Cari

Kebudayaan Nusantara - Budaya Asli Sundaland yang Adiluhung | Sunda Purba Jati

Sundaland. Gambar: site.google
[Historiana] - Berdasarkan data dan penelitian arkeologis, Tanah Sunda telah dihuni oleh masyarakat Sunda secara sosial sejak lama sebelum Tarikh Masehi. Situs purbakala di Ciampe'a (Bogor), Klapa Dua (Jakarta), dataran tinggi Bandung dan Cangkuang (Garut) memberi bukti dan informasi bahwa lokasi-lokasi tersebut telah ditempati oleh kelompok masyarakat yang memiliki sistem kepercayaan, organisasi sosial, sistem mata pencaharian, pola pemukiman, dan lain sebagainya sebagaimana layaknya kehidupan masyarakat manusia betapapun sederhananya.

Era sejarah di Tanah Sunda baru dimulai pada pertengahan abad ke-5 seiring dengan dibuatnya dokumen tertulis berupa beberapa buah prasasti yang dipahat pada batu dengan menggunakan Bahasa Sansekerta dan Aksara Pallawa. Prasasti-prasasti itu yang ditemukan di daerah Bogor, Bekasi dan Pandeglang dibuat pada zaman Kerajaan Tarumanagara dengan salah seorang rajanya bernama Purnawarman dan ibukotanya terletak di daerah Bekasi sekarang. Pada masa itu sampai abad ke-7, sistem kerajaan sebagai bentuk pemerintahan, Agama Hindu sebagai agama resmi negara, sistem kasta sebagai bentuk stratifikasi sosial, dan hubungan antar negara telah mulai terwujud, walaupun masih dalam tahap awal dan terbatas.
Sriwijaya di Sumatera, India dan Cina merupakan negeri luar yang sudah menjalin hubungan dengan kerajaan Tarumanagara, sehingga kebudayaan Hindu dari India memberi warna yang dominan dan berpengaruh di sini.

Sunda sebagai nama kerajaan kiranya baru muncul pada abad ke-8 sebagai lanjutan atau penerus Kerajaan Tarumanagara. Pusat kerajaannya berada di sekitar Bogor sekarang. Paling tidak, ada tiga macam sumber yang menyebut Sunda sebagai nama kerajaan.

Pertama, dua buah prasasti (Bogor dan Sukabumi); kedua, beberapa buah berita orang Portugis (1513,1522,1527); dan ketiga, beberapa buah naskah lama (Carita Parahiyangan, Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian). Ibu kota Kerajaan Sunda dinamai Pakuan Pajajaran, Bogor.

Dalam tradisi lisan dan naskah sesudah abad ke-17, Pakuan biasa disebut untuk nama ibukota, sedangkan Pajajaran untuk menyebutkan kerajaan. Kerajaan ini hidup kira-kira 6 abad, karena runtuhnya sekitar tahun 1579. Pernah mengalami masa kejayaan yang antara lain ditandai dengan luas wilayah yang meliputi seluruh Tatar Sunda, kesejahteraan rakyat tinggi, keamanan stabil, hubungan dengan dunia luar (Majapahit, Portugis, Sriwijaya) berjalan baik. Dikenal ada dua raja termasyhur akan kebesarannya, yakni Prabu Niskala Wastukancana dan Sri Baduga Maharaja. Ibu kotanya pernah berada di Kawali, Galuh Ciamis.

Originalitas dan Asimilasi Budaya Sunda

Kenyataan bahwa masyarakat Sunda memiliki kebudayaan original, telah dikuatkan oleh ahli-ahli sejarah nusantara seperti N.J.Krom, J.L.A.Brandes dan lainnya yang menyimpulkan bahwa wilayah Tatar Sunda, menjelang kedatangan kebudayaan luar, khususnya India, adalah masyarakat yang termasuk sebagai komunitas yang sudah memiliki kebudayaan tinggi. Hal ini terlihat dari berbagai jenis peninggalan budaya, baik artefaktualnya semacam altar, pundek berundak dan sebagainya maupun bentukbentuk keyakinan dan kepercayaan, dimana originalitasnya tetap memiliki ciri khas, dan ternyata perwujudannya tidak banyak terpengaruh oleh unsur-unsur luar.

