Busana Kebesaran dengan model lidah. Busana kebesaran dari seorang bupati bergelar Adipati yang dianugerahi songsong (payung) kuning. |
[Historiana] - Periodisasi sejarah Jawa Barat telah banyak mempengaruhi pakaian Sunda, walaupun pada hakekatnya tidak sampai menghilangkan tradisi, hanya dalam perkembangannya disesuaikan dengan kemajuan jaman, misalnya dari segi kualitas bahan.Walaupun perlengkapan yang lebih praktis, cara memakainya tetap tidak berubah.
Tradisi Jawa Barat tampak pada busana yang dikenakan masyarakat di Bandung, Sumedang dan Cirebon atau daerah lain di Jawa Barat umumnya, baik dalam potongan atau bentuk maupun dalam corak dan wama. Dari ketiga tradisi itu, kemudian ada kecenderungan mengarah kepada kesamaan tradisi, yakni tradisi Priangan (Bandung dan Sumedang) dan tradisi Cirebon, baik yang menyangkut busana kaum bangsawan, golongan menengah maupun busana di kalangan rakyat hampir tidak ada perbedaan.
Berikut penulis merangkum dari buku "Pakaian Tradisional Jawa Barat" yang disusun oleh Dra. Cornelia Jane Benny S.BA, Drs. H. Wahyu Wibisana, Sulaeman Bsc dan Hamzah, yang dibiayai oleh Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 1987/1988.
Perkembangan Busana Tradisional Sebuah bukti tertulis yang paling awal menyebutkan adanya benda yang berhubungan dengan busana di Jawa Barat yaitu piagam tembaga Kabantenan yang ditulis pada ma
sa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521), berbunyi :
Nihan sakakala Rahyang Niskala Wastu Kencana pun turun ka Rahyang Ningrat Kancana, maka nguni ka Susuhunan ayeuna di Pakwan Pajajaran pun. Mulah mo mihape dayeuhan di Jayagiri deung dayeuhan di Sunda Sembawa. Aya manu ngabayuan inya, ulah dek ngaheuryanan inya ku na dasa calagara, kapas tambang pare
dongdang pun ......... .
(Inilah tanda peringatan Rahyang Niskala Wastu Kancana yang turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, demikian pula kepada Susuhunan yang sekarang ada di Pakuan Pajajaran. Titiplah ibukota di Jayagiri dan ibukota Sunda Sembawa. Di sana ada orang yang memberi kesejahteraan (kepada penduduk). Jangan diganggu oleh pemungut pajak, (baik) kapas yang telah ditimbang (maupun) padi yang sudah dipikul dengan menggunakan dongdang.
Dapat dipastikan bahwa kapas yang disebut pada piagam itu ialah bahwa buku untuk membuat pakaian. Pada ceritacerita rakyat di Jawa Barat sering ditemukan gambaran seorang perempuan yang sedang menenun. Yang paling terkenal ialah tokoh Dayang Sumbi dalam Legenda Gunung Tangkuban Perahu. Kata dayang pada nama tokoh cerita itu merupakan kata sandang yang berasal dari danghyang (bandingkan dengan "dang" pada kisah klasik Melayu). Adapun sumbi secara harfiah berarti "sepotong bambu kecil yang digunakan untuk pembatas lebar tenunan" (Rigg, 1862: 462). Dengan demikian, nama Dayang Sumbi itu dapat dikatakan sebagai simbul wanita terhormat yang pekerjaannya menenun kain.
Ternyata sudah sejak zaman dahulu peke:rjaan menenun itu dianggap amat penting dalam kehidupan sehari-hari. Kecuali di daerah Baduy, pekerjaan menenun itu kini sudah hilang di Jawa Barat. Pada zaman Jepang masih terdapat satu dua orang yang melakukan pekerjaan itu.
Adanya lagu Ninun (menenun) pada seni suara Sunda merupakan suatu bukti lagi bahwa tenun-menenun di masyarakat Jawa Barat amat populer sejak lama, dan sudah menjadi tradisi. Tradisi yang kemudian berkembang menjadi industri seperti yang telah diperlihatkan oleh pengusaha-pengusaha tenun di Majalaya dan Garut. Tenunan Majalaya dan sarong cap padi buatan Garut sempat merajai pasaran sampai pertengahan dekade enam puluhan.
Tradisi yang kemudian berkembang menjadi industri seperti yang telah diperlihatkan oleh pengusaha-pengusaha tenun di Majalaya dan Garut. Tenunan Majalaya dan sarong cap padi buatan Garut sempat merajai pasaran sampai pertengahan dekade enam puluhan.
