Cari

The East atau De Oost, Film bertema Sejarah Indonesia | Siapakah Sosok Westerling?

Aksi Westerling dalam film The East (De Oost)

 

[Historiana] - The East (De Oost) merupakan film produksi Belanda yang tayang 25 September 2020 (Belanda) dan 7 Agustus 2021 (Indonesia). The East menelusuri suatu babak sejarah bangsa yang kita kenal sebagai pembantaian Westerling. Sejumlah fakta di balik film The East menarik perhatian, khususnya bagi kita orang Indonesia karena kedekatan historis dan polemik yang melingkupinya. 

Cuplikan pertama film tersebut dirilis pada bulan Mei 2020, pemutaran perdana berlangsung di Festival Film Belanda pada 25 September 2020. Film tersebut dijadwalkan tayang di bioskop pada 10 September 2020, namun ditunda sebab pandemi COVID-19. Film tersebut akhirnya dirilis lewat layanan Prime Video sebagai Amazon Original pada 13 Mei 2021. Film tersebut juga ditayangkan di Indonesia melalui Mola TV pada 7 Agustus 2021.

Film ini disutradarai oleh Jim Taihuttu. Film proyek The East selama 10 tahun lebih. Niat Jim Taihuttu yang kuat melatarbelakangi pembuatan film ini karena buyutnya yang merupakan tentara kerajaan Belanda tewas saat perang kemerdekaan Indonesia. Jim Taihuttu, seorang warga Belanda keturunan Maluku ini memang mendapat banyak perhatian dari berbagai kalangan.  Jim (39) yang juga merupakan seorang DJ dinilai sebagai orang yang tepat untuk mengangkat kisah ini menjadi cerita dengan perspektif yang berimbang.

Aksi Westerling di Sulawesi dalam film The East (De Oost)


Bukan hanya sosok Jim, dibalik film De Oost ini juga ada Sander Verdonk, asal Belanda, dan Shanty Harmayn, asal Indonesia, yang bersama-sama memproduseri film ini.

Dikutip dari laman bbc.com, Sander menceritakan bahwa di Belanda, perang di Indonesia ini jarang diketahui.

“Di Indonesia, semua orang tahu tentang Perang Kemerdekaan. Di Belanda, tak ada yang tahu atau hanya sedikit orang yang tahu. Mereka bahkan tak menyebutnya perang, tapi aksi polisional. Jadi, saya pikir perspektif historis ini menarik. Kakek buyut Jim meninggal dunia dalam perang ini, tapi dia tak pernah mendengar tentang peristiwa ini," kata Sander.

Masih dikutip dari laman bbc.com, dalam wawancara yang sama, Shanty mengatakan, di Indonesia sejarah terkait Westerling memang diajarkan di sekolah, tapi tidak secara detil.

“Yang menarik adalah ini film dari negara, yang pada dasarnya, mau menceritakan kejahatan perang yang mereka lakukan. Saya pikir 'wow, ini berani' dan ini adalah bagian dari sejarah kita," kata Shanty.


Pro-Kontra

Film ini tidak luput dari kritik. Salah satunya muncul dari putri Westerling, Palmyra. Dia tak sepakat dengan penggambaran sosok ayahnya dalam film itu. Dalam sebuah surat terbuka, Palmyra mengatakan sejarah kolonial Belanda yang kompleks. Namun, menurutnya, generasi saat ini kerap mencoba menceritakan sejarah tanpa penyelidikan yang tepat, cenderung melakukannya secara sepihak, dan dengan pendekatan yang subjektif. Sehingga ia menyebut film De Oost sebagai fantasi yang memutarbalikkan fakta dan menyebarkan kebohongan.

Palmyra Westerling putri Raymond Westerling
Foto: trouw.nl

 

Palmyra Westerling menuding Jim Taihuttu dan Maarten Hidskes sebagai dua pria yang rela memalsukan sejarah demi keuntungan diri sendiri. Palmyra menyebut film tersebut tampaknya telah dibiayai oleh orang-orang Indonesia.

Selain kritikan dari putri Westerling sendiri, film De Oost juga sudah diprotes sejumlah organisasi di Belanda termasuk federasi veteran Indo di Belanda Federatie Indische Nederlanders (FIN). FIN kecewa dengan penggambaran prajurit Belanda yang melontarkan hinaan rasis dan kerap mengunjungi pelacur.

Mereka keberatan pula dengan penggambaran pasukan khusus berseragam hitam ala Nazi. Jika merujuk catatan sejarah, seragam sebenarnya adalah hijau tua. Keberatan lainnya terkait citra Raymond Westerling yang berkumis mirip Adolf Hitler.

Organisasi FIN FIN meminta adanya teks keterangan di awal film yang menyatakan bahwa film tersebut fiksi belaka. Produser The East tak menyetujui permintaan itu, terlepas dari adanya pernyataan standar di credit title akhir film yang biasanya berbunyi, “Film ini telah mendapat sentuhan fiksi demi kebutuhan dramatisasi.”

FIN mengajukan gugatan kepada pembuat film De Oost namun pengadilan memutuskan pembuat film De Oost tidak bersalah.

Meski jadi pro dan kontra, produser film Sander Verdonk, mengatakan puas karena film berdurasi sekitar dua setengah jam ini telah membuka ruang diskusi soal masa lalu di Belanda. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang disebutnya sebagai 'narasi satu arah' tak lagi berlaku.

