Cari

Prabu Borosngora dan Sang Banaspati, Udug Basu, Pulunggana dan Suragana


[Historiana] - Prabu Borosngora atau Sanghyang Borosngora adalah Raja Panjalu (sekarang termasuk wilayah Kabupaten Ciamis Jawa barat) yang terkemuka. Sanghyang Borosngora naik tahta sebagai Raja Panjalu menggantikan kakaknya Prabu Lembu Sampulur II lalu membangun kaprabon di Nusa Larang, sebuah pulau di tengah-tengah Situ Lengkong.

Panjalu adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang terletak di ketinggian 731 m dpl dan berada kaki Gunung Sawal (1764 m dpl) Jawa Barat. Posisi Panjalu dikelilingi oleh benteng alamiah berupa rangkaian pegunungan , dari sebelah selatan dan timur berdiri kukuh Gunung Sawal yang memisahkannya dengan wilayah Galuh, bagian baratnya dibentengi oleh Gunung Cakrabuana yang dahulu menjadi batas dengan Kerajaan Sumedang Larang dan di sebelah utaranya memanjang Gunung Bitung yang menjadi batas Kabupaten Ciamis dengan Majalengka yang dahulu merupakan batas Panjalu dengan Kerajaan Talaga.

Menurut kisah dalam Babad Panjalu, Prabu Sanghyang Cakradewa adalah seorang raja yang adil dan bijaksana, di bawah pimpinannya Panjalu menjadi sebuah kerajaan yang makmur dan disegani. Suatu ketika sang raja menyampaikan keinginannya di hari tua nanti untuk meninggalkan singgasana dan menjadi Resi atau petapa (lengser kaprabon ngadeg pendita). Untuk itu sang prabu mengangkat putera tertuanya Sanghyang Lembu Sampulur II menjadi putera mahkota, sedangkan putera keduanya yaitu Sanghyang Borosngora dipersiapkan untuk menjadi patih dan senapati kerajaan (panglima perang). Oleh karena itu Sanghyang Borosngora pergi berkelana, berguru kepada para brahmana, petapa,resi, guru dan wiku sakti di seluruh penjuru tanah Jawa untuk mendapatkan berbagai ilmu kesaktian dan ilmu olah perang.

Beberapa tahun kemudian sang pangeran pulang dari pengembaraannya dan disambut dengan upacara penyambutan yang sangat meriah di kaprabon Dayeuhluhur, Prabu Sanghyang Cakradewa sangat terharu menyambut kedatangan puteranya yang telah pergi sekian lama tersebut. Dalam suatu acara, sang prabu meminta kepada Sanghyang Borosngora untuk mengatraksikan kehebatannya dalam olah perang dengan bermain adu pedang melawan kakaknya yaitu Sanghyang Lembu Sampulur II dihadapan para pejabat istana dan para hadirin. Ketika kedua pangeran itu tengah mengadu kehebatan ilmu pedang itu, tak sengaja kain yang menutupi betis Sanghyang Borosngora tersingkap dan tampaklah sebentuk rajah (tattoo) yang menandakan pemiliknya menganut ilmu kesaktian aliran hitam.

Prabu Sanghyang Cakradewa sangat kecewa mendapati kenyataan tersebut, karena ilmu itu tidak sesuai dengan Anggon-anggon Kapanjaluan (falsafah hidup orang Panjalu) yaitu mangan kerana halal, pake kerana suci, tekad-ucap-lampah sabhenere dan Panjalu tunggul rahayu, tangkal waluya. Sang Prabu segera memerintahkan Sanghyang Borosngora untuk membuang ilmu terlarang itu dan segera mencari "Ilmu Sajati" yaitu ilmu yang menuntun kepada jalan keselamatan. Sebagai indikator apakah Sanghyang Borosngora telah menguasai ilmu sajati atau belum, maka sang prabu membekalinya sebuah gayung batok kelapa yang dasarnya diberi lubang-lubang sehingga tidak bisa menampung cidukan air. Apabila sang pangeran telah menguasai ilmu sajati, maka ia bisa menciduk air dengan gayung berlubang-lubang tersebut.

