Cari

Sajarah Cijulang | Naskah Kesusastraan Sunda


 

[Historiana] "Sajarah Cijulang" adalah naskah  Sunda yang sekarang terdapat pada koleksi Bagian Naskah Museum Nasional, Jakarta, dengan nomor katalogus SD 206B. Naskah tersebut berasal dari koleksi C.M. Pleyte, peti nomor 121. Tebalnya 37 halaman, ditulis dengan huruf Latin, dalam bentuk prosa. 

Masih sedikit penelitian tentang naskah Sajarah Cijulang. Naskah Sajarah Cijulang masih digunakan atau dibacakan secara rutin oleh masyarakat Cigugur, kabupaten Pangandaran pada bulan Muharam, bulan Maulud, dan pada malam-malam kliwon tertentu, tapi masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui keadaan dan isi naskah ini. 

Sekalipun disebut "Sajarah", naskah ini merupakan salah satu karya sastra, namun bisa mengungkap nilai-nilai budaya lama sebagai langkah dalam memelihara budaya nasional, serta untuk mengenal hasil pemikiran masyarakat jaman dulu.  

Alur cerita Sajarah Cijulang menggunakan alur maju yang dibagi menjadi beberapa episode. Karakter dalam naskah Sajarah Cijulang merupakan tokoh-tokoh fiksi dan tokoh-tokoh sejarah. Latar yang ada dalam cerita Sajarah Cijulang merupakan tempat-tempat yang ada disekitar daerah Cijulang. Dalam naskah Sajarah Cijulang ditemukan 59 unsur semiotik yang meliputi ikon 8,5%, indeks 59,3%, simbol 32,2%. Dari hasil analisis naskah Sajarah Cijulang ditemukan 146 nilai etnopedagogik yang meliputi nilai etnopedagogik moral kemanusiaan 45,2%, gapura panca waluya 32,9%, dan catur jatidiri manusia 21,9%.

Isi naskah dimulai dengan cerita penciptaan bumi, langit, bintang, matahari, bulan, lautan, gunung, kayu, batu, dan segala isi alam raya lainnya. Setelah itu, diceritakan tentang penciptaan Nabi Adam (yang kemudian diperintahkan Allah menunggui pohon khuldi), diusirnya Idajil ke dunia karena tidak mau menyembah Adam (yang kemudian oleh Jibril ditempatkan di Sunyalengis), diciptakannya Babu Hawa dari seberkas sinar yang keluar dari rusuk kiri Nabi Adam (bersamaan dengan itu, keluar pula sepotong kecil besi sebesar jarum cina yang kemudian jatuh di Ujung Kulon).

Dengan berbagai akal, Idajil bisa kembali ke surga dan kemudian menggoda Adam dan Hawa, sehingga keduanya makan buah khuldi yang terlarang itu. Kasalahan mereka diampuni Allah, tetapi keduanya harus meninggalkan surga. Adam diturunkan di Gunung Cikahuripan, sedangkan Babu Hawa di Gunung Undat Putih. Namun atas kehendak Allah, keduanya bertemu di Gunung Mesir. Mereka mempunyai anak sebanyak 40 orang.

Terdapat silsilah panjang, mulai dari Nabi Adam sampai kepada Pangeran Rajadiningrat di Cirebon yang beristrikan Ratu Perwatasari anak raja Mesir. Pertemuan Bagawat Sang Sri (dari Ujung Kulon) dengan raja Mesir menyebabkan terjadinya padi, yang keluar dari kuburan seorang bayi perempuan. Tumbuhan itulah yang dibawa Ratu Perwatasari ke Medang Kamulyan di Nusa Jawa, hanya ditanam jawawut.

Diceritakan pula tentang perjodohan Nyai Rarawisa, anak Ratu Barahma, dengan Jakatawa. Mereka memperoleh seorang anak, tetapi anak tersebut kemudian meninggal. Dari kuburannya tumbuh pohon samidang, sedangkan tembuninya menjadi binatang penyengat yang hidup di laut. Galuh diceritakan mulai dari kisah Dewi Rara, anak Kiyai Sadana, yang kemudian menikah dengan Kiyai Jaya Keling. 

Pembacaan Sejarah Kacijulangan Kembali Digelar
seputarpangandaran.com
 

Pada waktu terjadi banjir besar, zaman Nabi Nuh, yang merendam seluruh permukaan bumi, Ratu Galuh menciptakan sebuah gunung yang sangat tinggi sehingga rakyatnya dapat diselamatkan. Setelah air surut, mereka turun dan kemudian bermukim di Bojonglopang. Gunung ciptaan Ratu Galuh dipanah malaikat sehingga hancur berhamburan. Ratu Galuh mempunyai tiga orang anak, yaitu Kiyai Gede Hariang Bangah, Sang Prabu Ciung Wanara, dan Ratu Marajasakti. Hariang Bangah memerintah Majapahit (disertai silsilah keturunannya), Prabu Ciung Wanara memerintah Pajajaran (disertai silsilah keturunannya) dengan julukan Ratu Sunda. Sebagian di antara nama-nama itu disertai dengan wilayah kekuasaannya. Sembah Jang Langas anak Sunan Rajamandala, disebut sebagai penguasa atau leluhur Cijulang. la berputra sepuluh orang. 

Anak Sunan Rajamandala yang lainnya, yang bernama Liman Sanjaya, memerintah daerah Limbangan. 

