ada orang yang lebih gagah darinya. Orang ini merasa sangat gagah sendiri. Padahal, yang gagah hanyalah satu, yaitu Allah swt.

"Bapak, saya berharap mudah-mudahan Bapak dapat memberi petunjuk, " kata Keyan Santang tidak sabar. 

Baginda Ali hanya tersenyum simpul mendengar permintaan Keyan Santang. Baginda Ali, kemudian berkata, "Keyan Santang, jika Tuan ingin memetik bintang-bintang itu, Tuan harus mempunyai doanya. Yang mempunyai doa tersebut adalah Baginda Ali. Bapak dulu pernah mendengar doa tersebut."

"Jadi, Bapak mengetahui doa yang harus dibaca untuk menangkap bintang itur' tanya Keyan Santang bersemangat.

Baginda Ali menganggukkan kepalanya.

"Bagaimana doanva, Pak?" Kevan Santang mendesak.

"Silakan, Tuan mengikuti apa saja y ang sava ucapkan," kata Baginda Ali,  "setelah itu Tuan akan dengan mudah dapat menangkap bintang-bintang itu."

Tidak menunggu perintah kedua kalinya, Kevan Santang langsung terbang secepat kilat. Di atas dia membaca doa dari Baginda Ali. Betul saja apa yang dikatakan orang tua itu. Dia dapat dengan mudahnva menangkap bintang-bintang itu setelah dia membaca doa. Keyan Santang tertawa terbahak-bahak setelah berhasil menangkap bintang-bintang itu. Keyan Santang telah berhasil menangkap bintang-bintang permintaan sang putri. Akan tetapi, di dalam hatinya ia masih berpikir segitu mudahnya mengambil bintang-bintang itu hanya dengan sepotong doa. Betapa manjurnya doa tersebut, ilmu yang kumiliki selama ini ternvata tidak ada apa-apanva.

Keyan Santang kemudian turun ke bumi. Dia menghampiri Baginda Ali. Dia sangat bergembira berhasil menangkap bintang-bintang. Lalu, ia bertanva kepada Baginda Ali.

"Bapak, mengapa bintang ini berupa untaian," tanya Keyan Santang sambil melanjutkan, "coba Bapak sebutkan manfaat apa yang akan aku peroleh," pinta Keyan Santang.

Sambil tersenyum, Baginda Ali menjawab pertanyaan Keyan Santang.

"Tuan, bintang beruntai itu melambangkan tasbe," kata Baginda Ali.

"Untuk apa tasbe itu, Bapak?" tanya Keyan Santang.

"Tasbe itu untuk membuang agama yang tidak menghasilkan apa-apa," jawab Baginda Ali.

Keyan Santang tidak mengerti akan sindiran Baginda Ali. Namun, dalam hatinya ia menerima apa yang dikatakan Baginda Ali. Agama yang selama ini dianutnya tidak memberikan apa-apa kepada dirinya. Agama itu tidak dapat menandingi agama yang baru didengarnya.

"Sekarang bintang sudah di tangan Tuan. Apa tujuan Tuan selanjutnya?" tanya Baginda Ali, "Apakah Tuan akan segera kembali ke negeri Jawa?"

"Tidak. Aku tidak akan kembali ke Jawa sebelum bertemu dengan Baginda Ali. Aku harus bertanding dengan Baginda Ali. Aku ingin tahu bagaimana kesaktian Baginda Ali," kata Keyan Santang.

"Jadi, maksud Tuan?"

"Bapak jangan tanggung-tanggung menolongku. Bapak telah menolongku mengambil bintang. Sekarang Bapak pun harus menofongku mencari Baginda Ali."

"Apa yang harus Bapak lakukan?"

"Antarlah aku mencari Baginda Ali. Bapak harus menunjukkan di mana tempat tinggal Baginda Ali," desak Keyan Santang.

"Tuan, Tuan tunggu saja di sini. Bapak akan mencari tempat tinggal Baginda Ali."

"Silakan, Bapak."

Baginda Ali meninggalkan Keyan Santang. Dia segera menghadap Rasulullah. Rasulullah kaget menerima kedatangan Ali. Segera  beliau bertanya.

"Apa yang terjadi, Ali?"

"Ya Rasulullah, ada seorang pemuda dari Tanah lawa. Pemuda itu sangat berani. Menurutnya, tidak ada yang dapat menandingi kesaktiannya. Dialah yang nenjadi penyebab terjadinya kekacauan di negeri ini," jawab Baginda Ali.

"Bukankah sudah aku perintahkan untuk mengusirnya?" Kata Rasulullah.

"Betul, ya Rasulullah, tetapi pemuda itu tidak nau meninggalkan negeri Mekah. Dia sesumbar menantang Baginda Ali. Dia belum tahu bahwa hambalah Baginda Ali. Pemuda itu sombong sekali. Dia merasa bahwa dialah yang paling gagah.

"Dia merasa bahwa dialah yang paling kuat. Apakah hamba harus menghadapinya, ya Rasulullah?" Baginda Ali mohon pertimbangan jari Rasulullah.

"Kita harus meladeni kemauan tamu kita, ya Ali," jawab Rasulullah.

"Apakah hamba harus berkelahi dengannya?" tanya Baginda Ali.

"Tidak perlu, bawalah tongkat ini; tancapkan di tanah, kemudian mintalah pemuda itu mencabutnya," jawab Rasulullah.

"Setelah itu, apa yang harus hamba lakukan, ya Rasulullah?"

"Setelah itu, bawalah pemuda itu kemari. Kita suruh dia mengangkat tiang penyangga mesjid," Rasulullah menjelaskan.

Baginda Ali mohon diri dari hadapan Rasulullah. Dia kembali ke tempat Keyan Santang menunggu. Setibanya Baginda Ali di hadapan Keyan Santang, serta merta Keyan Santang menanyainya.

"Bagaimana Bapak, apakah Bapak telah menemukan tempat tinggal Baginda Ali?"

"Tuan, saya berhasil menemukan tempat tingal Baginda Ali."

"Syukurlah. Marilah kita segera ke sana," kata Keyan Santang tidak sabar.

Mereka berdua segera berangkat. Setibanya di suatu tempat, mereka berhenti. "Inilah tandanya. Di sini kita harus menancapkan tongkat ini. Beliau mengatakan, jika tongkat yang saya bawa ini tercabut, beliau akan segera datang," kata Baginda Ali.

"Ayo Bapak, ayo tancapkan tongkat itu. Aku akan segera mencabutnya. Aku ingin segera bertemu dengan Baginda Ali. Aku sudah tidak sabar lagi ingin bertanding dengan Baginda Ali," Keyan Santang mendesak. 

 

Dengan segera Baginda Ali menancapkan tongkat yang dibawanya.

"Silakan, Tuan mencabut tongkat ini," kata Bagi-nda Ali.

Langsung saja Keyan Santang mencabut tongkat itu. Dikiranya tongkat itu akan dapat dengan mudah tercabut. Namun, ternyata tongkat itu sukar sekali tercabut. Keyan Santang mengeluarkan seluruh kekuatan dan kesaktiannya. Akan tetapi, tongkat itu tetap tegak tidak tergoyahkan, bahkan semakin lama semakin menancap ke dalam tanah. Karena usahanya yang habis-habisan itu, badan Key an Santang pun amblas sebatas dada. Keringat membasahi seluruh badannya.

"Ayo Tuan, ayo cabut tong kat itu," kata Baginda Ali memanas-manasi Keyan Santang. Dia melanjutkan, "katanya Tuan ingin segera bertemu dengan Baginda Ali."

Keyan Santang tidak menjawab. Dia tetap berusaha mencabut tongkat yang tertancap itu.

"Kata Tuan, Tuanlah orang yang paling kuat. Tuanlah orang yang paling sakti. Masa mencabut tongkat saja Tuan tidak bisa," Baginda Ali terus memanas-manasi Key an Santang.

"Diamlah, Bapak, kekuatanku habis. Tongkat ini berat sekali. Cobalah Bapak mencabutnya, " jawab Keyan Santang kesal.

"Mana mungkin saya dapat mencabutnya. Tuan saja yangg katanya sakti mandraguna dan kuat tidak tertandingi, tidak dapat mencabutnya," tukas Baginda Ali, "tetapi saya ingin memberi doa agar tong kat itu dapat Tuan cabut."

"Betulkah Bapak mempunyai doanya?" tanya Keyan Santang.

"Tentu saja. Akan tetapi, Tuan harus memejamkan mata. Turuti apa yang saya ucapkan, " kata Baginda Ali lagi. "Allahumma salli ala Sayyidina Muhammad waala ali Sayyidina Muhammad.

Setelah mengucapkan kalimah itu, tongkat yang ditancapkan Baginda Ali itu tercabut; Keyan Santang membuka matanya. Tidak ada orang lain selain mereka berdua. Dia bertanya kepada Baginda Ali.

"Bapak, mana Baginda Ali? Menurut Bapak, begitu tongkat tercabut Baginda Ali akan segera datang."

"Tuan, sayalah Baginda Ali. Dari tadi Tuan sudah berhadapan dengan Baginda Ali," kata Baginda Ali dengan tenangnya.

Keyan Santang terkejut. Mukanya pucat. Dia merasa malu sekali.

"Mengapa Bapak menyembunyikan diri? Mengapa Bapak tidak mengaku dari tadi? Kalau saja aku tahu bahwa Bapaklah semenjak tadi, tentu aku tidak akan semalu ini," kata Keyan Santang.

"Tuan, mari kita menghadap Rasulullah," ajak Ba-ginda Ali.

"Siapa itu Rasulullah, Bapak?" tanya Keyan Santang.

"Rasulullah adalah pemimpin negeri ini. Beliau sudah mengetahui kedatangan Tuan. Jadi, saat ini beliau sedang menunggu kita." jawab Baginda Ali.

Mereka berdua kemudian berangkat menuju termpat Rasulullah.

 

Sunan Rahmat

Tersebutlah perjalanan Baginda Ali dan Keyan Santang ke tempat tinggal Rasulullah. Kedua orang itu sudah sampai di hadapan Rassulullah.

Kemudian, Baginda Ali berkata kepada Rasulullah.
"Ya, Rasulullah, inilah pemuda Jawa yang gagah berani itu. lnilah pemuda yang sangat kuat dan sakti itu."
Rasulullah memandangi pemuda yang gagah berani itu. Beliau tersenyum melihat lagak Keyan Santang yang tidak memandang sebelah mata kepadanya.

"Keyan Santang, hormatlah kepada Rasulullah. Rasulullah ini adalah pemimpin negeri Mekah. Engkau tidak boleh berlagak sombong di depan beliau," kata Baginda Ali mengingatkan Keyan Santang.