Pemerintah Indonesia sendiri meminta agar nama Westerling tidak disebut-sebut selama pengambilan gambar di Indonesia. Alasannya,  karena Westerling masih dianggap sebagai personifikasi kejahatan. Oleh karena itu, kita melihat dalam film Thea East, Westerling disebut dengan nama depannya "Raymond".

Dalam buku sejarah Indonesia, ada suatu peristiwa yang dianggap pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) di Bandung. Kisahnya dalam buku-buku sejarah hanya sepintas. Terkesan abu-abu, meskipun disebutkan bahwa Westerling adalah sosok yang kejam.

 

Siapakah Westerling?

Raymond Westerling adalah sosok nyata dalam sejarah. Dalam film, ia diceritakan memimpin sejumlah misi untuk menumpas gerakan perlawanan Indonesia. Dia melakukan banyak eksekusi dalam misinya.

Dia dicap sebagai penjahat perang oleh banyak kalangan. Namun, dia tidak pernah didakwa secara resmi. Dia meninggal karena serangan jantung pada 1987.

Westerling adalah seorang tentara komando yang sudah sangat berpengalaman ketika Perang Dunia ke-II meletus. Kedatangannya ke Indonesia pada masa revolusi sudah dirancang oleh Belanda, yakni untuk melatih pasukan khusus atau Depot Speciale Troepen (DST) yang kemudian terlibat dalam kampanye pasifikasi di Sulawesi Selatan pada 1947-1948. 

Westerling dan Depot Speciale Troepen yang dipimpinnya merupakan pelaku pembantaian di Sulawesi Selatan antara Desember 1946 hingga Februari 1947. Dalam Chellenge To Terror (1952:112) karya Westerling sendiri, ia mengaku jumlah rakyat Sulawesi Selatan yang dibunuh hanya sekitar 600 orang. Namun versi Indonesia menyebut korban kampanye pasifikasi ala Westerling berjumlah 40 ribu orang. Angka ini berasal dari Kahar Muzakkar.

Setelah selesai dari Sulawesi Selatan, Westerling kembali mengulangi aksi kekerasan di Cikampek daerah Jawa Barat yang semula berpenduduk 35.000 jiwa seolah-olah menjadi kota mati (Trouw, 1987). Tahun 1950 Westerling juga membentuk APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang bertujuan untuk mengkudeta pemerintahan Soekarno-Hatta sekaligus mempertahankan Negara Pasundan.6 Kudeta Westerling ini dengan cepat direspon oleh pihak Tentara Indonesia sekaligus menggagalkan rencana kudeta. Dengan gagalnya rencana kudeta Westerling, maka berakhir pula aksi kekerasannya di Indonesia.

Westerling lahir di Istanbul, Turki, pada 31 Agustus 1919 dari pasangan Paul Westerling dan Sophia Moutzhou. Menginjak usia enam tahun Westerling sangat tertarik pada cerita detektif, terutama yang paling berdarah-darah. Usia tujuh tahun Westerling sudah mampu menembak, kemudian seiring bertambah usianya membuatnya terobsesi untuk bergabung dengan militer (Triyana, 2019).

Meletusnya Perang Dunia Kedua menjadi sebuah kesempatan untuk mewujudkan cita-citanya menjadi militer. Pada tahun 1942, di Skotlandia, Westerling mendapatkan pelatihan komando. Tugas utama komando ini adalah melakukan penyusupan ke pertahanan lawan sebelum pasukan dalam jumlah yang lebih besar tiba.

Willlem (1984) mengisahkan, pada 27 Desember 1941, Westerling dikirim ke Inggris dan bertugas sekaligus mendapatkan pelatihan, di Brigade Prinses Irene di Wolverhampton, dekat Birmingham. Westerling termasuk salah satu diantara 48 orang Belanda sebagai angkatan pertama yang memperoleh latihan khusus di Commando Basic Training Centre di Achnacarry, di Pantai Skotlandia yang tandus, dingin dan tak berpenghuni. Melalui pelatihan yang sangat keras dan berat, mereka dipersiapkan untuk menjadi komandan pasukan Belanda.

Pelatihan dan pelajaran yang mereka peroleh antara lain ialah unarmed combat (perkelahian tangan kosong), silent killing (penembakan tersembunyi), deat slide and how to fight and kill without firearms (berkelahi dan membunuh tanpa senjata api), killing sentry (membunuh pengawal), dan sebagainya. 

Di Skotlandia, Westerling memperoleh baret hijau. Spesialisasinya adalah sabotase dan peledakan. Ia pun mendapat baret merah dari SAS (The Special Air Service), pasukan khusus Inggris yang terkenal. Ia pernah bekerja di dinas rahasia Belanda di London. Ia juga pernah menjadi pengawal pribadi Lord Mountbatten, Panglima South East Asia Command (Komando Asia Tenggara) di India tahun 1943. Meskipun demikian, Westerling pernah ditugaskan di dapur sebagai pengupas kentang untuk keperluan logistik perang. Hal ini membuat hidupnya menjemukan, karena harus terus berada di barak (Westerling, 1952).

Westerling tergabung dalam Troop 2, sebagai persiapan untuk melakukan tugas operasi-operasi militer di Burma. Tetapi, rencana tersebut dibatalkan, personil Troop 2 mendapat latihan perang hutan. Pasukan yang batal dikirim ke India tersebut dipecah ke dalam pasukan-pasukan Sekutu yang akan membebaskan Belanda dari pendudukan Jerman. Sebelum terjun ke Front Eropa, Westerling mendapatkan latihan tambahan sabotase dan kontra-spionase untuk menyusun gerakan bawah tanah di daerah lawan. Beberapa prajurit komando selain Westerling yag mendapatkan pelatihan yaitu: Rokus Bernadus dan Andi Abdul Aziz (tokoh pemberontak di Sulawesi pada masa kemerdekaan Indonesia) (Matanasi, 2012).

