[Historiana] - oleh Alam Wangsa Ungkara. Sosok Sunan Ambu adalah sosok Ibu ilahiah yang gaib penguasa alam niskala (gaib). Keberadaannya telah ada sejak zaman prasejarah di tatar Sunda. Ajarannya 'sementara' penulis sebut sebagai 'Ajar Pikukuh Sunda Purwa' untuk membedakan dengan istilah 'Sunda Wiwitan'. Pembedaan ini hanya untuk menunjukkan kurun waktu yang berbeda. Meskipun demikian, hakikatnya akan terlihat sama.
Penyebutan 'Sunda Purwa' tidak bermaksud sebagai oposan dari 'Galuh Purwa'. Keberadaan Sunda Purwa dalam kilasan sejaran Nusantara tidak dikenal. Sebaliknya Galuh Purwa dikenali. Mungkin keberadaan Sunda Purwa tenggelam karena keberadaan nama Tarumanagara sebagai Kerajaan wilayah Sunda ini. Padahal Galuh Purwa pun termasuk Tarumanagara saat itu. Memang benar bahwa dalam Sejarah pergantian nama Tarumanagara tahun 669 M oleh Sang Tarusbawa (Menantu Maharaja Tarumanagara, Raja Linggawarman), hanya menyebutkan negara dibagi 2 yaitu sebelah timur Citarum bernama Galuh (tanpa purwa) dan di sebelah barat Citarum bernama Sunda (tanpa purwa).
Sejak bergantinya nama Tarumanagara menjadi Sunda di bagian Barat dan Galuh di bagian Timur, keberadaan Agama Hindu Waisnawa (Penyebah Wisnu seperti yang dianut oleh raja-raja Tarumanagara) menjadi lenyap, hilang tak berbekas di Tatar Pasundan (termasuk Galuh).
Kekuasaan Tertinggi Perempuan
Keberadaan Sunan Ambu dalam Ajar pikukuh Sunda Purwa, menunjukkan ajaran sebagai religi prasejarah. Ada banyak bukti sebaran kepercayaan purba zaman prasejarah adalah sama yang memosisikan sosok gaib adalah sosok perempuan sebagai 'Ibu' kegaiban. Keberadaan sosok perempuan dalam kepercayaan prasejarah masih membingungkan para ahli sejarah dan arkeolog Internasional. Bukti sebararan arca yang menggambarkan tubuh seorang Ibu bertubuh gemuk ditemukan dari berbagai peradaban.
Istilah Sunan Ambu terdiri dari 2 kata, yaitu 'Sunan' dan 'Ambu'. Sunan berasalah dari kata susuhunan yakni sesuatu yang ditempatkan di atas kepala sebagai lambang penghormatan. Jadi Sunan dalam pula didefinisikan sebagai 'Yang Diagungkan'. Kata Ambu adalah sebutan untuk seorang perempuan yang melahirkan, memelihara dan menyayangi anak-anaknya. Pada masa awal sejarah Tatar Sunda, sebutan untuk seorang ibu adalah 'Babu'. Penulis sendiri punya nenek yang dipanggila Babu oleh ibu saya dan saudara-saudaranya (paman dan bibi penulis). Awalnya penulis merasa kagok menyebut nenek dengan sebutan Babu, yang menurut bahasa sekarang adalah seorang 'pembantu rumah tangga'. Namun saat itu, nenek saya melarang penelus memanggilkan Babu, tetapi dengan sebutan 'Ra Nini'. Alasannya penulis adalah cucu bukan anaknya. Sekarang dapat kita pahami bahwa ada istilah 'Ra Babu' dalam naskah Sunda Kuno Carita Parahyangan. Ra artinya Agung dan Babu artinya Ibu. Pun demikian, Ra Nini adalah nenek yang Agung (terhormat). Istilah Ra Nini masih kita kenali yang tercantum dalam prasasti peninggalan Rakai Warak Dyah Balitung dari kerajaan Mataram kuno.
Kembali ke Sunan Ambu sebagai penguasa Alam Gaib tertinggi. Keberadaannya dibantu oleh para pwahaci (pohaci) yang juga perempuan. Dalam berbagai Naskah Sunda Kuno, keberadaan para Pwahaci masih dapat dikenali. Meskipun demikian, dalam perkembangannya nama-nama pwhaci itu nyaris tak disebutkan lagi dalam prosesi keagamaan Sunda Buhun dan Sunda Wiwitan.
