Cari

Kepulauan Sunda Kecil Berubah Nama Sejak Kapan?

Kepulauan Sunda Kecil

[Historiana] - Nama Kepulauan Sunda Kecil (Lesser Sunda Islands) menjadi sejarah bangsa Indonesia. Kepulauan yang dimaksud adalah gugusan pulau-pulau yang membentang di timur pulau Jawa yaitu Bali, Lombok, Sumbawa hingga Timor.


Kawasan ini sejak abad ke-16 populer sebagai penyedia kayu cendana kualitas nomor satu, kopi, beras, dan penyedia budak.

Pelabuhan-pelabuhan seperti Ampenan, Bima, Sekotong, Pelabuhan Haji menjadi lokasi singgah dan bongkar muat kapal-kapal asing. Kondisi lautnya yang dalam memungkinkan kapal-kapal besar singgah.

Singgahnya kapan-kapal di wilayah ini ikut mengantarkan warga dari aneka etnis untuk mengais rezeki di Sunda Kecil. Hingga kini, kelompok-kelompk seperi Bugis, Jawa, Cina, Arab, Buton, bahkan Melayu masih banyak dijumpai di kawasan ini. Mereka hidup dalam harmoni, walau beda suku dan agama.


Masa surut pelabuhan Sunda Kecil berbarengan dengan makin kuatnya cengkeraman Belanda. Masyarakat lokal terpinggirkan, dan pelabuhan dikuasai kongsi-kongsi Belanda. Tak banyak generasi muda saat ini yang mengetahui bahwa di masa lalu dunia kemaritiman kita pernah berjaya.

 

Perjuangan Laskar Sunda Kecil "Ciung Wanara"

Setelah Perang Dunia II, Belanda datang kembali ke Indonesia untuk menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang yang kalah dalam peperangan itu. Pihak Belanda tidak mau memperhatikan perubahan-perubahan yang telah terjadi di Indonesia.

Dinamika lokal, khususnya di Provinsi Sunda Kecil sebagai respons terhadap Revolusi Nasional ternyata menunjukkan sosok dan dukungannya yang sangat dipengaruhi oleh proses dialektik antara perang dan diplomasi pada dua peristiwa yang terjadi, yaitu Puputan Margarana (pada tanggal 20  November 1946: perang mempertahankan kemerdekaan) dan Konferensi Denpasar (pada tanggal 17-24 Desember 1946: diplomasi antar "Negara Indonesia Timur" NIT dan RI). 

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 mengubah perjalanan hidup bangsa. Namun demikian, di saat itu nama Kepulauan masih tetap disebut "Sunda Kecil". Terbentuknya Provinsi Sunda Kecil pada tanggal 19 Agustus 1945 merupakan salah satu hasil keputusan Panitia Kecil. Bersamaan dengan terbentuknya tujuh provinsi lainnya sebagai bagian wilayah negara Republik Indonesia (RI) Proklamasi. Ketujuh provinsi lainnya yang dibentuk pada waktu itu ialah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Selebes, dan Maluku.(Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, 1995: 463-464).


Presiden RI, Soekarno mengangkat dan menetapkan Mr. I Gusti Ketut Pudja sebagai Gubernur Sunda Kecil pada tanggal 22 Agustus1945, setelah PPKI dibubarkan pada sidangnya yang terakhir. Gubernur Pudja diberi kuasa oleh Ir. Soekarno, Presiden RI, untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerahnya.


Dinamika lokal, khususnya di Provinsi Sunda Kecil sebagai respons terhadap Revolusi Nasional ternyata menunjukkan sosok dan dukungannya yang sangat dipengaruhi oleh proses dialektik antara perang dan diplomasi pada dua peristiwa yang terjadi, yaitu Puputan Margarana (pada tanggal 20 November 1946: perang mempertahankan kemerdekaan) dan Konferensi Denpasar (pada tanggal 17-24 Desember 1946: diplomasi antar NIT dan RI). Kedua peristiwa pada tahun yang sama itu (1946) telah terjadi di Bali sebagai tempat ibu kota Provinsi Sunda Kecil.