Westerling bersama pasukan baru tiba di India pada 15 Januari 1944 dan ditempatkan di Kedgaon. 60 km di Utara Kota Poona. Pada 15 Maret 1944 di London, Belanda mendirikan Bureau Bijzondere Opdrachten BBO (Biro Tugas Istimewa), yang bermarkas di Brussel dan dipimpin oleh Pangeran Bernhard yang merupakan suami dari Ratu Juliana, Ratu Belanda. Pada 23 Oktober 1944, Westerling dipanggil bertugas di BBO Brussel, dan pada 1 Desember 1944, pangkatnya naik menjadi Sersan Mayor Menurut Willem (1984).

Pada tanggal 25 Juni 1945, ia masuk ke dinas KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) Tentara Kerajaan Hindia Belanda dengan pangkat (reserve) Tweede Leitnant (Letnan II Cadang) dan ditugaskan di Sri Lanka pada Anglo-Dutch Country Section yang dikalangan Belanda disebut Korps Insulinde (KI). KI merupakan sebuah pasukan yang terdiri dari orang-orang Belanda juga orang-orang pribumi Indonesia yang pernah bergabung dengan militer Hindia Belanda (Matanasi, 2012).

Saat Perang Dunia Kedua berakhir, di Australia dan Sri Lanka, Belanda melakukan persiapan besar-besaran untuk kembali ke Indonesia. Pimpinan militer Belanda melihat perlu membentuk pasukan khusus baik darat maupun udara yang dapat dengan cepat menerobos garis pertahanan tentara Repulik Indonesia. Segera setelah diangkat menjadi Panglima Tertinggi Tentara Hindia Belanda (KNIL), Letnan Jenderal Spoor mengemukakan rencananya untuk membentuk pasukan infanteri, komando serta parasutis yang mendapat pelatihan istimewa.

Pada tanggal 17 Juli 1945 Westerling diberangkatkan ke Kolombo (Sri Lanka), sebagai persiapan pendaratan di Kota Medan, Sumatera Utara - Indonesia (Matanasi, 2007). Westerling mendarat di Kota Medan 14 September 1945 bersama tim penerjun payung (Westerling, 2011). Ia bertugas sebagai kontra spionase dengan tugas menjaga keamanan dan ketertiban serta mengamankan pasukan sekutu yang akan datang menyusul. Pasukan sekutu tiba di Kota Medan pada bulan Oktober 1945 (Ricklefs,  2017), saat mana Proklamasi Kemerdekaan di Kota Medan baru terlaksana (Suprayitno, 2001). 

Pada awal tahun 1945 dalam Pasukan Intel 1.3.6. yang merupakan bagian daripada Komando Asia Tenggara Tentara Sekutu (Southeast Asia Command), telah dibentuk seksi dengan nama “Anglo Dutch Country Section” (ADCS) yang akan ditugaskan ke daerah-daerah bekas jajahan Inggris dan Belanda yang sedang diduduki Jepang.  Tugas unit-unit kecil ADCS ini adalah untuk mengumpulkan informasi-informasi serta melakukan kontak-kontak yang berguna bagi pelaksanaan invasi terhadap Malaya yang menurut rencana Laksmana Lord Louis Mountbatten, Panglima Besar Southeast Asiatic Command (SEAC), akan dilancarkan semenjak tanggal 9 September 1945. Tetapi sebelum proyek invasi Mountbatten itu sempat dilaksanakan, ternyata Jepang telah menyerah kalah.

Meskipun Jepang telah kalah oleh Sekutu, keberadaan Tentara Jepang diwajibkan untuk menjaga keamanan dan ketertiban hingga pasukan Sekutu tiba di Indonesia. Alasannya karena terjadi ke-vacuum-an kekuasaan di Indonesia. Terjadi kerusuhan dan kekacauan yang dilakukan para "teroris". Yang dimaksud "teroris" ini adalah rakyat Indonesia yang marah karena kebencian terhadap Belanda yang akan datang lagi. Kebencian terhadap Belanda sebenarnya semakin tidak terbendung pada awal revolusi, setelah sekian lama dijajah. Terdengar isu bahwa Belanda akan kembali "menguasai‟ Indonesia, hal ini telah memicu rakyat setempat untuk melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Belanda di kamp-kamp tahanan. 

Westerling Baret Merah
Foto: sejarahmiliter.com

 

Jika Westerling kemudian menyatakan hal ini sebagai aksi "teror‟, merupakan justifikasi-nya atas aksi-aksi kekerasan yang dilakukannya dan ia menyebutnya sebagai menjaga keamanan dan ketertiban. Diantara pihak Republiken yang dianggap teroris oleh Westerling adalah PKI dan TKR. Menurut Westerling, mereka mendapatkan senjata dengan mudah dari pihak Jepang untuk melancarkan aksi teror-nya. Oleh karena itu, Westerling memutuskan bahwa penambahan gudang senjata harus dilakukan karena pihak Sekutu saat di Kolombo telah diberikan Jepang “lampu hijau” agar senjata mereka dilucuti dan tidak lagi diambil oleh para teroris.

Kenyataannya, markas Jepang diserang oleh rakyat, Jepang yang pada saat itu  masih  bertindak  dalam  mengamankan  situasi  tidak memberikan  perlawanan. Sebaliknya pihak Jepang memberikan ruang kepada rakyat setempat untuk melaksanakan tindakan mereka, seperti melucuti senjata dan melakukan pembunuhan terhadap tawanan. Setelah senjata diambil "teroris‟ ini kemudian mereka membuka pintu-pintu sel, lalu melakukan pembunuhan terhadap para tawanan yang sudah tidak berdaya.