Meskipun sosok tertinggi adalah Sunan Ambu, Urang Sunda tidak berarti menyembah Sunan Ambu melainkan menjadikan Sunan Ambu sebagai perantara membantu kehidupan manusia. Sosok yang disembah adalah dzat yang Maha Sejati dan Satu-satunya yaitu Sang Ijuna Jati (Sang Sejati). Sang Ijuna Jati memiliki banyak nama sifat diantaranya Sang Hyang Manon (Yang Maha Melihat), Sang Hyang Wisesa (Yang Maha Kuasa), Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Hayu (Yang Maha Hidup), Sang Hyang Keresa (Yang Maha Menghendaki), Sang Hyang Karsa (Yang Maha Pencipta),
Tempat Suci Tertinggi Langit bukan Gunung
Pada awalnya, kepercayaan Sunda Purwa tidak menjadikan gunung sebagai tempat bersemayamkan sosok gaib yang mereka jadikan sandaran penuntun kebajikan dan kehidupan. Namun ada banyak bukti bahwa keberadaan kekuasaan adikodrati bersemayam di langit. Keberadaan sosok Maha Gaib di langit diwakilkan dengan keberadaan Matahari. Tetapi tidak ada bukti bahwa dalam kepercayaan Sunda Purwa menyembah Matahari. Pun demikian, tidak ada bukti penyebahan terhadap unsur api.
Jejak kepercayaan ini kemudian diturunkan dalam Ajar Pikukuh Sunda Buhun dan Sunda Wiwitan. Terdapat tingkatan-tingkatan Sosok Gaib penguasa langit (Akasa). Sosok-sosok itu telah terdapat sinkretisme dengan ajaran Buddha dan Hindu. Namun, rupanya hanya kulitnya saja dengan menyebut nama Batara (Dewa) Brahma, Siwa, Iswara, Yama dan lain sebagainya. Posisi pada dewa dalam agama Buddha-Hindu itu tetap berada di bawah Hiyang. Namun sayangnya, jejek posisi Sunan Ambu dalam Ajar Pikukuh Sunda Buhun dan Sunda Wiwitan tidak lagi jelas. Telah banyak nama Sanghyang masuk dalam tingkatan-tingkatan itu.
Penguburan Jenazah Orientasi Timur-Barat
Prosesi penguburan jenazah dalah Ajar Pikukuh Sunda Purwa belum diketahui secara detail. Namun, bukti peninggalan kubur batu (Sarkofagus) dari zaman prasejarah (budaya megalitik) menunjukkan orientasi kuburan Timur-Barat. Jenazah seseorang yang dikurebkeun (dikuburkan) akan dibaringkan dengan orientasi Timur-Barat dengan posisi kepala di arah Barat.
Dalam ruang makam ini juga disertakan bekal kubur berupa alat-alat dari gerabah, logam dan binatang yang biasa dikonsumsi. Temuan arkeologi kubur batu di Pulau Jawa terbentang sepanjang Pulau Jawa baik di pantai utara Jawa, pantai selatan hingga pegunungan di Pulau Jawa.
Rabu sebagai Hari Besar
Hari besar bagi Masyarakat Sunda di zaman kuno adalah hari Rabu. Untuk agama lain ada yang menjadikan hari Jumat, Sabtu dan Minggu sebagai hari besarnya.
Di zaman sekarang ini, kita mengenal "Rebo Nyunda". Program ini digagas oleh Wali kota Bandung Ridwan Kamil. Program ini muncul karena adanya kekhawatiran dari segelintir masyarakat akan lunturnya kebudayaan Sunda di Jawa Barat, khususnya di Kota Bandung, padahal budaya Sunda adalah budaya lokal dari kota ini
Bentuk-bentuk Megalitik Sunda Purwa
Kubur Batu
Semenjak zaman prasejarah, budaya tatar Sunda memiliki budaya pemulasaraan jenazah dengan cara dikuburkan. Kelak di zaman klasik (Zaman Pajajaran) menyebutnya dikurebkeun (dikuburkan). Jejak penguburan Purba zaman prasejarah ditemukan sepanjang pulau Jawa. Contohnya kubur batu yang ditemukan di Bekasi, Karawang (Candi Batu Jaya), Cirebon dan Kuningan.
