Cari

Begini Cara Menyelamatkan Diri dari Tsunami | Naskah Kuno Sunda

Kuil Kamikura - Wakayama. Foto: japantravel.com
[Historiana] - Tsunami beberapa kali melanda Nusantara. Catatan sejarah gempa bumi dan tsunami telah kita bahas dalam artikel "Begini Kisah Leluhur Nusantara Tentang Gempa Bumi Dan Tsunami" dan "Sejarah Gempa Bumi Dan Tsunami Indonesia Sejak Tahun 416 | Berkaca Dari Jepang".

Di tatar pasundan, ada pesan leluhur dari para Mahawiku, Puun atau Resi sebagai berikut:

"Lamun aya caah cai ngagulidag ti sagara. geura lumpat ka kabuyutan" (Jika ada air bah datang dari laut, larilah ke kabuyutan). Seperti kita ketahui, dalam budaya Sunda kuno, kabuyutan atau tempat suci orang Sunda berada di pegunungan. Cara ini sama dengan kearifan lokal Jepang Kuno era Jomon dan Yayoi di Jepang. Jika terjadi gelombang pelabuhan (Tsunami,  tsu = pelabuhan, nami = gelombang, secara harafiah berarti "ombak besar di pelabuhan") larilah ke kuil-kuil.

Dalam perkembangan selanjutnya beberapa kuil Jepang berada di dataran rendah. Di zaman kuno Jepang dan Sunda kuno awal, keberadaan tempat ibadah (kuil) di pegunungan. Sejak zaman Kerajaan Salakanagara Kuil suci atau Kabuyutan berada di tempat tinggi. Diidentifikasi di wilayah Banten, kabuyutan kuno atau mungkin pertama adalah di Gunung Pulosari, Wanahanten Girang.

Tsuruoka hachimangu (Kanagawa). Foto: japantimeline.jp
Kabuyutan Sunda terbagi 2, yaitu "Lemah Parahyangan dan Lemah Dewasasana".Kabuyutan dalam Naskah Kuno yang berkaitan dengan "evakuasi" bahaya dari Tsunami adalah Kabuyutan "Lemah Parahyangan" bukan dimaksud untuk "Lemah Dewasasana". Lemah Dewasasana banyak yang berada di daerah pesisir Sunda Kalapa, Banten, Cirebon Larang, Wanagiri, Sing Apura dan Cimanuk hilir.

Sebagaimana di Sunda, di negeri Sakura Jepang juga, kuil-kuil keagamaan Shinto berada di pegunungan. Belajar dari Jepang pada peristiwa yang sama: Tsunami.


Semoga bermanfaat
*Cag*
Baca Juga

Sponsor