Keturunannya berturut-turut disebut Sanghiang Wiraga yang bertapa di Gunung Madeyasukma, Batara Ami Hiang Sepak Waja yang beristrikan Nyai Batara Ari, anak Puaci Rababu; Sareupeun yang menguasai daerah Cipancur (dengan silsilah keturunannya); Kiyai An Sancang anak Ratu Mandapa, yang mempunyai anak Kyai Istri Amurhalin yang bersuamikan Kiyai Jalarang dari Kampang; Kiyai Munding Singa yang berputra Sunan Ulun; Raw Galarabi yang bersuamikan Kiyai Batara Retih, yang menurunkan raja-raja Sumedang. Disebutkan bahwa Kerajaan Pajajaran runtuh pada hari Selasa, tanggal 14 Safar, tahun Jim Akhir.

Disebutkan pula dua orang putri Pajajaran, yaitu Nyai Pucuk Umun yang kemudian dipelihara oleh Raw Wetan dan Nyai Sekar Mandapa yang bertapa di Gunung Gede bersama Ajar Sukarasa. Melalui hubungan tidak langsung dengan Ajar Sukarasa, Putri Sekar Mandapat melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Nyai Putri Tanduran Gagang. Putri Tanduran Gagang berganti-ganti suami. La diperistri oleh Pangeran Jakerta, Pangeran Cirebon, Pangeran Mataram, seorang nakhoda, clan seorang nakhoda lain yang kedua-duanya tidak disebut namanya, sampai akhirnya diambil oleh raja Belanda dengan beberapa syarat dari pihak sang putri.

Dikemukakan pula silsilah keturunan Prabu Siliwangi dengan Permaisuri Padnawati, di antaranya adalah Sunan Borosngora yang berdiam di Panjalu dan seorang lagi yang bermukim di Rajapolah. Dan Ratu Komara, Prabu Siliwangi menurunkan raja-rja Sumedang. Sedangkan dari Permaisuri Padnalarang, Prabu Siliwangi mempunyai keturunan tujuh orang, salah seorang di antaranya bermukim di Limbangan.

Tersebut pula Marajasakti yang mempunyai tujuh orang anak, yang namanya disebut saw per satu beserta daerah kekuasaannya dan kemudian terdapat silsilah Sayidina Zaenal Abidin dan Prabu Haurkuning. Salah seorang anak Prabu Haurkuning yang bernama Sanghiang Galuh bermukim di Galuh.

Aki Gede adalah kakak tertua Sembah Pati, Sembah Jang Raga, Sembah Jang Singa, clan Sembah Jang Lngas (leluhur Cijulang). Aki Gede dianggap sebagai leluhur Kedungrandu. La mempunyai seorang anak perempuan yang teramat molek, yang telah tujuh kali diminta oleh Kangjeng Sinuhun untuk diperistri. Karena hidupnya selalu terancam, Aki Gede bersama para pengikutnya lalu menyingkir. Di tempatnya yang baru, yaitu Kawasen, Ia membuka perkampungan.

Tidak lama kemudian mereka lalu pindah lagi, berturut-turut ke Cikaso, Kalemba, Bojongkelor, clan Binangun. Ke tempat terakhir mi datanglah utusan Kangjeng Sinuhun yang ditugaskan mencari Aki Gede. Setelah diketahui berada di wilayah Sikapura, Aki Gede dititpkan oleh Kangjeng Sinuhun kepada Dalem Sukapura, tetapi dengan syarat jangan diberi pekerjaan apa pun.

Aki Gede berkali-kali mencari tempat yang lebih cocok untuk bakal negara. Akhirnya, menetap di Gurago dan membangun tempat itu. Di situ ia mengawinkan anaknya.

Setelah lama bermukim di sana, ia bermaksud menyatakan terima kasih kepada Dalem Sukapura yang bernama Dalem Tambela dengan jalan mengutus menantunya. Kegelisahan baru timbul karena dalem tersebut ternyata mengingini anak Aki Gede itu. Setelah berunding, akhirnya perempuan yang selalu jadi rebutan itu diserahkan kepada  dalem Sukapura, sedangkan suaminya pergi menemui ayah angkatnya yang berdiam di Banyumas. Setelah memperistri anak ayah angkatnya, kembali ke Ciamis, lalu ke Gurago, clan menyebut dirinya sebagai Ranggasangsang.

Tersebut Sembah Agung (yang kemudian dipandang sebagai leluhur Taal), yang berasal dari Cihaur, berkelana sampai ke Sukapura. Di sana ia berhasil membuat telaga Cimawate atas permintaan Dalem Tambela. Sebagai upahnya, ia memperoleh seorang putri dalem yang sedang bersuamikan Raden Haji. Oleh Sembah Agung, putri itu diserahkan kepada Sinuhun Solo. Tetapi, kemudian dikembalikan karena putri itu sedang mengandung. la melahirkan bayi kembar, yang kedua-duanya menghilang, sesaat setelah dilahirkan. Kedua anak mi berkali-kali memperlihatkan diri, tetapi setiap muncul selalu dengan nama yang berlainan.

Isi naskah ditutup dengan pemaparan tentang orang-orang yang dianggap sebagai leluhur Cijulang. 

Referensi

  • "Ensiklopedia Sastra Sunda" hal 40-47. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997.
Baca Juga

Sponsor