Berdasarkan laporan Dinas Purbakala (Oudheidkundigen Dienst) seperti C.M.Pleyte (1911), N.J.Krom (1915), semua temuan situs sejarah di Tatar Sunda, membentang antara Banten hingga Jawa Tengah bagian Barat (Pekalongan dan Banyumas), karena terbukti bahasa Sunda banyak digunakan di dalamnya. Temuan arca dan bangunan-bangunan suci, baik altar, punden berundak, arca dan sebagainya cukup menunjukkan sesuatu yang orisinil hasil-hasil kreatif lokal setempat.

Namun pada periode selanjutnya, masa asimilasi dengan banyak unsur-unsur luar, kebudayaan Sunda berikutnya banyak terpengaruh oleh kebudayaan India, khususnya akibat pengembangan kebudayaan oleh tradisi agama Hindu dan Budha.

Hal ini nampaknya sebagai sesautu yang wajar, karena pada periode ini secara serentak pengaruh India juga masuk diseluruh lokalitas budaya nusantara. Namun suatu waktu, atau kapan saja pada umumnya karakteristik dasar atau pola originalitas budaya setempat akan muncul dengan sendirinya dengan mengikuti polapola kebudayaan baru yang menaunginya.
Kerajaan pertama yang bercorak Hindu di Tatar Sunda diantaranya adalah Tarumanagara, yang hidup antara abad ke 9 M.

Meskipun pada periode ini agak sulit untuk direkonstruksi secara komprehensif, namun bekas-bekas peninggalan mereka seperti monumen batu tulis Bogor, telah menunjukkan arti penting keberadaan mereka. Namun sangat disayangkan, perjalanan sejarah Tatar Sunda antara periode-periode pertama hingga abad ke- 16, sangat sulit untuk diungkapkan secara utuh, akibat berbagai keterbatasan sumber. Namun setelah abad ke 16, sejarah tentang Tatar Sunda agak mudah dipahami karena banyak bermunculan berupa prasasti-prasasti atau naskah-naskah yang tergolong ke dalam historiografi tradisional seperti carita, sajarah, babad, kidung dan lain-lain.

Dari penelitian para ahli tentang hal ini menunjukkan, bahwa istilah “sunda” sebagai komunitas budaya dan politik, ternyata baru populer pada bentuk sebutan dan tulisan sejak periode kerajaan Sunda Galuh. Artinya kesadaran kehidupan kebudayaan pada kewilayahan kenegaraan di Tatar Sunda, baru terwujud secara konkrit setelah kerajaan Galuh yang berdiri di wilayah Ciamis. Sehingga ungkapan-ungkapan tentang “Tatar Sunda” dari dalam, atau dari catatan-catatan historiografi tradisional --sejak mereka hadir--, dalam banyak hal selalu muncul ke permukaan.

Sementara catatan-catatan dari naskah-naskah luar Sunda yang menyebutkan dan mengakui keberadaan Sunda dan kesundaannya, misalnya muncul dalam naskah Jawa Kuno Pararaton yang menjelaskan tentang peristiwa Perang Bubat yang terjadi pada tahun 1357, antara Majapahit dan Padjadjaran. Termasuk Babad Tanah Jawi yang ditulis pada masa Sultan Amangkurat I di Mataram, yang menjelaskan bahwa Sunda bukan hanya sekedar sebuah kerajaan, namun mereka mengakui bahwa ia adalah sebagai sebuah kerajaan tertua di pulau Jawa yang kemudian melahirkan kerajaan Majapahit, Demak dan Mataram.