Westerling mencuri arsip-arsip PKI dan TKR sebagai justifikasi atas tindakan yang ia lakukan. Sejak Westerling mulai melancarkan aksi-aksi kekerasannya, pihak Jepang malah menghilang dari jalan-jalan Kota yang sebelumnya rutin dilaksanakan mereka. Tindakan Jepang ini semakin membuat Westerling leluasa dalam melakukan tindakannya. Sebenarnya hal ini dilakukan Jepang karena tidak ingin terlibat dalam proses jangka panjang atas kekacauan yang sedang terjadi dan takut menjadi sasaran antara kedua belah pihak yang sedang berkonforontasi.

Jepang sejak awal lebih „terbuka‟ terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, dibandingkan pihak Sekutu yang akan datang kembali menguasai Indonesia. Dalam banyak hal, Jepang memang sengaja memberikan ruang kepada pemuda Indonesia agar senjatanya dilucuti. Seperti yang terjadi di Pelabuhan Belawan dan Bulu Cina. Dengan demikian, dugaan Westerling terhadap pihak pemuda ada benarnya, bahwa Jepang berkolaborasi dengan pihak Indonesia. Tetapi, Westerling menganggap bahwa Jepang yang berkolaborasi dengan pihak Indonesia adalah mereka yang sering melakukan „teror‟ kepada masyarakat yang dianggap pro-Belanda. Mereka melakukan hal-hal yang tidak senonoh, seperti mencuri, merampok, hingga membunuh. Target mereka adalah orang-orang kaya dan yang bekerjasama dengan Belanda. Westerling memberi contoh, bahwa mereka tergabung dalam organisasi laskar Gagak Hitam dan Banteng Hitam (Venner, 1982).

Pasukan sekutu ini dipimpin oleh Brigadir T.E.D Kelly yang mendarat di Pelabuhan Belawan. Aksi-aksi kekerasan selama bulan-bulan pertama pasca-Proklamasi semakin mencekam dan berada di luar kontrol pemerintah. Kota Medan, saat itu seakan-akan menjadi sebuah kota tanpa pimpinan (Zed, 2010).

Pada Maret 1946 terjadi revolusi sosial di Sumatera Timur, yang menjadi sasaran salah satunya kaum Bangsawan Melayu. Banyak orang-orang Melayu yang menjadi korban peristiwa revolusi sosial ini. Tetapi, dalam peristiwa ini banyak juga yang memanfaatkan keadaan, seperti menjarah, merampok, memerkosa dan sebagainya. Sehingga revolusi sosial ini menimbulkan efek trauma jangka panjang, bagi mereka yang menjadi korban.

 

Westerling di “usia senja”
Foto: Gallery collections, Nationalarchief, Netherlands

Setelah semua tugas Westerling selesai di Kota Medan, pada 26 Juli 1946 Westerling meninggalkan Kota Medan, aksi kekerasannya ini kemudian juga berdampak pada pihak Republik dan Belanda. Namun, kekerasan yang telah dilancarkannya tidaklah stagnan begitu saja. Friksi-friksi pun terjadi di kalangan para pemuda.

Aksi kekerasan Westerling di Kota Medan memberikan dampak kedua belah pihak, antara Indonesia dengan Belanda. Sejak kedatangannya di Kota Medan pada bulan September 1945, ia mulai melancarkan aksi-aksi kekerasan, diantaranya: membunuh para gerilyawan Indonesia yang dianggapnya sebagai “teroris” yang sering membuat kekacaun di Kota Medan, melakukan sabotase terhadap laskar-laskar rakyat agar supaya antar laskar saling memusuhi satu sama lain. Pun demikian di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. 

Dengan demikian, tugas Westerling di Kota Medan telah selesai, ia akan melanjutkan aksi kekerasannya di Sulawesi Selatan yang menewaskan 40.000 ribu orang. Di Jawa Barat, daerah Cikampek dibuatnya seolah-olah menjadi kota mati. 

“Jumlah 40.000 itu fiktif dan dihembuskan untuk menyemangati pasukan sendiri dan mengundang simpati internasional,” kata Natzir dalam De Eenling. Menurut beberapa sejarawan, termasuk Natsir Said, angka yang oleh sebagian kalangan dianggap bombastis itu muncul dari tokoh DI/TII Sulawesi Selatan, Kahar Muzakkar. Kahar yang di masa revolusi sedang berjuang di Jawa sebagai bagian TNI begitu emosional hingga keluar dari mulutnya angka 40 ribu. Belakangan angka ini jadi angka yang paling sering disebut. Sejarawan Anhar Gonggong, yang ayah dan salah satu abangnya menjadi korban keganasan pasukan Westerling, menyebut jumlah korban yang tewas mencapai sekitar 10 ribu orang. “Tapi, itu memang tidak semuanya korban Westerling,” terang Anhar. Westerling sendiri sebagai pelaku utama, dalam Challenge to Terror, menyebut angka 600 orang. Anehnya, penyelidikan Angkatan Darat Republik Indonesia pada 1950-an hanya menemukan angka 1.700 korban tewas. Dari angka itu, tak semuanya korban keganasan Westerling. Begitu yang dicatat Ramadhan KH dalam buku autobiografi Alex Kawilarang, Untuk Sang Merah Putih (1988).