"Ya, Bapak, apakah Rasulullah itu lebih sakti daripada Bapak?" tanya Keyan Santang.

"Tentu saja, Keyan Santang, karena beliau adalah pemimpin negeri ini. Selain itu, dia adalah kekasih Allah," jawab Ali.

"Siapakah Allah itu, Bapak?" Keyan Santang semakin bingung karena dia tidak pernah mengenai Allah.

"Allah adalah Tuhan dari semua yang ada di muka bumi ini. Allahlah yang menciptakan bumi beserta seluruh isinya," jawab Baginda Ali sabar. Setelah berkata demikian,  Baginda Ali melanjutkan perkataannya, "Keyan Santang, sebaiknya engkau bersujud di depan Rasulullah."

Walaupun masih bingung, Keyan Santang menuruti apa yang dikatakan Baginda Ali. Dia bersujud di depan Rasulullah. Rasulullah kemudian berkata kepada Keyan Santang.

"Keyan Santang, aku mau minta bantuanmu."

"Apa yang dapat aku bantu, ya Rasulullah?" tanya Keyan Santang.

"Engkau terkenal gagah dan kuat. Oleh karena itu, tolong angkat tiang itu. Tiang itu akan kujadikan salah satu tiang mesjid," berkata Rasulullah kepada Keyan Santang.

"Baiklah, ya Rasulullah," Keyan Santang yang masih bangga dengan kekuatannya serta kesaktiannya menerima permintaan Rasulullah. Tiang yang akan diangkat itu jumlahnya banyak. Keyan Santang hanya diminta mengangkat satu tiang. Tiang-tiang yang lain diangkat beramai-ramai. Semua orang yang mengangkat tiang-tiang itu membaca solawat, kecuali Keyan Santang. Tiang-tiang yang banyak itu sudah berdiri menyangga tiang kuning. Akan tetapi, tiang yang diangkat Keyan Santang masih belum terangkat juga. Padahal, Keyan Santang sudah mengerahkan seluruh tenaganya.

Baginda Ali merasa kasihan melihat Keyan Santang. Dia membantu mengangkat tiang tersebut dengan sebelah tangan, yaitu dengan tangan kirinya.

Keyan Santang terkesima melihat kejadian itu. Dia yang selama ini merasa dirinya kuat tidak mampu mengangkat tiang itu. Sementara itu, hanya dengan tangan kiri Baginda Ali dapat mengangkat tiang tersebut. Keyan Santang semakin malu oleh Baginda Ali, semakin kagum pula dia kepada Baginda Ali.

Karena sangat malunya, Keyan Santang terbang meninggalkan Rasulullah dan para sahabatnya. Akan tetapi, entah mengapa dia selalu jatuh kembali ke bumi. Kesaktian terbangnya hilang sama sekali. Dia berusaha menembus bumi. Namun, dia pun tidak mampu melakukannya. Keyan Santang berpikir, bagaimana dia bisa pulang ke Tanah Jawa. Kalaupun dia bisa, kekuatan dan kesaktiannya sudah hilang sama sekali. Apa yang akan diperbuatnya di Pajajaran? Dia pasti akan malu di hadapan ayahandanya dan rakyat Pajajaran.

Setelah ber-pikir demikian, dia kembali menghadap Rasulullah. "Ya Rasulullah, hamba mohon petunjuk. Apa yang harus hamba lakukan saat ini." "Keyan Santang, engkau dapat menentukan pilihanmu sendiri. Apakah engkau akan tetap dengan kepercayaanmu atau akan memilih masuk agama Islam," kata Rasulullah.

"Hamba sudah kehilangan seluruh kesaktian," kata Keyan Santang.

"Jadi, apa yang akan engkau lakukan?" tanya Rasulullah.

"Ilmu hamba tidak sebanding dengan ilmu Islam. Hamba kalah dalam segalanya. Oleh karena itu, hamba memilih agama Islam," jawab Keyan Santang.

"Baiklah, kuterima pilihanmu," kata Rasulullah.

"Apa yang harus hamba lakukan, ya Rasulullah?" tanya Keyan Santang.

"Key an Santang, aku bersyukur engkau mau memeluk agama Islam. Sebagai syaratnya, engkau harus mengucapkan dua kalimat syahadat," jawab Rasulullah.

Keyan Santang lalu menuruti perintah Rasulullah. Ia mengucapkan syahadat dengan disaksikan Rasulullah dan para sahabatnya. Setelah itu, resmilah Keyan Santang sebagai pemeluk agama Islam.

Kemudjan, Rasulullah berkata kepada Abu Bakar. "Paman Abu Bakar, tolong Paman ajari Keyan Santang. Suruh dia belajar membaca Alquran secara terus-menerus."


"Baiklah, Rasulullah," jawab Abu Bakar. Semua sahabat kemudian berdoa. Mereka berdoa agar Keyan Santang dimudahkan dalam menerima pelajaran. Setelah itu, mereka meninggalkan ruang pertemuan.

Siang dan malam Keyan Santang terus-menerus belajar. Ia tidak pernah meninggalkan Alquran. Para sahabat sangat sayang kepadanya. Begitu pula,  Rasulullah sangat mengasihi Keyan Santang. Setelah tamat mengaji Alquran, Keyan Santang pertambahan ilmunya sangat pesat. Dia menjadi orang sakti kembali. Semua ilmu yang dipelajarinya cepat dikuasainya.

Selama satu tahun Keyan Santang tinggal di Mekah, selama itu pula dia memperdalam ilmunya. Se-mua kitab telah rampung dipelajarinya. Segala jenis ibadah tak lupa dikerjakannya. Sembahyang lima waktu tak pernah ditinggalkan. Sembahyang berjamaah tak pernah terlewatkan.

Semua tindak-tanduk Keyan Santang menyebabkan para sahabat semakin sayang kepadanya. Rasulullah pun sangat sayang kepadanya. Karena sayangnya itu, Rasulullah memberi nama Keyan Santang dengan nama Sunan Rahmat. Semenjak itu, orang menyebutnya Sunan Rahmat.

 

Kembali ke Kampung Halaman

Pada suatu hari Rasulullah sedang bercengkrama dengan para sahabat, Sunan Rahmat pun ada di antara mereka di sana. Rasulullah berkata kepada Sunan Rahmat.

"Sunan Rahmat, aku ingin bertanya kepadamu."

"Apa yang hendak Rasulullah tanyakan kepada hamba," kata Sunan Rahmat.

"Engkau sekarang sudah memeluk agama Islam. Adakah perbedaan antara agama Islam dengan agama yang engkau peluk dahulu?" tanya Rasulullah.

"Tentu ada bedanya, ya Rasulullah," jawab Sunan Rahmat.

"Di manakah letak perbedaannya? Apakah Islam lebih berat daripada agamamu yang lalu? Apakah engkau selalu teringat akan ajaranmu dulu? Jika engkau masih merasa berat, engkau dapat memikirkannya kembali," kata  Rasulullah.

"Memang, hamba selalu teringat ke Tanah Jawa. Namun, hamba tidak ingin kembali ke sana. Hamba sudah betah tinggal di sini. Hamba ingin meninggal di negeri Mekah ini," jawab Sunan Rahmat.

"Coba pejamkan matamu, Sunan Rahmat," perintah Rasulullah, "apa yang engkau rasakan."

"Hamba merasa berada di Tanah Jawa, Rasulullah," kata Sunan Rahmat sambil terus memejamkan matanya.
"Bukalah matamu," Sunan Rahmat mendengar perintah Rasulullah.

Ketika Sunan Rahmat membuka matanya, ia betul-betul berada di Tanah Jawa. Dia terheran-heran. Ketika ia berjalan, tak seorang pun yang mengenalinya. Hal itu disebabkan oleh perangai Sunan Rahmat yanga sangat berbeda dengan Keyan Santang dahulu. Selain itu, orang tidak mengenali Sunan Rahmat karena ia mengenakan pakaian haji.

Sunan Rahmat terus berjalan mengikuti kata hatinya. Akhirnya, ia tiba di Ujung Kulon. Sunan Rahmat sedih sekali. Ia sangat merindukan Rasulullah dan para sahabatnya. Dia begitu merindukan negeri Mekah. Siang dan malam dia selalu teringat ke negeri Mekah. Kapan lagi ia akan bertemu dengan Rasulullah. Kalau sudah demikian, ia pun menangis.

Satu tahun lamanya Sunan Rahmat berkelana di sepanjang Pulau Jawa. Dia melihat orang-orang Tanah Jawa masih menyembah dewa. Setelah satu tahun tepat, Sunan Rahmat kembali ke negeri Mekah. Dia menghadap Rasulullah. Sunan Rahmat sujud di hadapan Rasulullah. Rasulullah menyambutnya dengan suka cita, kemudian beliau bertanya kepada Sunan Rahmat.

"Sunan Rahmat, bagaimana keadaan di Tanah Jawa?"

Sunan Rahmat menyembah Rasulullah sambil berkata, "Benar, ya Rasulullah, masyarakat Tanah Jawa masih memeluk dewa."

"Apa yang mereka lakukan?" tanya Rasulullah kembali.

"Mereka masih menyembah dewa. Mereka tidak mengenal batal dan haram. Mereka tidak mengenal ayat-ayat Allah," jawab Sunan Rahmat.

"Sunan Rahmat, engkau kuperintahkan menjadi wakilku di Tanah Jawa. Aku kasihan terhadap nasib orang-orang di sana. Mau tidak mau engkau harus kembali ke Tanah Jawa. lslamkan mereka. Katakan kepada mereka bahwa agama Islam akan menuntun mereka ke jalan yang benar," demikian kata Rasulullah.

Sunan Rahmat menundukkan kepala mendengar perintah Rasulullah. Apa yang dikatakan Rasulullah meresap ke dalam hatinya.

"Terima kasih, ya Rasulullah, hamba telah diberi kehormatan oleh Tuan. Hamba merasa beruntung sekali. Hamba akan melakukan tugas yang Rasulullah titahkan," kata Sunan Rahmat.

"Sunan Rahmat, untuk mempermudah tugas sucimu, kerjakanlah hal yang paling ringan terlebih dahulu," nasihat Rasulullah kepada Sunan Rahmat.

"Baiklah, ya, Rasulullah, " jawab Sunan Rahmat.

"Hal pertama yang engkau lakukan adalah mencari raja yang paling berkuasa di Tanah Jawa. Taklukkan raja itu terlebih dahulu. Setelah itu, raja-raja dari kerajaan yang kecil akan mudah ditaklukkan. Siapakah kira-kira raja yang paling berkuasa di Tanah Jawa?" ta-nya Rasulullah.