Sumber naskah Sunda yang paling otoritatif dalam menggambarkan situasi Tatar Sunda, yakni sejak masa-masa pembentukan pola kebudayaannya sampai masa-masa terakhir, terdapat pada Carita Parahyangan yang tulis pada sekitar tahun 1580 M. Naskah ini ditulis oleh penulis yang hidup pada periode akhir Kerajaan Sunda, yang lebih dikenal dengan sebutan Parahyangan.

Istilah Parahyangan mengandung arti kota atau tempat para dewa (Hyang). Mungkin salah satu alasan disebut demikian, karena pada umumnya wilayah Parahyangan berada di dataran tinggi dan banyaknya pegunungan dimana para dewa senang bertempat di wilayah-wilayah tersebut. Konsep Buana Nyungcung, mungkin ada konotasinya dengan puncak-puncak alam (gunung) dimana para dewa bersemayam; yang menandakan dataran tinggi adalah tempat para suci berada.

Warisan Nilai-nilai Sunda Secara umum

Dalam naskah kuno Amanat Galunggung, tertulis pernyataan sebagai berikut;
“Hana nguni hana mangke
tan hana nguni tan hana mangke
Aya ma baheula henteu ta ayeuna
Henteu ma baheula henteu ta ayeuna
Hana tunggak hana wata
Tan hana tunggak tan hana wata
Hana ma tuhuna aya tuh catangna”
Artinya,
“adanya dahulu pasti adanya masa kini, tidak adanya
masa dahulu (tentu) tidak akan adanya masa kini, karena adanya
masa silam maka ada masa kini, bila tidak ada masa silam (tentu)
tidak ada masa kini, karena dengan adanya tonggak tentu ada
batang, bila tidak ada tunggul maka tidak ada batang”.
Pelestarian pada nilai-nilai budaya yang terus tumbuh tercermin kuat dari sikap dan tindakan Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata yang menanamkan perlunya pada pewarisan nilai-nilia masa lalu. Ia menyatakan dalam tembang-tembang/kidung seperti tersurat sebagai berikut:
“Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa” 
(ajaran warisan leluhur dijunjung tinggi, sehingga tak akan kedatangan musuh, baik berupa lasykar maupun penyakit batin. Seang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera, hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah dan abai terhadap ajaran agama).
Pernyataan-pernyataan dalam bahasa Sunda Kuno di atas, menunjukkan pola pikir sekaligus karakter masyarakat Sunda tentang kuatnya kesadaran pada warisan masa lalu. Mereka telah menyadari betul pentingnya pewarisan nilai-nilai masa lalu dan pelanggengan serta kesinambungan perjalanan antara masa lalu dengan masa kini. Kenyataan ini sekaligus akan menegaskan terjadinya serta terbuktikannya pola pembentukan karakter sunda sekarang, yang sangat kental dengan pola-pola sejarah sebelumnya.

Sistem Kepercayaan Masyarakat Sunda

Seperti halnya kebudayaan-kebudayaan tinggi lain, kebudayaan Sunda nampaknya telah memiliki sistem kepercayaan yang cukup jelas, yang menggambarkan pemahaman masyarakatnya tentang pola dan sistem keagamaan serta bentuk-bentuk ritual yang bisa menciptakan pola-pola kehidupan dan cara pandang sosial kemasyarakatannya. Hal ini terbukti dari banyaknya sejumlah tempat-tempat peribadatan, seperti tempattempat yang masih mengandung kesakralan. Tempat-tempat dataran tinggi seperti bukit, gunung, gumuk, pohon-pohon besar atau gua-gua senantiasa dan seringkali dimanfaatkan sebagai tempat-tempat ritual kolektif yakni pemujaan keagamaan.