 

Tahun 1950 ia membentuk Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) untuk mengkudeta pemerintahan Sukarno-Hatta. 

Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang pokoknya adalah suatu ultimatum. Ia menuntut supaya Pemerintah RIS menghargai negara-negara anggota, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS mesti mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS mesti memberikan jawaban positif dalm waktu 7 hari dan apabila diabaikan, akan timbul perang besar.

Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun juga di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman), Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan bermacam pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua pejabat sipil dan militer Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.

Pada 23 Januari 1950, Pasrukan Perang Ratu Adil (APRA) menyerang TNI di Bandung, Jawa Barat. Serangan tersebut menwaskan 79 anggota TNI, tetapi hanya 63 yang diketahui identitasnya, antara lain tiga perwira menengah: letnan kolonel Lembong, Mayor Djoko Soetikno dan Mayor Sachirin, seorang kapten, 12 letnan termasuk sejumlah bintara dan prajurit. Sebanyak 16 korban ditak diketahui identitasnya, sedangkan 6 warga sipil tewas akibat peluru nyasar.

Bagaimana nama pasukan Westerling Angkatan Perang Ratu Adil? Menurut Westerling dalam bukunya, nama ini dipakai setelah seorang pribumi membakannya buku Ramalan Jaya Baya. Dalam karya yang ditulis pada abad ke-12 itu, terdapat kalimat: "... dan kemudian akan datang Ratu Adil Pangeran Keadilan, yang akan lahir di Turki."

"Dan Anda lahir di Isnbul," kata pribumi itu kepada Westerling.

Tampaknya, itu menjadi argumen mereka bahwa Westerling adalah Ratu Adil dari ramalan kuno. Pembebas yang dijanjikan untuk orang Indonesia dari tirani. Mereka berpikir bahwa dia harus datang untuk membantu mereka. "Hari itu saya membaptis kekuatan saya 'Pasukan Ratu Adil'." kata Westerling.

Westerling mengklaim penduduk Jawa Barat, terutama koleganya, selalu memohon perlindungan dari ancaman para bandit yang berkeliaran. Keberadaan Westerling memang cukup disegani, bahkan ditakuti. Tidak ada yang berani berbuat macam-macam jika sudah menyangkut nama Westerling. “Mereka tidak akan berani menyerang desa kami jika anda melindungi kami,” kata seorang dari mereka kepada Westerling. Sebelum memutuskan membentuk organisasi pertahanan di kampung-kampung di Jawa Barat, Westerling pergi ke Jakarta untuk meminta saran Letnan Jenderal Simon H. Spoor. Ia menyebut pendirian organisasi ini penting untuk menjaga keberadaan Negara Pasundan dalam Republik Indonesia Serikat (RIS) bentukan Belanda. Meski setuju dengan ide itu, Spoor meminta mantan bawahannya itu bertanggung jawab atas segala konsekuensinya. “Itu cukup jelas bahwa saya punya persetujuan dari mantan komandan saya. Keraguan saya hilang. Pada Maret 1949 saya mulai bekerja,” ucapnya. Westerling lalu merekrut teman dan bekas anak buahnya dari Koninklijk Leger (KL) dan KNIL.

Tanggal 23 Januari 1950, APRA melancarkan serangan di Kota Bandung. Karena beberapa perwira Belanda tidak mendukung aksi tersebut, maka operasi itu berhasil diantisipasi oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Meski kehilangan unsur kejutan, namun pasukan APRA yang kalah jumlah dan persenjataan itu berhasil memenangkan pertempuran di kota Bandung, merebut barak-barak Divisi Siliwangi TNI tanpa kehilangan seorang pun.

Dukungan untuk Westerling datang juga dari seorang Republik yang ingin mempertahankan kekuasannya. Adalah Sultan Hamid II atau Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie, sultan ke-7 Kesultanan Qadriyah Pontianak. Hamid cukup dekat dengan Westerling karena kerap bertemu di sebuah cafe di Jakarta sepanjang Januari 1948. 

Kedekatannya dengan perwira Belanda itu bukan kali pertama, Hamid diketahui pernah aktif di KNIL berpangkat letnan dua, setelah menamatkan pendidikan di Akademi Militer Belanda (Koninklijk Militaire Academie) di Breda, Belanda, pada 1938. 

Pada masa pendudukan Jepang, Hamid ditahan selama tiga setengah tahun di Jakarta. Pasca kemerdekaan, ia kembali aktif di KNIL dengan pangkat kolonel. Karir militernya terus melejit. Ia diketahui pernah menjabat ajudan istimewa Ratu Kerajaan Belanda, Wilhelmina. Hamid pernah membentuk federasi bernama Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DKIB) bersama negara-negara kerajaan se-Kalimantan Barat, yang menjalin persemakmuran dengan Kerajaan Belanda. Ia juga membentuk Bijeenkomst Voor Federaal Overleg (BFO) atau Perhimpunan Musyawarah Federal, bersama sejumlah tokoh politik negara-negara otonom di Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Bali. Hamid memperjuangkan sistem federal dalam berbagai perundingan, mulai dari Perundingan Malino sampai Konferensi Meja Bundar (KMB). 

Sultan dari Pontianak itu percaya bahwa kepulauan Melayu (Indonesia) lebih tepat menggunakan sistem federal untuk ketatanegaraannya. Namun keinginannya itu mendapat tentangan dari kaum republiken yang menginginkan sistem kesatuan atau unitarisme. 

