Cari

Adat Istiadat dan Kepercayaan Mahluk Gaib di Sunda | Seri Kuntilanak

[Historiana] -  Fenomena keberadaan mahluk halus di Indonesia sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat, termasuk di Sunda, suku yang tinggal di Jawa Barat dan Banten. Sebagian masyarakatnya masih hidup dengan cara adat istiadat dan tradisi peninggalan leluhur.

Berbagai aktivitas kehidupan dalam pelaksanaannya tidak lepas dari keyakinan akan keberadaan mahluk halus. Disebut demikian karena karakternya yang halus sehingga tidak dapat terlihat, dalam Islam disebut sebagai gaib; yang berarti tidak kelihatan atau tersembunyi.


Selain Tuhan yang Maha gaib, dikenal pula mahluk halus lain seperti, malaikat, jin, setan (pengaruh Islam), dewa-dewi, karuhun atau arwah leluhur serta jurig. Jurig adalah terminologi bahasa Sunda yang khas disematkan pada hantu dengan beragam variasinya. Istilah jurig merupakan bentuk ujaran komunikasi dan ekspresi pengetahuan yang menunjukan kepercayaan masyarakat Sunda pada keberadaan mahluk yang absen secara fisik namun hadir dalam kepercayaan.

Sebelum Islam datang dengan ajaran iman pada mahluk gaib, keyakinan akan adanya mahluk halus sudah hadir sejak zaman Hindu-Budha, bahkan zaman sebelumnya. Dalam berbagai adat istiadat dan tradisi mulai dari tradisi orang melahirkan, khitanan, pernikahan, hingga orang meninggal, terdapat berbagai cara untuk menangkal/menghilangkan kesulitan atau keburukan dalam kehidupan sehari-hari, dianggap karena gangguan mahluk halus.

Orang Sunda pada awalmya melihat alam sebagai satu kesatuan dari tiga dunia. dalam naskah Sunda pada kropak 422, yang berisi tentang kosmologi Sunda Kuna (perpaduan Sunda-Hindu dan Budha) disebutkan bahwa alam raya ini terbagi menjadi tiga dunia, yakni sakala ‘dunia nyata’, yang dihuni oleh mahluk yang memiliki jasmani dan rohani, di antaranya manusia, tumbuhan dan benda lain yang dapat dilihat, bergerak dan diam. Kemudian Niskala ‘dunia gaib’, yang dipercaya dihuni oleh berbagai mahluk tak berjasad anasir-anasir halus, berupa dewa-dewi, bidadara-bidadari, apsara-apsari, ruh-ruh netral yang disebut sebagai syanu, bayu, sadap, dan hedap. Serta jantiniskala yakni dunia kegaiban sejati, yang dihuni oleh dzat yang Maha Tunggal disebut sebagai Sanghyang Manon. Dzat yang maha Pencipta disebut sebagai Si Ijunajati Nistemen, pencipta batas tapi tak terkena batas. (Darsa dan Ekadjati, 2006: 25). Dalam gambaran tersebut manusia Sunda awalnya percaya bahwa mereka tidak tinggal dengan jenisnya sendiri, terdapat mahluk lain (mahluk halus) yang biasanya disebut sebagai lelembut dan lelembutan.

Lelembut adalah mahluk halus yang bukan berasal dari manusia artinya sudah ada sebelumnya, sedangkan lelembutan berasal dari arwah manusia yang sudah meninggal. Dalam sifatnya ada yang baik dan ada yang jahat, yang baik bersifat melindungi dan yang jahat bersifat menganggu. Pada kategori tempatnya ada yang tinggal di darat-tanah (hutan, gunung, gua, kuburan), langit, air (sungai, danau, sawah, kolam, rawa dan sumur), di pohon (beringin, kamboja, cempaka, kenanga dan lain-lain). Beberapa ada yang bersifat ngageugeuh (mendiami dan menguasai) suatu tempat dan sangat kultural artinya dipercayai sehingga muncul berbagai adat istiadat dan tradisi untuk menjauhkannya.