Berangkat dari pengakuan terhadap sesuatu yang amat dikagumi atau ditakuti, kesadaran beragama terutama yang biasa terjadi pada masyarakat primitif biasanya tumbuh dengan subur. Berbagai fenomena alam yang mengerikan seperti gunung merapi, guntur, kilat, badai laut dan sebagainya, seringkali dipahami sebagai kemarahan atau kemurkaan Tuhan. Sebaliknya bila mereka mendapatkan banyak anugrah, selanjutnya banyak dipandang sebagai pemberian Nya. Kenyatan kesadaran beragama seperti ini, kiranya nampak juga terjadi pada masyarakat Sunda, sebagai sebuah komunitas sosial atau sebagai masyarakat yang ekspresif terhadap realitas alam. Semua itu sangat memungkinkan pada awal pertumbuhan kegamaan mereka17. Berikut ini beberapa penjelasan mengenai konsep-konsep agama Sunda –Purba Jati-- yang sedikit banyak juga melatarbelakangi pemahaman keagamaan masyarakat Sunda secara umum, termasuk bagi kajian wilayah yang sedang penulis lakukan penelitian ini.

Nama-nama Tuhan/Ngaran-ngaran Pangeran.

Di kalangan masyarakat sunda, penamaan terhadap Tuhan (dzat yang paling dikagumi, ditakuti dan yang paling diharapkan) seringkali disesuaikan dengan sifat-sifat dan pekerjaan Dzat tersebut (Tuhan). Hal ini menandakan bahwa pola pikir mereka telah mencapai titik pemahaman, bahwa Tuhan dalam persepsi mereka memang sebagai sesuatu yang keberadaannya jauh di atas kemampuan manusia atau alam sekalipun. Nama-nama Tuhan mereka, tersirat dari beberapa warisan lisan atau tulisan yang tertuang dalam berbagai tembang, pantun atau siloka-siloka sunda. Berbeda misalnya untuk nama-nama orang atau tokoh, biasanya lebih pada bentuk-bentuk nama alam. Tradisi seperti ini merupakan cerminan dari pola “totemisme” yakni suatu pola kesadaran tentang keberadaan jagat kecil (manusia) sebagai bagian dari wujud jagat besar (alam semesta)18. Tuhan berada di atas dua alam, atau bahkan yang melingkupi kedua alam tersebut.

Untuk melihat kajian antropologis, bagaimana awal kesadaran beragama di kalangan masyarakat primitif, lihat karya Raymond Firth, Human Types, AP. Watts & Co.London 1966; 167-212. Seperti terlihat dari sejumlah nama-nama tokoh sejarah masyarakat Jawa dan Sunda sebelum Islam, selalu menggunakan “laqob” nama-nama alam, pohon atau hewan yang dikaguminya. Sekedar menyebut tokoh-tokoh sejarah Pra Islam periode totemisme ini di antaranya; Prabu Siliwangi, Prabu Aji Putih, Prabu Taji Malela ,Prabu Munding Wangi, Prabu Munding Laya, Prabu Gajang Agung, Patih Gajah Mada, Tunggul Ametung, Keng Anggrok, Kebo Ijo, Roro Jongrang, dan sebagainya, kesemuanya menggunakan nama-nama alam atau hewan yang dikaguminya. Mungkin semacam keyakinan, bahwa kekuatan alam tersebut akan merasuk atau berada pada dirinya.

Nama-nama Tuhan dalam bahasa sunda kuno, nampaknya oleh sebagian orang, terutama dukun-dukun yang menggunakan mantra-mantra masih sering digunakan. Bahkan dalam bentuk-bentuk do’a para kuncen sebagian masih menggunakan sebutan-sebutan seperti masa lalu, dari pada menggunakan bahasa Arab seperti Asma al-Husna.

Di antara nama-nama Tuhan yang mencerminkan dalam bentuk pekerjaan (af’al)-Nya, adalah:

  • Sang Hyang Keresa (Nu Maha Kuasa),
  • Nu Ngrsakeun (Yang Maha Menghendaki).