Pada tanggal 22 Desember 1949, Hamid kembali bertemu Westerling. Kapten Belanda itu menyatakan keberatannya atas posisi Sukarno sebagai Presiden RIS. Ia juga mengklaim telah membentuk sebuah pasukan, APRA, berkekuatan 15.000 orang. Westerling lalu menawari Hamid komando pasukan APRA. Karena tidak yakin, Hamid akhirnya menolak tawaran itu. Namun sang sultan berubah pikiran dan menerima tawaran itu pada 10 Januari 1950. Maksud Hamid menerima tawaran jadi panglima APRA karena ingin mempertahankan sistem negara federal dari intimidasi yang ingin menghapuskan negara-negara bagian secara inkonstitusional. Tapi ada syarat yang harus dipenuhi: pasukan APRA harus terdiri dari bangsa Indonesia saja; Westerling harus memberitahukan persenjataan, kekuatan-kekuatan dan dislokasi APRA; dan dia harus mengetahui sumber keuangan untuk membiayai APRA. Belum sempat menerima pasukan APRA, Hamid mendengar kabar penyerbuan APRA di Bandung.

“Saya marah karena sebelum ada keberesan soal tawaran oppercommando APRA, Westerling telah bertindak sendiri. Dan saya sendiri tidak menyetujui adanya penyerbuan ke kota Bandung itu,” kata Hamid seperti dikuti Persadja dalam buku “Proses Peristiwa Sultan Hamid II”. 

Meski demikian alih-alih tidak setuju dengan aksi kawan Belandanya itu, Hamid memerintahkan Westerling dan rekannya, Inspektur Polisi Frans Najoan untuk menyerang sidang Dewan Menteri RIS pada 24 Januari 1950. Dalam penyerbuan itu, Hamid juga memberi instruksi agar semua menteri ditangkap, sedangkan Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX, Sekretaris Jenderal Ali Budiardjo dan Kepala Staf APRIS Kolonel TB Simatupang harus ditembak di tempat. 

Sebagai kamuflase, Hamid sendiri harus menerima luka enteng: ditembak di kaki. Setelah penyerangan, rencana Hamid selanjutnya adalah meminta persetujuan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, supaya ia diperbolehkan membentuk kabinet baru, di mana ia akan menjadi Menteri Pertahanan. Ketika akan pergi ke tempat persidangan, Hamid berubah pikiran. Ia ingin mencabut kembali perintah penyerbuan itu. 

Karena tidak tahu di mana keberadaan Westerling dan Frans Najoan, keinginan Hamid itu hanya dibicarakan dengan ajudannya, Van der Heide. Serangan gagal. Sidang rupanya selesai lebih cepat dari rencana. Pasukan yang telah bersiap menyerang hanya mendapati tempat penyerbuan telah kosong. Meski begitu, Hamid tetap di tangkap pada 5 April 1950 oleh Sultan Hamengku Buwono IX atas perintah Jaksa Agung RIS Tirtawinata. Pada tanggal 8 April 1953, Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara dipotong masa tahanan tiga tahun.  

Pemberontakan penting yang direncanakannya Westerling di Jakarta akhirnya gagal, salah satunya juga karena mereka yang bertugas menyelundupkan senjata api ke kota berhasil digagalkan. 

Sementara itu kegagalan menduduki Bandung pada 23 Januari 1950 membuat prajurit APRA lari tunggang langgang ke arah Cianjur. Namun upaya menyelamatkan diri itu sia-sia karena Batalyon H Divisi Siliwangi pimpinan Mayor Sutoyo berhasil menghadang para pemberontak ini. Peristiwa perburuan itu dikisahkan Kolonel (Purn) Mochamad Rivai dalam bukunya “Tanpa Pamrih, Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945”. “Mereka terkepung dan kocar-kacir, bahkan sebagian nekad menerjunkan dirinya ke jurang-jurang yang ada di wilayah hutan-hutan Maleber,” ucapnya. 

Westerling yang sadar gerakannya telah terpatahkan, memilih melarikan diri ke Jakarta. Selama pelarian, ia didampingi pengawal setianya Pim Colsom dan dua anggota polisi Indonesia yang membelot.

Menurut sejarawan Salim Said, salah satu tempat yang pernah ditinggali Westerling adalah rumah milik seorang Belanda di Kebon Sirih. Awal Februari 1950, seorang pendukung Westerling dari kalangan mantan KNIL Letnan Kolonel Rappard tewas dalam suatu pengepungan oleh kesatuan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) di Jakarta. Kejadian itu membuat keinginan Westerling ke luar dari Indonesia semakin besar. Maka disusunlah sebuah rencana pelarian yang melibatkan sejumlah pejabat tinggi militer dan sipil Belanda.

Upaya pelarian Westerling ke luar negeri itu ternyata tercium oleh intelijen APRIS. Demi mencegahnya, dibentuklah tim pemburu oleh pihak militer Indonesia Serikat yang dipimpin Mayor Brenthel Soesilo. Menurut salah satu anggota tim pemburu, Letnan J.C.Princen, Kamis, 23 Februari 1950, tim-nya menerima informasi dari agen intelijen di lapangan bahwa Westerling dengan dikawal beberapa orang bergerak ke arah Pelabuhan Tanjung Priok. “Kami lalu mengutus Letnan Supardi dan Letnan Kesuma untuk mengejar Westerling…” ujar mantan serdadu Belanda yang membelot ke pihak Republik Indonesia tersebut. Dengan menggunakan jip Willys, menjelang pukul 19.00, bergeraklah kedua prajurit APRIS tersebut ke Tanjung Priok. Benar saja, sampai di mulut pelabuhan, mobil yang ditumpangi Letnan Supardi dan Letnan Kesuma berpapasan dengan mobil Westerling. Alih-alih menghindar, Westerling yang saat itu menggunakan seragam KNIL berpangkat sersan, malah turun dari mobil dan mendekati Letnan Supardi dan Letnan Kesuma. “Orang gila itu malah mengajak kedua letnan tersebut singgah di satu bar dan minum bir…” kenang Princen

Ajakan itu ditampik. Letnan Kesuma justru mengajak Westerling untuk singgah sebentar ke sebuah pos tentara APRIS di dekat pelabuhan. Westerling setuju. Namun belum 100 meter bergerak, tiba-tiba serentetan tembakan menyalak dari kendaraan Westerling dan membuat kendaraan yang ditumpangi kedua tentara APRIS itu terjungkal seketika. 

