Perkembangan ilmu kebumian di akhir dekade ini telah merubah sudut pandang dan pemahaman kita tentang keberadaan populasi manusia di Asia Tenggara, termasuk kepulauan Indonesia dan sekitarnya. Hipotesis yang selama ini berkembang adalah wilayah kepulauan Indonesia dianggap sebagai penghubung antara wilayah Asia dan Pasifik di timur jauh dalam konteks migrasi manusia. Keberadaan temuan-temuan manusia purba di beberapa tempat di Indonesia khususnya di Pulau Jawa (Homo erectus) dan Pulau Flores (Homo floresiensis) memperkuat indikasi tersebut. Sebagai manusia yang dilahirkan di Indonesia, maka pertanyaan yang sering muncul di benak kita adalah apakah keberadaan mereka di Kepulauan Indonesia merupakan bukti bahwa mereka nenek moyang kita.
Manusia merupakan makhluk hidup yang selalu penasaran akan keberadaannya di dunia. Rasa penasaran ini tercermin dari munculnya kajian-kajian evolusi, asal-usul maupun proses migrasi manusia di Bumi. Indonesia sebagai wilayah geologi yang mengandung banyak temuan ilmiah di bidang paleoanthropology (kajian manusia purba) dalam sudut pandang ilmiah dianggap menyimpan fakta-fakta dan cerita tentang perkembangan manusia pada jaman dulu di nusantara. Bukti ilmiah tersebut adalah fosil manusia purba Homo erectus yang ditemukan di Pulau Jawa, di bagian timur, yaitu di sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo.
Terlepas dari berbagai pendapat yang menyatakan bahwa Homo erectus merupakan jenis manusia yang lain dengan kita atau ia hanyalah salah satu ras manusia yang telah punah, tulisan ini hanya menyoroti tentang keberadaan kita sebagai manusia yang lahir dan hidup di masa sekarang di Kepulauan Indonesia dan hubungannya dengan fosil-fosil manusia yang pernah ditemukan di Indonesia khususnya di Jawa. Berdasarkan temuan-temuan fosil Homo erectus di Pulau Jawa, beberapa peneliti beranggapan bahwa Homo erectus tersebut adalah nenek moyang manusia modern Indonesia. Untuk memverifikasi hal ini, kita harus melihat permasalahan ini dalam konteks yang lebih luas, dalam hal ini dilihat dari aspek biologi dan geologinya.
Manusia Purba vs Manusia Modern
Sejumlah fosil manusia purba di Indonesia kebanyakan ditemukan di Pulau Jawa dengan Homo erectus sebagai temuan utamanya di kisaran umur Plistosen Tengah atau sekitar 800 – 400 ribu tahun yang lalu (tyl). Hal ini patut dimengerti, karena dilihat dari alur migrasinya, para peneliti meyakini bahwa sekitar 1,9 juta tyl (Plistosen Awal), manusia purba Homo erectus telah hidup di daratan Asia dan kemudian menyebar ke Asia Tenggara. Hal ini didukung oleh temuan-temuan fosil Homo erectus di Kepulauan Indonesia bagian baratFosil merupakan bukti-bukti makhluk hidup di masa lalu baik jasad, cetakan, maupun jejaknya yang kemudian terawetkan secara alami dan umurnya di atas 11.000 tyl (lebih tua dari Holosen). Para ahli membedakan fosil manusia dari anatominya menjadi dua kelompok, yaitu fosil manusia purba yang memiliki bentuk anatomi yang bisa dibedakan dengan manusia sekarang; dan fosil manusia dengan anatomi yang sama dengan manusia sekarang yang disebut para ahli sebagai fosil AMH (Anatomical Modern Human). Fosil-fosil Homo erectus di Indonesia yang ditemukan di batuan sedimen berumur Plistosen merupakan contoh fosil manusia yang secara anatomi dimasukkan ke dalam kelompok manusia purba. Secara umum peneliti beranggapan bahwa manusia purba Homo erectus dibedakan dari kita berdasarkan bentuk anatomi seperti ukuran volume otak dan bentuk tengkoraknya. Fosil manusia selain Homo erectus di Indonesia yang dianggap berbeda dengan fosil AMH adalah Homo floresiensis yang ditemukan di Pulau Flores. Awalnya keberadaan Homo floresiensis masih diperdebatkan karena memiliki ciri manusia purba dan manusia modern, tetapi pada akhirnya para ilmuwan cenderung menganggap Homo floresiensis sebagai manusia yang lain di banding manusia sekarang.