Rabu Sanghyang Lembu Sampulur II tidak lama memerintah di Kerajaan Panjalu, ia kemudian hijrah ke daerah Cimalaka di kaki Gunung Tampomas, Sumedang dan mendirikan kerajaan baru di sana. Sanghyang Borosngora yang menempati urutan kedua sebagai pewaris tahta Panjalu meneruskan kepemimpinan kakaknya itu.

Lihat Videonya



Sanghyang Borosngora dan Hyang Bunisora Suradipati

Hyang Bunisora Suradipati adalah adik Maharaja Sunda yang bernama Maharaja Linggabuana. Sang Maharaja terkenal sebagai Prabu Wangi yang gugur sebagai pahlawan di palagan Bubat melawan tentara Majapahit pada tahun 1357. Ketika peristiwa memilukan itu terjadi puteranya yang bernama Niskala Wastu Kancana baru berusia 9 tahun, untuk itu Hyang Bunisora menjabat sebagai Mangkubumi Suradipati mewakili keponakannya itu atas tahta Kawali .

Hyang Bunisora juga dikenal sebagai Prabu Kuda Lelean dan Batara Guru di Jampang karena menjadi seorang petapa atau resi yang mumpuni di Jampang (Sukabumi). Nama Hyang Bunisora yang mirip dengan Sanghyang Borosngora dan gelarnya sebagai Batara Guru di Jampang menyiratkan adanya keterkaitan antara kedua tokoh ini, meskipun belum bisa dipastikan apakah kedua tokoh ini adalah orang yang sama. Jika ternyata kedua tokoh ini adalah orang yang sama, pastinya akan membuka salah satu lembar yang tersembunyi dari Sejarah Sunda.

Hyang Bunisora atau Mangkubumi Suradipati menikah dengan Dewi Laksmiwati dan menurunkan 4 (empat) anak (Djadja Sukardja,2007):

  1. Giri Dewata (Gedeng Kasmaya) di Cirebon Girang menikahi Ratna Kirana puteri Ratu Cirebon Girang, di lereng Gunung Ciremai.
  2. Bratalegawa (Haji baharudin/Haji Purwa) menikahi puteri Gujarat.
  3. Ratu Banawati.
  4. Ratu Mayangsari yang diperisteri Niskala Wastu Kancana.

Hyang Bunisora dikabarkan dimakamkan di Geger Omas, diperkirakan lokasi Geger Omas sekarang adalah Desa Ciomas (Panjalu Ciamis), di desa tersebut terdapat situs makam yang dikenal sebagai makam Dalem Penghulu Gusti dan Dalem Mangkubumi (Djadja Sukardja, 2007: 29-30).

Prabu Bunisora  adalah adik Maharaja Sunda bernama Maharaja Linggabuana yang gugur melawan pasukan Majapahit di palagan Bubat tahun 1357. Ketika itu putera mahkota Sunda, Niskala Wastu Kancana (adik Dyah Pithaloka) baru berusia sembilan tahun. Prabu Bunisora lalu diangkat sebagai wali bagi keponakannya itu atas tahta Sunda bergelar Hyang Bunisora Mangkubumi Suradipati, berkedudukan di ibukota Sunda, Kawali (Ciamis).   Prabu Bunisora mempunyai seorang puteri bernama Nay Ratna Mayangsari, sang puteri kemudian diperisteri Niskala Wastu Kancana (1371-1475) yang kemudian meneruskan tahta Sunda sebagai Maharaja di Kawali. Prabu Bunisora setelah menyerahkan tahta kepada keponakannya hidup sebagai brahmana (pendeta, begawan, petapa, resi) yang sangat disegani di Jampang bergelar Batara Guru di jampang. Prabu Bunisora kemudian wafat dan dimakamkan di Geger Omas.

Sanghyang Borosngora versi Sejarah Cianjur 

Menurut versi Sejarah Cianjur, Sanghyang Borosngora dikenal sebagai Prabu Jampang Manggung. Nama aslinya adalah Pangeran Sanghyang Borosngora, ia putera kedua Adipati Singacala (Panjalu) yang bernama Prabu Cakradewa. Prabu Cakradewa sendiri adalah putera Sedang Larang, Sedang Larang adalah putera Ratu Prapa Selawati.