Kubur batu prasejarah merupakan kebudayaan tradisi megalitik (Batu Besar) yang sudah sangat tua. Diduga tradisi ini sudah dilakukan sejak masa bercocok tanam.
Kubur batu prasejarah dari segi bahan dan fungsinya tidak lah berbeda dengan sarkofagus (peti batu). Yang membedakannya adalah kubur batu merupakan struktur kubur yang berada di bawah permukaan tanah, sedangkan sarkofagus adalah peti batu yang ditempatkan di atas permukaan tanah. Namun, keduanya terkadang dianggap merujuk kepada satu benda yang sama akan tetapi, bagaimana pun juga kedua benda yang dimaksud berbeda.
Kubur batu prasejarah merupakan tradisi megalitik yang sudah sangat tua. Diduga tradisi ini sudah dilakukan sejak masa bercocok tanam pada masa prasejarah. Akan tetapi, beberapa kubur dari batu menunjukan penanggalan yang lebih muda. Hal ini terutama diperkuat dari hasil temuan bekal kubur yang berasal dari zaman yang lebih awal.
Dengan demikian dapat disimpulakn bahwa tradisi kubur batu telah berlangsung sejak masa prasejarah hingga masa setelahnya, bahkan dibeberapa tempat tradisi ini terus berlanjut pada masa kerajaan kuna.
Beberapa penelitian di Kawasan Pegunungan Selatan Jawa khususnya di Gunungkidul yang telah dilakukan selama ini oleh beberapa peneliti menghasilkan informasi bahwa di daerah tersebut terdapat tinggalan bangunan kubur megalitik berupa peti kubur batu (stone cist). Sementara itu penelitian secara eksploratif dengan survei maupun ekskavasi di wilayah Wonogiri telah memberikan informasi baru mengenai jenis-jenis bangunan kubur megalitik yang berkembang di Kawasan Pegunungan Selatan Jawa. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa bangunan kubur yang berkembang di Wonogiri berbeda dengan yang berkembang di Gunungkidul. Bangunan kubur megalitik yang berkembang di Wonogiri berupa kubur watu tumpuk, dan kubur menhir (Hidayat, 1993/1994: 12; 2007: 28-34).-Peti Kubur BatuPeti kubur batu adalah wadah kubur berbentuk empat persegi panjang yang terdiri dari empat sisi dinding, alas, dan tutup.
1. Peti kubur batu
disusun darilempengan-lempenganbatu baik dengan pengerjaan maupun tanpa pengerjaan. Di Indonesia peti kubur batu antara lain ditemukan di daerah Pasemah, Kuningan, Bojonegoro, Tuban, dan Gunungkidul (Soejono, 1984; Widianto dkk., 1990: 23-27; Hidayat, dkk. 1990; Suryanto dan Hidayat, 1991/1992: 9-13).
Sebaran peti kubur batu di Gunungkidul cukup luas, yaitu ditemukan di Situs Sokoliman(Karangmojo), Situs Gunungbang (Karangmojo), Situs Ngawis (Karangmojo), Situs Gondang (Karangmojo), Situs Kajar (Wonosari), Situs Wanabudha (Playen), dan Situs Bleberan (Playen). Peti-petikubur batu tersebut dalam formasi berkelompok, dan di antaranya berkonteks dengan arca menhir. Ukuran peti kubur batu juga bervariasi. Bahan peti kubur batu di Gunungkidul adalah lempengan batu gamping, dan dibuat dengan konstruksi yang bervariasi. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa konstruksi peti kubur batu di Gunungkidul dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe sebagai berikut (Sunarningsih, 1995: 69-71).
a. Konstruksi Tipe I
Dinding sisi panjang dan sisi lebar dibuat dengan lempengan batu yang utuh. Pada bagian pertemuan antar dinding maupun dengan dasar dibuat takikan untuk mengkaitkan antar lempengan batu, dan pada ujung dinding (sisi panjang maupun lebar) ditopang dengan batu tegak. Peti kubur batu dengan konstruksi tipe I terdapat di Situs Kajar, Situs Ngawis, Situs Gondang, Situs Gunungbang, dan Situs Sokoliman.