Setelah menembak, mobil Westerling segera dipacu ke arah pelabuhan. Sempat terjadi baku tembak antara pengawal Westerling di Pelabuhan II Tanjung Priok dengan pasukan Brenthel Soesilo. Di tengah pertempuran kecil itulah, Westerling kabur ke Singapura dengan bantuan sebuah pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda. 

Karena masuk tanpa izin, Westerling ditahan pihak keamanan Inggris di Singapura begitu sampai. Mendengar kabar tersebut, Pemerintah RIS melayangkan permintaan kepada otoritas Singapura untuk mengekstradiksi Westerling ke Indonesia. Namun dengan alasan Westerling adalah warga negara Belanda, pengadilan Singapura tidak bisa memenuhi permintaan tersebut. 

Setelah dibebaskan, Westerling terbang menuju Amsterdam, Belanda melalui jalur Kairo dan London dengan membawa keluarganya. Namun di London, petugas menutup akses masuk untuknya. Kehabisan akal, ia terbang menuju Brussels, Belgia. Dikutip harian Montreal Gazette terbitan Kanada 25 Agustus 1950, Westerling tiba pada 23 Agustus 1950 dan langsung ditangkap otoritas Belgia. Menghindari kontroversi di negerinya, setelah dilepas otoritas Belgia, Westerling memilih menetap sejenak di Brussels. Setelah situasi dirasa aman, Westerling akhirnya bisa kembali ke Belanda.

 

DI/TII Dilatih Westerling

DI/TII, inisial "I"-nya identik dengan simbol cita-cita ideologis: mendirikan negara Islam. Namun siapa nyana, "I"-nya juga ada kaitan dengan operasi intelijen Belanda. Bahkan Westerling adalah pelatih militer mereka.

DI/TII digarap oleh Jenderal Spoor bersama milisi Bambu Runcing sebagai kepanjangan tangan dan menjadi boneka Belanda untuk bersama-sama menyerang TNI. Kapten Raymond Westerling, yang saat itu baru saja melakukan pembantaian di Sulawesi Selatan (1947), ditunjuk sebagai pelatih militernya.

Suatu langkah yang sangat riskan, namun menurut penyusun nota rahasia Bureau Algemene Zaken van de Directie Beleidszaken Indonesië (Biro Urusan Umum Direktorat Urusan Kebijakan Indonesia), Kementerian Luar Negeri Belanda, Jenderal Spoor saat itu tidak punya opsi lain.

"Langkah ini, mengingat keadaan perang yang mendominasi saat itu, tidak hanya dimungkinkan, tapi juga dibolehkan demi mencegah pertumpahan darah yang tidak perlu (di pihak Belanda)," demikian tulis promovendus Fredrik Willems, MA ketika sedang melakukan riset untuk penyusunan biografi Kapten Raymond Westerling, seperti dikutip detikcom dari NRC Handelsblad (23/11/2013).

Westerling sendiri ketika itu telah dinonaktifkan setelah peristiwa Pembantaian Sulawesi Selatan dan pasukannya Korps Speciale Troepen (Korps Pasukan Khusus) dibubarkan pada Oktober 1948.

Selanjutnya Westerling menjalani hidup sebagai warga sipil di Pacet, kawasan Puncak. Untuk menghindari kecurigaan, dia mendirikan perusahaan angkutan.

Westerling dinilai tepat untuk tugas memberi pelatihan militer pada DI/TII. Namanya yang terkenal sebagai komandan pasukan khusus, dengan reputasi di Sulawesi Selatan, dianggap dapat mengundang rasa gentar dan sekaligus kekaguman di pihak Republik.

Untuk itu dia merangkul Amir Fatah, komandan militer TII, yang aktif beroperasi terutama di wilayah perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah.

Proses selanjutnya bergulir seperti telah dirancang, Fatah dan pasukannya menghentikan serangan-serangan terhadap Belanda. Dia berbalik mengerahkan pasukannya menyerang TNI pada akhir 1948.

Selain itu, melalui Fatah juga bisa dilakukan kontak dengan Kartosoewirjo, yang akhirnya juga berbalik haluan. Pasokan senjata kepada DI/TII pun ditingkatkan. "Dengan demikian di seluruh wilayah yang dikuasai DI/TII berkembang keadaan di mana seragam dan Bendera Belanda dihormati," bunyi kutipan dari nota.

Koalisi dengan DI/TII dan disokong Bambu Runcing ini dicatat sebagai sukses besar. Kepada pihak luar, mereka tetap menunjukkan sikap anti-Belanda, tetapi diam-diam semua aksi kedua kelompok ini dikoordinir secara langsung oleh Westerling.

Hasilnya, pada awal 1949 TNI mulai mengalami berbagai kekalahan strategis di Jawa Barat. Pada saat bersamaan tekanan pada pasukan Belanda mulai berkurang. Kartosoewirjo pun terus memperluas pengaruhnya di Jawa-Barat.

