Cari

Duhung, Senjata Tradisional Suku Dayak | Apakah darinya Istilah Kaduhung dalam Bahasa Sunda?

Duhung, Senjata Suku Dayak . Foto: IndonesiaKaya.com
[Historiana] - Selama ini, kita lebih mengenal mandau dan parang sebagai senjata tradisional yang dimiliki suku Dayak. Padahal, suku yang mendiami daerah pesisir Pulau Kalimantan ini memiliki satu lagi senjata tradisional, yaitu duhung.

Konon, senjata tradisional ini diyakini sebagai senjata tertua suku Dayak. Masyarakat Dayak meyakini duhung sudah tercipta ketika manusia belum ada di dunia. Duhung merupakan senjata yang diciptakan oleh leluhur suku Dayak di alam atas, kayangan.

Manusia pertama yang memiliki duhung adalah mereka yang dipercaya sebagai leluhur suku Dayak. Pada awalnya, hanya tiga orang yang memiliki duhung, yaitu Raja Sangen, Raja Sangiang, dan Raja Bunu.

Menurut legenda, ketiga raja tersebut memiliki duhung yang berbeda. Duhung milik Raja Sangen dan Raja Sangiang terbuat dari besi yang bisa mengapung. Sementara, duhung milik Raja Bunu terbuat dari besi yang tidak bisa mengapung. Duhung jenis ini biasa disebut sanaman leteng. Raja Bunu inilah yang diyakini sebagai manusia yang bernyawa dan bisa mati, dan diyakini sebagai salah satu leluhur dan nenek moyang suku Dayak. Senjata yang ukurannya berkisar 50-75 cm ini dahulu digunakan sebagai alat berburu atau bercocok tanam. Dalam perkembangannya, saat ini duhung tidak lagi berfungsi sebagai senjata melainkan benda pusaka yang dipajang atau disimpan.

Sekilas, duhung terlihat seperti tombak. Hanya saja, duhung tajam pada kedua belah sisinya. Masyarakat Dayak biasa menyelipkan duhung di bagian depan pinggang. Duhung jenis ini biasa disebut dengan duhung papan benteng.

Menurut para tetua Suku Dayak, pembuatan duhung harus selesai pada hitungan ganjil. Hal ini didasarkan kepercayaan bahwa segala hal akan diselesaikan atau digenapkan oleh Sang Maha Kuasa.

Adakah hubungannya dengan Kaduhung dalam bahasa Sunda?

Istilah Keris dalam artikel "Interpretasi Visual terhadap Bentuk dan Fungsi Kujang Huma Pamangkas..." disamakan dengan "Duhung" atau mungkin dahulunya berasal dari senjata Duhung. Sedangkan dalam Budaya Sunda ada beberapa pekakas atau senjata yang disebut Kudi, Badi(k), dan Kujang.

 

Senjata Duhung ini juga dikenal dan digunakan oleh para Kandaga Lanten Kerajaan Pajajaran. Diantaranya Duhung/Badik Curuk Aul I dan II milik Sanghyang Hawu. Duhung Curuk Aul I dan II milik Sanghyang Hawu ini sekarang disimpan di Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang.

 

Analisis strukturalis (structuralism) terhadap karakter bentuk kujang, dimulai dari kajian terhadap struktur bahasa Sunda yang terdapat kosa kata kudi, badi (badik) dan duhung (keris) yang berasal dari kata sifat nyisikudi (artinya mengganggu, atau secara harfiah nyisik-kudi berarti meraba di sekitar kudi yang berbahaya), kabadi (artinya terkena kutukan, berasal dari ka-badi yaitu terkena tusukan badik), dan kaduhung artinya menyesal, berasal dari kata ka-duhung atau tertusuk duhung (keris dalam bahasa Sunda). Interpretasi terhadap struktur bahasa Sunda ini, memperlihatkan bahwa kudi, badi dan duhung adalah benda atau senjata yang berbahaya. Namun kata ‘kujang’ tidak ditemukan secara eksplisit sebagai benda atau senjata yang berbahaya. Kata ‘kujang’ merupakan bukti telah berubahnya nilai-nilai negatif dalam karakter kudi, karena telah menjadi kudi yang sakral atau kudi yang suci.


