Cari

Kabuyutan Mahapawitra Gunung Raksa Pulau Panaitan #3 | Menelusuri 800 Kabuyutan Sunda

Arca Ganesha di Kabuyutan Mahapawitra
P Panaitan Banten. Foto: DetikOne.com
[Historiana] - Menelusuri 800 Kabuyutan yang tercantum dalam Naskah Sunda Kuno (NSK) sangat menarik dalam mengupas kesejaran Sunda. Naskah-naskah Sunda Kuno relatif lebih baru dipublikasikan. Sebagian besar baru terpublikasi akhir tahun 90-an. Contoh Naskah Sanghyang Sasana Maha Guru (SSMG) bahkan baru dipublikasikan tahun 2009 dengan Penerjemah dan trasliterasi oleh Aditia Gunawan.

Wajar jika masyarakat Sunda sekarang ini masih memegang kisah tutur tinular secara lisan berdasarkan kisah legenda dan dongeng.

Kabuyutan Mahapawitra tercantum dalam Naskah Sanghyang Sasana Maha Guru. Kita menyadari masih begitu banyaknya naskah Sunda kuna yang belum terbaca. Naskah sunda kuna yang tersimpan di Perpusnas RI umpamanya. Dari sekitar 55 naskah Sunda kuna yang disimpan di Perpusnas, hanya 15 naskah saja yang sudah diteliti, dan itu dilakukan dalam rentang waktu satu abad (dari akhir abad ke-19 sampai awal abad 21).

Sanghyang Sasana Maha Guru (selanjutnya disingkat SSMG) adalah sebuah teks  prosa Sunda Kuna yang berasal dari masa pra-Islam. Sejauh ini, teks SSMG terdapat dalam dua buah naskah lontar. Naskah pertama tersimpan di Perpustakaan Nasional RI di Jakarta dengan nomor koleksi L 621 peti 15 atau biasa disebut kropak 621, sedangkan naskah yang kedua ditemukan pada koleksi Ciburuy bernomor kropak 26. Dari kedua naskah tersebut, naskah yang berada di Jakarta kondisinya jauh lebih baik. Lempir-lempir naskah lengkap dan tidak ada yang hilang, kondisi fisiknya pun masih terawat dengan cukup baik, meski terdapat dua lempir yang patah.

Dalam kesempatan ini, uraian yang akan dipaparkan dalam makalah adalah teks SSMG dari naskah yang terdapat di Jakarta.  Naskah kropak 621 termasuk dalam koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta. Alas tulis naskah adalah daun lontar berukuran 34,3 x 3cm, meliputi 36 lempir atau 72 halaman. Satu halaman kosong, sehingga yang ditulisi hanya 71 halaman. Ditulis secara timbal-balik (recto-verso) dengan cara digores menggunakan péso pangot. Susunan lempir naskah telah acak dan tidak berurutan. Penomoran halaman menggunakan angka asli (aksara Sunda Kuna) mulai dari nomor 1 - 34, terletak di sebelah kanan teks setiap halaman verso. Kondisi fisik naskah cukup baik dan terawat, meski terdapat 2 lempir yang patah. Terdapat lubang-lubang kecil akibat ngengat pada banyak bagian naskah, tetapi secara keseluruhan teks masih dapat terbaca dengan jelas. Naskah ini belum dialih-mediakan, baik dalam bentuk mikrofilm maupun digital. Model aksara yang digunakan dalam naskah lontar nomor 621 adalah aksara Sunda Kuna.

Dari Naskah Sanghyang Sasana Maha Guru ini kita dapat mengetahui keberadaan Kabuyutan Mahapawitra. Pengarang (penyalin) juga mencatat bahwa teks ini selesai dikerjakan di sebuah wilayah yang disebut Desa Mahapawitra di Gunung Jedang. Perlu diketahui, bahwa  penyebutan Desa Mahapawitra sebagai tempat karya Sunda Kuna dihasilkan, juga disebut dalam teks Sunda Kuna yang lain, yaitu pada teks Sanghyang Hayu (kropak 634 dan 637) yang telah disunting oleh Undang A. Darsa dalam tesisnya (1998) dan Siksaguru (kropak 642) (belum diumumkan). Secara harfiah, mahapawitra berarti „sangat suci, sangat murni‟ (Zoetmulder, 2006: s.v maha dan pawitra). Mungkin sebutan ini hanyalah sebuah julukan untuk wilayah yang disucikan dan tidak merujuk wilayah tertentu. Tetapi, Bujangga Manik sempat mencatat nama Mahapawitra ketika ia berada di puncak Gunung Papandayan (Panénjoan). Matanya menerawang jauh, sambil menyebut nama-nama gunung yang ia lihat dari tempatnya berdiri.
Itu ta na gunung Raksa,
Gunung Sri Mahapawitra,
tanggeran na Panahitan

