[Historiana] - Sejarah seperti sebuah batu, meringkuk di kedalaman waktu. Bahkan, bisa berabad-abad tertimbun lapisan peradaban sampai akhirnya mengeras dan tak terbaca. Adakah yang masih mengingat Sunda Kalapa zaman Pajajaran? Sebagai puing, ia ibarat sejarah yang luka….
Tak mudah menemukan gambaran utuh Sunda Kalapa sebagai wilayah pesisir Pasundan sekaligus menjadi pelabuhan internasional di zaman Pajajaran. Bukan perkara letak geografisnya yang tidak diketahui, banyak sejarah membahas Sunda Kalapa sebagai Cikal Bakal DKI Jakarta. Sepanjang sejarah yang kita baca selama ini hanya sebatas penaklukan Sunda Kalapa oleh Fatahillah. Padahal sebelumnya Sunda Kalapa sebagai suatu wilayah pemukiman dan penguasanya tidak tergambar dengan jelas.
Sunda Kalapa di bawah Kerajaan Pajajaran
Dalam masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi) mencatat adanya kerjasama Kerajaan Pajajaran dan Portugis terkait pelabuhan milik Pajajaran. Putera mahkota, Surawisesa diutus Pajajaran untuk perjanjian itu.Surawisesa adalah putera Sri Baduga Maharaja, Surawisesa dari permaisuri (garwa padmi) Kentring Manik Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal. Ia dipuji oleh Carita Parahiyangan dengan sebutan "kasuran" (perwira), "kadiran" (perkasa) dan "kuwanen" (pemberani). Selama 14 tahun memerintah ia melakukan 15 kali pertempuran. Pujian penulis Carita Parahiyangan memang berkaitan dengan hal ini.Sunda Kalapa dipimpin seorang Adipati atau Bupati. Di zaman Prabu Sribaduga Maharaja ataupun ketika Surawisesa naik tahta, tidak ada informasi mengenai nama penguasa Sunda Kalapa. Hanya diberitakan bahwa Bupati Sunda Kalapa beserta seluruh anggota keluarganya gugur akibat serangan kerajaan Demak.
Menurut Ali Sasramijaya, ketika Malaka jatu ke tangan Portugis tahun 1511 Masehi (1431 Caka), Sunda Kalapa saat itu dipimpin Tumenggung Jayamanggala sebagai adipati Pakwan di Sunda Kelapa. Selanjutnya yang memimpin Sunda Kalapa sekira tahun 1513 Masehi adalah Dipati Krandha, yaitu bupati Sunda Kelapa, atau dipati Kalapa Pasisir. Ia memiliki anak perempuan dan laki-laki. Anak perempuan bernama Suriyah dan anak laki-laki bernama Adhipati Surakerta. Adhipati Krandha meninggal, 1434 Caka (1513 Masehi). Adhipati Surakerta menikahi Déwi Surawati, yaitu adik perempuan Prabhu Surawisesa. Sementara, Sariyah menikah dengan Kyai Aryya Baroh.
Kyai Aryya Baroh, yaitu seorang pedagang yang kaya dari Parlak Baroh di Sumatera sebelah utara. Ki Baroh datang di Sunda bersama dengan rakyat pengikutnya dan membawa kekayaan, permata, emas, perhiasan, intan, berjenis‑jenis barang dan yang lainnya lagi, juga guru‑guru agama Islam dari Malaka, Pasai, Perlak dan juga dari negara seberang.Karena pada waktu itu, banyak orang dari Malaka dan Sumatera sebelah utara datang menyingkir ke Pulau Jawa, termasuk Jawa Barat, terutama para pedagang dan guru-guru agama Islam, karena Malaka ditundukkan dan di kuasai oleh kesatuan bersenjata Portugis.