 

Setelah ditetapkan dan diangkat sebagai Gubernur Sunda Kecil, Mr. I G.K. Pudja kembali ke Bali pada  tanggal 23 Agustus 1945. Kedatangannya membawa mandat yang berisi dua hal penting yaitu (1) membawa kepastiaan berita Proklamasi Kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada tangal 17 Agustus 1945 di Jakarta; dan (2) mengangkat I.B. Putra Manuaba sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID atau KND) untuk Provinsi Sunda Kecil (Pendit, 1979:69). 

Sebagai Gubernur Provinsi Sunda Kecil, diamulai membentuk pemerintahan yang dinamakan  Pemerintahan Nasional RI, disingkat Pemerintahan Sunda Kecil. Untuk menjalankan tugasnya sehari-hari, gubernur membentuk Badan Pekerja yang anggotanya adalah dr. Moh.Angsar, I Goesti Bagoes  Oka, dan I.B. Putra Manuaba. Pusat pemerintahan dan ibu kota Provinsi Sunda Kecil ialah Singaraja. I Gusti Ngurah Rai diangkat sebagai komandan TKR berpangkat Letnan Kolonel untuk wilayah  komando sentral Sunda Kecil (Pendit,1979:74). Dia memegang pimpinan kunci perjuangan perang  sejak dilantik sampai 20 November 1946. 


Tentara Sekutu mendarat di pelabuhan Benoa pada tanggal 18 Pebruari 1946. Mereka datang untuk melaksanakan tugas-tugas,memindahkan tawanan perang dan kaum interniran Serikat, melucuti militer Jepang, dan memulihkan keamanan. Kehadiran mereka disambut baik oleh aparat pemerintahan RI Sunda Kecil. Mereka diberi penjelasan bahwa di Provinsi Sunda Kecil telah berjalan pemerintahan RI yang dipimpin oleh Gubernur Mr. Pudja (Pendit,1979:137-138).

 

Suasana berubah ketika awak kapal “Gajah Merah” yang terdiri dari personal pemerintahan sipil Hindia Belanda (NICA) di bawah pimpinan Letkol. Inf. F.H. Meulen datang dan mendarat pada tanggal 2 Maret 1946. Mereka menyatakan diri sebagai pengganti kedudukan Tentara Sekutu untuk melaksanakan tugas-tugas tentara Sekutu sebelumnya. Akan tetapi, dalam kenyataannya,yang terjadi sebaliknya yaitu mereka berturut-turut menduduki kota-kota: Denpasar pada tanggal 2 Maret, Gianyar 3 Maret, Singaraja 5 Maret, Tabanan 7 Maret dan Negara pada tanggal 19 Maret 1946. Selain menduduki kota-kota, mereka juga menangkap para pemimpin RI: Gubernur, Ketua KND dan kepala-kepala jawatan. Para pemimpin RI yang ditangkap itu dibawa dan ditahan di Penjara Pekambingan, Denpasar (Pendit, 1979:144).


Suasana semakin tegang karena sejak kehadiran NICA, situasi konflik yang berkepanjangan terjadi antara golongan pendukung RI Proklamasi dengan golongan pendukung kembalinya penjajahan Belanda (NICA). Kekuasaan pemerintahan sipil RI Provinsi Sunda Kecil diambil alih oleh NICA yang sudah terlebih dahulu mendekati raja-raja Bali yang mau diajak bekerja-sama. Beberapa di antaranya membentuk milisi laskar-laskar kerajaan yang diberi nama Pemuda Pembela Negara (PPN) di kerajaan Gianyar, Badan Keamanan Negara (BKN) di kerajaan Klungkung dan Anti Indonesia Merdeka (AIM) dikerajaan Karangasem. Di Jembrana didirikan Badan Pemberantas Pengacau (BPP) ternyata aktivitasnya memang dipersiapkan sebagai milisi antirepublik.