Itulah Gunung Raksa,
Gunung Sri Mahapawitra,
poros di Panahitan
(baris 1260-1262)
Keterangan di atas menunjukkan bahwa Sri Mahapawitra merupakan nama lain (atau julukan) dari Gunung Raksa, yang masih dikenal dewasa ini sebagai sebuah gunung di Pulau Panaitan. Pulau Panaitan adalah sebuah pulau yang menghubungkan Banten dan Sumatera. Pertanyaan yang kiranya dapat diajukan adalah, mengapa Gunung Raksa disebut sebagai gunung yang sangat suci (mahapawitra)? Pertanyaan tersebut  paling tidak dapat dijawab dengan membandingkan keterangan dari teks-teks Sunda Kuna yang lain. Dalam Carita Radén Jayakeling (kropak 407), Panaitan juga disebut sebagai wilayah kabuyutan. Pada bagian awal teks tersebut diterangkan bahwa  pengarang perlu meyakinkan pembacanya bahwa karya yang dihasilkannya bukanlah karya sembarangan, tetapi hasil dari mencari ilmu dan bertanya kemana-mana.
Panaitan eusi pikabuyutan, susuhunan Hujungkulan, Akiing bagawat Sang Gasri, beunanging nanya tilu lawé, ti nu séda ti patala, beunang[h]ing nyiar ti Jampang, beunanging ti Pulasari, beunanging ti Jakah Barat (kropak 407: 6 verso)”
Demikian halnya dengan keterangan yang terdapat dalam Tutur Bwana (kropak 620) (Wartini, dkk., 2010). Pada bagian awal teks diceritakan proses penciptaan alam dunia oleh Haro. Ada tiga tempat di Tatar Sunda yang dianggap sebagai bagian penting dari dunia, yaitu Hujungkulan (Ujung Kulon sekarang), Panahitan, dan Bukit Langlayang.

Arca Siwa Panaitan. Foto: museum.kemdikbud.go.id
Selain keterangan dalam teks Sunda Kuna, bukti arkeologis pun kiranya dapat diajukan. Di Panaitan, tepat di Gunung Raksa, ditemukan arca Siwa dan Ganesha. Para ahli arkeologi berkesimpulan bahwa arca-arca tersebut tercipta dari abad ke-7 sampai ke-8 Masehi. Arca yang ditemukan di Panaitan memiliki ciri khas tersendiri yang dapat dibedakan dengan arca yang sama yang ditemukan di Jawa Tengah atau Jawa Timur (Ensiklopedi Sunda, 2000: 59). Batara Gana (Ganesha) adalah istadewata yang disebut dalam manggala teks SSMG. Batara Gana dianggap sebagai dewa pelindung bagi  pengarang, karena dari Batara Gana lah terciptanya lontar dan  gebang  yang digunakan  pengarang untuk menuliskan kitabnya (SSMG. III).

Besar kemungkinan teks SSMG ditulis di sebuah kabuyutan di Gunung Raksa, Panaitan. Meski demikian, diperlukan penelitian lebih mendalam tentang skriptorium naskah-naskah Sunda Kuna demi mendapatkan gambaran yang cukup jelas mengenai  pusat-pusat kegiatan intelektual masyarakat Sunda di masa lalu.

Referensi

  1. Atja dan Saleh Danasasmita. 1981 "Sanghyang Siksa Kandang Karesian; naskah Sunda  Kuno tahun 1518 Masehi." Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat. 
  2. Danasasmita, Saleh, et al. 1987. "Sewaka Darma (Kropak 408), Sanghyang Siksa  Kandang Karesian (Kropak 630), Amanat Galunggung (Kropak 632): Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  3. Darsa, Undang Ahmad. 1998. "Sanghyang Hayu; Kajian filologis naskah bahasa Jawa  Kuno di Sunda pada abad XVI. Tesis. Bandung: Universitas Padjadjaran. Ensiklopedi Sunda; Alam, manusia, dan budaya. Jakarta: Pustaka Jaya 
  4. Ensiklopedi Sunda. 2000. "Alam, manusia, dan budaya". Jakarta: Pustaka Jaya.
  5. Gunawan, Aditia/ 2009. "Sanghyang Sasana Maha Guru dan Kala Purbaka: suntingan dan terjemahan." Jakarta: Perpustakaan Nasional. acedemia.edu diakse 7 Juni 2018
  6. Holil, Munawar dan Aditia Gunawan, 2010, "Membuka Peti Naskah Sunda Kuna koleksi Perpustakaan Nasional RI: Upaya Rekatalogisasi" dalam Perubahan Pandangan  Aristokrat Sunda . Seri Sundalana No. IX Bandung: Pusat Studi Sunda.
  7. Noorduyn, J. dan A. Teeuw. 2006. "Three old Sundanese Poems." Leiden: KITLV Press. [KITLV, Bibliotheca Indonesia no.29]. 
  8. Pigeaud, Th. 1924.  "De Tangtu Panggelaran, uitgegeven, vertaald en toegelicht." Thesis.Leiden: „s -Gravenhage.
  9. Pleyte, C.M. 1911. "Het jaartal op den Batoe -Toelis nabij Buitenzorg; Een bijdrage tot de kennis van het oude Soenda, met een kaartje, drie fotolithografieen en drie facsimilé's", Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (TBG) 54:215-425.
Baca Juga

Sponsor