[Historiana] - Dalam beberapa artikel para ahli sejarah masih belum berani menyebutkan mengenai nama ageman atau Agama yang dianut Urang Sunda di masa lampau. Menurut Naskah Lontar "Carita Parahiyangan" adalah agama Jati Sunda. Sementara dalam Pantun Sakral Bogor menyebutnya "Agama Sunda Pajajaran". Beberapa artikel yang membahas tentang hal ini telah dipost dalam blog ini.
Baiklah, dalam artikel ini kita tidak lagi membahas mengenai penamaan ageman atau agama urang Sunda di zaman kuno.
Kali ini, kita coba mengenali dan mengupas sesembahan Urang Sunda di Zaman Kuno. Kita coba mengupas dari Naskah Sangyang Raga Dewata. Naskah Sanghyang Raga Dewata menggambarkan Kosmologis Masyarakat Sunda kuno.Naskah Sanghyang Raga Dewata ditulis di atas daun lontar pada abad ke-XVI Masehi, menggunakan bahasa dan aksara Sunda Kuno dan digubah dalam bentuk prosa.
Naskah ini disimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dengan kode dj66.2923. Asal naskah dari Sukaraja Tasikmalaya pada tahun 1991 (no. 07.106). Naskah berbahan lontar. Ukuran (a) Kropak : 26,5 x 2,5 x 4,5 cm (b) Lempir : 23,5 x 3,5 cm. Jumlah (a) Lempir : 25 (21 utuh; 4 tidak utuh) (b) Halaman: 50 (47 ditulisi; 3 kosong). Aksara yang digunakan Aksara Sunda abad ke-16 Tipe Priangan (Ciburuy, Galuh) dan Cirebon (Talaga) yang ditulis dengan tinta (Holle, 1882). Berbahasa Sunda kuno. Pada kolofon naskah ada kronogram panca warna catur bumi = 1455 Åšaka = 1533 M (abad ke-XVI). Diumumkan dalam satu jilid bersama Serat Catur Bumi dengan judul Sang Hyang Raga Dewata (Tim Peneliti 2000).
Sanghyang Raga Dewata menggambarkan kosmologis masyarakat Sunda, yang berisi mitos tentang penciptaan alam semesta, yang diawali dengan dibangunkannya siang dari kegelapan oleh kekuatan Sang Bayu. Setelah itu, diciptakanlah bumi, bulan, matahari, dan bintang-bintang di bawah naungan angkasa. Matahari ditempatkan di arah timur dan bulan di arah barat. Manusia dalam naskah Sanghyang Raga Dewata dipandang sebagai mikrokosmosnya jagat raya yang seluruh kehidupannya harus selalu menjalankan segala siksa 'ajaran' Sanghyang Darma. Itulah yang dianggap manusia ideal yang kelak dapat mencapai surga abadi.
Di bawah ini, penulis mengutip sebagian dari pembuka naskah Sanghyang Raga Dewata.
// o// Ndh ujarrakna wwa ni kaidr ku lupa. Katutupan ku si lupa, apanya ning [ng] amingt. Kasilib ka siliptkeun, ku mala jati ning raga. Kna ku tutur ning jagat, malapat di sarira...
Ini ucapan orang-orang yang tenggelam dalam ketidaksadaran. Tertutup oleh kealpaan, karena mereka (dalam keadaan) tidak sadar, terlangkahi tersembunyikan, oleh pangkal kenistaan pada tubuh. Terpengaruhi oleh cerita-cerita dunia, membayangi dalam diri... (lempir 01)
...Lipi lupa di jati di maneh, hilang na tutur yyatna. Ja leungit na kapa geuhan, kasaputan (ku) ikang lupa, kaparingkus ku ikang tutur, lupa di jati di maneh pun.
Kutipan ini berisi petuah bagi yang ingin ber-tapa (berbakti/beramal). Tapa diartikan sebagai sebuah perilaku atau perbuatan atau amal dalam bahasa Indonesia. Bertapa dalam naskah ini bukan dimaksudkan sebagai bersemedi.