Homo Floesiensis. Foto: Human Origins - Smithsonian Institution http://humanorigins.si.edu |
Contoh fosil manusia yang masuk kategori AMH di Indonesia adalah fosil manusia Wajak Homo wajakensis yang ditemukan di daerah pegunungan kars Tulungagung Jawa Timur. Fosil manusia Wajak ini berumur kurang lebih 60-40 ribu tyl dan anatominya sama dengan anatomi manusia sekarang. Para peneliti meyakini bahwa manusia Wajak ini mirip dengan manusia modern dari ras Austromelanesoid (ras yang sekarang hidup di daerah Indonesia Timur seperti Papua). Yang menarik adalah belum ada temuan manusia modern dari ras Mongoloid di Indonesia barat yang ditemukan lebih tua dari manusia Wajak. Padahal ras Mongoloid merupakan ras manusia modern yang hidup di Indonesia barat pada masa sekarang. Fakta ini memunculkan hipotesis bahwa manusia modern pertama yang menghuni Indonesia barat adalah ras Austromelanesoid yang kemudian disusul oleh Ras Mongoloid.
Migrasi
Sebaran temuan Homo erectus merupakan fenomena tersendiri dalam kajian migrasi manusia purba di Indonesia. Hal yang menarik adalah bahwa berdasarkan bukti-bukti fosil yang diketemukan, penyebaran mereka berhenti di bagian barat Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Belum pernah ada temuan Homo erectus yang ditemukan di Indonesia Timur. Dalam sudut pandang geokronologi, keberadaan manusia purba ini di Indonesia diduga hanya sampai di Plistosen Akhir (kurang lebih 100.000 tyl). Hilangnya Homo erectus ini kemudian tergantikan oleh keberadaan manusia modern/AMH yang muncul di kisaran umur 60.000-40.000 tyl. AMH ini umumnya juga disebut sebagai manusia prasejarah. Beberapa data tentang jejak hunian manusia di sekitar umur tersebut dijumpai di Gua Lang Rongrien di Thailand, Gua Niah di Sarawak, Malaysia (46.000 tyl) dan Gua Tabon di Palawan, Filipina (47.000 tyl); Wajak, Tulungagung, Indonesia dan Leang Burung, Makasar, Indonesia. Semua data ini mendukung dugaan bahwa AMH pertama datang ke Kepulauan Indonesia di kisaran umur 60-40 ribu tyl. Disisi lain, AMH pertama di Australia ditemukan di kisaran umur 50.000 tyl. Para ilmuwan beranggapan bahwa AMH di Kepulauan Indonesia merupakan nenek moyang dari AMH pertama di Australia ini.Kembali ke pertanyaan siapakah nenek moyang manusia modern di Indonesia? Salah satu pendekatan ilmiah untuk menjawab hal ini adalah penerapan penelitian di bidang genetika karena pendekatan genetika dianggap paling mampu dan akurat untuk diterapkan dalam studi migrasi manusia. Walaupun sampai sekarang belum ada data DNA dari Homo erectus, beberapa hipotesis dengan pendekatan genetika dimunculkan dalam menjawab pertanyaan tersebut. Mendez (2012) mengajukan hipotesis bahwa ada kemungkinan nenek moyang manusia modern AMH di kepulauan Indonesia dalam proses migrasinya dari daratan Asia sampai semenanjung Malaya bertemu dengan manusia Homo erectus yang sudah hidup di daerah tersebut. Pertemuan ini menurunkan populasi manusia modern yang hidup di kepulauan Indonesia dan menggantikan keberadaan Homo erectus di Indonesia yang punah di kisaran umur 100.000 tyl.
Hipotesis seperti di atas sah-sah saja diajukan dalam sudut pandang ilmiah, tetapi harus diperhatikan bahwa suksesnya pendekatan genetika dalam studi migrasi manusia sekarang adalah karena melimpahnya data spesimen berupa DNA yang mudah didapatkan dari manusia yang hidup di masa sekarang. Berbeda dengan fosil yang keberadaan DNA-nya sangat jarang terawetkan dengan utuh, apalagi di daerah ekuator kecil seperti Indonesia yang mengakibatkan iklim utamanya berupa iklim tropis dimana iklim tropis yang panas semakin meningkatkan proses kerusakan materi DNA pada suatu spesimen.
Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa sampai sekarang belum ada data DNA dari Homo erectus, sehingga kemungkinan Homo erectus sebagai nenek moyang AMH di Indonesia merupakan hipotesis yang masih sangat spekulatif. Fakta yang pasti adalah manusia purba Homo erectus di Indonesia menghilang di kisaran 100.000 tyl, kemudian manusia modern (AMH) muncul di kisaran 60-40 ribu tyl. Jadi apakah Homo erectus merupakan nenek moyang kita atau bukan, kemudian apakah Homo erectus hanyalah sebuah ras manusia yang punah atau memang jenis manusia yang berbeda dengan kita, masih merupakan pertanyaan dan misteri yang belum bisa dijawab oleh ilmu pengetahuan di masa sekarang. Satu hal yang pasti adalah kajian migrasi manusia purba selalu bersinggungan dengan kajian asal-usul manusia yang sangat sensitif yang pada ujungnya dipertanyakan posisi proses penciptaan kita sebagai salah satu makhluk hidup di dunia. Kajian yang komperhensif dan pikiran yang jernih merupakan syarat agar kita tidak terjebak dalam kesimpulan yang membuat kita menjauh dari-Nya.■
Penulis bekerja di Museum Geologi, Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, KESDM