Namun aliansi kelompok ini mulai tak terkendali ketika Jenderal Spoor secara mendadak meninggal dunia pada 25 Mei 1949 di Batavia.


Umumnya aksi kekerasan Westerling, baik di Kota Medan, Sulawesi Selatan dan Jawa Barat adalah upaya untuk membenamkan Indonesia di mata internasional. Dengan cara membunuh para pemuda dengan sangat mudah, dalam hal ini akan sangat rendah kepercayaan terhadap pemerintahan yang baru lahir. Karena sebagai Republik yang baru lahir tidak mampu melindungi segenap rakyatnya, tidak mengherankan bahwa banyak pihak Republik kemudian membelot kepada Belanda, atas keyakinan Republik tidak akan pernah ada lagi.


Referensi

    1. "Demoratisch-Sosialitisch Dagblad" Surat Kabar Het Vrij Vlok: 27 November 1987, No. 3.
    2. "DI/TII Ternyata Antek Jenderal Spoor? (1)" news.detik.com 29 Nov 2013 09:14 WIB Diakses 29 November 2021.
    3. "DI/TII Dilatih 'Si Jagal' Westerling (3)" detik.com 29 Nov 2013 10:30 WIB Diakses 29 November 2021.
    4. Oostindie. Gert. 2016. "Soldaat in Indonesië 1945-1950: Getuigenissen van een oorlog aan de verkeerde kant van de geschiedenis." Versi Bahasa Indonesia "Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950: saksian  perang  pada  sisi  sejarah  yang  salah  /  Gert
      Oostindie  bekerja  sama  dengan  Ireen  Hoogenboom  dan  Jonathan  Verwey;"
      Terj. Susi Moeimam, Nurhayu Santoso, dan Maya Sutedja-Liem;   Cet. 1 – Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia; KITLV-Jakarta, 2016. kitlv.nl Diakses 28 November 2021.
    5. Hasibuan, Yandi Syaputra. 2021. "Aksi Kekerasan Westerling di Kota Medan." Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara. usus.ac.id Diakses 29 November 2021.
    6. Hidskes, Maarten. 2018. "Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya: Korban Metode Westerling di Sulawesi Selatan 1946-1947, Jakarta: YOI 
    7. Limpach, Remy. 2019. "Kekerasan Ekstrem Belanda di Indonesia: Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949." Jakarta: YOI.
    8. Matanasi, Petrik. 2007. "Westerling: Kudeta yang Gagal." Yogyakarta: Media Pressindo. 
    9. Matanasi, Petrik. 2012. "Sang Komandan." Jakarta: Terompet Book.
    10. Onghokham. 1987. "Runtuhnya Hindia Belanda." Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
    11. "The East: Film yang Membuka Perspektif Baru Sejarah Indonesia-Belanda" republika.co.id 08 Aug 2021 15:10 WIB Diakses 29 November 2021.
    12. "5 Fakta Film The East atau De Oost, Babak Sejarah Bangsa Soal Aksi Westerling yang Dinilai Lebih Jujur" oleh Yusuf Wijanarko - Pikiran-rakyat.com 11 Agustus 2021, 18:48 WIB. Diakses 29 November 2021.
    13. "23 Januari 1950: Pasukan Westerling Garang di Bandung, Loyo di Jakarta" Oleh: Petrik Matanasi - 23 Januari 2018. tirto.id Diakses 29 November 2021.
    14. "Film De Oost dan Bagaimana Palmyra Westerling Membela Ayahnya." Oleh: Petrik Matanasi - 18 Mei 2021. tirto.id
    15. Oostindie, Gert. 2016. "Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950: Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah." Jakarta: YOI.
    16. Reid, Anthony. 1987. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra. Jakarta: Sinar Harapan.
    17. ______. 2011. Menuju Sejarah Sumatera: Antara Indonesia dan Dunia. Jakarta: YOI.
    18. ______. 2012. Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional. Jakarta: Komunitas Bambu.
    19. ______. 2014. Sumatera Tempo Doeloe: dari Marco Polo sampai Tan Malaka. Depok: Komunitas Bambu.
    20. ______. 2018. Indonesia, Revolusi, dan Sejumlah Isu Penting. Jakarta: Prenada Media 
    21. Ricklefs, M.C. 2017. "Sejarah Indonesia Modern." Yogyakarta: UGM Press.
    22. "Metode Brutal Raymond 'The Turk' Westerling: Sisi Gelap Dari Sebuah Perang Anti Gerilya ". sejarahmiliter.com Diakses 29 November 2021.
    23. Suprayitno. 2001. "Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia." Yogyakarta: YUI.
    24. Triyana, Bonnie . 2019, “Drama Sebabak Lelaki Stambul” dalam (Ed. Hendri F. Isnaeni) Westerling: Aksi Brutal Sang Jagal, Jakarta: Buku Kompas 
    25. Venner, Dominique. 1982. "Westerling De Eenling." Amsterdam: Uitgeverij Spoo
    26. Westerling, Raymond. 1952. "Challenge to terror." London: William Kimber.
    27. "Willems membongkar mitos Westerling" oleh Joss Wibisono indonesiana.id 27 April 2019 20:06 WIB Diakses 28 November 2021.
    28. Zed, Mestika. 2010. “Kasus  Sumatera  Timur”,  dalam  (Ed.  Taufik  Abdullah)  Indonesia Dalam Arus Sejarah: Perang dan  Revolusi,  Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
Baca Juga

Sponsor