b. Konstruksi Tipe II
Dinding sisi panjang dibuat dengan potongan-potongan lempengan batu, sedangkan sisi lebar dibuat dengan lempengan batu yang utuh. Untuk memperkuat sambungan lempengan batu pada dinding sisi panjang dibuat takikan. Takikan juga dibuat pada ujung dinding sisi panjang maupun ujung sisi lebar. Pada konstruksi Tipe II ini tidak terdapat batu tegak sebagai penopang dinding. Peti kubur batu dengan konstruksi ini ditemukan di Situs Wanabuddha dan di Situs Bleberan.
c. Konstruksi Tipe III
Dinding sisi panjang dibuat dengan potongan-potongan lempengan batu, sedangkan sisi lebar dibuat dengan lempengan batu yang utuh. Pada pertemuan antar potongan lempengan batu pada dinding sisi panjang, pertemuan antar dinding (ujung sisi panjang dan ujung sisi lebar), maupun pertemuan antara dinding dengan dasar sama sekali tidak terdapat takikan. Seperti pada konstruksi Tipe II, pada peti kubur batu Tipe III ini juga tidak memakai batu penopang dinding. Peti kubur batu dengan konstruksi Tipe III ditemukan di Situs Wanabuddha dan di Situs Bleberan. Berdasarkan hasil ekskavasi yang telah dilakukan selama ini diketahui bahwapeti kubur batu di Gunungkidul dipakai sebagai kubur tunggal maupun ganda. Bekal kubur yang disertakan dalam penguburan jenis dan jumlahnya bervariasi. Secara umum jenisnya berupa wadah-wadah tembikar, peralatan/senjata besi (pisau, kapak, sabit, pedang, sekop, tombak, grathul, mata panah), perhiasan (cincin perunggu, anting perunggu, manik-manik), dan hewanutuh atau bagian tubuh saja (banteng, rusa, babi) (van der Hoop dalam Sunarningsih, 1995: 38-53, 73-83; Nitihaminoto, 1989: 62-63). Sementara orientasi kubur pada umumnya adalah arah matahari terbit dan tenggelam (timur-barat). Adapun yang mengarah ke lokasi-lokasi yang lebih tinggi seperti ke puncak bukit sangat sedikit jumlahnya (Suhamdani dalam Sunarningsih, 1995: 86-87).
2. Kubur Watu Tumpuk
Watu tumpuk adalah istilah lokal untuk menyebut susunan batu (ukuran kerakal dan bolder) yang membentuk gundukan/timbunan empat persegi panjang. Masyarakat sekitar watu tumpukmeyakini bahwa gundukan batu tersebut merupakan kuburan kuna. Di Kawasan Pegunungan Selatan Jawa sampai saat ini baru ditemukan dua kubur watu tumpuk, yaitu di wilayah Kecamatan Jatiroto, Kabupaten Wonogiri. Kubur watu tumpuk yang I berada di Dusun Mangreh, Desa Mojopuro, sedang yang II berada di Dusun Suko, Desa Pesido. Kubur watu tumpuk I berukuran 3,5 meter X 2 meter. Timbunan batu pembentuk nisan pada kubur ini merupakan batu gamping. Tidak jauh dari lokasi kubur, yaitu sekitar 25 meter terdapat sebuah lumpang batu. Sementara itu Kubur watu tumpuk II berukuran 2,5 meter X 1,5 meter. Batu pembentuk nisan pada kubur II berupa batu andesit. Pada pertengahan Januari 1994, kubur watu tumpuk II telah digali secara liar oleh pencari benda-benda berharga dari dalam kubur. Seminggu setelah terjadinya penggalian liar ditemukan sisa-sisa benda di dekat kubur watu tumpukberupa sejumlah fragmen wadah tembikar, fragmen tombak, fragmen kudi(sejenis sabit), dan fragmen gelang perunggu (Hidayat, 1993/1994: 9). Walaupun belum ditemukan sisa-sisa rangka manusia namun dari benda-benda tersebut dapat diyakini bahwa watu tumpuk benar merupakan sebuah kubur budaya megalitik, dengan indikasi adanya benda-benda yang sengaja dikubur, yang jenisnya sama dengan benda-benda bekal kubur pada kubur megalitik lainnya.