Pihak Belanda (NICA) tidak mengakui pemerintahan Provinsi Sunda Kecil dan menggantikannya dengan pemerintahan Keresidenan Bali Lombok seperti tata pemerintahan pada sebelum perang (PD II). Gubernur Mr. Pudja ditahan, digantikan oleh Residen Dr. M.Boon (1946-1949) yang memproleh dukungan Dewan Raja-raja di Bali. Akan tetapi, di kalangan pemuda pejuang yang terorganisir dalam badan-badan perjuangan sangat menentang kembalinya Belanda (NICA). Mereka tetap mendukung dan mempertahankan RI Proklamasi dengan cara revolusioner. Mereka berjuang dengan mengangkat senjata dan berjanji bertempur terus sampai cita-citanya tercapai (Pendit, 1979:199).


Badan-badan perjuangan yang telah ada, yaitu TKR Sunda Kecil, PRI, dan Pesindo menggalang kekuatan dan berfusi dalam satu badan perjuangan pada tanggal 14 April 1946. Gabungan ini diberi nama Markas Besar Umum Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia Sunda Kecil (MBU DPRI Sunda Kecil) di bawah pimpinan Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai. Beberapa desa atau kawasan tertentu menjadi ajang medan pertempuran antara badan perjuangan Republik dengan tentara NICA.Operasi Lintas Laut di Selat Bali pada tanggal 3April 1946, penyerangan Pos NICA di Penebel 15 April 1946, Pertempuran Kalanganyar 26 April 1946. Pertempuran Munduk Malang 11 Mei 1946, Pertempuran Sawah Tabanan 11 Mei 1946, Long March Gunung Agung Juni-Juli 1946, Pertempuran Tanah Aron 9 Juli 1946, dan lain-lainnya adalah bukti respons kekerasan perang untuk mempertahankan nilai-nilai revolusi (Rai,1985:61-93).


Puncak pertempuran terbuka terjadi di desa Marga, Tabanan. Pertempuran yang terjadi pada tanggal 20 Nopember 1946 oleh orang-orang Bali disebut Puputan Margarana. Pada peristiwa itu, Letkol I Gusti Ngurai Rai dan pucuk pimpinan pasukan inti lainnya: Mayor Debes, Mayor Wisnu, Mayor Sugianyar dan Wagimin tewas tertembak pasukan NICA. Demikian pula anggota pasukan inti yang disebut pasukan Ciung Wanara tewas dalam perang Puputan itu. Seluruhnya berjumlah 96 orang (Pendit, 1979:214-222; Nasution, 1978:117-122). Kekuasaan raja yang berkoalisi dengan kekuatan eksternal NICA semakin memperkokoh kekuasaan status quo. Setiap perlawanan dapat dipatahkan dan tidak memberi peluang terjadinya revolusi sosial untuk menggulingkan kekuasaan raja-raja yang dikawal militer NICA.


Sunda Kecil Berubah Nama

Pemerintah Keresidenan Bali Lombok (NICA) berusaha menormalisasikan keadaan, memulihkan keamanan dan ketertiban dengan menumpas sisa-sisa gerakan pemuda gerilya yang mereka sebut sebagai golongan ekstremis, pemberontak, perampok, pembunuh, dan lain-lain. Sementara itu, Gubernur Jenderal H.J. vanMook, pemrakarsa dan konseptor dari konferensiyang diselenggarakan di Denpasar untuk mewujudkan cita-cita federalisme bagi negara Indonesia di bawah naungan Ratu Belanda.Penyelenggaraan Konferensi Denpasar di Bali Hotel, secara resmi dibuka oleh Letnan Gubernur Jenderal van Mook baru pada tanggal 18 Desember 1946. 


Oleh karena Indonesia tidak mungkin dijajah kembali seperti sebelum PD II, Pemerintah Hindia Belanda sesudah Perang di bawah Letnan Gubernur Jenderal H.J. van Mook berusaha mempertahankan pengaruhnya dengan memelopori pembentukan Negara Indonesia Serikat yang federalistik (The Liang Gie, 1967:142-143). Salah satu negara bagian yang pertama dibentuknya ialah Negara Indonesia Timur (NIT) yang meliputi wilayah Sunda Kecil, Sulawesi, dan Maluku sebagai persiapan mewujudkan cita-cita federalnya.