Sebutan lain (sejen) dalam bentuk sifat-sifat-Nya, di antaranya:

  • Batara Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa),
  • Batara Jagat (Tuhan Penguasa Alam)
  • Batara Seda Niskala (Tuhan Yang Maha Gaib)19


Tempat Pangeran /Singgasana ke-Tuhanan.
Buana Nyungcung (Ujung atau pusat poros alam), seluruh dewa-dewa yang ada dalam agama Hindu, dalam kepercayaan Sunda Kuno tetap masih berada dalam genggaman Tuhan Yang Maha Ghaib; Kabeh dewa dina konsep agama Hindu (Brahmana, Syiwa, Wisnu, Indra, Yama,jrrd) tunduk ka Batara Seda Niskala. Kenyataan inilah nampaknya yang oleh para ahli sunda belakangan sering kali disimpulkan, bahwa dalam kepercayaan masyarakat Sunda memiliki kemiripipan dengan konsep-konsep keimanan atau tauhid yang ada dalam Islam, khususnya tentang ketunggalan Tuhan. Sehingga dalam pameo sekarang, biasa diungkapkan “Sunda dan Islam sebagai satu tarikan nafas”. Keduanya memiliki keselarasan, namun bisa dibedakan.

Konsep Kosmologi.

Konsepsi tentang alam semesta, atau “mitologi dan “kosmologi” menurut kepercayaan orang-orang Sunda Kanekes/Baduy di Banten20, meliputi tiga hal penting, yakni:

  1. Buana Nyungcung, tempat bersemayamnya Tuhan (linggih Sang Hiyang Kresa), yakni tempat paling tinggi secara maknawi (ancik pangluhurna).
  2. Buana Panca Tengah, tempat manusia dan berbagai makhluk esar lainnya (jelema, sato, tatangkalan) dan makhlukmakhluk melata lainnya (jeung sadaya mahluk sejena; sireum, tongo, tumbila, jeung sajabana).
  3. Buana Larang, naraka. Yakni tempat yang paling hina dan paling bawah (Panghandapna). Yakni tempat penyesalan seluruh makhluk yang paling banyak melanggar ketentuanketentuan aturan hukum.
Menurut para ahli sunda, masyarakat Sunda Baduy yang ada di wilayah selatan propinsi Banten, merupakan sebuah komunitas budaya Sunda yang paling original karena ketertutupan dan belum pernah terjajah oleh kebudayaan luar Sunda. Kenyataan ini, didukung bukan hanya oleh aspek-aspek geografis yang memang untuk memasuki wilayah komunitas ini sangat sulit, tapi juga ditopang oleh tradisi adat yang mengajarkan untuk tidak mudah menerima aspek-aspek kebudayaan luar. Walau demikian, beberapa anggota keluarga Sunda Baduy yang berada di lingkungan luar telah menerima beberapa hal aspek-aspek kebudayaan luar, bahkan sebagian telah menerima Islam sebagai pegangan agama dan aturan hidupnya. Sebaliknya untuk Baduy Dalam, masih sangat fanatik dengan sistem dan pola-pola kehidupan yang diwarisinya dari para pendahulunya. Dalam hal ini, masyarakat Sunda Baduy telah terbagi menjadi dua komunitas; Baduy Luar dan Baduy Dalam.

Antara Buana Nyungcung dengan Buana Panca Tengah, ada 18 lapisan pemisah (mungkin semacam langit ). Lapisan paling atas, namanya Buana Suci Alam Padang, menurut koropak 630 (nampaknya nomer lemari tempat naskah kuno di Arsip Nasional Jakarta) disebut Alam Kahiyangan atau Mandala Hiyang, tempat bersemayam Nyi Pohaci Sanghiyang Asri dengan Sunan Ambu. Sang Hiyang Keresa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana. Yang paling tua, Batara Cikal, dianggap nenek moyang orang Kanekes (Baduy). Turunan batara lainnya, menetap di daerah Karang, Jampang, Sajra, Jasinga, Bongbang, Banten.