3. Kubur Menhir
Kubur menhir adalah istilah untuk menyebut kubur tanpa wadah namun dengan tanda kubur berupa sebuah batu tegak (menhir). Selama ini di Kawasan Pegunungan Selatan Jawa, kubur menhir baru ditemukan di wilayah Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, yaitu di Situs Sawahan, Desa Sedayu. Kondisinyatelah sangat rusak karena erosi dan oleh aktivitas manusia yang bermukim di atas situs. Paling tidakterdapat empat kubur yang masih tersisa di situs tersebut.
Keberadaan bekal kubur pada peti kubur batu, kubur watu tumpuk, dan kubur menhir yang terdapat di Pegunungan Selatan Jawa, menunjukkan adanya kesamaan konsepsi religi mengenai kematian yaitu manusia yang mati akan hidup lagi di alam lain. Penyertaan benda-benda dalam penguburan dimaksudkan sebagai bekal untuk kehidupan lanjutan. Konsepsi semacam ini merupakan konsepsi religi dalam budaya megalitik, sehingga dapat diyakini bahwa ketiga jenis kubur yang berbeda bentuk tersebut merupakan hasil budaya megalitik.
Ajar sebagai Guru Pikukuh Sunda
Istilah Ajar dalam sejarahnya sempat disinggung keberadaanya. Misalnya ketika runtuhnya Kerajaan Pajajaran dengan diakhirinya kekuasan Prabu (Maharaja) Nusiya Mulya atau Suryakancana di Pulosari Lebak Banten, terdapat 800 orang Ajar yang berlindung di Kabuyutan tersebut.
Siapakah Ajar itu? Ajar adalah seorang Guru Spiritual keagamaan Sunda. Istilah Ajar adalah kata pinjaman dari Agama Buddha yaitu Acarya yang dalam bahasa Jepang disebut Ajari.
Tempat Ibadah Sunda Purwa
Tempat Ibadah zaman Prasejarah berupa undakan geometris yang disebut punden berundak. Di bagian puncaknya ditandai dengan adanya Menhir, yaitu batu yang ditegakkan. Menhir ini (istilah peneliti modern) di kemudian hari dinamai Lingga. Sebuah kata pinjaman dari agama Hindu. Lokasi ini disebut Kabuyutan atau tempat bersemayamnya para pendahulu (leluhur). Peninggalannya tersebar di kabuyutan-kabuyutan Sunda-Galuh. Kelak di zaman berikutnya, tempat sakral keagamaan Tatar Sunda tidak hanya Kabuyutan tetapi ada juga Kamandalaan. Jejak paling tua di Nusantara bahkan di dunia adalah Situs Gunung Padang Cianjur - Jawa Barat.
Situs Gunung Padang |
Menurut Saleh Danasasmita bahwa di tatar Pasundan terdapat 800 Kabuyutan dan 73 Kamandalaan. Istilah Mandala menunjukkan adanya pengaruh agama Hindu dan Buddha pada batas tertentu. Oleh karena itu, di masa kemudian di zaman Kerajaan Sunda-Galuh kemudian Pajajaran, ada penyebutan khusus bagi tempat sakral Kabuyutan Sunda Asli (Purwa) yaitu Lemah Parahyangan dan tempat sakral bagi penganut Hindu-Buddha yaitu Lemah Dewasasana. Namun demikian, bagi masyarakat Sunda terkadang menyamakan penyebutan untuk kedua tempat sakral ini dengan istilah 'Kabuyutan' saja tanpa membedakan agama mana.
Gunung dan Sebagai Tempat Sakral di masa Klasik
Dalam naskah lontar yang telah diterjemahkan dan tertuang dalam buku Tiga Pesona Sunda Kuna (2006) tersebut, kita dapat mengindeks nama-nama gunung yang disinggahi Bujangga Manik, dan umumnya merupakan tempat yang disucikan.
“Gunung dan hutan, tiang langit yang luhur dan permadani bumi yang subur, pernah mengisi lanskap batin masyarakat Sunda, khususnya yang berdiam di dataran tinggi Pringan,” imbuh Hawe.
Ia menulisnya “pernah mengisi”, dan “Sunda lama”. Hal ini karena bagi mayoritas masyarakat Sunda kiwari, dua hal tersebut, yakni “gunung dan Guriang” yang dipuja dan disucikan, sudah tidak relevan.