Menurut Peraturan Pembentukan NIT, NIT terdiri atas 13 daerah otonom. Menurut penjelasan yang diberikan oleh Kementerian Penerangan NIT, susunan organisasi ke 13 daerah itu dapat dibedakan dalam dua bentuk utama, yaitu (1) prinsip Bali: sebuah pemerintah federasi (besturend-college) swapraja landskap dan (2) prinsip Lombok, dengan besturende raad merupakan sebuah neo-landschap (The LiangGie, 1967:142-143).


Prinsip Bali merupakan federasi 8 swapraja landschappen: Badung, Bangli, Buleleng,Gianyar, Jembrana, Karangasem, Klungkung,dan Tabanan. Susunan pemerintahannya memakai prinsip Bali, yaitu terdiri dari sebuah Dewan Raja-raja dan sebuah Dewan Perwakilan yang disebut Paruman Agung. Kekuasaan membuat peraturan daerah dan menetapkan anggaran keuangan dilakukan oleh kedua badan ini. Daerah-daerah yang menganut prinsip Bali terdiri atas 10 daerah otonom: Bali, Flores, Sumba, Sumbawa, Timor, dan pulau-pulaunya, Sangihe dan Talaud, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara.

 

Prinsip Lombok merupakan sebuah neo-lanschap. Neo-landschap Lombok menjadi satu daerah dalam lingkungan NIT. Susunan pemerintahannya terdiri atas sebuah Dewan Lombok dan sebuah Badan Pemerintahan Harian. Dewan Lombok dan Badan Pemerintahan Harian itu diketuai oleh Kepala Daerah. Daerah-daerah yang menganut prinsip Lombok terdiri atas 3 daerah otonom: Lombok, Minahasa, dan Maluku Selatan (The Liang Gie, 1967:144-146).


Melalui NIT, muncul seorang tokoh diplomat yaitu Ide A.A. Gde Agung, penggagas model federal Indonesia yang berbeda dengan model federal van Mook perdana menteri yang merangkap menteri urusan dalam negeri Pemerintah NIT. Sejak menjadi Perdana Menteri NIT pada tanggal 12 Januari 1949, kemampuan diplomasinya ditunjukkan pada perundingan-perundingan dengan wakil-wakil pemerintah RI, pemerintah Belanda, dan pemerintah negara-negara bagian dan daerah-daerah. Atas prakarsanya, dibentuk sebuah lembaga sebagai wadah bermusyawarah negara-negara dan daerah-daerah bagian yang disebut Pertemuan Musyawarah Federal yang lebih dikenal dengan BFO, singkatan dari Bijeenkomst voor Federale Overleg, pada tanggal 15 Juli 1948 (Leirissa, 2006:120-121). BFO dan Ide A.A. Gde Agung aktif  berperan dalam perundingan “sesama bangsa Indonesia” terutama Syahrir-Hatta (RI) untuk berdiplomasi mewujudkan gagasan federal Indonesianya dengan Belanda. BFO memprakarsai perundingan-perundingan internal ketika dilangsungkannya Konferensi Antar Indonesia (KAI), baik di Yogyakarta maupun di Jakarta pada bulan Juli-Agustus1949. (Leirissa, 2006:270-284). Dalam konferensi itu hadir wakil-wakil pemerintah RI dan negara-negara bagian dan daerah-daerah. Mereka bermusyawarah untuk mengadakan persiapan-persiapan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diadakan di Den Haag yang dimulai pada bulan Agustus 1949. Puncak perundingan diplomasi pada KMB telah memutuskan bahwa penyerahan kedaulatan oleh Pemerintah Belanda kepada RIS dilaksanakan pada tanggal 27 Desember 1949 (Agung, 1985:856-857). Momentum ini dapat dikatakan keunggulan dan kemenangan penganut asas federalisme model federal Indonesia Ide A.A. Gde Agung (NIT, BFO) dan Syahrir-Hatta (RI) dan kekalahan model federalis van Mook dan penggantinya.


Berdasarkan gambaran fenomena pada dua peristiwa di atas dapat dikatakan bahwa respons lokal terhadap Revolusi Nasional Indonesia adalah dinamika dalam proses politik dan sosial. Dinamika yang terjadi merupakan interaksi antara faktor-faktor internal dan eksternal. Keduanya terjalin erat dalam suatu proses dialektik secara terus menerus selama + 5 tahun: dari Proklamasi Kemerdekaan sampai KMB. 