Menurut Kasmana, dkk (2016) terdapat ragam lelembut dan lelembutan yang diyakini oleh masyarakat Sunda (Jawa Barat dan Banten) saat ini. Data ini didapatkan melalui survei dan wawancara di berbagai daerah  di  Jawa  Barat,  serta  bermacam literatur. Lelembut yang dianggap baik diantaranya: Guriang,  Buta (kepercayaan urang Kanekes), Dangiang, Nyi Pohaci, Nini dan  Aki  Maranak, Dedewa, Nyi Rangga Manik. Sedangkan lelembut jahat diantaranya: Jurig Kuris, Jurig Teu Ngalahir, Jurig Tanpa  Daksa, Jurig  Kuluhu, Sungke  Buana, Gajah  Kuntianak, Jungjang Lawayan (ke 7 hantu ini dipercayai  oleh masyarakat Kanekes hingga saat ini), Jurig Jarian, Genderuwo, Jurig Cai (tiga jenis di antaranya Titi Mangsa, Kala Mangsa dan Kili Mangsa), Sandekala, Kelongwewe, Kiciwis, Jurig Siit, Jurig Gonggo, Jurig Aden-aden, Lulun Samak, Jurig Balukang, Jurig Bulak, Jurig Conge, Jurig Kamangmang, Jurig Bagong, Kecit, Jurig Kancing, Buta Hejo, Jurig Monyet Bodas, Jurig Ipri, Jurig Aul, Kerod, Batara Kala, Siluman Gunung, Siluman Rawa, Dedemit, Rengkenek, Cabol, Loklok,  Bungaok, Colek-colek, Banaspati, Jurig Kerud, Wiangga, Hantu Geni, Hantu Banyu, Tongtohot, Dongkol dan lain-lain. Sementara  itu  lelembutan  baik  di antaranya Meong, Karuhun, Nyi Roro Kidul, Sang Hyang Kalang, Nini dan Aki Paranak. Sebaliknya lelembutan jahat diantaranya: Ririwa,  Rabeg,  Bobongkong, Kuntianak, Kuntilalakina, Centring Manik, Siluman Hileud, Baralak, Pajaratan dan Jurig Awi. Semua hantu tersebut memiliki kekhasan dalam hal karakter, sifat dan kelakuan. Terdapat di setiap daerah, dan ada cara untuk menjauhkannya.

 

Kuntilanak

Kuntianak dalam adat istiadat Sunda disebut sebagai arwah gentayangan dari wanita yang meninggal ketika akan melahirkan atau ketika meninggal sedang mengandung bayi, namun karena salah dalam memperlakukan jenazah ketika dikubur atau akan dikubur. Cerita tentang fenomena Kuntianak ini hadir di sebagian besar masyarakat.

Kepercayaan akan benarnya cerita ini masih ada di antara mitos dan realitas. Hadir turun temurun di masyarakat, sebagai sastra lisan, adat istiadatnya masih dipakai sebagian masyarakat.

Berikut ini ikhwal tentang kehadiran Kuntianak dalam adat istiadat:

  • Pada saat hamil usia kandungan 8 bulan, terdapat isyarat (daun-daunan dan biji-bijian) di antaranya: panglay (Zingiber cassummanar), jaringao (Acorus calamus), daun salam (Syzygium polyanthum.), jukut palias (Pogonatherum crinitum thunb) yang disimpan di dalam kamar orang yang akan melahirkan. Dijaga juga dengan padika (ikhtiar optimal), palakiah (syarat untuk menolak bahaya), tarekah (mencari akal untuk keselamatan) serta kias (membantu orang yang melahirkan dan yang dilahirkan) supaya dijauhkan dari gangguan setan terutama kuntianak serta hantu lain yang ditakuti. (Mustapa, 2010: 24)
  •  Jika saat hamil si ibu meninggal dan bayinya terbawa mati atau meninggal saat melahirkan, maka disebut-sebut meninggal karena gangguan kuntianak, maka cara menguburkan si ibu yakni pada kain kafannya di bagian tangan harus dijahit serta jarum yang digunakan untuk menjahit di kubur bersama si ibu. Hal ini dilakukan supaya si ibu tidak menjadi kuntianak. Kemudian di pojok-pojok rumah keluarga yang meninggal disiapkan upih yakni pelepah daun pinang yang dirancang menjadi keris mainan, kemudian diberi motif belang dengan kapur seperti ular yang disatukan dengan daun nanas dan rumput palias agar dijauhkan dari gangguan kuntianak, terutama si ibu yang meninggal. (Soeganda, 1982: 43).
  • Menurut Soeganda (1982: 33) Kuntianak itu tinggal di hulu sungai, tempat orang mandi, di pohon-pohon tepi sungai, kemudian di daratan Kuntianak menyukai pohon yang harum bunganya seperti Cempaka, Pacar Cina, Kenanga atau pohon yang teduh dan yang dijalari tumbuhan lain atau akar yang menjalar yang dapat dipakai sebagai tempat berayun-ayun karena Kuntianak senang sekali bermain ayunan.
  • Kuntianak wujudnya adalah wanita dengan rambut terurai menutupi punggungnya yang berlubang menurut kepercayaan di Sunda sangat takut dengan jala dan sirih. (Surjaman, 1962: 24) Kuntianak kata orang seperti orang perempuan, rambutnya terurai, punggungnya berlubang seperti lesung. (Soeganda, 1982: 33) ”Kuntianak datangna biasana bau hanyir, awewe, rambutna panjang, jeung tonggongna bolong” artinya kehadiran kuntianak biasanya ditandai dengan bau amis, perempuan berambut panjang dan punggungnya berlubang. (Didin: 2015) Kuntianak asalnya adalah wanita yang meninggal karena bayi yang dikandungnya sulit keluar dari rahim. (Danadibrata, 2009:375.)

    Sedangkan menurut Soeganda (1982: 33) asal Kuntianak itu dari orang mati waktu mengandung atau waktu bersalin, ruhnya akan menjadi kuntianak.