"Raja yang paling berkuasa di Tanah Jawa adalah Ayahanda Prabu Siliwangi."

"Mudah-mudahan engkau dapat menaklukkan ayahandamu sendiri."

"Hamba berharap demikian Tuanku."

"Sekarang pergilah engkau ke Tanah Jawa. Doaku selalu menyertai perjalananmu."

Kemudian, Sunan Rahmat berpamitan kepada Rasulullah dan para sahabatnya. Setelah perjalanan ditempuhnya, Sunan Rahmat sudah berada di Pulau Jawa. Ia segera menuju ke Pajajaran. Di Pajajaran sedang berlangsung pertemuan antara Prabu Siliwangi dan para bupati.

Prabu Siliwangi tampak murung. sekali. Beliau selalu memikirkan putranya. Dia mencemaskan keadaan Keyan Santang. Beliau belum tahu bahwa Keyan Santang telah berganti kepercayaan.

"Sang Prabu, hamba kira Paduka jangan terlalu memikirkan putranda Keyan San tang. Seperti kita ketahui, dia sangat gagah dan sakti. Tak akan ada sesuatu pun terjadi padanya," hibur para bupati.

"Bagaimana aku bisa tidak memikirkan anakku? Anakku hanya satu. Keyan Santang adalah satu-satu­nya ahli waris Kerajaan Pajajaran. Sudah dua tahun dia tidak terdengar beritanya. Apakah dia masih hidup? Apakah dia sehat? Aku tak tahu apa yang terjadi padanya," jawab Prabu Siliwangi.

"Mudah-mudahan Dewata selalu melindungi perjalanan Raden Keyan Santang," kata para bupati lagi.

Ketika sedang bercakap-cakap demikian, tiba-tiba Keyan Santang datang. Dia menghadap kepada Prabu Siliwangi. Orang yang hadir di Bale Paseban itu kaget. Dari mana Keyan Santang datang? Lagi pula, mengapa Keyan Santang mengenakan pakaian seperti itu? Pakaian seperti itu belum mereka kenal.

Semua orang menyambut kedatangan Keyan Santang. Prabu Siliwangi pun menyambut hangat putranya.

"Selamat datang Ananda Keyan Santang," kata Prabu Siliwangi, "mengapa Ananda pergi begitu lama? Dua tahun Ananda meninggalkan Ayahanda."

"Ampun, Ayahanda, bukan maksud Ananda melupakan Ayahanda. Ananda pergi lama karena melakukan tugas suci," jawab Keyan Santang.

"Ananda Keyan Santang, Ayahanda ingin mendengar hasil perjalananmu," tanya Prabu Siliwangi.

"Ayahanda Prabu, perjalanan hamba sangat menarik. Banyak pengalaman yang hamba peroleh dari perjalanan ini," jawab Keyan Santang.

"Syukurlah, Anakku. Aku selalu berdoa mudah-mudahan Dewata selalu melindungimu," kata Prabu Siliwangi.
"Apakah Anand asudah bertemu dengan orang yang bernama Baginda Ali? Apakah Ananda sempat bertandang dengan Baginda Ali? Benarkah Baginda Ali dapat menandingimu?" Prabu Siliwangi bertanya lagi kepada putranya.

"Ayahanda, hamba telah bertemu dengan Baginda Ali, hamba telah bertanding dengannya. Memang betul Baginda Ali itu sangat gagah. Hamba tak dapat menandinginya. Dengan mudah Baginda Ali dapat mengalahkan Ananda," jawab Keyan Santang.

"Bangsa mereka betul-betul sakti. Hamba tidak kuat menandinginya. Hamba telah tunduk kepada mereka," Keyan Santang melanjutkan perkataannya.

"Apa yang Ananda maksud dengan tunduk itu," Prabu Siliwangi bertanya, "apakah kita harus mengirimkan upeti kepadanya?"

"Bukan begitu maksudnya, Ayahanda. Ananda tidak dijadikan budak yang harus membayar upeti," jawab Keyan Santang.

"Jadi, apa maksudmu dengan tunduk kepada Ba-ginda Ali itu?" tanya Prabu Siliwangi penasaran.

"Hamba telah memeluk agama Islam, agama yang mereka peluk. Hamba telah meninggalkan agama hamba." jawab Keyan Santang.

"Ananda telah meninggalkan agama kita?" tanya Prabu Siliwangi terperanjat.

"Ya, Ayahanda Prabu. Bahkan, saat ini Ananda menjadi wakil Rasulullah di Tanah Jawa ini. Hamba bertugas mengislamkan seluruh Tanah Jawa."

"Mengislamkan seluruh Tanah Jawa?"

"Ya, Ayahanda. Hamba berharap mudah-mudahan Ayahanda Prabu takluk kepada Islam. Ayahanda harus membuang agama yang dulu dan memeluk agama Islam.Begitu pula dengan para bupati dan para pegawai kerajaan serta semua rakyat Pajajaran. Mereka semua harus memeluk agama Islam," Keyan Santang mengutarakan maksudnya.
"Ananda Keyan Santang, apakah engkau sadar dengan apa yang kaukatakan. Apakah engkau sadar dengan siapa engkau berhadapan ?" kata Prabu Siliwangi yang mulai terpancing amarahnya. Hilanglah rasa suka cita dengan kedatangan putranya itu.

"Tentu Ayahanda. Hamba sadar dengan apa yang hamba katakan. Pokoknya, siapa saja yang tidak menurut kepada Ananda, Ananda anggap sebagai musuh bebuyutan." Keyan Santang mengancam.

Prabu Siliwangi terkesima mendengar apa-apa yang dikatakan Keyan Santang. Beliau heran sekali. Mengapa Keyan Santang bertingkah demikian? Keyan Santang seperti sudah kehilangan ingatannya.

"Apa yang terjadi denganmu Key an Santang. Datang dari Mekah seperti orang gila. Mengapa perkataanmu melantur begitu. Sudah gila rupanya engkau ini?"

Keyan Santang marah mendengar perkataan ayahandanya. Amarahnya meledak.

"Kalau begitu, Ayahanda Prabu Siliwangi tidak mau tunduk kepada ajaran Islam? Jika Ayahanda demikian, Ananda akan menghancurkan negeri Pajajaran ini."

Prabu Siliwangi segera menjawab dan meredakan amarah Keyan Santang.

"Ananda Keyan Santang, sabar dulu. Sebelum Ananda menaklukkan negeri ini, Ayahanda ingin melihat piagam penunjukan Ananda sebagai wakil di Tanah Jawa."

"Apakah Ayahanda tidak mempercayai hamba? Apakah Ayahanda sudah tidak percaya kepada anaknya sendiri?" Keyan Santang naik pitam.

"Bukan begitu, maksud Ayahanda, Anakku. Sebagai seorang raja, Ayahanda tidak boleh mempercayai siapa pun tanpa bukti. ltu berlaku terhadap siapa saja, termasuk keluarga sendiri. Jadi, Ayahanda mohon Ananda mengerti akan kedudukan Ayahanda sebagai raja," Prabu Siliwangi melunakkan hati putranya.

Keyan Santang alias Sunan Rahmat menjawab "Rasulullah percaya kepada Ananda seratus persen. Beliau tidak memerlukan bukti apa pun. Jadi, tidak diperlukan lagi piagam penunjukan."

"Ananda Keyan Santang, segala sesuatu itu harus jelas. Harus ada hitam dan putihnya. Ayahanda kurang percaya. Jika ada piagamnya, sudah pasti hitam atau putihnya. Dengan demikian, Ayahanda dapat memikirkannya." jawab Prabu Siliwangi.

"Baiklah Ayahanda, kalau memang Ayahanda menginginkan demikian. Janganlah Ayahanda menuduh Ananda gila. Ayahanda jangan menganggap Ananda melantur. Untuk membuat Ayahanda percaya, baiklah saat ini juga Ananda akan kembali ke Mekah mengambil piagam itu," kata Sunan Rahmat.

Saat itu juga Sunan Rahmat meninggalkan Prabu Siliwangi. Dia tidak memikirkan bahwa dia baru saja tiba di kampung halamannya. Dia tidak mempertimbangkan bagaimana rasa rindu keluarganya. Yang dia pikirkan hanyalah membuktikan bahwa dia memang wakil Rasululah di  Tanah Jawa.

Dari Kerajaan Pajajaran dia langsung kembali ke negeri Mekah. Dia ingin cepat-cepat berjumpa dengan Rasulullah. Dia ingin mengadukan perlakuan ayahandanya terhadap dirinya. Dia pun ingin segera mendapatkan piagam pertanda sebagai wakil Rasulullah.

Setibanya di hadapan Rasulullah, langsung Sunan Rahmat bersujud.  Rasulullah langsung menyambutnya dengan gembira.

"Wahai, Anakku, Sunan Rahmat, apa kabar. Lancarkah perjalananmu?" tanya Rasulullah.

"Hamba baik-baik saja, ya Rasulullah. Perjalanan hamba pun lancar," jawab Sunan Rahmat.

"Apa gerangan yang menyebabkan engkau begitu cepat kembali ke negeri Mekah?" tanya Rasulullah lagi.

"Ya Rasulullah, hamba kalah berdebat dengan Raja Pajajaran. Beliau meminta piagam dari Rasulullah. Hamba tidak dipercayainya. Oleh karena itu, sekarang hamba minta piagam pertanda bahwa hamba menjadi wakil Tuan di Tanah Jawa," jawab Sunan Rahmat.

Rasulullah kemudian mengambil Alquran, beliau lalu menulis piagam tanda Sunan Rahmat menjadi wakil beliau di Tanah Jawa. Sunan Rahmat gembira sekali mendapat piagam itu. Dia berharap dengan piagam itu ayahandanya beserta pengikutnya akan percaya kepadanya. Dia pun berharap ayahandanya mau memeluk agama Islam. Setelah menerima piagam itu, Sunan Rahmat me-ninggalkan negeri Mekah dan kembali ke Tanah Jawa.


Lenyapnya Keraton Pajajaran

Setibanya di Tanah Jawa, Sunan Rahmat mencari batu. Dia menulisi batu itu dengan aksara Jawa. Tulisan itu berbunyi bahwa dia adalah wakil Rasulullah di Tanah Jawa. Tulisan itu dimaksudkan agar semua orang tahu tentang siapa dia. Dia bukan lagi Keyan Santang yang suka berkelahi, Keyan Santang yang tidak bosan mencari lawan bertanding. Dia adalah Sunan Rahmat, wakil Rasulullah yang akan menyebarkan Islam di Pulau Jawa.