Beberapa informasi tertulis yang ada kaitannya dengan busana terdapat pada buku Sanghyang Siksa Kandang Karesian yang ditulis pada tahun 1518. Kesejahteraan hidup seseorang waktu itu terlihat bila jalan yang ada di depan rumahnya terpelihara, mempunyai tanaman yang subur, berpakaian layak pakai pridana dan di sekeliling rumah bersih. Lebih ditegaskan lagi dengan ungkapan upageuing yang berarti: mampu mencari bahan pakaian, pandai menggunakan pakaian, mempunyai kain untuk mandi, dan pantas bila sudah berpakaian (bisa nyandang, bisa nganggo, bisa babasahan, bisa dibusana).
Di samping itu, kesopanan berpakaian pun sudah dianggap penting. Pada bagian lain dari naskah kuno itu terdapat tulisan yang berbunyi: jaga rang nemu jalan gede beet, banga di cangcut di pangadwa (hari-hati, bila kita ada di jalan raya atau jalan biasa, kau harus membawa/menggunakan celana dan baju secara lengkap ).
lnformasi yang amat berharga ialah mengenai corak tenunan (boeh): kembang muncang, gagang senggang, sameleg, seumat sahunm, anyam cayut, sigeji, pasi-pasi, kalangkang ayakan, poleng rengganis, jayanti, cecempaan, paparanakan, mangin haris, siliganti, boeh siang, bebematan, papakanan, surat awi, parigi nyengsoh, gaganjar, lusian besar, kampuh jayanti, hujan riris, laris, boeh alus, dan ragen panganten. Di samping itu ada pula corak batik, yakni: pupunjengan, hihinggulan, kekembangan, alas-alasan, urang-urangan, memetahan, sisirangan, taruk hata, dan kembang tarate.
Sayang sekali orang Sunda dewasa ini sudah tidak mengetahui lagi corak tanaman dan batik seperti yang disebut pada naskah itu. Beberapa buah masih dapat ditelusuri, seperti kalangkang ayakan (bayangan pengayak) dan kembang tarate (bunga teratai). Walaupun demikian, jelaslah bahwa tradisi menenun dan menulis batik sudah dikenal masyarakat Jawa Barat sejak dahulu. Hal ini membantah anggapan yang menyatakan bahwa tradisi menulis batik baru dikenal orang Sunda setelah ada kontak budaya dengan orang Jawa secara intensif pada abad ke-17.
Nama jenis pakaian yang terdapat pada naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian ialah cangcut (cawat) yang mungkin berarti "celana". Panggadwa diperkirakan berarti "baju", dengan anggapan: bentukan dari prefiks pa dan kata asal adwa atau adua, kedua setelah cangcut tadi, artinya baju. ltulah sebabnya pada naskah itu disebut di cangcut di pangadwa "celana dan kedua (baju)".
Kata samping dan sinjang terdapat pada naskah kuno yang lain, ialah naskah Carita Parahiyangan yang ditulis pada akhir abad ke-16, setelah tahun 1579. Pada naskah itu dikisahkan puteri Pwah Rababu sedang mandi dan kainnnya (samping) disumpit oleh Rahyang Sempakwaja sehingga tergulung dan terbawa anak sumpitan itu. Kemudian, tokoh lain yang bemama Rahyangtang Mandiminyak menyerahkan sinjang saparagi (kain dan baju) kepada Pwah Rababu sebagai tanda cintanya.
Jelaslah bahwa kata calana (celana) dan baju belum populer di kalangan masyarakat Jawa Barat sampai akhir abad ke-16. Istilah calana mungkin saja sudah dikenal saat itu, karena berasal dari bahasa Sansakerta calanaka Mardiwarsito, 1978: 47). Sedangkan istilah baju baru dikenal kemudian setelah ada pengaruh Islam, karena istilah itu berasal dari bahasa Persia (Coolsma, 1913: 40). Demikian pula istilah kabaya berasal dari bahasa Persia (Satjadibrata, 1948: 149).
Perihal dandanan perempuan terdapat pada naskah yang di perkirakan ditulis awal abad ke-18, yakni pada Carita Ratu Pakuan (Atja, 1970:40). Tertulis pada naskah itu:
disawur ku sekar suhun
kangkalung deung tapok gelung
sigar deu(ng) pameunteu beuheung
kilat bahu ti katuhu
geulang kancana ti ketja
gorolong gumbrar homas kancana
(kepala dihias bunga, berkalung dan tusuk konde bermahkota dan lehernya berhias hiasan, pangkal lengan melilit di kanan, gelang mas ada di kiri, berkilauan emas kencana).