Pada tahun 1434 – 1443 Caka (1513 – 1521 Masehi) = 9 tahun.Setelah Adhipati Krandha meninggal, kepemimpinan dipegang langsung Surawisesa. Sepertinya sudah menjadi budaya birokrasi Pajajaran, putra mahkota akan memimpin kerajaan atau daerah bawahan sebelum dilantik menjadi raja. Saat menjadi Adipati, ia disebut "Rajamuda Surawisesa". Sedangkan nama nobatnya "Ratu Sanghyang Surawisesa Jayengrana". Karena berbeda pelafalan, Portugis menyebut Prabu Surawisesa, Raja Sanghiyang dengan "Raja Samiam".
Nagara Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso d'Albuquerque (Laksamana Bungker) di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali (1512 dan 1521). Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan penjajakan pihak Portugis pada tahun 1513 yang diikuti oleh Tome Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan Pajajaran atau disingkat Pakuan atau Pajajaran (sekarang kota Bogor) pada tahun 1522. Dalam kunjungan itu disepakati persetujuan antara Kerajaan Sunda dan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan.
Dari perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak memegang satu) Menurut Soekanto (1956) perjanjian itu ditandatangai 21 Agustus 1522. Ten Dam menganggap bahwa perjanjian itu hanya lisan. Namun, sumber Portugis yang kemudian dikutip Hageman menyebutkan "Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield".
![]() |
Prasasti "Padrao" dan Surat Perjanjian kerjasama Pajajaran -Portugis Sumber: Heuken 2007. |
Maka pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua "costumodos" (kurang lebih 351 kuintal) sebagai tanda persahabatan.
Sebuah batu peringatan atau padraõ dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Padrao dimaksud disebut sebagai layang salaka domas dalam cerita rakya Sunda Mundinglaya Dikusumah. Padraõ itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut Prinsenstraat (Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Nelayan Timur) di Jakarta.
Perjanjian Pajajaran - Portugis sangat mencemaskan Sultan Trenggana, Sultan Demak III. Selat Malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Samudra Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus. Trenggana segera mengirim armadanya di bawah pimpinan Fadillah Khan yang menjadi Senapati Demak. Selanjutnya Sunda Kalapa jatuh ke tangan Demak.
Gambaran Kota Sunda Kalapa
Penjelajah Eropa dari Protugis yang menginjakan kaki di Sunda Kalapa menggambarkan suasana kota. Jalan-jalan tanah dengan deretan rumah di sisi kiri dan kanannya. Di depan rumah yang terbuat dari bambu atau kayu tersebut dihiasi pagar bambu yang rapi serta di cat warna putih menggunakan kapur. Di beberapa titik jalan yang dilalui terdapat patung. Namun jenis patung apa tidak dijelaskan. Mungkin karena ketidaktahuan orang portugis.
Gambaran pelabuhannya menurut laporan Portugis menjelaskan bahwa Sunda Kelapa terbujur sepanjang satu atau dua kilometer di atas potongan-potongan tanah sempit yang dibersihkan di kedua tepi sungai Ciliwung. Tempat ini ada di dekat muaranya yang terletak di teluk yang terlindung oleh beberapa buah pulau. Sungainya memungkinkan untuk dimasuki 10 kapal dagang yang masing-masing memiliki kapasitas sekitar 100 ton. Kapal-kapal tersebut umumnya dimiliki oleh orang-orang Melayu, Jepang dan Tionghoa. Di samping itu ada pula kapal-kapal dari daerah yang sekarang disebut Indonesia Timur. Sementara itu kapal-kapal Portugis dari tipe kecil yang memiliki kapasitas muat antara 500 - 1.000 ton harus berlabuh di depan pantai. Tome Pires juga menyatakan bahwa barang-barang komoditas dagang Sunda diangkut dengan lanchara, yaitu semacam kapal yang muatannya sampai kurang lebih 150 ton.
Abad ke-17, Sunda Kalapa menurut orang Portugis sebagai bagian dari Kerajaan Sunda. Di kala orang portugis datang, ia mengkategorikan Kerajaan Sunda beragama Hindu seperti Blambangan. Sementara digambarkan bahwa Jawa dikuasai Kesultanan Mataram.