Gambaran Sosok Sesembahan dalam Naskah Sangyang Raga Dewata
Naskah Sanghyang Raga Dewata. Foto: jabarprov.go.id |
Menelisik dan mencermati naskah ini memerlukan penelaahan yang mendalam. Karena sifat naskah didaktif dalam bentuk prosa-dialogis, mesti cermat mengamati sosok mana yang sedang bertutur atau berbicara. Umumnya sosok dalam naskah berupa dialog Sanghyang Raga Dewata (ciptaan/makhluk) dan Sosok Penciptanya yang disebut "tak bernama". Namun penulis mencoba merujuk pada bebrapa teks dalam lempir-lempir naskah ini. Penerjemahan ulang penulis lakukan dengan metode pendekatan sikronisasi.
Carek- [a] na tmn, rupa reka ku waya. Ja aing nu ngayuga tan kayuga, ja aing nu digawe tan kapigawe, ja aing nu diguna tan kapiguna, ...
Akulah yang membetuk tetapi tidak dibentuk, akulah yang menciptakan tetapi tak terciptakan, ya Akulah yang menggunakan tetapi tidak digunakan... (lempir 22).
Penerjemahan ulang pada kata Reka bentuk menjadi membentuk dan kata Gawe sebagai cipta menjadi menciptakan. Sebenarnya kata reka dan gawe berarti dan bermaksud sama. Namun karena bentuk kalimat sajak indah makan ditulis dalam bentuk kalimat majemuk berulang.
Ja aing nu hanteu, ja aing nu hanteu, ja i aing nu biheung, ja aing nu tan katuduh, ja aing nu tanpa ngaran...
Ya, Akulah yang tiada (taranya), Ya Akulah yang Tiada Taranya, karena aku yang mustahil (dikenali Panca Indra), karena Aku yang tak tesebutkan (namanya), karena Aku yang tanpa nama... (lempir 23).
Sesembahan Urang Sunda Kuno tergambar dalam lempir 23 ini. Tuhan sebagai sosok tiada taranya, mustahil dikenali panca indra dan tak bernama. Nama-nama seperti Sanghyang Manon (Maha Melihat), Sanghyang Keresa (Maha Menghendaki), Sanghyang Wisesa (Maha Kuasa), Sanghyang Karsa (Maha Pencipta) dan lainnya adalah sebutan untuk sifat-Nya. Sementara Sanghyang Tunggal dan Batara Guru dalam naskah Sanghyang Raga Dewata disebutkan sebagai "ciptaannya".
Inya yugana, kalasakti ngaranya, inya yugana, lamun sabda pongpro golong.
Dia yang menciptakan, Kalasakti namanya. Jika sabda terlontarkan maka langsung jadi. (lempir 26).
Carek- [a] na tmn, ah / .................................., tanpa rupa tanpa kahanan, hanteu jeueungngeunnana.
Perkataannya benar, ah..................................., tanpa rupa tanpa tempat tiggal, bukan untuk dilihat (hanteu jeueungeunana = tiada bandingannya). (lempir 43).
Pemahaman Urang Sunda kuno di zaman Pajajaran tertuang dalam naskah Pantun Sakral Bogor (baca: Prediksi Prabu Siliwangi soal Kaum yang Gemar Menyesatkan). Berikut petikan naskah Pantun Bogor episode “Ronggeng Tujuh Kalasirna”
...Padahal, eta panyembahan teh saenyana mah panyembahan sakabehan ti babaheula dina sesebutan sewang-sewang basa sorangan panyembahan mah eta keneh eta bae. Anu ngan beda wungkul sesebutan lantaran beda bangsa nu boga basa...
...Padahal, penyembahan tersebut sesungguhnya sesembahan semua orang dari dulu kala dalam sebutan bahasa sendiri-sendiri yang disembah tetap itu-itu juga hanya beda cara menyebutnya saja karena berbeda bangsa yang memiliki bahasa... (Asura, 2016).