Selama dia menulis, banyak orang yang lalu-lalang di dekatnya. Namun, tak seorang pun yang memperdulikannya. Sunan Rahmat pun asyik menulis. Tak diperdulikannya orang yang lalu-lalang di sekitarnya. Dari sekian banyak yang lewat dekat Sunan Rahmat,  ada seorang menteri yang lewat. Menteri itu kemudian bertanya kepada Sunan Rahmat.

"Tuanku, apakah yang sedang Tuan lakukan di sini?" tanya menteri itu kepada Sunan Rahmat.

"Aku sedang membuat tulisan di batu ini," jawab Sunan Rahmat.

"Tuanku, buat apa Tuanku menu lis di batu itu."

"Syukurlah, kau bertanya Menteri. Aku sedang menulis bahwa aku adalah wakil Rasulullah. Aku adalah Sunan Rahmat. Aku harus mengislamkan Pajajaran dan seluruh Tanah Jawa," jawab Sunan Rahmat.

Ketika mendengar jawaban itu, menteri tersebut cepat-cepat meninggalkan Sunan Rahmat. Dia segera pergi menghadap Prabu Siliwangi. Dia melaporkan apa yang baru saja dialaminya. Kebetulan sekali Sang Prabu sedang berkumpul di Bale Paseban. Prabu sedang memperbincangkan niat Keyan Santang yang ingin mengislamkan negerinya.

Prabu Siliwangi bertanya kepada menteri yang baru datang itu. "Apa yang terjadi, Menteri? Mengapa engkau datang tergesa-gesa?"

Menteri itu menyembah, kemudian dia menjawab. "Ampun, Tuanku Prabu, hamba baru saja bertemu dengan Tuanku Prabu Keyan Santang. Dia sedang menulisi batu. Dia berkata bahwa kita semua harus masuk Islam."

"Putraku menulisi batu? Apa maksudnya itu? Apa lagi yang akan dikerjakannya?" Prabu Siliwangi naik pitam.
"Tuanku Keyan Santang mengatakan bahwa tulisan di batu itu mengumumkan bahwa dia adalah wakil Rasulullah di Tanah Jawa," jawab menteri.

"Aku betul-betul tidak mengerti dengan kelakuan putraku. Apa saja yang dipelajarinya selama dia pergi. Mengapa dia jadi memusuhi kita semua? Mengapa kit a harus meninggalkan agama yang kita anut selama ini?" tanya Prabu Siliwangi.

"Hamba pun tidak tahu, Tuanku Prabu," kata para pejabat istana yang mengelilinginya. "Selain itu, Tuanku Keyan Santang pun membawa piagam tanda wakil Rasulullah di Tanah Jawa," kata menteri tadi.

Prabu Siliwangi terkejut mendengar berita itu. Dia memandang ke sekeliling, menatap para bupati dan pejabat istana yang hadir di sana. Dia lalu berujar.

"Apa pendapat kalian, para bupati. Apa sebaiknya yang harus kita lakukan?"

Para bupati dan para pejabat istana menjawab,
"Kami semua tunduk akan perintah Paduka. Siang malam kami akan selalu menanti kehendak Paduka. Jika Paduka mau berpindah agama, kami turut. Sebaliknya, jika Paduka akan teguh dengan agama kita, kami mengikuti Tuanku. Kami tidak akan menentang kehendak Paduka."

"Aku menolak ajakan Key an Santang. Aku tidak mau mengikuti ajakannya. Barangsiapa yang menganut ajaran Keyan Santang, dia akan menjadi musuh bebuyutanku," kata Prabu Siliwangi.

"Kami menu rut titah Tuanku. Kami tidak berani menentang titah Paduka," jawab semua yang hadir di Bale Paseban.

"Syukurlah kalau kalian masih setia dan tunduk kepadaku," kata Prabu Siliwangi.

"Apa yang hendak kita lakukan jika Keyan Santang datang Tuanku?" tanya salah seorang raja.

"Ikuti saja aku, lebih baik kita pergi dari negeri ini daripada harus tunduk kepada Keyan Santang, kita tinggalkan negeri ini," kata Prabu Siliwangi.

"Bagaimana dengan keraton ini Tuanku? Bagaimana jika keraton ini dihancurkan oleh Raden Keyan Santang?" tanya salah seorang bupati.

"Keraton ini akan kujadikan hutan belantara." jawab Prabu Siliwangi. Setelah berkata demikian, Prabu Siliwangi mengubah keraton menjadi hutan belantara. Dia sendiri pun mengubah dirinya menjadi harimau. Para bupati pun berubah menjadi harimau. Semua harimau jadian itu meninggalkan bekas keraton Pajajaran. Mereka kemudian menetap di hutan Sancang.

Ketika Sunan Rahmat tiba di Keraton Pajajaran, ia sangat terkejut. Dia tidak melihat Keraton Pajajaran yang megah. Dia hanya melihat hutan belantara yang sangat lebat. Keraton yang sangat megah itu telah berubah menjadi hutan belantara.

Sunan Rahmat heran dengan sikap ayahandanya. Mengapa ayahandanya itu begitu keras hati. Mengapa ayahandanya tidak menunggu kedatangannya. Dia penasaran ingin bertemu sekali lagi dengan ayahandanya, Prabu Siliwangi. Sunan Rahmat kemudian bersemedi memohon kepada Allah agar dia dipertemukan dengan Prabu Siliwangi. Dengan khusuknya dia berdoa. Dia berharap Tuhan akan mengabulkan permintaannya. Keinginan Sunan Rahmat terpenuhi. Setelah dia bersemedi, dia pergi ke sebuah tegalan. Di tegalan itu dia bertemu Prabu Siliwangi.  Sunan Rahmat lalu berta-nya kepada ayahandanya.

"Ayahanda, Ananda sudah membawa piagam yang Ayahanda minta. Jadi, sekarang bagaimana sikap Ayahanda?" Prabu Siliwangi tidak menjawab .

"Ayahanda, bukankah Ayahanda yang meminta bukti piagam pertanda Ananda sebagai wakil? Mengapa Ayahanda tidak menunggu Ananda kembali dari negeri Mekah? Mengapa Ayahanda pergi sebelum Ananda datang?" Sunan Rahmat memberondongkan pertanyaan kepada ayahandanya.

Prabu Siliwangi tetap tidak menjawab. Dia diam saja. Dia bukannya menjawab pertanyaan putranya, malahan dia segera menghilang dari hadapan Sunan Rahmat. Dia tidak menggindahkan pertanyaan putranya. Dia sama sekali tidak mau bertukar sapa dengan Sunan Rahmat.

Sunan Rahmat hanya tersenyum saja. Betul-betul keras hati ayahanda, begitu pikirnya. Prabu Siliwangi tak berani muncul ke permukaan bumi. Dia takut bertemu dengan putranya. Dia tidak mau ditanya-tanya oleh putranya. Dia sudah menganggap putranya sebagai musuhnya.

Oleh karena itu, dia tidak mau kalau tiba-tiba putranya muncul di hadapannya. Setelah mengetahui sikap ayahandanya, Sunan Rahmat meninggalkan tempat itu. Dia melanjutkan tugasnya menyebarkan agama Islam. Dia berangkat sesuai dengan kata hatinya.


Perjuangan Berat

Sunan Rahmat berkelana menyebarkan agama Islam. Dia berjalan dari satu kampung ke kampung yang ain, dari satu desa ke desa lain. Dia tidak lagi mengaku sebagai putra Pajajaran. Dia mengislamkan penduduk sedikit demi sedikit.

Sunan Rahmat berjalan ke pegunungan. Setiap bertemu dengan orang, dia selalu mengislamkannya dengan cara membaca dua kalimah syahadat. Ada yang sedang mengambil nira diislamkannya. Ada yang sedang berhuma diislamkannya. Begitulah perjalanan Sunan Rahmat menyebarkan Islam di daerah pinggiran. Dia sama sekali belum nyebarkan Islam di wilayah kota. Daerah kota tidak diislamkannya. Hal itu disebabkan oleh adanya surat Prabu Siliwangi kepada para bangsawan di kota. Para bangsawan itu masih takluk dan tunduk kepada Prabu Siliwangi. Mereka tidak berani keluar rumah. Mereka bersembunyi. Mereka tidak mau bertemu Sunan Rahmat. Dengan demikian, para bangsawan tetap dengan agama pegangannya. Sebaliknya, rakyat kecil sudah terlanjur tertarik lengan Islam. Mereka merasa tenang sudah menganut agama yang suci. 

Sepanjang perjalanan menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa, Sunan Rahmat selalu kehilangan para bangsawannya. Semua bangsawan takluk kepada Prabu Siliwangi. Oleh karena itu, tak seorang pun bangsawan yang ditemukan Sunan Rahmat untuk diislamkan.

Pada suatu hari Sunan Rahmat tiba di suatu tempat. Tempat itu bernama Pager Jaya. Penguasa di Pager Jaya adalah kakeknya sendiri. Dia adalah mertua Prabu Siliwangi. Dia bernama Sunan Pager Jaya. Alangkah senangnya Sunan Rahmat bertemu dengan kakeknya. Begitu pula, Sunan Pager Jaya senang sekali bertemu dengan Sunan Rahmat.

"Selamat datang, Cucuku, " demikian sam but Sunan Pager Jaya.

"Terima kasih, Eyang. Hamba senang sekali berjumpa dengan Eyang," kata Sunan Rahmat sambil mencium tangan Sunan Pager Jaya. Setelah puas melepaskan rindu, Sunan Rahmat mengutarakan maksudnya dari awal sampai akhir. Sunan Rahmat sangat bahagia karena ternyata Sunan Pager Jaya telah memeluk agama Islam.

"Hamba senang sekali Eyang telah memeluk agama Islam. Akan tetapi, hamba tidak dapat lama-la-ma tinggal di sini. Hamba masih terus harus menyebarkan agama Islam ke seluruh Tanah Jawa," Sunan Rahmat berpamitan kepada kakeknya.

"Cucuku, sebaiknya engkau lebih lama tinggal di sini. Kami masih kangen padamu. Oleh karena itu, tinggallah di sini beberapa hari lagi," Sunan Pager Jaya melarang Sunan Rahmat cepat-cepat meninggalkan Pager Jaya.