Bentuk sastra pada naskah Ratu Pakuan mirip bentuk cerita pantun Sunda. Petikan tadi berupa deskripsi dandanan seorang puteri. Di dalam cerita pantun kemudian, deskripsi itu lebih dirinci lagi, seperti yang terdapat pada Caritana Lutung Kasarung (1970):
Sampingna teu pati apik
disampingan sutra kuning
karembong cinde kediri
salindang ku cinde kembang
kongkoyang ku sutra ganggong
ka luhur kana gelungna
ka handap kana sinjangna
ulah rek digelung jucung
bisi pajar indung-indung
ulah rek digelung konde
matak more di nu gede
salin deui na gelungna
gelung lelep gelung tikel
dihapitna ku jariji
ditikelkeun ku dampalna
ser jucung direunteut deui
lulumat salawe lambar
dipinggiran ku malati
dijajaran ku campaka
jejal ku inten baruntet
disubal salumpit pandan
dipuncakan mas kalangan
miring batan gunung sungging
cepak nongnong koleangkak
niru gelung widadari
sakalangkung tapok gelung
pameunteu sarangka beuheung
salobong sarangka tonggong
salubang sarangka awak
salumpir sarangka bitis
siger bungker jeung pamener
jumoprot benten kancana
benten emas ditarikan
dimangka tarik sisina
dimangka ngendu juruna
dimangka ngendong di tengah
ditimbangan suweng bapang
dikarancang dikaranceng
eureuy mani kikiceupan
intenna jiga arimut
barabay kunang-kunang
(Berkain tak berapa apik, diberi kain sutra kuning, selendang sutra kediri, selendang sutra berbunga, selendang sutra berbunga lebat, ke atas pada sanggulnya, ke bawah pada kainnya, janganlah bersanggul kerucut di ubun-ubun, nanti disebut si emak tua, janganlah bersanggul konde, nanti jelek kalau terlalu besar, ganti lagi cara bersanggul sanggul, tekan sanggul melingkar ditengahi jari manis, dibuat berlingkaran oleh telapak tangan, dikembangkan dan ditekan lagi, dibeli rambut yang dua puluh lima lembar, diberi pinggir dengan melati, diberi cempaka berjajar, diisi intan-intan kecil, dijejali bungkus bunga pandan, atasnya diberi emas berukir lebih miring dari gunung sungging, bentuknya seperti burung elang, meniru sanggul bidadari, lebih indah kondenya hiasan leher, lengkap hiasan punggung, lengkap hiasan badan, lengkap hiasan betis, tak kurang mahkota diletakkan, berimbang melilit berkilau sabuk emas ,sabuk emas diperketat agar terbuka di sudut, agar berkembang di tengah, kedua telinga beranting-anting, yang berlubang-lubang hidup cahayanya, intan-intan bagai tersenyum gemerlapan, bagaikan kunang-kunang)
Dandanan laki-laki pun sering digambarkan dalam cerita pantun Sunda. Pada pantun Panggung Karaton (1971) antara lain terdapat ungkapan cawet puril pupurikil (bercawat ketat tak bercelana); disingjangan kotok nonggeng (berkain gaya ayam menungging); totopong bong totopong bang (ikat kepala bong dan bang); lancingan lepas (celana panjang); baju bekek (baju berlengan pendek); totopong batik manyingnyong (ikat kepala gaya batik manyingnyong); dibendo dibelengongkeun (bersetangan kepala rapih dalam bentuk menggelembung); baju kurung; baju mikung (baju anak-anak); baju paret (baju dengan kancing banyak); baju senting (baju laki-laki yang pendek bagian belakangnya).
Kemudian, informasi mengenai pakaian Sunda tercatat pula pada The History of Java, volume two (Raffles, 1817:xciiixciv) sebagai berikut: papakayan(pakaian); sakalat (kain laken); kapas; samping beurang mas (kain songket); sutra; samping sutra (kain sutra); sutra diwangga; kawai (baju); lapisan (kain lapis); kabaya (baju kabaya); sisek kawai (tepi baju); kancing; tanda kancing (lubang kancing); jarum; lyang jarum (lubang jarum); kukular (benang pada jarum); jalujur (kelim); kopia (peci); surban (serban); jubah; kasit (sepatu); hihid (kipas); babaseuh (basahan); beubeur (sabuk); kandit (rantai pinggang); kongkoreung (kalung); chantil (pengait baju); suwang (subang); anting (anting-anting); geuleung bahu (ikat pangkal lengan); geuleung (gelang); ali ( cincin); dan ali-chap (cincin setempel).