Dalam bahasa Sunda kita mengenal istilah "Kaduhung" yang diterjemahkan sebagai "penyesalan". Biasanya dalam kata peribahasa  "ulah kaduhung jagana" (Jangan sampai menyesal akhirnya). Ada yang menarik bahwa istilah bahasa Sunda ini menunjukkan nama benda, seperti dalam peribahasa "sa bobo sa pihanean" yang diartikan se iya se kata atau seiring sejalan. "Bobo" dan "Pihanean" adalah sebuah alat yang merupakan bagian dari alat tenun tradisional kuno di tatar Pasundan. Istilah ka duhung setara dengan ka arit (terkena arit), ka panah (terpanah/terkena panah), ka pecut (tercambuk). Kata ka dalam contoh tersebut bukan "ke" seperti dalam bahasa Indonesia yang berarti "menuju". Jadi "ka" sebagai imbuhan awalan. Awalan "ka" sama dengan kata "ter" dalam bahasa Indonesia yang berfungsi sebagai "pembentuk kata kerja pasif".



Kita kembali ke kata "Duhung". Istilah kaduhung bisa berarti tertusuk duhung? Tentunya mengakibatkan penyesalan yang tiada terkira. Kenapa bisa mengambil istilah dari bahasa Suku Dayak? Mungkin saja. Dalam naskah Sunda Kuno "Ratu Pakuan", menyebutkan bahwa Prabu Siliwangi juga memiliki istri (selir) bernama Nhay Atra Wangi dari Pulau Balangah (Balangan?) yang kini berlokasi di Pulau Kalimantan sebagai Kabupaten Balangan. Baca juga "Kekerabatan Suku Dayak Maanyan dan Sunda".

"...nu geulis Atra Wangi/ ahisna Ratu Gubak tuhan Marihak/ putri ti Nusa Balangah." (yang cantik Atra Wangi, adiknya Ratu Gubak tuan Marihak, puteri dari Pulau Balangah.?

Dari kutipan di atas, disebutkan adanya putri cantik bernama "Atra Wangi" adiknya "Ratu Gubak Tuan Marihak" seorang Putri dari Pulau Balangah. Artinya Putri dari Pulau Balangah ini hadir sebagai saudara atau kerabat Maharaja Siliwangi. Putri Atra Wangi menghadiri dan mengikuti iring-iringan menuju Pakuan Pajajaran.

Dimanakah Pulau Balangah itu? Dalam hal ini penulis menggaris-bawahi sebagai tempat yang berada di luar Jawa. Meskipun disebut Pulau, tidak berarti merupakan pulau tersendiri dengan nama "Balangah". Atribusi untuk hal ini terlihat pada baris yang lain dalan Carita Ratu Pakuan dalam penyebutan "Pulau Palembang" dan yang kini kita ketahui bahwa Palembang bukanlah berbentuk sebuah Pulau, melainkan toponimi (nama tempat) yang berada di Pulau Sumatera (Andalas) dan di Luar Jawa.

 

Referensi

  1. Ayatrohaedi.  2000.  "Sundakala". Jakarta: Pustaka Jaya
  2. Ekajati, Edi S. 2005. "Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah". Jakarta: Pustaka Jaya 
  3. Ekajati, Edi S.,1984. "Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya". Jakarta: Girimukti Pasaka 
  4. Moebirman.  1970.  "Keris and Other Weapon of Indonesia". Jakarta: Yayasan Pelita Wisata 
  5. Putra, Edi Setiadi. 2011. "Interpretasi Visual terhadap Bentuk dan Fungsi Kujang Huma Pamangkas dengan Uji ANOVA (Analysis Of Variance) dan  VAS (Visual Analog Scale)". Jurnal Itenas Rekarupa, FSRD-Itenas No.1 Vol.I - Januari – Maret 2011. Bandung: Institut Teknologi Nasional. Download pdf Diakses 31 Mei 2019.
  6. Putra, Setiadi Edi. 2010. "Kajian Bentuk dan Fungsi pada Kujang Huma Pamangkas". Thesis: FSRD-ITB.
  7. Rosidi,  Ajip.  Dkk.  2000.  "Ensiklopedi Sunda". Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya
  8. Sumardjo, Jakob. 2003. "Estetika Paradoks". Bandung: Sunan Ambu Press  
  9. Suryadi.  2008.  "Kujang Sebagai Pusaka Tradisi Sunda: Tinjauan Estetik dan Simbolik". Thesis FSRD-ITB.
Baca Juga

Sponsor