Sanghyang Borosngora adalah putera Prabu Cakradewa dari permaisuri yang bernama Ratu Sari Permanadewi. Ratu Sari Permanadewi adalah putera keenam dari Adipati Wanaperi Sang Aria Kikis, jadi Sanghyang Borosngora adalah saudara misan Dalem Cikundul.

Sanghyang Borosngora mempunyai empat orang saudara dan pada usia 14 tahun ia diperintah sang ayah untuk berziarah ke tanah suci Mekkah. Pada bulan Safar 1101 H Sanghyang Borosngora berangkat ke Mekkah yang lama perjalanannya adalah 6 tahun.

Sepulang dari tanah suci, Sanghyang Borosngora mendapat julukan Syeikh Haji Sampulur Sauma Dipa Ulama. Tiba di kampung halamannya Kerajaan Singacala, sang ayah ternyata telah meninggal dunia. Borosngora kemudian berniat menurunkan ilmunya dan menyampaikan ajaran Islam kepada rakyat Pajajaran Girang dan Pajajaran Tengah, karena itu Borosngora mengembara ke nagari Sancang dan tanah Jampang.

Pada hitungan windu pertama, Sanghyang Borosngora melakukan perjalanan kunjungan ke tanah leluhurnya di Karantenan Gunung Sawal, nagari Sancang, Parakan Tilu, Kandangwesi, Gunung Wayang, Gunung Kendan (Galuh Wiwitan), Dayeuhkolot (Sagalaherang), nagari Wanayasa Razamantri, Bayabang (menemui Kyai Nagasasra), Paringgalaya (sekarang sudah terbenam oleh Waduk Jatiluhur) dan kemudian kembali ke Gunung Wayang.

Pada windu kedua ia berangkat ke Jampang Wetan, Gunung Patuha, Gunung Pucung Pugur, Pasir Bentang, Gunung Masigit, Pager Ruyung, Pagelarang, Jampang Tengah, Curug Supit, Cihonje, Teluk Ratu, Gunung Sunda, Cipanegah, Cicatih kemudian mengunjungi Salaka Domas di Sela Kancana, Cipanengah, Cimandiri.

Windu ketiga Sanghyang Borosngora pergi ke Jampang Tengah mendirikan padepokan di Hulu Sungai Cikaso, Taman Mayang Sari (kuta jero), Jampang Kulon. Di tempat ini ia dikenal dengan nama Haji Soleh dan Haji Mulya. Setelah itu ia kembali ke Cipanengah, Gunung Rompang, di tempat ini ia dikenal sebagai Syeikh Haji Dalem Sepuh.

Bertemu Dedemit: Sang Banaspati, Udug Basu, Pulunggana dan Surunggana

Dalam Naskah Carita Parahiyangan bagian XIX menjelaskan:
"ndah nihan tembey Sang Resi Guru miseuweukeun Sang Haliwungan inya Sang Susuktunggal nu munarna Pakuan reujeung Sanghiyang Haluwési nu nyaeuran Sanghyang Rancamaya. Mijilna ti Sanghiyang Rancamaya: Ngaran kula ta Sang Udugbasu, Sang Pulunggana, Sang Surugana, ratu hiyang Banaspati".
Saterusnya pada bagian XX disebutkan:
"disilihan ku prebu nalendraputra premana, inya sang Ratu Jayadéwata, sang mwa(k)taring Rancamaya, lawasniya ratu telu puluh salapan taun".
Pada bagian XIX disebutkan di atas diceritakann bahwa Rancamaya diurug (disaeuran) oleh Sanghiyang Haluwési adiknya Prabu Susuktunggal lantaran di talaga tersebut ada dedemit yang bernama Sang banaspati, Sang Udugbasu, Sang Pulunggana dan Sang Suragana, Selanjutnya pada bagian XX disebutkan juga bahwa Rancamaya adalah tempat dipusarakannya Ratu Jayadéwata (Sri baduga Maharaja) alias Prabu Siliwangi (II).

Dina Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara diceritakan sewaktu di keraton Cirebon diadakan gotrasawala mengenai sejarah Nusantara, disebutkan ada mahakawi utusan dari Rancamaya. Dengan disebutnya nama Rancamaya dalam sumber sumber kuno, setidaknya nama tempat tersebut memiliki status (ajén) yang penting dalam sejarah di tatar Pasundan khususnya sejarah karajaan Pajajaran.