    Menurut Didin (2015), “kunti teh awewe anu maot pas keur ngandung orok, dikuburkeun samanea” artinya Kunti itu wanita yang meninggal saat sedang mengandung bayi, dikuburkan asal-asalan.
  • Menurut Mustapa (2010: 27) dalam adat istiadat mengurus perempuan yang meninggal waktu melahirkan atau sedang hamil maka kain jari-jari tangan perempuan itu harus dijahit, jarumnya harus ditusukkan ke kain tersebut dan dikubur bersama orang yang meninggal, agar tidak menjadi Kuntianak. Jarum menjadi benda yang dekat dengan keberadaan Kuntianak. 
  • Kuntianak itu tinggal di hulu sungai, tempat orang mandi, di pohon-pohon tepi sungai, kemudian di daratan Kuntianak menyukai pohon yang harum bunganya seperti Cempaka, Pacar Cina, Kenanga, Kemboja atau pohon yang teduh dan yang dijalari tumbuhan lain atau akar yang menjalar yang dapat dipakai sebagai tempat berayun-ayun karena Kuntianak senang sekali bermain ayunan. (Soeganda, 1982: 34)
  • Terdapat mantera agar Kuntianak menjauh menurut Soeganda (1982: 33) sebagai berikut:

    “Sangiang Sangandangan, Sangiang Sagendér Upih, ulah rék sinigawé ka urang manusia, manusia madia-pada, aing weruh ngaran sia, Nyi Godru, Nyi Buludru, Nyi Dangdang Saérang, Sang Suing Kaléandap, bek mati Sang Kunti-Anak, hurip ku Sang Anak-anak, Si Lunggupung ngaran indung, Ki Daleungdang ngaran bapa, anta maja anta guna, babu dayang sabrang kélong.”

    Dalam Etti RS, dkk. (2012: 190) terdapat jampi mengusir kuntianak “Bismillahirrahmaanirrahiim Sitéké putih sitaka putih sitoko putih aing nyaho siperbakat ratu sia nu sakeclak putih”
  • Orang yang mengandung darah (kehamilan yang masih muda) diberikan jimat oleh dukun beranak berupa ikat pinggang yang terbuat dari secarik kain berisi panglay (Zingiber cassummanar), rumput palias (Pogonatherum crinitum thunb), serta sedikit kemenyan. Kain yang digunakan adalah kain yang dibacakan hikayat Abdul Kadir Jaelani. Fungsinya menolak gangguan mahluk halus dan tolak bala (Soeganda, 1982: 20)
 Melalui gambaran tersebut apakah mahluk halus Sunda termasuk ke dalam sebuah realitas, yang kini juga diperdebatkan definisinya bahwa realitas adalah sesuatu yang dapat ditangkap oleh indera (sense), atau hanya yang bersifat fisik (Piliang, 2004: 55). Jika mahluk halus adalah sebuah realitas maka imaji kuntianak yang ada dalam budaya Sunda sebagai sebuah representasi dari konsep, pandangan, kepercayaan. Namun dalam gambarannya bisa jadi merupakan sebuah imaji perseptual, yang hadir dalam fikiran namun didasarkan pada sumber eksternal, karena bisa jadi bahwa apa yang digambarkan adalah hasil pengamatan, observasi dan wawancara, pengalaman dan bahkan hasil perjalanan spiritual. 

Sumber: Kasmana, Kankan., Setiawan Sabana, Iwan Gunawan dan Hafiz Aziz Ahmad. 2016. "Perwujudan Keyakinan akan Keberadaan Mahluk Halus dalam Komik Kawin ka Kunti". Jurnal Panggung Vol. 26  No. 3, September 2016. researchgate.net Diakses 5 April 2020.

Referensi

  1. Rokhmansyah, Alvian. 2014. "Studi dan Pengkajian Sastra: Perkenalan Awal Terhadap Ilmu Sastra". Yogyakarta: Graha Ilmu.
  2. Nurgiantoro, Burhan. 1995. "Teori Pengkajian Fiksi". Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  3. Etti R.S., Dkk. 2012. "Jangjawokan, Inventarisasi Puisi Mantera Sunda". Bandung: DISPARBUD JABAR.
  4. Sumardjo, Jacob. 2011. "Sunda Pola Rasionalitas Budaya". Bandung: Kelir.
  5. Soeganda, R.A.P. 1982 . "Adat Istiadat Sunda". Bandung: Penerbit Sumur Bandung.
  6. Danadibrata, R.A. 2009. "Kamus Basa Sunda". Bandung: Kiblat Buku Utama & Universitas Padjajaran.
  7. Surjaman, Ukun. 1962. "Kepertjajaan Orang Sunda terhadap 'Machluk Halus'”. Depok: FSUI, Universitas Indonesia
  8. Darsa, Undang A. dan Edi S. Ekadjati. 2006. "Gambaran Kosmologi Sunda". Bandung: Kiblat Buku Utama.
    Piliang, Yasraf Amir. 2004. "Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Postmetafisika". Yogyakarta: Jalasutra

Baca Juga

Sponsor