Kesemuanya nampak ada sedikit pengaruh kosmologi Hindu, hal ini bila dikaitkan dengan konsep batara (utusan Sang Hyang Keresa: Wisawara, Wisnu, Brahma). Dalam Hindu ada ajaran yang biasa mengenalkan Axis Mundi (poros bumi), dan nama-nama di atas mirip juga dalam ajaran Hindu. Termasuk dalam sistem kapercayaan orang Kanekes, diakuinya ada beberapa hal yang menyangkut kekuasan diatas alam manusia. Namun secara uumum kepercayaan orang Kanekes bukanlah Hindu.

Buana Panca Tengah adalah wilayah bagi manusia beserta makhluk lainnya, dibagi berdasarkan tingkat kasuciannya yakni: 1.Sasaka Pusaka Buana, dianggap paling suci, hampir bergandengan dengan Sasaka Domas(Salaka Domas). Ini adalah pusat dunia. 2.Kampung Jero, Pusatlingkungan Desa Kanekes 3.Kampung Luar/panamping/penyangga/bumper.

Semula wilayah Kanekes menjadi pusat kebudayaan Banten lama setelah Banten Girang yang ditaklukkan oleh Sultan Hasanudin, Sultan pertama Banten. Bagi kalangan masyarakat Baduy, nampaknya masih tercipta mitos-mitos yang menjadi gagasan kewilayahan mereka, seperti: Banten, jadi pusat Sunda, Tanah Sunda, Luar Tanah Sunda.

Aturan Hidup

Perintah dan larangan (Titahan jeung Pamali) dari nenek moyang (ti karuhun). Sehingga wilayah Kabuyutan, adalah wilayah sakral tempat yang mengandung berbagai larangan (rupa-rupa pamali, tidak boleh ini atau itu, teu meunang anu tea…dsb). Mungkin ini sebenarnya yang menjadi dasar dalam undang-undang kemanusia yang berkembang di sana, yakni hukum mengenai “hak dan kewajiban”. Jika mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban yakni mentaati perintah dan menjauhi larangan, maka alam akan memberikan kemudahan bagi mereka dalam menapaki kehidupannya.

Ritual/Upacara

Ritual atau upacara-upacara sakral keagamaan biasanya dilakukan denga praktek-praktek mistik seperti; ngukus, muja, ngawalu, ngalaksa dsb. Praktek Upacara Muja. Muja dilaksanakan di Sasaka Pusaka Buana dan di Sasaka Domas pada waktu yang beda. Di Sasaka Pusaka Buana, muja dilakukan setahun sakali, selam tiga hari yakni tiap tanggal 16, 17, 18 bulan Kawolu (bulan kalima numutkeun sistim kalender Urang Kanekes. Mereka memilki sistem kalender tersendiri. Uapacara Muja dipimpin oleh Puun (yakni semacam kepala adat) masyarakat Cikeusik, berikut tokoh-tokoh kepercayaanana (barisan orang-orang tua/ kolot sesepuh). Hari pertama, rombongan upacara berangkat ke ranggon (Talahab- saung). Bermalam di sana, pagi harinya, mereka tokoh-tokoh ini mandi berkeramas, terus berangkat ke Sasaka Pusaka Buana dari arah utara. Upacara muja dilakukan di tangga pertama (undakan kahiji), menghadap ke bukit Sasaka Pusaka Buana, sampai siang hari. Terus membersihkan diri, sambil membereskan pelataran undakan. Beres itu, mereka mencuci tangan dan kaki di batu Sang Hiyang Pangumbahan. Terus naik ke puncak pasir/bukit. Di sana rombongan mengambil lumut yang menempel di bebatuan. Lukut (lumut) itu disebut komala (permata), dibawa pulang dan dipercaya bisa mendatangkan berkah bagi yanga memerlukan.