"Eyang, Hamba betul-betul tidak dapat tinggal lebih lama. Hamba mohon maaf jika telah mengecewakan Eyang. Hamba berjanji lain waktu hamba akan mampir lagi ke sini," Sunan Rahmat tetap dengan pendiriannya.
Akhirnya, Sunan Pager Jaya mengizinkan Sunan Rahmat pergi. Dari Pager Jaya Sunan Rahmat berangkat ke selatan, ke Sukapunten. Setelah itu, Sunan Rahmat menuju Kedung Halang Kasmaran. Akhirnya, Sunan Rahmat tiba di Cihaur Beuti. Di sana dia bertemu dengan seorang guru. Guru itu bernama Prabu Taji Malela. Prabu Taji Malela pernah menjadi guru Sunan Rahmat. Prabu Taji Malela senang sekali bertemu dengan Sunan Rahmat. Dia segera memeluk Sunan Rahmat, kemudian beliau bertanya.

"Raden, ke mana saja Raden selama ini. Eyang sangat merindukanmu. Untung Eyang belum meninggal. Ceritakanlah perjalanan Raden selama ini." 

"Ampun, Eyang Guru, pengalaman hamba begitu banyaknya. Baiklah akan hamba ceritakan dari awal hingga akhir," jawab Sunan Rahmat.

Sunan Rahmat menceritakan pengalamannya selama ini. Bagaimana dia berkelana ke Mekah. Bagaimana dia menerima ajaran Islam dari Rasulullah dan para sahabat.

"Hamba sekarang ini menjadi wakil Rasulullah di Tanah Jawa. Tugas hamba adalah mengislamkan seluruh Tanah Jawa," demikian Sunan Rahmat menutup ceritanya.

Prabu Taji Malela senang sekali. Beliau meminta Sunan Rahmat agar mengislamkannya. Maka, masuklah Prabu Taji Malela ke dalam agama Islam.

Setelah mengislamkan Prabu Taji Malela, Sunan Rahmat berniat menghadap Rasulullah. Setibanya di ha-dapan Rasulullah dan para sahabat, Sunan Rahmat mencium pangkuan Rasulullah. Rasulullah menyambut Sunan Rahmat.
"Selamat datang, Anakku, Sunan Rahmat."

"Terima kasih, ya Rasulullah," jawab Sunan Rahmat sambil terus bersalaman dengan para sahabat.

"Coba engkau ceritakan, bagaimana keadaan di Tanah Jawa, Sunan Rahmat," tanya Rasulullah.

"Alhamdulillah berkat pertolongan Allah swt. semua orang yang hamba temui berhasil hamba lslamkan. Namun, hamba baru menyebarkan Islam sampai ke Jawa Tengah. Selain itu, baru rakyat dan para abdilah yang hamba lslamkan, sedangkan para bangsawan masih sukar diislamkan. Mereka masih takut kepada Prabu Siliwangi. Mereka bersembunyi ketika hamba datangi," jawab Sunan Rahmat.

"Tidak apa-apa, Sunan Rahmat, nanti juga mereka akan menyadari kekeliruannya. Engkau tak perlu tergesa-gesa. Asalkan hasilnya baik, lama pun tidak menjadi masalah," jawab Rasulullah.

"Ya, Rasulullah, hamba mau bertanya. Hamba memiliki saudara dan eyang yang dapat membantu hamba menyebarkan Islam. Bolehkah mereka menjadi wakil hamba? Selain itu, hamba pun ingin melaporkan siapa saja orang Tanah Jawa yang telah hamba lslamkan. lnilah catatannya," kata Sunan Rahmat sambil memberikan buku catatan kepada Rasulullah. Rasulullah menerima buku catatan itu. Beliau kemudian membacanya. Beliau mengangguk-anggukkan kepalanya. Beliau sangat gembira. Semakin sayanglah beliau kepada Sunan Rahmat.
"Raden, engkau boleh mengangkat mereka sebagai wakil Raden. Mereka semua dapat membantumu menyebarkan agama Islam," kata Rasulullah.

"Terima kasih, ya Rasulullah," jawab Sunan Rahmat.

"Selain itu, ada yang akan aku sampaikan padamu. Dalam mengislamKan orang Tanah Jawa itu, engkau tidak boleh tanggung-tanggung. Orang yang sudah ada dalam catatan ini segera dikhitan saja," kata Rasulullah.
"Ini peralatan untuk mengkhitan. Radenlah yang bertugas mengkhitannya," lanjut Rasulllah sambil memberikan peralatan pengkhitan.

"Baiklah, ya Rasulullah. Peralatan ini hamba bawa", jawab Sunan Rahmat sambil terus berpamitan.

Setiba kembali di Pulau Jaw a, Sunan Rahmat bertemu dengan Raden Layang Kamuning dan putranya Raden Tanjung Layang. Raden Layang Kamuning adalah putra Dipati Ukur. Namun, mereka tidak saling mengenal.
"Wahai satria yang gagah dan tampan, dari mana dan hendak ke mana Tuan berdua."

"Hamba berdua dari Sempur. Hamba adalah Layang Kemuning putra Dipati Ukur. lni adalah anak hamba. Namanya Tanjung Layang," jawab Raden Layang Kemuning.

"Mengapa kalian berdua ada di sini?" tanya Sunan Rahmat lagi.

"Hamba dipaksa Ayahanda untuk menjadi Bupati Curug Sempur. Hamba tidak sanggup menjadi bupati. Oleh karena itu, hamba melarikan diri," jawab Layang Kamuning.

"Mengapa engkau menolak perintah Ayahandamu. Mengapa menolak kehormatan diangkat menjadi bupati. Betapa bodohnya kalian. Coba kalian pikirkan lagi. Sayang sekali kalau kalian menolak menjadi bupati," kata Sunan Rahmat.

"Memang hamba bodoh. Hamba menolak semua kehormatan itu. Akan tetapi, hamba menolak itu karena hamba tidak sanggup jadi bupati. Sebagai pemimpin, bupati itu harus serba bisa. Ia harus pintar. Hamba dan anak hamba tak bisa mengaji sedikit pun," jawab Layang Kamuning.

"Jadi, maksud kalian berdua ini mau apa?" tanya Sunan Rahmat. "Hamba berdua mau belajar mengaji," jawab Layang Kamuning sambil melanjutkan, "hamba berdua sedang mencari Uak Gagak Lumayung yang bergelar Sunan Rahmat. Beliau tinggal di negeri Mekah. Hamba ingin berguru kepadanya. Biarlah hamba tidak menjadi ratu atau bupati, asalkan hamba dapat mengaji."

Mendengar jawaban itu, Sunan Rahmat segera memeluk Layang Kamuning dan Tanjung Layang sambil berkata, "Anakku, inilah yang engkau cari. Aku adalah Sunan Rahmat, uakmu." "Uak sekarang sedang menyandang tugas mengkhitankan orang yang telah memeluk agama Islam. Oleh karena itu, jika kalian ingin belajar mengaji,  pergilah ke negeri Mekah. Bawalah surat dari Uak ini. Nanti kalau Uak ke Mekah, kalian akan Uak jenguk," Sunan Rahmat melanjutkan perkataannya.

"Terima kasih Uak, hamba berdua mohon restu," kata Layang Kamuning dan Tanjung Layang sambil mencium tangan Sunan Rahmat.

Setelah itu, mereka berpamitan. Sepeninggal Layang Kamuning dan Tanjung Layang, Sunan Rahmat melanjutkan perjalanannya. Dia mencari orang yang akan dikhitannya. Selama dalam perjalanan itu, ia berpikir. Bagaimana cara mengkhitan itu. Ia lupa menanyakan caranya kepada Rasulullah. Dalam hatinya ia berkata mengapa aku cepat-cepat  pergi dari hadapan Rasulullah? Mengapa aku tidak sempat bertanya cara mengkhitan itu?

Dengan hati bingung, Sunan Rahmat berjalan mengikuti langkah kakinya. Di suatu tempat yang berupa tegalan, Sunan Rahmat menemukan seseorang. Tegalan itu bernama Leles Ciparay. Sunan Rahmat tidak lupa bahwa orang itu adalah orang yang diislamkannya. Sunan Rahmat bertanya kepada orang itu.

"Hai Bapak, masih ingatkah Bapak kepadaku?" "Tentu Tuanku, Tuan adalah yang mengislamkan hamba," jawab orang itu.

"Maukah Bapak aku khitankan?" tanya Sunan Rahmat.

"Mengapa hamba harus dikhitan, Tuanku?" orang itu balik bertanya.

"Dikhitan merupakan tanda keislaman, Bapak," jawab Sunan Rahmat.

"Kalau begitu maksudnya, hamba mau dikhitan," kata  orang itu.

Orang itu senang sekali jika dikhitan menandakan keislaman. Oleh karena itu, dengan senang hati dia mau dikhitan. Sunan Rahmat segera mengambil peralatannya. Lalu, dia mengkhitan orang itu. Akan tetapi, dia sangat terkejut. Begitu dipotong, orang itu lalu meninggal. Sunan Rahmat gemetar menyaksikan kematian orang yang dikhitannya itu. Dia tinggalkan mayat orang itu. Dia tinggalkan pula peralatan mengkhitannya. Dia langsung pergi ke Makah. Dengan badan masih gametar dia m enghadap  Rasulullah.



"Sunan Rahmat! apa yang terjadi? Mengapa badanmu gemetar dan wajahmu pucat? Apakah sudah kau laksanakan perintah dariku?" tanya Rasulullah.

"Sudah Rasulullah, hamba sudah mencoba melaksanakan perintah Tuanku. Hamba telah mengkhitan salah seorang pengikut hamba. Akan tetapi,  orang itu langsung meninggal. Hamba telah membunuhnya, Rasulullah. Sekarang apa yang harus hamba lakukan?" jawab Sunan Rahmat.

"Tenangfah, Anakku! Orang itu adalah orang yang paling bahagia. Dia meninggal dalam keislamannya. Orang itu akan lebih dulu masuk sorga," kata Rasulullah menenangkan hati Sunan Rahmat.

"Baiklah, sekarang mari aku ajarkan bagaimana cara mengkhitan itu," Rasulullah melanjutkan. Rasulullah menerangkan secara panjang lebar cara-cara mengkhitan. Sunan Rahmat memperhatikan dengan saksama. Dia tidak mau mengulangi lagi kesalahannya.

"Bagaimana, Anakku, sudahjelaskah keteranganku?" tanya Rasulullah.

"Ya Rasulullah, hamba sekarang sudah paham apa yang harus hamba lakukan ketika mengkhitan," jawab Sunan Rahmat.

"Sebaiknya, engkau di sana melatih orang lagi. Tunjuklah beberapa orang wakil lagi untuk membantumu. bengan demikian, engkau tidak akan terlalu repot," kata Rasulullah.

"Baiklah, ya Rasulullah," jawab Sunan Rahmat.