 

Memang benar bahwa jalannya Revolusi Indonesia sangat ditentukan oleh dua kekuatan yang tarik-menarik antara perang dan diplomasi (Kartodirdjo,1981:4) yang mempengaruhi dinamika intern di Sunda Kecil. Pada skala mikro, realitas respons dinamika intern yang terjadi berupa konflik antara dua golongan sebagai pendukung kekuatan perang dan diplomasi, yaitu golongan yang bersikap “non kooperatif” dengan yang bersikap “kooperatif”. Konflik kedua golongan itu telah menjadi gejala umum sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Konflik“non” dan “ko” juga disebut pertentangan antara pendukung “republik” (RI Proklamasi unitaris) dan “federalis” (RI Serikat) atau antara “patriot” dan“penyebrang” (Tirtiprodjo, 1966:6-17). 

 

Golongan“non” didukung oleh pemuda pejuang pro republik (RI Proklamasi unitaris), sedangkan golongan“ko” memperoleh dukungan Dewan Raja-raja yang pro federal (NIT Serikat). Konflik antara “non”dan “ko” yang berkepanjangan telah mewarnai respons perjuangan Revolusi Indonesia di SundaKecil. Selama periode Revolusi Indonesia di Sunda Kecil, kekuasaan pemerintahan daerah dipegang oleh Dewan Raja-raja karena sikapnya yang mau bekerja sama (koperasi) dengan pihak Belanda (NICA) yang membentuk NIT. Sebaliknya, golongan republikein tidak memegang kekuasaan karena daerah-daerah di Sunda Kecil telah dimasukkan dalam wilayah kekuasaan NIT dan residennya. Para pemimpin pemerintahan sipil ditangkap dan ditahan, demikian pula para komandan militernya. Akan tetapi, sebagian dari mereka pergi ke hutan-hutan, pegunungan melanjutkan perjuangan bergerilya dan sebagian lagi tinggal di rumahnya di kota menghimpun kekuatan di bawah tanah. Mereka bersikap tidak mau bekerja sama (“non”kooperasi) dengan elite birokrasi yang berkuasa (Residen dan Dewan Raja-raja).

Respons perjuangan dengan cara gerilya bersenjata semakin ditinggalkan. Organisasi Lanjutan Perjuangan diubah namanya menjadi Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada tanggal 4 Januari 1950.  PDRI tidak berlangsung lama sebab di tingkat pusat terjadi persetujuan antara pemimpin RI dengan pemimpin-pemimpin gabungan negara-negara federal. Mereka sepakat untuk mendirikan Negara Indonesia Serikat (NIS) berdasarkan persetujuan Renveille, kemudian dinamakan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) setelah penyerahan dan pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949 berdasarkan kesepakatan pada Konferensi Meja Bundar (KMB). Kekuatan diplomasi yang puncaknya terjadi pada KMB di Den Haag mengakibatkan semua kontak bersenjata di daerah-daerah dihentikan.

 


 

Presiden Soekarno mengangkat secara resmi A.A. Bagus Sutedja sebagai Kepala Daerah Bali. Daerah Bali adalah salah satu daerah administratif Provinsi Sunda Kecil. Daerah-daerah lainnya tetap seperti semula dan tidak dibentuk daerah-daerah baru, sampai tahun 1958 (The Liang Gie, 1967:49). Sejak tahun 1958 nama Provinsi Sunda Kecil kemudian diubah menjadi Propinsi Nusa Tenggara. Berikut Kutipan Undang-undang No 8 Tahun 1958 tentang Perubahan Provinsi Sunda Kecil menjadi Nusa Tenggara (Lembar Negara No 66 Tahun 1954):

Maksud penggantian nama Sunda-Kecil menjadi Nusa Tenggara ialah untuk:

  1. Menghilangkan rasa dan kesan "kecil" dari segala sesuatu yang berkenaan dengan daerah itu, baik yang mengenai wilayahnya, maupun penduduknya.
  2. Perubahan nama itu dapat mempertebal rasa persatuan dengan bagian-bagian lain dari wilayah Republik Indonesia. Kata Nusa Tenggara dapat menginsyafkan penduduknya bahwa mereka adalah warganegara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertempat tinggal di bagian sebelah Tenggara dari Wilayah Indonesia.
  3. Nama Nusa Tenggara menggambarkan dengan tepat ujud dan letak Propinsi itu, yang terjadi 'atas berpuluh-puluh pulau dan kepulauan yang terbentang di sebelah Tenggara dari wilayah Republik Indonesia.

