Cari

Kabuyutan: Bagaimana Sistem Pendidikan Zaman Kerajaan Sunda?


 

[Historiana] -  Oleh Alam Wangsa Ungkara. Dalam Kropak 406 (Carita Parahyangan) pun ada gambaran penguasa Sunda yang berdedikasi tinggi pada kehidupan keagamaan sekaligus kegiatan literasinya, yaitu Prebu Niskala Wastukancana. Pada masa Kerajaan Sunda diperintah oleh raja yang merupakan adik Dyah Citraresmi yang gugur di Bubat, Kerajaan Sunda mengalami kejayaan. Salah satu bukti kejayaannya: sang resi dapat tenteram melaksanakan tugas kependetaannya, menjalankan kebiasaan leluhur ... dan sang wiku tenteram melaksanakan atau menunaikan undang-undang dewa (Sang resi enak ngaresianana, ngawakan na purbatisti purbajati .... Sang wiku enak ngadewasasana, ngawakan sanghyang Watangageung, enak ngadeg manurajasunyia).

Kabuyutan-kabuyutan yang dikenal selama ini antara lain: Kanekes (Banten), Koleang, Jasinga (Bogor), Sanghyang Tapak (Sukabumi), Sunda Sembawa dan Jayagiri (Bekasi?), Cisanti (Bandung), Wanareja dan Ciburuy (Garut), Galunggung (Tasikmalaya), dan Kawali (Ciamis). Dari sekian nama kabuyutan itu yang dikenal sebagai tempat penulisan NSK, karena secara jelas atau tertulis dalam NSK atau tempat diperolehnya sejumlah NSK seperti yang diinventarisasi oleh Gunawan dan Holil (2010), yakni Kabuyutan Ciburuy dan Kabuyutan Wanareja di Garut, Kabuyutan Kawali di Ciamis, Kabuyutan Cisanti di Bandung, dan Kabuyutan Koléang, Bogor.

Dari Kabuyutan Koleang antara lain ditemukan NSK Kropak 1095 (Langgeng Jati), 1097 (Carita Jati Mula), 1099 (Pakéeun Raga), 1101 (Sasana Sang Pandita), 1102 (Para Putera Rama dan Rahwana), 1103 (Serat Jati Niskala), 1104 (Primbon), jeung Kropak 105. Ti Cisanti, Bandung, aya Kropak 620 (Tutur Bwana), 621 (Sanghyang Sasana Maha), 622 (Warugan Lemah), 623 (Bimaswarga), 624 (Sanghyang Siksa Kandang Karesian), 625 (Sri Ajnyana), dan Kropak 626 (Sanghyang Swawar Cinta).

Dari kabuyutan yang ada di Garut, antara lain ditemukan NSK Kropak 610 (Pitutur ning Jalma), 633 (Siksa Guru), 634 (Sanghyang Hayu), 635 (Sanghyang Hayu), 636 (Sanghyang Hayu), 637 (Sanghyang Hayu), 638 (Sanghyang Hayu), 639 (Serat Buana Pitu), 641 (Arjunawiwāha), dan Kropak 642 (Siksa Guru). Ke sebelah timurnya, ke Ciamis, ditemukan Kropak 406 (Carita Parahyangan & Fragmen Carita Parahyangan), 407 (Carita Raden Jayakeling), 408 (Kawih Panyaraman), 409 (Kapaliasan), 412 (Fragmen Carita Parahiyangan), 413 (Ajaran Islam), 414, 415 (Mantra Darma Pamulih), 416 (Carita Purnawijaya), 418 (Nur Illahi), 422 (Jatiniskala), 423 (Carita Purnawijaya), Naskah Bambu 426 B (Kaleupasan), Naskah Bambu 426 C (Sanghyang Jati Maha Pitutur), 630 (Sanghyang Siksa Kandang Karesian), dan Kropak 631 (Candrakirana).

Pada tataran praktisnya, menurut Edi S. Ekadjati, ada tiga jenis kegiatan yang dilakukan di kabuyutan. Pertama, melakukan upacara ritual. Kedua, melaksanakan pendidikan. Ketiga, mendalami dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan (agama). Jenis kegiatan pertama antara lain dalam bentuk mendoakan raja serta pejabat negara dan rakyat pada umumnya, menyelenggarakan dan memimpin upacara ritual, dan membaca teks-teks keagamaan. Untuk keperluan itu pejabat negara dan masyarakat umum sering datang ke kabuyutan dan sebaliknya penghuni kabuyutan sering pula diundang ke wilayah negara. Mengajarkan pengetahuan agama, mendidik anak-anak calon pendeta, memberi nasihat orang, memberi contoh cara hidup di mandala termasuk jenis kegiatan kedua (pendidikan).

Anak-anak dan orang muda yang memilih kegiatan keagamaan sebagai jalan hidupnya memasuki kompleks dan menjadi siswa (sisya) di kabuyutan untuk menerima berbagai ilmu pengetahuan (agama) dan tata cara hidup sebagai penghuni kabuyutan . Mendalami ilmu pengetahuan (agama), mengarang suatu ilmu pengetahuan, dan menulis naskah (asli atau salinan) tergolong kegiatan intelektual.

Selanjutnya Ekadjati menjelaskan mengenai bahan ajar dan spesialisasi guru-guru yang ada di kabuyutan. Ia menjelaskan bahwa bahan ajarnya berupa berbagai pengetahuan agama (Hindu-Budha) dan ajaran hidup yang berasal dari intisari pengalaman, aturan, dan renungan para leluhur (patikrama). Berbagai pengetahuan tersebut telah dikuasai oleh para guru yang kemudian disampaikannya secara lisan dan tertulis kepada siswa-siswanya. Di antara guru-guru itu ada yang memiliki spesialisasi pengetahuan, seperti: brahmana menguasai aneka macam mantra, pendeta menguasai pustaka, janggan menguasai berbagai jenis upacara ritual, pratanda menguasi ilmu agama dan parigama.