Dengan diurugnya Rancamaya oleh Haluwési (adik Prabu Susuktunggal) disebabkan para dedemit atau jurig cai yang suka meminta nyawa manusia dari kalangan remaja. Dalam Pantun Bogor Kisah "Diurugnya Talaga Rancah Maya" dikisahkan di tengah ranca (rawa) itu ada keraton kerjaan dengan rajanya Resi Niskala Nyura Maya. Para ponggawa dan rakyatnya berpenampilan mengerikan malah setahun sakali suka meminta sapasang rumaha (sekar manah atau remaja) untu pimatarameun (wadal atau tumbal). Agar bisa mengurug keraton tersebut, ranca téh ti sisi ka tengahna diurug (Rawa diurug dari bagian pinggir hingga ke tengah).

Rupanya yang disebut Ratu Hyang Banaspati dalam Carita Parahyangan itu ternyata Resi Niskala Nyura Maya. Dedemit lainnya yaitu Udugbasu, Pulunggana, dan Suranggana yang disebut dalam Carita Parahyangan sabenerna tokoh- tokoh yang ada dalam mitologi awal adanya pertanian, khususnya bercocok tanam padi yang juga terdapat dalam Naskah Carita Sulanjana. Namun tokoh utmanaya Nyi Pohaci Sanghyang Sri. Pada kisah Sulanjana,  Sang Udugbasu berupa babi hutandan Pulunggana serta Suranggana berupa burung pipit (manuk piit). Dedemit tersebut kerjanya merusak padi (hama paré). Jadi Sebenarnya tiga tokoh tadi merupakan tokok yang di pinjam oleh panyusun Naskah Carita Parahyangan.

Rancamaya merupakan sebuah talaga untuk bersantainya keluarga kerajaan. Tempat yang dianggap penting sebagai atribut atau kalengkepan kerajaan, oleh karenya diberi gelar kahormatan Sanghiyang Rancamaya.

Sanghyang Racamaya diurug mungkin dengan alasan karena banyaknya yang celaka waktu berenang di sana ditambah lagi telaga Racamaya itu sangat dalam. Diurugnya telaga oleh Haluwési kejadian pastinya mungkin di zaman pemerintahan Prabu Susuktunggal (1382-1482 M). Prabu Susuk Tunggal adalah Mertua Sribaduga Maharaja (Siliwangi II). Dengan demikian, ketika Sri Baduga Maharaja memerintah Pajajaran (1482-1521 M) talaga Rancamaya sudah menjadi daratan.

Benarkah Prabu Borosngora adalah Prabu Bunisora?

Mengutip dari duke-fajar.blogspot.com, ada beberapa hal yang mengindikasikan bahwa Prabu Borosngora adalah Prabu Bunisora:

  1. Kemiripan lafal nama: Sanghyang Borosngora dengan Hyang Bunisora, dalam penyampaian kisah ataupun berita perbedaan pengucapan sering kali terjadi, misalnya: Rahyang dengan Hariang, Adipati dengan Dipati, Pucuk Umun dengan Pucuk Umum, Batara Semplak Waja dengan Batara Sempak Waja dan Batara Cepak waja, dlsb, padahal semuanya itu menunjukkan pada satu maksud yang sama. 
  2. Secara geografis Panjalu berbatasan langsung dengan Kawali (ibukota Kemaharajaan Sunda) sehingga wajar bila ada kaitan yang erat antara keduanya. Panjalu sendiri adalah salah satu kerajaan yang bernaung dibawah Kemaharajaan Sunda. Sangat dimungkinkan dalam sistem politik dan kenegaraan pada jaman itu bila Maharaja Linggabuana naik tahta sebagai Maharaja Sunda, sedangkan adiknya yaitu Hyang Bunisora diangkat sebagai Raja Panjalu. 
  3. Prabu Borosngora di hari tuanya menjadi mubaligh penyiar Islam di Jampang, sedangkan Prabu Bunisora setelah lengser kaprabon hidup sebagai brahmana bergelar Batara Guru di Jampang. 
  4. Prabu Bunisora Mangkubumi Suradipati dimakamkan di Geger Omas, belum diketahui secara pasti dimana letak Geger Omas, tetapi di Kecamatan Panjalu Ciamis terdapat sebuah desa yang berbatasan dengan Kecamatan Kawali bernama Desa Ciomas. Ciomas pernah menjadi ibukota Panjalu pada masa pemerintahan Rahyang Kancana sampai dengan Arya Wirabaya, tepatnya di Dayeuh (kota) Nagasari. 
  5. Di Desa Ciomas ini terdapat makam karomah leluhur:  Dalem Panghulu Gusti dan Dalem Mangkubumi, nama Dalem Mangkubumi kembali mengingatkan kita dengan nama Hyang Bunisora Mangkubumi Suradipati. 
  6. Menurut Babad Panjalu, tokoh yang dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong adalah Prabu Rahyang Kancana putera Prabu Sanghyang Borosngora, sedangkan menurut catatan Sejarah Sunda tokoh yang dimakamkan di Nusa Larang adalah Niskala Wastu Kancana (1371-1475) keponakan sekaligus menantu Prabu Hyang Bunisora Mangkubumi Suradipati (1357-1371).