"Selain itu, engkau pun harus memlliki istri. Jika engkau beristri, engkau akan memillki tempat tinggal yang tetap," Rasulullah menambahkan.

"Ya Rasulullah, hamba akan mengikuti apa yang Tuan titahkan," jawab Sunan Rahmat.

Setelah perbincangan selesai, Sunan Rahmat mohon diri kepada Rasulullah. Dia harus kembali ke Tanah Jawa untuk mengkhitankan orag Islam di Tanah Jawa.

Setibanya di Pulau Jawa kembali, Sunan Rahmat mulai mengkhitankan. Tiada hentinya dia mengkhitankan orang Islam di Tanah Jawa itu. Karena merasa kewalahan, dia menunjuk wakil-wakil untuk membantunya mengkhitan pemeluk agama Islam. 


Perpisahan

Sunan Rahmat terus melakukan perjalanan ke seluruh pelosok Tanah Jawa. Dia mengkhitankan orang Islam yang ditemuinya. Tidak terasa perjalanannya sudah sampai di Cihaur Beuti.

Ketika sedang berada di Cihaur Beuti, Sunan Rahmat bertemu dengan seorang putri. Putri itu cantik sekali. Dia bernama Nyi Puger Wangi. Sunan Rahmat sangat tertarik pada putri itu. Begitu pula, putri itu ter-tarik kepada Sunan Rahmat. Tak lama kemudian, kedua sejoli itu menikahlah.

Bersama istrinya Sunan Rahmat tinggal di Cihaur Beuti. Tak lama setelah mereka menikah, istrinya, Nyi Puger Wangi, mengandung. Betapa senangnya Sunan Rahmat karena mereka akan segera dikaruniai putra. "Adinda Puger Wangi, engkau sedang mengandung. Oleh karena itu, Dinda jangan terlalu berat bekerja. Dinda harus lebih banyak istirahat," Sunan Rahmat menasihati istrinya.

"Tentu Kanda, hamba akan menjaga putra kita. Hamba akan menurut terhadap apa yang Kanda titah-kan," jawab Nyi Puger Wangi.

"Dinda, kita patut bersyukur kepada Allah. Kita telah diberi kenikmatan yang sungguh luar biasa, mari kita berdoa bersama-sama," ajak Sunan Rahmat kepada istrinya.

"Baiklah Kanda," jawab istrinya. Mereka kemudian berdoa dengan khusuknya. Mereka berterima kasih atas kebahagiaan yang mereka peroleh. Mereka pun memohon kepada Allah agar putra mereka menjadi anak yang saleh.

Tidak terasa waktu berlalu. Kandungan Nyi Puger Wangi sudah menginjak sembilan bulan. Pada suatu sore yang cerah, Sunan Rahmat sedang duduk-duduk beserta istrinya. Dia memandangi perut istrinya yang semakin besar. Dia sangat bahagia karena selama hamil, istrinya tidak mengalami gangguan apa-apa. Sunan Rahmat mengusap-usap perut istrinya. 



"Dinda, kandunganmu sudah sembilan bulan. Apakah Dinda akan segera melahirkan?" tanya Sunan Rahmat kepada istrinya.

"Tentu Kanda, Kanda sebentar lagi akan menjadi seorang ayah," jawab istrinya sambil tersenyum.

"Berapa lama lagi kita akan menjadi orang tua, ya?" Kanda ingin segera menimang putra kita. Kanda pun ingin segera mengajar dia mengaji," kata Sunan Rahmat.

"Tak lebih dari sebulan lagi Kanda," jawab Nyi Puger Wangi.

Betul saja apa yang dikatakan Nyi Puger Wangi. Setelah genap waktunya, Nyi Puger Wangi melahirkan putra kembar yang tampan-tampan. Sayang sekali, setelah melahirkan kedua putranya, Nyi Puger Wangi meninggal dunia.

Sunan Rahmat sedih sekali. Dia tidak siap untuk ditinggal istrinya. Namun, dia tidak dapat menolak takdir Tuhan. Dia harus menerima apa yang terjadi pada dirinya dan keluarganya. Selain itu, dia pun bingung, siapa yang akan mengurus dan merawat kedua putranya.

Sementara itu, dia harus menyebarkan agama Islam. Untung saja ada seorang saudara istrinya yang bersedia merawat kedua putranya.

"Kanda, Sunan Rahmat, sudahlah. Kanda jangan bersedih. Relakanlah kepergian Kanda Puger Wangi," . Bagus Daka yang selama ini menemaninya menghibur Sunan Rahmat.

"Kanda sedih bukan karena itu. Kanda sudah merelakan Dinda Pager Wangi menghadap Allah lebih dahulu. Kanda percaya bahwa semua ini sudah diatur oeh Yang Mahakuasa," jawab Sunan Rahmat.

"Kanda, Kanda tidak dapat berbohong. Dinda lihat Kanda selalu termenung memandangi kedua putra Kanda. Apakah itu tidak menunjukkan bahwa Kanda teringat kepada ibunya ?" tanya Bagus Daka.

"Jangan salah sangka Dinda Bagus Daka. Kanda termenung bukan memikirkan ibu mereka. Akan tetapi, Kanda memikirkan nasib kedua putra Kanda itu. Kasihan mereka," jawab Sunan Rahmat.

"Mengapa Kanda memikirkan mereka? Mereka sehat dan tampan?" kata Bagus Daka.

"Kanda berpikir apa yang harus Kanda lakukan sekarang ini. Siapa yang akan mengurus dan merawat kedua putraku. Padahal, tugasku belum selesai," kata Sunan Rahmat.

" Kanda Sunan Rahmat, Kanda tidak perlu risau. Serahkan saja masalah ini kepada hamba," kata Bagus Daka.
"Apakah Dinda dapat membantuku?" tanya Sunan Rahmat.

"Tentu Kanda," jawab Bagus Daka sambil melanjutkan, "adikku, yang juga sepupu Kanda Puger Wangi, baru saja kehilangan putranya. Dia akan sangat gembira jika diminta merawat kedua putra Kanda. Hamba akan menitipkan kedua putra Kanda kepadanya. Hamba yakin dia akan merawat putra Kanda."

"Apakah semua ini tidak akan merepotkannya?" tanya Sunan Rahmat.

"Tentu saja tidak. Bahkan, hamba kira, dia akan menganggap putra Tuan sebagai anaknya sendiri," jawab Bagus Daka.

"Baiklah, kalau itu begitu, kuserahkan semuanya kepadamu," kata Sunan Rahmat.

Kedua putra Sunan Rahmat itu kemudian diserahkan kepada Bagus Daka. Putra yang pertama diberi nama Pangeran Ali Muhammad. Putra yang kedua diberi nama Ali Akbar. Mereka sangat lucu-lucu dan tampan-tampan. Bibinya yang merawatnya sangat menyayanginya.

Dengan diserahkannya putranya kepada saudaranya, Sunan Rahmat dapat dengan leluasa melakukan tugas sucinya. Dia terus menyebarkan agama Islam ke seluruh pelosok Tanah Jawa.

Pada suatu hari Sunan Rahmat memanggil saudaranya, Bagus Daka.

"Adinda Bagus Daka, Kanda ingin berbicara dengan Dinda."

"Ada apa Kanda? apa yang harus Dinda lakukan untuk Kanda?" tanya Bagus Daka. "Dinda, seperti Dinda ketahui, Kanda harus mela-ku kan perjalanan menyebarkan agama Islam," kat a Sunan Rahmat. "Bukankah selama ini Dinda selalu menyertai Kanda?" tanya Bag us Daka. "Dinda Bagus Daka, memang demikian. Akan tetapi , untuk kali ini Kanda tidak dapat mengajak Dinda," jawab Sunan Rahmat. "Mengapa demikian Kanda?" tanya Bag us Daka lagi. "Dinda, Kanda mohon kerelaan hati Dinda. Kanda terpaksa harus meninggalkan Dinda di sini," kata Sunan Rahmat. "Mengapa Dinda tidak boleh menemani Kanda?" Bagus Daka masih penasaran. 

 

"Dinda, Kanda bukannya tidak mau ditemani Din-da. Namun, Kanda ingin menitipkan kedua putra Kanda. Rawatlah kedua putra Kanda itu seperti putra Dinda sendiri. Mudah-mudahan kita semua diberi umur pan-ja ng. Suatu hari nanti Kanda akan menjemput mereka," kat a Sunan Rahmat menjelaskan.

"Mau pergi ke manakah, Knda?" Bagus Daka bertanya tentang tujuan Sunan Rahmat. "Kanda mau pergi ke Mekah," jawab Sunan Rahmat, "Kanda ingin menjenguk Layang Kamuning dan Tanjung Layang."

Bagus Daka mencium tangan Sunan Rahmat sambil berucap, "Mudah-mudahan perjalanan Kanda tidak mendapat halangan, dinda harap Kanda segera kembali ke Cihaur Beuti."

"Terima kasih Dinda, maafkanlah Kanda karena Kanda harus meninggalkanmu."

Setelah saling berpelukan, mereka berpisah. Sunan Rahmat meninggalkan Cihaur Beuti dan pergi ke negeri Mekah.

Setibanya di hadapan Rasulullah, Sunan Rahmat bersujud. Setelah mencium tangan Rasulullah, dia bersalaman dengan para sahabat. Sunan Rahmat memeluk Baginda Ali, Abu Bakar, Usman, dan Umar. Dia tak lupa pula menyerahkan buku catatan siapa saja yang sudah dikhitan. Rasulullah menerima Sunan Rahmat dengan bahagia sekali. Terpikirkan oleh beliau bahwa Sunan Rahmat tampaknya lebih suka tinggal di Mekah. Semua sahabat pun sangat mencintainya. Bahkan, Baginda Ali sudah menganggap Sunan Rahmat sebagai anaknya sendiri.

Pada suatu hari Rasulullah memanggil Sunan Rahmat. Di hadapan para sahabat Sunan Rahmat ditanya oleh Rasulullah.

"Ananda Sunan Rahmat, aku mau bertanya kepadamu. Engkau harus mempunyai pilihan di mana engkau akan menetap."

"Ampun, ya Rasulullah, kalau Rasulullah mengizinkan, hamba ingin tinggal di negeri Mekah ini," jawab Sunan Rahmat.

"Anakku Sunan Rahmat, engkau kuangkat sebagai wakilku di Tanah Jawa. Aku mohon kerelaan hatimu untuk menetap di sana. Aku bukan tidak mau engkau tinggal di sini. Kami senang sekali kalau engkau tinggal di sini. Akan tetapi, aku kasihan kepada umat di Tanah Jawa. Siapa yang akan membimbing mereka?" kata Rasulullah.