Perkembangan busana di Jawa Barat pada abad ke-19 tampaknya terus berlangsung. Bupati Sukapura Raden Tanuwangsa, yang kemudian bergelar Raden Temenggung Wiradadaha, yang memerintah sejak tahun 1855 telah mengadakan perubahan-perubahan dalam tata cara kehidupan masyarakat, antara lain dalam cara berbicara dan berpakaian. Perubahan itu dilakukan dengan menyaring tata cara lama yang masih sesuai dengan cara lama yang masih sesuai dengan perkembangan zaman seraya diusahakan agar kepribadian Sunda tetap dipertahankan (Sejarah Jawa Barat untuk Pariwisata 1). Dapat diperkirakan bahwa di kabupaten-kabupaten lain pun berlangsung usaha-usaha seperti itu. Dalam hal pembuatan bendo (Jawa: blangkon), umpamanya, saat itu terdapat macam-macam gaya, seperti bendo Bandung, bendo Sumedang, bendo tasik, dan bendo Ciamis. Selain itu terdengar pula istilah bendo Sakola Raja dan bendo Sakola Menak, yakni gaya pembuatan bendo yang biasa dipakai oleh siswa Sekolah Guru (Kweekschool) dan Seko1ah Pangreh Praja (Opleding School voor Inlandsche Ambtenaaren, OSVIA) yang didirikan di Bandung awal abad XX. Kesemua bentuk bendo itu akhirnya melahirkan satu bentuk bendo yang kini disebut bendo Sunda Yang tampak berbeda bila dibandingkan dengan bendo Cirebon dan blangkon Yogya atau Solo.
Perkembangan pakaian laki-laki tampak pula pada baju dan kain. Di samping baju kampret dengan pasangan iket dan celana sontog atau celana komprang serta sarong diselendangkan atau dipasang agak tinggi, maka baju tutup (jas tutup) dan samping biasa dipakai oleh kalangan tertentu.
Perangkat pakaian yang disebut pertama adalah pakaian orang kebanyakan, sedangkan yang kedua pakaian kaum sentana (terpelajar, menengah). Kemudian tampak: jas tutup sering diganti dengan jas biasa (bedahan) lengkap dengan dasinya. Sedangkan kain sarung (poleng) adakalanya ditinggalkan pula, diganti dengan samping kebat (kain batik) seperti yang biasa dipakai oleh perempuan. Sementara itu pakaian kaum wanita pun tampak mengalami perkembangan. Potongan kebaya makin lama makin mengepas tubuh pemakainya dan diperpendek bagian bawahnya. Maka terkenallah sebutan kabaya Bandung bersamaan dengan adanya bentuk sanggul baru seperti gelung ciyoda dan gelung jederal yang sempat menjadi mode pada masanya.
Di samping itu, perubahan pula pada cara berkain. Bila semula tidak dikenal istilah lamban atau lepe pada kain wanita, kemudian muncul, dan sampai saat ini sudah dianggap ketentuan atau keharusan. Lilitan kain makin diperketat sehingga membatasi gerak tetapi bentuk tubuh bagian bawah
makin ditonjolkan. Karena geraknya terasa jadi terbatas tadi, maka pada waktu terkenal dengan sebutan gejed milo, yakni "ketatnya kain gaya sekolah MULO". Mungkin yang mulamula mengenalkan cara berpakaian demikian ialah para pelajar MULO (SMP zaman Belanda dahulu).
Perkembangan pakaian di Jawa Barat dapat ditelusuri pula dengan cara membandingkan istilah-isti1ah yang berhubungan dengan pakaian pada beberapa karnus yang terbit pada kurun waktu tertentu. Yang pertama A Dictionary of the Sunda Language susunan Jonathan Rigg yang terbit tahun 1862; kedua, Soendaneesch-Hollandsch Woordenboek susunan S. Coolsma terbitan tahun 1913; dan yang ketiga, Kamoes Basa Soenda susunan R. Satjadibrata terbitan tahun 1948.
Referensi
- Ali R. Et.All. 1975. Sejarah Jawa Barat. Bandung: Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Jawa Barat.
- Atja. 1968. Tjarita Parahyangan. Bandung: Yayasan Kebudayaan Nusalarang.
- Coolsma B,. 1913. Soendaneesch- Hollandsch Woordenboek, A.W. Leiden: Sythoft's Uitgevers Maatschappy, Leiden.
- Danasasmita, Et. All. 1984. Sejarah Jawa Barat. Bandung: Proyek Penunjang Jawa Barat.
- Jane Benny S, Cornellia, Dra., et all. 1987/1988. Pakaian Tradisional Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI
- Raffles, T. S. 1817 The History of Java. 2 Vols. London.
- Rigg, Jonathan.1862. A Dictionary of the Sunda Language. Batavia: Lange & Co.
- Satjadibrata, R,. 1946. Tatakrama Oerang Soenda. Jakarta: Bale Pustaka.