Jadi, apakah Prabu Borosngora dan Prabu Bunisora adalah pribadi yang sama? Sayang sekali sampai sekarang saya belum menemukan hasil penelitian ataupun data-data yang shahih (valid) yang bisa memastikan bahwa Prabu Borosngora adalah Prabu Bunisora, tetapi hal ini juga tidak menutup kemungkinan bahwa keduanya adalah tokoh yang sama, perlu pendalaman lebih lanjut untuk memastikan dugaan ini.

Referensi


  1. Argadipraja, R. Duke. (1992). Babad Panjalu Galur Raja-raja Tatar Sunda. Bandung: Mekar Rahayu.
  2. Atlas Indonesia & Dunia Edisi 33 Propinsi di Indonesia. (2000). Jakarta. Pustaka Sandro.
  3. Ayatrohaedi. (2005). Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" dari Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.
  4. Babad Tanah Jawi (terj). 2007. Yogyakarta: Narasi.
  5. Ekadjati, Edi S. (1977). Wawacan Sajarah Galuh. Bandung: EFEO.
  6. Ekadjati, Edi S. (2005). Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Jakarta: Pustaka Jaya.
  7. Hidayat, Yayat. Mengenal Warisan Kerajaan Panjalu. Artikel Majalah Misteri Edisi 20 Peb - 04 Mar 2010.
  8. Iskandar, Yoseph (1997). Sejarah Jawa Barat: Yuganing Rajakawasa. Bandung: Geger Sunten.
  9. Muljana, Slamet. (1979). Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara.
  10. Munoz, Paul Michel. (2006). Early Kingdoms of Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet Pte Ltd.
  11. Suganda, Her. Situ Lengkong dan Nusalarang, Wisata Alami yang Islami. Artikel Harian Kompas, 21 Juni 2003.
  12. Suganda, Her. Naskah Sunda Kuno Antara Sejarah dan Nilai Sakral. Artikel Harian Kompas, 24 Mei 2008.
  13. Sukardja, H.Djadja. (2002). Situs Karangkamulyan. Ciamis: H. Djadja Sukardja S.
  14. Sutarwan, Aam Permana. Gus Dur "Merevisi" Sejarah Situ Lengkong Panjalu, Air Situ Lengkong berasal dari Mekah. Artikel Harian Pikiran Rakyat, 10 Juli 2000.
  15. Sumaryadi, Sugeng/Eriez M Rizal. Menengok Rahasia Sukses Warga Panjalu. Artikel Harian Media Indonesia, 13 Maret 2004.
  16. Sumaryadi, Sugeng. Sejarah Panjang yang Terus Dikenang. Artikel Harian Media Indonesia, 13 Maret 2004.
  17. Tim Peneliti Sejarah Galuh (1972). Galuh Ciamis dan Tinjauan Sejarah.
  18. duke-fajar.blogspot.com "Prabu Borosngora adalah Prabu Bunisora?" Diakses 9 September 2018
Baca Juga

Sponsor