![]() |
Jakarta (Batavia) tahun 1709. Sumber: commons.wikipedia.org Atribusi: Tropenmuseum |
Tome Pires yang menyusuri pesisir utara Pulau Jawa pada tahun 1513 telah singgah di enam kota pelabuhan di wilayah Kerajaan Sunda, yaitu Banten, Pontang, Cikande, Tangerang, Kalapa dan Cimanuk. Beliau singgah pula di kota pelabuhan Cirebon di luar wilayah Kerajaan Sunda (Cortesao 1944: 167-173). Kerajaan Sunda telah dijelaskan Tome Pires (Cortesao Ibid: 166):
First the king of Çunda with his great city of Dayo, the towns and lands and port of Bantam, the port of Pontang (Pomdam), the port of Cheguide, the port of Tamgaram, the port of Calapa, the port of Chi Manuk (Chemano); this is Sunda, because the river of Chi Manuk is the limit of both kingdoms.Joao de Barros, orang Portugis lain yang pada tahun 1516 mencatat tentang Kerajaan Sunda telah menerangkan bahwa pedalaman Sunda lebih bergunung-gunung daripada wilayah pedalaman Jawa. Negeri ini sangat kaya dengan bermacam-macam makanan. Penduduknya tidak suka perang, dan hidup mereka mengutamakan penyembahan dewa. Namun, dari seluruh kerajaan dapat dikerahkan sebanyak 100.000 orang tentera (Djajadiningrat 1983:83-84). Ternyata maklumat itu sejalan dengan keadaan alam Tatar Sunda masa sekarang.
Kalapa telah disebut sebagai kota pelabuhan dalam Bujangga Manik (BM), Carita Parahiyangan (CP) dan The Suma Oriental of Tome Pires (SOTP). Kota itu terletak di muara Sungai Ciliwung dan adalah kota pelabuhan utama Kerajaan Sunda. Namanya telah berubah berulang kali, yaitu Jayakarta (1527), Batavia atau Betawi (1619), dan Jakarta (1942).[6] Ia pernah disinggahi Bujangga Manik dan Tome Pires. Kiranya Bujangga Manik tidak menjelaskan keadaan kota pelabuhan itu, tetapi Tome Pires menerangkannya:
(Pelabuhan Calapa adalah pelabuhan yang luar biasa. Itu yang paling penting dan terbaik dari semuanya. Di sinilah perdagangan terbesar dan ke mana mereka semua berlayar dari Sumatra, dan Palembang, Laue, Tamjompura, Malaka, Makasar, Jawa dan Madura dan banyak tempat lainnya. ... Pelabuhan ini adalah perjalanan dua hari dari kota Dayo di mana raja selalu tinggal, sehingga inilah yang dianggap paling penting)
The port of Calapa is a magnificent port. It is the most important and best of all. This is where the trade is greatest and whither they all sail from Sumatra, and Palembang, Laue, Tamjompura, Malacca, Macassar, Java and Madura and many other places. … This port is two days’ journey from the city of Dayo where the king is always in residence, so that this is the one to be considered the most important (Cortesao 1944: 172).
![]() |
1860: Pelabuhan Sunda Kelapa di sungai Ciliwung, Jakarta. Foto: commons.wikipedia.org |
![]() |
Jayakarta sekitar 1605–8, sebelum dihancurkan oleh Belanda, menampilkan struktur-struktur awal pra-kolonial sebelum Batavia didirikan. |
Bangsa Asing di Sunda Kalapa
Sebagai kota pelabuhan internasional di zamannya, tentu banyak didatangi pelbagai bangsa. Bangsa Eropa, India, Tingkok, Champa (Vietnam) dan Ryukyu (Okinawa Jepang). Bangsa-bangsa asing ini hadir dalam sebuat interaksi mutualisme dalam perdagangan. Daripadanya terjadi transfer pengetahuan, budaya bahkan religi yang kelak akan berpengaruh di Nusantara.Penjelasan mengenai pelabuhan Sunda Kalapa ini juga diperkuat oleh keterangan seorang pelaut Belanda
Jan Huygen van Linschoten, yang menemukan rahasia-rahasia perdagangan dan navigasi bangsa Portugis, dalam karyanya Itinerario, Lincshoten mengungkapkan bahwa "pelabuhan utama di pulau ini (Jawa) adalah Sunda Calapa. Di tempat ini didapati sangat banyak lada yang bermutu lebih tinggi daripada lada India atau Malabar..."