Sebagaimana uraian Ekadjati di atas, hasil akumulasi ilmu pengetahuan tersebut, baik yang ada di kabuyutan sendiri maupun yang datang dari luar, kemudian diwujudkan dalam bentuk karya tulis. Media tulisnya terdiri atas beberapa jenis bahan (lontar, nipah, kelapa, aren, pandan, bambu), sedangkan alat tulisnya berupa pisau pangot, kalam, dan tinta. Penulisan itu merupakan tugas pendeta yang menjadi penanggungjawabnya.

Di sana juga terlihat lalu-lintas naskah antar satu kabuyutan dengan kabuyutan lainnya. Hal ini dimungkinkan oleh adanya rahib atau pendeta pengelana yang (berkelana?) sambil belajar dari satu kabuyutan ke kabuyutan lain, yang tidak hanya berada di Jawa Barat saja, namun ada juga yang berada di luar Jawa Barat. Jadi, memang terjadi penulisan, penyalinan, penerjemahan, penyaduran naskah-naskah yang dihasilkan dari daerah lain dan kemudian dibawa oleh para rahib pengelana tersebut ke Tatar Jawa Barat. Contoh rahib pengelana ini adalah tokoh Bujangga Manik atau Perebu Jaka Pakuan atau Ameng Layaran yang berkeliling Pulau Jawa dan Bali. Dari Jawa Barat, ke Jawa Tengah, Jawa Timur, dan melintasi Pulau Bali untuk belajar keagaamaan. Dalam perjalanan tersebut memang Bujangga Manik tidak terlepas dari naskah-naskah yang dibawa dan dibacanya.

Dengan kehadiran nama-nama tempat yang berkaitan dengan pulau dan laut dapat diduga bahwa, pada prinsipnya, yang diutamakan adalah keberjarakan dari dunia ramai. Seperti yang kita saksikan dari peri kehidupan Bujangga Manik yang dalam perjalanannya senantiasa mencari tempat-tempat sepi, karena keramaian itu akan terasa mengganggunya. Dalam beberapa adegan, misalnya, ia memang mencari tempat-tempat sepi.


Referensi

  1.  Atja (1968). "Tjarita Parahijangan Titilar Karuhun Urang Sunda Abad ka-16 Masehi." Bandung: Jajasan Nusalarang. 
  2. Atja (1970). "Ratu Pakuan: Tjeritera Sunda-Kuno dari Lereng Gunung Tjikuraj." Bandung: Lembaga Bahasa dan Sedjarah. 
  3. Buhler, George (1980). "Indian Paleography." New Delhi: Oriental Books Reprint Corporation
    Danasasmita, Saleh dkk. (1987). "Sewaka Darma (Kropak 408), Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630), Amanat Galunggung (Kropak 632): Transkripsi dan Terjemahan”. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi). Direktorat Jendral Kebudayaan Dep. Pendidikan Dan Kebudayaan Nasional 
  4. Darsa, Undang A. dan Edi S. Ekadjati (2003). “Fragmén Carita Parahyangan dan Carita Parahyangan (Kropak 406)”. Séri Sundalana 1: Tulak Bala. Bandung: Yayasan Pusat Studi Sunda (PSS). 
  5. Darsa, Undang A. (2007).“Carita Ratu Pakuan (Kropak 410): Suntingan dan Terjemahan Naskah Sunda”. Seri Sundalana 6: Menyelamatkan Alam Sunda. Bandung: Yayasan Pusat Studi Sunda. 
  6. Edi S. Ekadjati (2004, 20 Nopember). “Pendidikan di Tatar Sunda I”. HU Pikiran Rakyat. 
  7. Gunawan, Aditia & Munawwar Holil (2010). “Membuka Peti Naskah Sunda Kuna di Perpustakaan Nasional RI: Upaya Rekatalogisasi”. Seri Sundalana 9: Perubahan Pandangan Aristokrat Sunda. Bandung: Yayasan Pusat Studi Sunda 
  8. Hinzler, H. (1993). “Balinese Palm-Leaf Manuscripts”. BKI 149 No. 3.
  9. Kurnia, Atep. (2012). "Sinurat Ring Merega: Tinjauan atas Kolofon Naskah Sunda Kuna". Jurnal Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 hal 91-44 academia.edu Diakses 4 September 2022.
  10. Molen, W. Van der dan I. Wiryamartana (2001). “The Merapi-Merbabu Manuscripts: A Neglected Collection”. BKI 157 No. 1
  11. Munandar, Agus Aris (1991). “Kegiatan Keagamaan dalam Masyarakat Kerajaan Sunda: Data Prasasti dan Karya Sastra”. Makalah pada Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuan Pajajaran, Bogor, 11-13 Nopember.
  12. Noorduyn, J. & A. Teeuw (2009). "Tiga Pesona Sunda Kuna." Diterjemahkan oleh Hawe Setiawan, teks Sunda kuna oleh Tien Wartini dan Undang A. Darsa, dari Three Old Sundanese Poems (2006). Jakarta: Pustaka Jaya. 
  13. Pleyte, C.M. (1914). “Poernawidjaja‟s Hellevaart of de Volledige Verlossing”. TBG No. 56. 
Baca Juga

Sponsor