Adapun nama Sunda-Kecil itu menurut sejarah ialah terjemahan dari pada perkataan Belanda: "de Kleine Soenda-eilanden", yang mulai dipakai dalam abad ke-19, di samping nama: "de 4 Groote Soenda-eilanden" (Encyclopaedie N.I. IV. halaman 20). Nama Belanda itu dipengaruhi oleh nama Portugis: "as ilhas dan Sunda" (= pulau-pulau Sunda) sejak permulaan abad ke-16.


Kini ternyata, bahwa kepulauan Indonesia di sebelah Tenggara itu tak ada Sundangya apa-apa dan tidak menandakan pula sifat-sifat kecil; bandingkanlah jarak dari garis bujur yang melalui ujung-timur pulau Flores sampai garis bujur yang Gili Manuk di pulau Bali dengan jarak dari garis bujur yang melalui Banyuwangi sampai garis bujur yang melalui Palembang pada peta Indonesia, yang menunjukkan jarak yang hampir sama.


Semuanya itu adalah cukup alasan untuk mengubah nama Propinsi Sunda Kecil menjadi Propinsi Nusa Tenggara.

 

Sejak itu, Provinsi Sunda Kecil yang pada tahun 1954 telah diubah namanya menjadi Provinsi Nusa Tenggara dimekarkan menjadi tiga daerah tingkat I (Dati I) provinsi, yakni Dari I Bali terdiri dari 8 Dati II, Dati I Nusa Tenggara Barat terbagi atas enam Dati II di daerah-daerah Lombok dan Sumbawa, dan Dati I Nusa Tenggara Timur terbagi atas 12 Dati II di daerah-daerah: Sumba, Flores, Timor dan Pulau-pulaunya. 

Pemekaran wilayah ini didasarkan ataskeragaman sosio kultural berlaku sejak diundangkannya Undang Undang No. 69 Tahun 1958 yang dimasukkan ke dalam Lembaran Negara RI No. 122 Tahun 1958.


Referensi

  1. Gie, The Liang. 1967. "Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara RI, I". Djakarta: Gunung Agung.
  2. Pendit, Nyoman S. 1979. "Bali Berjuang". Jakarta: Gunung Agung.
  3. Rai, I Gusti Ngurah. 1985. "Revolusi Fisik 1945 di Bali". Denpasar, UNUD. 
  4. Reid, Anthony. 1987. "Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra". Jakarta: SinarHarapan.
    Reid, Anthony J.S. 1996. "Revolusi Nasional Indonesia". Jakarta: Sinar Harapan.
  5. Tirtoprodjo, S. 1966. "Sedjarah Revolusi Nasional Indonesia". Djakarta: Pembangunan.
  6. Tjilik. Tth. Naskah Sejarah Singkat Perjuangan 1945-1950". Denpasar.
  7. "Undang-undang No 8 Tahun 1958 tentang Penetapan Undang-undang Darurat no 9 Tahun 1954 tentang Perubahan Nama Propinsi Sunda Kecil Menjadi Propinsi Nusa Tenggara (Lembaran Negara Tahun 1954 No.66 sebagai Undang-undang)." ngada.org Diakses 23 Nopember 2020.
  8. Wirawan, A.A. Bagus. 2008. "Respons Lokal terhadap Revolusi Indonesia di Sunda Kecil, 1945 - 1950". Jurnal HUMANIORA Volume 20 No.1 Februari 2008: Hal 51-62. PDF media.neliti.com Diakses 23 Nopember 2020.
Baca Juga

Sponsor