[Historiana] - Jayawarman II (JayavarmanII) adalah raja Kamboja abad ke-9, dan diakui secara luas sebagai pendiri Kerajaan Khmer dan memulai periode Angkor dalam sejarah Kamboja. Raja-raja kemaharajaan Khmer memerintah daratan Asia Tenggara selama lebih dari 600 tahun. Para sejarawan pada awalnya menetapkan masa pemerintahannya dari 802-850 M. Namun banyak juga sarjana yang berpendapat Jayawarman bertahta lebih awal, yaitu 770-835 Masehi.
Kerajaan Khmer atau Kekaisaran Khmer, merupakan kerajaan bangsa Khmer yang berdiri pada kurun waktu 802 sampai 1432 M. Kerajaan Khmer pernah merupakan kerajaan agrikultural terbesar di Asia Tenggara, yang berpusat di wilayah Kamboja sekarang ini. Kerajaan ini, yang memisahkan diri dari Kerajaan Chenla, pada beberapa waktu tertentu pernah memerintah atau menguasai daerah-daerah yang sekarang ini termasuk wilayah Laos, Thailand dan Vietnam.
Prasasti Kehidupan Jayavarman
Ada sedikit yang bisa kita yakini tentang kehidupan Jayawarman. Informasi yang kita miliki tentang deva-raja ini berasal dari prasasti. Banyak dari ini dibuat beberapa abad setelah kematian Jayavarman, dan kadang-kadang saling bertentangan.Misalnya, prasasti Sdok Kak Thom, yang ditulis pada tahun 1052 M umumnya dianggap sebagai 'biografi' kehidupan Jayawarman. Namun, peristiwa kehidupan Jayawarman seperti yang diceritakan dalam prasasti ini tidak ditemukan di tempat lain. Selain itu, dua prasasti dari akhir abad ke-8 M dikatakan menjelaskan kegiatan awal Jayavarman sebagai penguasa, sebelum pendiriannya atas Kerajaan Khmer.
Ketika Sriwijaya berada di bawah kekuasaan raja Dhanarindra yang berasal dari Jawa (Wangsa Sailendra), wilayah kekuasaan Sriwijaya meluas sampai ke Kamboja.
Dhanarindra mendapat julukan “wirawairimathana” yang berarti “penakluk musuh perwira”. Dengan dikuasainya wilayah Kamboja, secara otomatis Kamboja berada di bawah pengaruh kekuasaan Sriwijaya.
Jayawarman II adalah raja bawahan Sriwijaya di Kamboja. Selama berabad-abad, daerah di sekitar delta Sungai Mekong dan Kamboja Tengah, berada di bawah kekuasaan Sriwijaya.
Tapi pada 802, Jayawarman II, yang dilahirkan dan dibesarkan di istana kerajaan Jawa pada masa Wangsa Sailendra, menyatakan bahwa wilayah yang didiami oleh orang Khmer, telah merdeka. Ia kemudian mendirikan kerajaan baru: Angkor.
Jayawarman II dianggap sebagai perintis periode Angkor, yang dimulai dengan ritual upacara suci agung yang dilakukan Jayawarman II pada tahun 802 di atas gunung suci Mahendraparwata, kini dikenal sebagai Phnom Kulen, untuk meresmikan kemerdekaan Kambuja lepas dari kekuasaan Jawa. Pada upacara ini Jayawarman diangkat sebagai penguasa jagat (Kamraten jagad ta Raja dalam bahasa Kamboja) atau Dewa Raja (Deva Raja dalam bahasa Sansekerta). Menurut beberapa sumber, Jayavarman II pernah tinggal di Jawa pada masa kekuasaan wangsa Sailendra, atau "Para Raja Gunung", karena itulah mungkin konsep Dewaraja dipengaruhi oleh Jawa. Pada saat itu raja-raja Sailendra juga sebagai penguasa Sriwijaya menguasai Jawa, Sumatra, dan semenanjung Malaya serta sebagian dari Kamboja.
Berdasarkan prasasti di candi Sdok Kak Thom disebutkan bahwa di puncak gunung Kulen Jayawarman memerintahkan seorang Brahmana bernama Hiranhadama untuk menggelar upacara agama yang disebut dengan kultus dewaraja yang menobatkan Jayawarman II sebagai chakrawartin, penguasa jagat.
Pendirian ibu kota baru Hariharalaya kini terletak di dekat Roluos, adalah wilayah permukiman yang kemudian akan berkembang menjadi kawasan kota Angkor. Meskipun perannya yang penting dalam sejarah Khmer, tidak ditemukan cukup bukti sejarah yang menuliskan mengenai Jayawarman II. Tidak ditemukan prasasti yang dikeluarkan olehnya, akan tetapi namanya disebutkan dalam beberapa prasasti dari zaman berikutnya setelah kematiannya. Ia tampaknya berasal dari keluarga bangsawan, memulai kariernya melalui serbagai penaklukan di beberapa wilayah Kamboja. Ia dikenali sebagai Jayavarman Ibis pada saat itu. “Demi kesejahteraan rakyat dalam bangsa kerajaan yang suci, bunga teratai tidak lagi memiliki tangkai, ia tumbuh berkembang sebagai bunga baru,” demikian pernyataannya dalam sebuah prasasti. Beberapa detail riwayatnya diceritakan dalam prasasti lain: ia menikahi perempuan bernama Hyang Amrita; ia mempersembahkan sebuah candi di Lobok Srot, di tenggara Kamboja.
Perkembangan hingga Keruntuhan
Selama masa pembentukannya, Kerajaan Khmer memiliki hubungan kebudayaan, politik dan perdagangan yang intensif dengan Jawa, dan kemudian dengan Kerajaan Sriwijaya yang terdapat di sebelah selatan batas wilayah Khmer. Peninggalan terbesarnya adalah Angkor, yang merupakan ibukota ketika kerajaan mencapai puncak kekuasaannya. Angkor memperlihatkan betapa besar kekuatan dan kekayaan Kerajaan Khmer, serta memperlihatkan pula adanya beragam kepercayaan yang memperoleh dukungan kerajaan. Agama-agama resmi kerajaan adalah Hindu dan Buddha Mahayana, yang bertahan sampai ketika Buddha Theravada menggantikannya setelah diperkenalkan dari Sri Lanka pada abad ke-13.Pada tahun 1431 atau 1432, Kerajaan Ayutthaya menyerang Kerajaan Khmer dan berhasil mengalahkannya serta menaklukkan Angkor. Keluarga kerajaan Khmer kemudian pindah ke Phnom Penh. Raja Barom Reachea I (1566-1576) sempat secara sementara mengalahkan bangsa Thai, di mana sebagian keluarga kerajaan kembali ke Angkor. Perseteruan kekuasaan antara Angkor dan Phnom Penh, serta kemunduran perekonomian pada akhirnya meruntuhkan Kerajaan Khmer.
Phnom Penh sebagai pewaris Kerajaan Khmer, pada abad ke-17 tumbuh menjadi salah satu pusat perdagangan dan politik di delta sungai Mekong.
Referensi
Albanese, Marilia. 2006. "The Treasures of Angkor". Italy: White StarWidyono, Benny. "Dancing in Shadows: Sihanouk, the Khmer Rouge, and the United Nations in Cambodia". London: Rowman & Littlefield Publisher, Inc.
"Jayavarman II: Self-Proclaimed God-King of the Khmer Empire". ancient-original.net Diakses 9 Januari 2019.