Bangsa Ryukyu Jepang telah lama mengunjungi Sunda Kalapa dan Tuban di Pulau Jawa. Bahkan jika Anda membaca teori Out of Sundaland bahwa Jepang kuno (di zaman Yayoi dan Jomon) berasal dari Sundaland atau Asia Tenggara sekarang ini. Baca juga: "Atlantis: Bangsa Jepang Turunan Jawa Sundaland? - Out of Sunda? Provenance of the Jōmon Japanese".
Bahkan Majapahit mengunjungi Ryukyu Jepang 5 kali dan delegasi kerajaan Jepang mengunjungi Majapahit 15 kali. Setelah Belanda menjajah Indonesia kunjungan antara masyarakat Jepang dan Indonesia tidak sepopuler sebelumnya, Perjanjian Bungaya mengakhiri kunjungan bangsa asing di Sunda Kalapa karena menjadi hak monopoli Belanda.
Orang Ainu-Jepang (1902). Foto: wikipedia |
Dia berhipotesis bahwa kedatangan imigran dari Asia Tenggara ke Jepang selama periode Jomon sebagian besar akibat dari banjir bekas benua Asia Tenggara dari Sundaland, Wallacea, dan mungkin utara Sahulland pada akhir Zaman Es.
Di daerah Jakarta-Bekasi ditemukan peninggalan prasejarah yang sezaman dengan Ainu Jepang (500 SM). Artefak temuan berupa manik-manik, penutup wajah dari emas, tembikar dan lain-lain.
Temuan artefak tembikar menunjukkan sumber barang berasal dari luar negeri. Diantaranya ada yang berasal dari Jepang, Tiongkok dan India.
Dan sekali lagi sejarah cuma batu yang bisu, tak akan bicara jika tidak diberi makna sebagai tonggak perjalanan peradaban manusia.
Referensi
- Tarling, Nicholas (ed). 1999. "The Cambridge History of Southeast Asia: Volume Two from c. 1500 to c. 1800". Cambridge University Press. googlebooks
- Barbosa, Duarte. 1918. The Book of Duarte Barbosa. London: The Hakluyt Society.
- Cortesao, Armando. 1944. The Suma Oriental of Tome Pires. London: The Hakluyt Society.
- Atja & Saleh Danasasmita. 1981c. Carita Parahiyangan. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
- Danasasmita, Saleh. 1975. Latar Belakang Sosial Sejarah Kuno Jawa Barat dan Hubungan antara Galuh dengan Pajajaran. Dalam: Atja (Editor). Sejarah Jawa Barat: Dari Masa Prasejarah hingga Masa Penyebaran Agama Islam, hlm. 40-81. Bandung: Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Propinsi Jawa Barat.
- Darsa Undang A. & Edi S. Ekadjati. 2003. Fragmen Carita Parahiyangan dan Carita Parahiyangan. Dlm. Tulak Bala: Sistim Pertahanan Tradisional Masyarakat Sunda, Ajip Rosidi (Editor). hlm. 173-208. Bandung: Pusat Studi Sunda (Seri Sundalana I).
- Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten: Sumbangan bagi Pengenalan Sifat-sifat Penulisan Sejarah Jawa (Penterjemah: KITLV bersama LIPI). Jakarta: Djambatan.
- Heuken, A (2002) The Earliest Portuguese Sources for the History of Jakarta: including all other historical documents from the 5th to the 16th centuries. Jakarta: Cipta Loka Caraka. researchgate.net Diakses 16 Januari 2019