Pabuyutan/Pamali

Seperti telah dijelaskan di muka, bahwa masyarakat Baduy terbagi dua, Baduy Dalam dan Baduy Luar, dan mereka mempunyi pengikat masing-masing yakni: 1. Buyut Adam Tunggal, aturan yang mengikat warga kampung Baduy Dalam (pamali nalian urang Tangtu, warga kampung jero). Dia lah yang mangikat hal-hal yang pokok dan berikut hal lainnya (buyut ieu pamali nu nalian hal poko jeung nu sejenna/rinci). 2. Buyut Nuhun, aturan yang mengikat masyarakt Baduy luar (pamali nu berlaku jang orang Panamping jeung Dangka, warga Kanekes Luar). Aturan larangan (Pamali bin buyut) di atas mengandung tiga hal: a.Melindungi kesucian dan kemurnian jiwa /sukma manusia b.Melindungi kemurnian mandala/tempat tinggal manusia c. Melindungi adat dan tradisi.

Fungsi Pamali (aturan larangan) Bagi Adat Sunda Kanekes

Buyut atau pamali (tabu, larangan) diciptakan sebagai sistem adat yang bisa jadi untuk melindungi mandala Kanekes, karena sejak Karajaan Sunda hancur (1579 Masehi) oleh kesultanan Islam Banten, sudah tidak ada lagi sistem kerajaan yang melindungi pola-pola adat mereka. Bahkan seringkali terjadi adanya pertentangan kepentingan antara orang Kanekes dengan Kesultanan Banten termasuk pemarintah kolonial. Satu-satu cara yang bisa melindungi diri mereka sendiri adalah dengan berpegang teguh pada keyakinan dan ketaatan pada pamali atau buyut. Sedangkan sanksi bagi mereka yang melanggar aturan hukum atau sanksi bagi yang melanggar buyut, akan dikeluarkan/dibuang /diusir dari lingkungan asal mereka, dalam jangka waktu yang sudah ditentukan, biasanya 40 hari. Upacara pelaksanaan hukuman biasa disebut Panyapuan.

Konsep Daur Hirup

Sukma atau ruh manusia asalnya dari Kahiyangan, jika hidup di Buana Panca Tengah selesai, maka ruh akan balik kembali ke Kahiyangan (istilah kematian banyak juga yang menyebutnya dengan “ngahiyang”). Waktu ruh turun dari Kahiyangan ka Buana Panca Tengah, kondisina mulus, selamat, rahayu, bagus, dan pulang juga diharapkan demikian. Namun nyatanya banyak yang tidak bersih lagi, tapi kotor karena banyak melanggar aturan hukum (loba buyut/pamali nu dirempag), kelak larinya akan ke naraka. Bagus tidaknya ruh ketika akan kembali ke alam Kahiyangan, tergantung amal perbuatannya (sukma waktu rek mulang gumantung kana amal perbuatan) ketika ia berada di Buana Panca Tengah. Semuanya tergantung dengan tugas masing-masing. Dalam rangka mengemban tugas di dunia (Buana Panca Tengah), sukma/ruh dibekali 10 indra; akal, rasa, nafsu, mata, telinga, mulut, mata, hidung, tangan dan kaki. 




Referensi

  1. Atja & Edi S.Ekadjati. 1987. "Pustaka Rjya-rajya di Bhumi Nusantara 1.1". Perpustakaan Sundanologi.
  2. Lubis, Nina dkk. 2003. "Sejarah Tatar Sunda Jilid 1, Satya Historika". Hal. 49-50
  3. Ekadjati, Edi S..1991. "Kebudayaan Sunda". Jakarta: Yayasan Pembangunan Jawa Barat.
  4. Ekadjati, Edi S. dkk. 2000. "Ensiklopedi Sunda". Pustaka Jaya.
  5. Hidayat, Setia  & N.Syamsudin Ch. HAESY. 2004. "Sangkakala Padjadjaran; Upaya Awal Mengeja dan Menyingkap Makna Rumpaka". PT.Bina Rena Pariwara. Hal. 8-9
  6. Sunarto H. & Viviane Sukanda-Tessier (ed), 1983. "Naskah dan Dokumen Nusantara IV, Cariosan Prabu Siliwangi, Lembaga Penelitian Prancis untuk Timur Jauh, Bandung-Jakarta.

Baca Juga

Sponsor