"Mengapa harus hamba yang membimbing mereka, ya Rasulullah?" tanya Sunan Rahmat, "bukankah hamba sudah mempunyai wakil di sana?"

"Sunan Rahmat, engkau kuangkat menjadi wakilku di Tanah Jawa. Engkau jangan sangsi bahwa engkaulah yang akan membimbing umat di Tanah Jawa. Tinggallah engkau di Gunung Jati. Di sanalah tempat tinggalmu dan bimbing umatmu," kata Rasulullah.

"Tidak bolehkah kalau hamba mempercayai wakil hamba, ya Rasulullah ?" Sunan Rahmat masih berharap dapat mewakilkan tugasnya kepada muridnya di Tanah Jaw a.

"Anakku, Sunan Rahmat, tugas ini tugas suci. Engkau harus rela mengerjakannya sendiri. Suatu saat kalau engkau merindukan kami, datanglah kemari. Aku akan sangat gembira menyambutmu," jawab Rasulullah.

Setelah menerima penjelasan yang panjang lebar dari Rasulullah, Sunan Rahmat bersedia kembali ke Tanah Jawa. Dia lalu berpamitan kepada Rasulullah dan para sahabatnya. Baginda Ali sedih sekali ditinggalkan Sunan Rahmat. Dia sudah menganggap Sunan Rahmat sebagai anaknya sendiri. Akan tetapi, Sunan Rahmat harus melaksanakan tugasnya yang suci. Oleh karena itu, dengan berlinang air mata, dia melepas Sunan Rahmat. 


Demikianlah, Sunan Rahmat kembali ke Tanah Jawa. Dia menetap di Gunung Jati. Hingga wafatnya dia tidak meninggalkan Gunung Jati. Oleh karen a itu, selain dikenal sebagai Sunan Rahmat, ia lebih terkenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Sunan Rahmat menetap di Gunung Jati sampai dengan ajal menjemputnya. Beliau pun dimakamkan di sana. Hingga saat ini bekas tempat tinggal Sunan Gunung Jati masih menjadi tujuan orang-orang berziarah.

***

Dalam naskah "Wawacan Prebu Kean Santang", akhir perjalanan berbeda. Waktu akan pulang kembali ke Jawa, Sunan Rahmat dibe­kali tanah Mekah yang dimasukkan ke dalam peti. Di dalam peti itu diletakkan pula sebuah buli-buli yang berisi air zam-zam. Selain itu, Sunan Rahmat diberi hadiah seekor kuda semprani oleh ratu jin dari Jabalkap. 



Pesan Nabi Muhammad kepada Sunan Rahmat ialah bila pe­ti itu bergoyang atau adalam bahasa Sunda "gojlog", di suatu tempat di Pulau Jawa, itulah tandanya Sunan Rahmat mesti berhenti. Di sanalah ia mesti bermukim. Menurut cerita, tempat bergoyangnya peti itu adalah di Godog. Itulah sebabnya Sunan Rahmat yang asalnya bernama Kean Santang dimakamkan di Godog, Garut.

Sumber: Kemendikbud RI

 

Kedudukan WKS sendiri tergolong karya sastra sejarah (Ekadjati, 1988: 34-152). Pengertian sejarah yang dimaksud di sini adalah sejarah hitoriografi tradisional, yaitu penulisan sejarah yang dibuat secara tradisional (Lubis, 1991: 5-8) karena isi teks WKS menggambarkan kenyataan yang ditangkap berdasarkan emosi dan kepercayaan semata. Oelh karena itu, menurut bentuknya, WKS tergolong historiografi tradisional bentuk mitos. 

 

Salah satu karakteristik WKS sebagai bentuk mitos adalah hadirnya peristiwa-peristiwa (kisah) kekuatan gaib yang menjadi sumber ketergantungan antara manusia (tokoh Prabu Siliwangi dan Kean Santang) dengan kekuatan diluar dirinya. Tokoh Prabu Siliwangi dan Kean Santang dikisahkan sebagai tokoh yang sakti. Peristiwa demikian itu, jika dilihat dari kacamata semiotik adalah tanda, yaitu indeksyang mengacu kepada suatu keyakinan yang disebut kosmis-kosmis atau theogony (lihat Lubis, 1991: 5).

 

Jika dimaknai lebih jauh, kahanan mitos sebagai produk kebudayaan, memegang peranan penting bagi kelangsungan hidup masyarakat, pemegang tradisi mitos, sehingga mitos harus dikenal, diturunkan atau diwariskan kepada generasi penerusnya (Lubis, 1991: 6). Dalam hubungan ini, Junus (1981: 94) mengatakan kehadiran suatu mitos merupakan kemestian terutama pada hal-hal yang bersifat abstrak, suatu yang tak jelas tentang baik dan buruknya, suatu yang ambigous.



Indeks yang merujuk ke arah itu, didalam WKS, terungkap dari fungsi teks WKS pada masyarakat zamannya, yaitu sebagai sebuah ajang syiar Islam melalui pembacaan teks WKS dalam acara seni beluk(Jawa: macapatan; Bali: mabasan). Teks WKS dibaca semalam suntuk selama tujuh malam pada upacara kelahiran bayi, dibaca pada upacara khitanan, dibaca pada upacara pernikahan (walimahan), dan dibaca pada acara selamatan memanen padi (dibuat). Pada masanya, teks WKS dianggap sakraldan ritualkarena bagi pembaca, pendengar, dan bahkan yang mempunyai hajatan (kenduri), teks WKS diyakini akan mendatangkan berkah, barokah dan kesejahteraan hidup.



Secara eksplisit, suatu indeks yang mengacu kepada legitimasi bahwa teks WKS sebagai mitos, tercermin dalam naskah aslinya pada pupuh 15, Asmarandana, bait 28-30. bait-bait yang mengisaratkan bahwa keberadaan Keyan Santang di Gunung Jati (pada naskah lain disebutkandi Godog, Garut) oleh penulis teks dikisahkan sebagai suatu tempat yang ditunjuk dan disahkan berdasarkan surat dari Rosulullah. 

 

Hal itu adalah sebuah indeks, dimungkinkan, merupakan penglegitimasian agar Godog sebagai tempat (pusat penyebaran Islam oleh Kean Santang) mendapat pengakuan dari masyarakat pada zamannya dan sekaligus menunjukan bahwa tempat itu menjadi keramat yang harus dijiarahi oleh masyarakat agar beroleh kebajikan dan kemulian hidup.Tanda yang berupa indeks dalam WKS berfungsi untuk melegitimasi eksistensi WKS sebagai historiografi tradisional, selain berisi mengenai rekaman fakta peristiwa sejarah juga mengandung unsur-unsur mitos dan dongeng (legenda) yang merupakan mentifact masarakat pada zamannya. 

 

Dalam hubungan ini, Taupik Abdullah yang dikutip Lubis (1991: 17) mengatakan bahwa dalam historiografi tradisional kebenaran historis bercampur dengan kebenaran mitos. Dalam hal ini tidak dibedakan antara kenyataan peristiwa yang sesungguhnya terjadi dengan kenyataan ciptaan pengarangnya (Ekadjati yang dikutip Lubis, 1991: 17). Pola pemikiran demikian sejalan dengan tujuan penulisan suatu karya historiografi tradisional. Yaitu bukan kebenaran historis yang menjadi tujuan utama, tetapi upaya menemukan nilai kultural masyarakat yang menghasilkan karya tersebut (Toupik Abdullah yang dikutip Lubis, 1991: 18).

 

Tokoh mitos ini dianggap sebuah tanda (indeks) yang benar-benar mengacu kepada objek yang pernah ada meski tidak bisa dibuktikan secara historis. Kalaupun Pigeaud menyebut sumber-sumber yang berisi geneologi semacam ini sebagai pseudohistory, tidak menjadi masalah untuk dikemukakan dalam penelitian yang bersifat historis, dengan catatan, hal ini dilakukan alam pikiran atau nilai-nilai yang terkandung didalamnya dan bukan untuk fakta historis (lihat Lubis, 1998: 54). Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila didalam historiografi tradisional ada tanda-tanda semiotik yang berupa indeks yang selalu dikaitkan dengan suatu silsilah asal-mula rajakula mithis-legendaris. Indeks yang mengacu kepada silsilah yang tercantum dalam babad atau pronik pada umumnya merupakan suatu deretan dari nenek moyang raja-raja hingga manusia pertama Nabi Adam. Dalam membuat silsilah sebuah indeks yang mengacu kepada urutan generasi tidak disusun secara historis-realistis, tetapi secara kosmis-religiomagis, artinya dalam silsilah tersebut dimasukan (1) unsur-unsur kosmis dengan mencantumkannya dewa alam, (2) unsur-unsur religius, dengan dicantumkannya nama Nabi-nabi yang dihormati dalam agama Islam, dan (3) unsur-unsur magic, dengan dicantumkannya nama raja-raja besar (misalnya raja Majapahit, Mataram atau Prabu Siliwangi dari Pajajaran bahkan raja Iskandar Zulkarnain) (lihat Lubis 1991: 9-10).

 

Kiranya pemaknaan atau interpretasi seperti pandangan tersebut diatas berlaku pula bagi penulis teks WKS. Kehadiran tokoh yang bernama Kean Santang, misalnya, sebagai putra mahkota raja Pajajaran yang telah menerima tugas dari Rasulullah untuk mengislamkan masyarakat pulau Jawa, termasuk Pajajaran, tidak dapat diterima kebenaran sejarahnya karena belum ada data yang autentik yang dapat membenarkan kehadiran tokoh tersebut. Keberadaan tokoh yang dianggap sebagai penyebar Islam pertama di Jawa Barat itu hanyalah suatu ilusi yang hidup dalam imajinasi dan angan-angan penulis teks yang dilatar belakangi oleh visi dan misi tertentu oleh penulisnya.

 

Di dalam teks WKS dikisahkan adanya pertemuan antara Kean Santang dengan Baginda Ali dan Rasulullah di Kota Mekah. Apabila hal itu dilihat dari kacamata sejarah, secara faktual, setting-historisnyasangat tidak logis-rasional karena keberadaan karajaan Pajajaran dan masa hidup Rasulullah tidak sezaman. Kerajaan Pajajaran baru muncul pada abad ke-13, dan Keyan Santang hidup abad ke-15 sedangkan Rasulullah hidup abad ke-6 Masehi (571 Masehi).