Kebudayaan Sunda mengalami proses, perubahan dan perkembangan kebudayaan sebagai hasil perjalanan sejarah. Perubahan itu terjadi, baik karena kreativitas dan dinamika pencipta dan pendukung kebudayaan Sunda sendiri (faktor intern), yaitu orang Sunda, maupun karena pengaruh dari luar (faktor ekstern), kebudayaan Sunda telah berulangkali mengalami perubahan. Ditinjau dari sudut pengaruh kebudayaan luar, paling tidak kebudayaan Sunda telah mengalami lima kali perubahan besar, yaitu secara kronologis sebagai pengaruh, pertama, kebudayaan Hindu-Budha yang datang dari anak benua India, kedua, Kebudayaan Islam yang datang dari jazirah Arab, ketiga, kebudayaan Jawa yang datang dari tetangga dekat satu pulau Pulau Jawa, keempat, kebudayaan Barat yang datang dari benua Eropa, dan kelima, kebudayaan nasional karena Tatar Sunda terintegrasi dan menjadi bagian Negara Republik Indonesia dan kebudayaan global karena makin cepatnya kemajuan ilmu dan teknologi, terutama teknologi komunikasi yang memperpendek jarak dan meningkatkan mobilisasi manusia (Ekadjati, 2009).
Lihat juga versi videonya
Sesungguhnya sebelum datang pengaruh kebudayaan Hindu-Budha, di Tatar Sunda telah hidup kebudayaan yang diciptakan dan didukung oleh masyarakat yang telah lama mendiami wilayah ini, sebagaimana tampak dari peninggalan benda-benda budayanya. Karena tidak meninggalkan bukti-bukti berbentuk tulisan, maka masa ini dimasukkan ke dalam masa prasejarah dan kebudayaannya pun dipandang sebagai kebudayaan prasejarah. Meskipun pengetahuan tentang kebudayaan masa prasejarah di Tatar Sunda tidaklah banyak, namun masanya jauh lebih lama dibandingkan dengan masa kebudayaan sejarah. Jika hingga sekarang masa sejarah Tatar Sunda baru sekitar 1600 tahun (dari abad ke 5 hingga awal abad ke-21), maka masa prasejarah mencapai ratusan ribu tahun (sebelum abad ke-5 ke belakang).
* Cag *
- Oleh Alam Wangsa Ungkara
Referensi
- Asura, E. Rokajat. 2016. "Tafsir Wangsit Siliwangi dan Kebangkitan Nusantara". Penerbit Imania.
- Atja & Saleh Dana Sasmita. 1981. "Carita Parahiyangan (Transkripsi, terjemahan dan Catatan)". Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
- Ekadjati, Edi S. 2009. "Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran", Jilid 2, cet II. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Iskandarwassid. 2003. "Kamus Istilah Sastra". Bandung: CV Geger Sunten.
- Kridalaksana, Harimurti. (2001). "Kamus Linguistik Edisi Ketiga". Jakarta: Pt. Gramedia Pustaka Utama.
- Kuswari, Usep & Hernawan. 2010. "Sintaksis Basa Sunda". Bandung: JPBD FPBS UPI.
- Ruhaliah. 1997. "Kajian Diakronis Struktur Bahasa Sunda Bihari dan Bahasa Sunda Kiwari: Sebuah Studi Terhadap Teks Naskah Amanat Galunggung". Bandung: Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah FPBS UPI.
- Satjadibrata, R. 2005. "Kamus Basa Sunda". Bandung: Kiblat Buku Utama.
- Sudaryat, Yayat. (2014a). "Struktur Bahasa Sunda (Sintaksis dalam Gamitan Pragmatik)". Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
- Sudaryat, Yayat. 2014b. "Wawasan Kesundaan". Bandung: Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah FPBS UPI.
- Suryani, Elis dkk. 2001. "Kamus Bahasa Naskah dan Prasasti Sunda abad 11 s.d 18". Bandung: Komunitas Pernaskahan Purbatisti & Pemerintah Kota Bandung.
- Suryani, Elis NS. 2008. "Filologi (teori, sejarah, metode dan penerapannya)". Bandung: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.
- _____________. 2006. "Gambaran Kosmologis Masyarakat Sunda sebagaimana terungkap dalam Sanghyang Raga Dewata (Naskah Lontar Abad XVI Masehi)". Bandung : Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran
- Zoetmulder & S.O Robson. 2006. "Kamus Jawa Kuna – Indonesia". Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.