Gunung Para Hyang pertama ter letak di Gunung Parang, Purwakarta. Bentuk bagian salah satu puncaknya menyerupai Bhaga atau Yoni. Ini terkait dengan ageman Sunda Purwa seperti telah dibahas di atas. Ajaran Sunda telah menjadi agama dunia yang dianut oleh segala bangsa, membangun peradaban dunia menuju bangsa unggul paripurna.
Gunung Parang (Para Hyang) Purwakarta |
Dalam hal keagamaan, masyarakat Sunda telah berabad-abad memeluk Islam. Dan seperti sejumlah daerah di Indonesia lainnya, orang Sunda dikenal sangat taat. Tak heran jika kemudian lahir jargon yang berbunyi: “Islam itu Sunda, Sunda itu Islam”. Ketaatan ini juga oleh sebagian kalangan kerap dikaitkan dengan konstelasi politik di Jawa Barat yang terus berdenyut sepanjang sejarah Republik.
Asal-usul dan hubungan ruang dan waktu dalam alam semesta yang dipengaruhi paham Sunda lama tak lebih sekadar kisah masa lalu yang sebagian ceritanya mereka tolak dengan acuan agama dan pemahaman modern.
Referensi
- "Kubur Batu Prasejarah, Warisan Tradisi Megalitik" dgraft.com 4 Maret 2009.
- Hidayat, Muhammad. 2008. "Bentuk dan Variasi Kubur Megalitik di Pegunungan Selatan Jawa". Jurnal Berkala Arkeologi Tahun XXVIII Edisi No. 1 / Mei 2008 hlm 21-32
- Hidayat, Muhammad, dkk.1990. “Laporan Hasil Penelitian Arkeologi, Ekskavasi Gunungmas II, Bojonegoro, Jawa Timur”. Balai Arkeologi Yogyakarta. Berkala Arkeologi Tahun XXVIII Edisi No. 1 / Mei 2008
- Hidayat, Muhammad.2007. “Laporan Penelitian Arkeologi, Budaya Megalitik Pegunungan Selatan Jawa: Bentuk dan Variasi yang Berkembang di Wilayah Kabupaten Wonogiri Tahap I”. Balai Arkeologi Yogyakarta.
- Hidayat, Muhammad, dkk.1990. “Laporan Hasil Penelitian Arkeologi, Ekskavasi Gunungmas II, Bojonegoro, Jawa Timur”. Balai Arkeologi Yogyakarta.
- Ihromi, TO. "Pokok-pokok Antropologi Budaya". Jakarta: PT Gramedia, 1990.
- Nitihaminoto, Goenadi.1989. “Bentuk-bentuk Gerabah Kubur Peti Batu Sokoliman: Hubungannya dengan Tahap Penguburan”,dalam Berkala Arkeologi, Tahun X No. 2 , Edisi September. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta. Hlm : 62-73.
- "Kemiripan Gunung Padang Cianjur dan Cilacap" LIPI - lipi.go.id
- Soejono, RP.1977. “Sistem-Sistem Penguburan pada Akhir Masa Prasejarah”, Disertasi pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta.
- -------------. ed. 1984. "Jaman Prasejarah di Indonesia, Sejarah Nasional Indonesia I". Jakarta: PN Balai Pustaka.
- Soegondho, Santoso. 1990. “Tinjauan Terhadap Situs Plawangan”, dalam ProcedingsAnalisis Hasil Penelitian Arkeologi I di Plawangan 26-31 Desember 1987, Jilid II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hlm. 6-19.
- Sunarningsih.1995. “Peti Kubur Batu di Kabupaten Bojonegoro, Tuban, dan Gunungkidul: Tinjauan Terhadap Perbedaan Teknik Pembuatan”, Skripsi Sarjana pada Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
- Suryanto, D dan Hidayat, Muhammad.1991/1992. “Laporan Hasil Penelitian Arkeologi, Ekskavasi Peti Kubur Batu di Kecamatan Kenduruan, Kabupaten Tuban, Jawa Timur”. Balai Arkeologi Yogyakarta.
- Widianto, Harry, dkk.1990. “Sistem Penguburan Masyarakat Megalitik: Kajian atas Data Hasil Ekskavasi Kubur Kalang di Bojonegoro dan Tuban”, dalam Procedings Analisis Hasil Penelitian Arkeologi I di Plawangan 26-31 Desember 1987. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hlm. 15-43.