 

Tokoh Prabu Siliwangi adalah Sribaduga Maharja. Ketika Sri Baduga Maharaja wafat. Digantikan oleh putranya dari perkawinannya dengan Kentring Manik Mayang Sunda yang bernama Surawisesa. Dia dinobatkan menjadi raja di Pakuan Pajajaran pada tahun 1521. Negri Pakuan Pajajaran berada pada kurun waktu 1482-1579. Tahun 1482 adalah awal pemerintahan Sri Baduga Maharaja yang menyebut kota Pakuan Pajajaran, sehingga seluruh kerajaan disebut Pajajaran. Kalau Pakuan sendiri telah berdiri sejak tahun 932 M. Sebelumnya bernama Kerajaan Sunda. kemudian Karajaan Pajajaran runtuh pada masa pemerintahan Nusiya Mulya (1567-1579). Dalam WKS dikisahkan bahwa runtuhnya kerajaan Pajajarah itu pada masa Prabu Siliwangi sebagai akibat pengislaman yang dilakukan oleh Kean Santang, putranya. Sedangkan berdasarkan keterangan diatas, runtuhnya kerajaan Pajajaran itu pada tahun 1579, ketika Pajajaran dipegang oleh Nusiya Mulya. Hal demikian itu menjadi sebuah indeks yang mengacu kepada suatu kesimpulan bahwa sangat tidak mungkin apabila runtuhnya kerajaan Pajajaran itu sebagai akibat pengislaman yang dilakukan oleh Kean Santang.

 

Informasi lain yang berkaitan dengan indeks yang mengacu kepada latar dan tokoh raja Pakuan Pajajaran yang bergelar Prabu Siliwangi adalah sebagai berikut.



Menurut Iskandar (1991: 5) di Jawa Barat ada dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda di wilayah Barat, dan kerajaan Galuh di wilayah Timur. Kerajaan Sunda lebih dikenal dengan sebutan Pakuan Pajajaran. Berdasarkan keterangan yang ditulis dalam Prasasti Batu tulis Bogor, raja Pakuan Pajajaran bergelar Prabu Guru Dewataprana atau Sri Baduga Maharaja Ratu Aji Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, anak Rahiyang Dewa Niskala, cucunya Rahiyang Niskala Wastu Kancana. Tahun saka 1455, dia (Sri Baduga Maharaja) membuat Sanghiyang Talaga Warna Mahawijaya. 



Penjelasan lebih lanjut dikatakan bahwa Pakuan Pajajaran itu hancur karena serangan Hasanudin sebagai Penguasa Banten yang Islam, juga sebagai cicit Sri Baduga Maharaja (lihat Iskandar, 1991: 7) disebutkan pula bahwa raja terakhir di kerajaan Pajajaran adalah Nusiya Mulya atau Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana yang memindahkan tahta kerajaannya dari Pakuan (Bogor) ke Pulosari, dilereng Gunung Pulosari (Pandeglang). Akan tetapi keratonnya di ibu kota Pulosari diserbu oleh Maulana Yusuf, dihancurkan oleh tentara Banten (Ekadjati, 1991: 6).



Di dalam Cerita Parahiyangan (Iskandar, 1991:8) dikatakan bahwa pada zaman pemerintahan Sri Baduga Maharaja, penulis Cerita Parahiyangan segorespun tak menyinggung-nyinggung Islam.



Apabila benar demikian, indeks yang mengacu kepada sebuah anggapan bahwa kehancuran Pajajaran itu akibat penyebarab Islam oleh Prabu Kean Santang adalah keliru. Hal itu bersandar kepada indeks lain yang menerangkan bahwa pada masa Sri Baduga tidak disebut-sebut adanya Islam. Oleh karena itu, dari indeks tersebut melahirkan sebuah interpretant berupa simpulan bahwa awal kehancuran Pajajaran disebutkan oleh (1) serangan Hasanudin dari Banten Islam, dan (2) serangan Maulana Yusuf dari Banten. Sedangkan Kerajaan Pajajaran pada masa itu diperintah oleh Prabu Nusiya Mulya.Jadi kehancuran Pajajaran itu bukan karena pengislaman yang dilakukan oleh Kean Santang ketika Pajajaran diperintah oleh Prabu Siliwangi sebagaimana diungkapkan didalam teks WKS, tetapi kehancuran Pajajaran itu sebagai akibat serangan dari pihak Banten. Demak dan Cirebon (lihat, 1985: 9).



Hal ini yang mengisyaratkan adanya sebuah indeks yang mengacu pada latar/setting tempat yang menjadi sebuah legenda didalam teks WKS hingga sekarang adalah nama-nama tempat sebagai berikut.



Legenda “Kampung Salam Nunggal”, adalah sebuah indeks yang mengacu pada peristiwa pengkhitanan pertama kali yang dilakukan oleh sunan Rohmat (Keyan Santang) kepada seorang laki-laki (lelaki tunggal) yang masuk Islam didaerah Pandeglang, Leles, Garut sekarang. Seorang lelaki yang telah di khitan tersebut kemudian meninggal. Tetapi karena dia telah masuk Islam, kematiannya itu tentu kan mendapat rahmat dan keselamatan dari Allah SWT. Untuk mengingan peristiwa kematian seorang yang baru masuk Islam didaerah tersebut, maka tempat itu dinamakan “Kampung Salam Nunggal”.



Nama sungai “Cikawedukan” juga adalah sebuah indeks yang bernilai legenda. Sungai itu bernama “Cikawedukan” untuk mengingat sebuah peristiwa ketika Kean Santang dan Ki Bagus Daka (adiknya) membuang semua kesaktian sihir (weduk= tidak mempan oleh senjata). Selain itu, tempat yang bernama Munjul "muncul" juga merupakan sebuah indeks yang bernilai legenda. Tempat itu dinamakan demikian karena dipakai tempat munculnya (keluarnya) Prabu Siliwangi ke permukaan bumi ketika dikejar-kejar oleh Kean Santang. Demikian pula, nama Godog yang dimungkinkan berasal dari kata gedog "goyang" adalah sebuah indeks yang mengacu pada peristiwa penobatan Kean Santang sebagai wakil Rasulullah di Jawa yang kemudian bersemayam di tempat yang bernama Godog itu.



Mencermati indeks di dalam WKS, baik yang hadir dalam penamaan tokoh, latar, maupun peristiwa membersihkan kesan bahwa penulis teks ingin mengajak masyarakat pada zamannya untuk merenungkan bagaimana Islam pertama kalinya masuk dam merambah daerah Pajajaran. Disamping itu, ada hal lain yang dituntut penulis teks dari pembacanya, yaitu bagaimana keunggulan Islam dibandingkan dengan Hindu yang pada gilirannya hendak mengajak masyarakat masa itu supaya masuk dan memeluk agama Islam serta meyakini akan kebenaran ajarannya. Teks WKS oleh penulisnya dijadikan sebuah indeks media propaganda penulis untuk mensyiarkan Islam kepada masyarakat pada zamannya.



Mencermati sebuah indeks dibalik seorang tokoh putra mahkota Pajajaran yang dianggap menjadi wakil Rasulullah untuk menyebarkan agama Islam di Jawa, kiranya dapat dimaknai bahwa penulis teks WKS sependapat dengan konsep dewa-raja sebagai suatu konvensi dalam cerita-cerita lama didalam khazanah sastra Nusantara umumnya, didalam khazanah sastra Sunda khususnya. Melalui indeks ini penulis teks berharap bahwa misi syiar Islam di Jawa akan berhasil karena dengan konsep dewa-raja segala-galanya akan dipatuhi dan di ikuti oleh rakyatnya.



Disamping itu, sebuah indeks dibalik penamaan tokoh Prabu Siliwangi dapat dimaknai bahwa penulis teks menyadari akan eksistensi tokoh ini di dalam imaji masyarakat pada zamannya yang dianggapnya sebagai tokoh setengah dewa. Oleh karena itu, apabila penulis teks menghadirkan tokoh lain diluar lingkungan istana raja yang kurang dikenal popularitasnya oleh masyarakat masa itu, penulis khawatir bahwa misi Islamisasi yang di embannya itu tidak tercapai. Hanya melalui tokoh Kean Santang itulah keagungan kharismatik Prabu Siliwangi dimata rakyat Pajajaran bisa diimbangi.

 

Referensi

  1. Baried, Siti Baroroh dkk,. 1994. "Pengantar Filologi". Yogyakarta: Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPT) Seksi Filologi Fakultas Sastra Universitas Gakah Mada, Cetakan II.
  2. Ekadjati,  Edi  S.,  1985. "Naskah  Sunda  Lama  Kelompok  Badad".  Jakarta:  Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
  3. ___________,    1985. “Pendekatan  Sejarah  Atas  Peninggalan-peninggalan Tertulis  Tentang  Prabu  Siliwangi”dalam  Seminar  Sejarah  dan  Tradisi Tentang Prabu Siliwangi. Bandung: 20-24 Maret.
  4. ___________,1988. "Naskah  Sunda:  Inventarisasi  dan  Pencatatan". Bandung: Universitas Padjadjaran
  5. Koswara, Dedi. "Buku Bahan Perkuliahan Sastra Buhun: Intrepretasi Semiotik WKS". pdf. Bandung: Fakutas Pendidikan Bahasa dan Sastra UPI. Diakses 8 Agustus 2020.
  6. Lubis,   Nina   Herlina,   1991. "Diktat   Historiografi".  Bandung: Jurusan sejarah UNPAD.
    __________, 1994.” Interpretasi Sumber Sejarah” dalam Jurnal Sastra, Tahun II, No. 2. Bandung: Fakultas Sastra UNPAD.
    __________,  1998. "Kehidupan  Kaum  Menak  Priangan:  1800-1942".  Disertasi Doktor. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda.
  7. Marzuki, Sulina dkk. 1992/1993. "Wawacan Perbu Kian Santang". Jakarta: Proyek Penelitian dan  Pengkajian Kebudayaan Nusan­tara Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan. kemdikbud.go.id pdf Diakses 7 Agustus 2020.
  8. Mayr, Joachim & Bertold Spuler, 1961. "Wustenfeld-Mahler’sche Verrleichunges-Taballen Zur Nuslichen und Iranischen Zetrech nung Uit Tafeln Zur Umrechung Orient-Chirstlicher Aren". Deutsche Morgenlandische Gessellaschaft in Komission Bee Frans Steinner Verlag EMEH-Weisaden.
  9. Robson, S.O. 1988. "Principles of Indonesia Philology of Arabic Manuscript Preserved in Museum of Batavia Society of Arts and Sciences". Batavia: Albrecht. 
  10. Suhaebah, Ebah. 2006. "Satria Tanpa Tanding". Cetakan ke-2 Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Baca Juga

Sponsor