Cari

Niskala Wastu Kancana - Maharaja Sunda Galuh

Sketsa Imajiner Mahaprabu Niskala Wastukancana

[Historiana] - Niskala Wastu Kancana atau Anggalarang atau Wangisutah lahir di Galuh, Kawali pada tahun 1348 dan wafat pada tanggal 1475, di Kawali, Ciamis. Niskala Wastu Kancana adalah raja dari Kerajaan Sunda Galuh bersatu dan memerintah antara tahun 1371 hingga 1475. Sebelumnya didahului oleh pamannya, Prabu Guru Mangkubumi Bunisora Suradipati atau Prabu Guru di Jampang (1357-1371) yang memerintah setelah kakaknya, Prabu Maharaja Linggabuana, gugur di Palagan Bubat.

Prabu Linggabuana,  dinobatkan pada tanggal 14 bagian terang bulan Palguna tahun 1272 Saka (22 Pebruari 1350 Masehi) dengan nama nobat: Prabu Maharaja Linggabuana. Dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari, didampingi oleh adiknya, Sang Bunisora (Borosngora), yang bergelar Mangkubumi Saradipati.

Dari Sang Permaisuri Dewi Lara Linsing, Prabu Maharaja Linggabuana memperoleh putera:
  1. Dyah Pitaloka, lahir tahun 1339 Masehi, oleh kakeknya diberi nama Citraresmi;
  2. Putera kedua laki laki, meninggal dalam usia 1 tahun;
  3. Putera ketiga laki laki, meninggal dalam usia 1 tahun;
  4. Wastu Kancana, lahir tahun 1348 Masehi.
Tibalah saat yang bahagia, karena Sang Puteri Dyah Pitaloka, menginjak usia 18 tahun, dan dilamar oleh Bhre Wilwatikta: Prabu Hayam Wuruk.

Sang Prabu Linggabuana Maharaja Sunda, akan mengadakan pesta perkawinan puterinya di Majapahit. Demikianlah, menurut keinginan sang Maharaja Majapahit Prabu Hayam Wuruk.

Setiba di sana, puteri mahkota Sunda itu, ternyata harus diserahkan kepada Bre Prabu Majapahit, sebagai isteri persembahan (upeti). Sesungguhnya, hal itu amat bertentangan, dengan janji Bre Majapahit sendiri. Karena itu, Prabu Maharaja Sunda, tidak bersedia menyerahkan puterinya.

Sesungguhnya, sebelumnya, Bre Prabu Majapahit sudah menjanjikan, bahwa sang puteri Citraresmi, akan diperisteri (resmi), dan dijadikan permaisuri. Akan tetapi, janji tersebut tidak ditepatinya. Bahkan ia, sepertinya ingin menguasai negeri Sunda di Jawa Barat.

Sesungguhnya, hal itu, hanya ulah dan kehendak Sang Patih Mada. Sang Prabu Hayam Wuruk, selalu menyetujui keinginan Patihnya. Semua orang mengetahui, bahwa yang menyakiti hati orang Sunda itu, adalah Sang Patih Mada.

Utusan Sang Prabu Maharaja Sunda, dengan Sang Patih Gajah Mada, sama sama mengeluarkan perkataan yang tidak layak. Akhirnya, meluaplah hati Sang Patih Mada. la menjadi berang, lalu memerintahkan laskar Majapahit, siap untuk bertempur.

Semua pasukan Majapahit, mengenakan pakaian perang dan membawa berbagai macam senjata. Di antara mereka, ada yang menunggang gajah, ada yang berkuda, ada yang naik kereta, dan beberapa ratus orang berjalan kaki, dengan persenjataan lengkap.

Sang Prabu Maharaja termenung sejenak, lalu menundukkan kepala. Hatinya cemas dan ragu ragu. Betapapun, tidak mungkin para kesatria Sunda memenangkan pertempuran, melawan angkatan perang Majapahit yang sedemikian besar jumlahnya. Namun seandainya mereka kalah dan gugur, kehormatanlah yang harus dipertaruhkan.

Lalu berkumpullah orang-orang Sunda, semuanya hanya 98 orang, di Pasanggrahan (kemah) tempat Sang Prabu Maharaja. Mereka bermusyawarah dan sepakat untuk menyongsong musuh. Sang Prabu Maharaja dan para pengiringnya, tidak sudi dihinakan dan diperintah oleh Raja Majapahit.

Kemudian Sang Prabu Maharaja Linggabuana berseru kepada semua pengiringnya. Beginilah ujarnya "Walaupun darah akan mengalir bagaikan sungai di palagan Bubat ini, namun, kehormatanku dan semua kesatria Sunda, tidak akan membiarkan pengkhianatan terhadap negara dan rakyatku. Karena itu, janganlah kalian bimbang!"

Kemudian, tibalah pasukan besar Majapahit, yang dipimpin langsung oleh Sang Patih Mada, sebagai panglima perang. Pengecut perbuatannya, menyerang raja Sunda bersama pengiringnya, yang hanya beberapa puluh orang jumlahnya.

Orang Sunda serempak menyongsong lawan. Pertempuran berlangsung sengit. Namun akhirnya, semua orang Sunda yang ada di sana gugur, oleh Sang Patih Gajah Mada bersama pasukannya. Kemudian, Sang Ratna Citraresmi, melakukan mati bela (bunuh diri).

Adapun para pembesar dan pengiring kerajaan Sunda yang gugur di palagan Bubat, masing masing ialah:
    1. Rakeyan Tumenggung Larang Ageng; 
    2. Rakeyan Mantri Sohan; 
    3. Yuwamantri (menteri muda) Gempong Lotong; 
    4. Sang Panji Melong Sakti; 
    5. Ki Panghulu Sura; 
    6. Rakeyan Mantri Saya; 
    7. Rakeyan Rangga Kaweni;
    8. Sang Mantri Usus (Bayangkara Sang Prabu); 
    9. Rakeyan Senapatiyuda Sutrajali; 
    10. Rakeyan Juru Siring; 
    11. Ki Jagat Saya (Patih Mandala Kidul); 
    12. Sang Mantri Patih Wirayuda; 
    13. Rakeyan Nakoda Braja (Panglima Angkatan Laut Sunda); 
    14. Ki Nakoda Bule (pemimpin jurumudi kapal perang kerajaan); 
    15. Ki Juru Wastra; 
    16. Ki Mantri Sebrang Keling; 
    17. Ki Mantri Supit Kelingking.
    18. Kemudian Sang Prabu Maharaja Linggabuana Ratu Sunda, 
    19. Rajaputri Dyah Pitaloka, 
    20. bersama semua pengiringnya.
Tetapi bumi Sunda tidak dikuasai oleh kerajaan Majapahit (tathapyan mangkana sundhabhumi tan kalindih dening rajya wilwatikta). Mereka tidak menyerang Kerajaan Sunda. Hasrat mereka menyerang Tatar Sunda tidak kesampaian.

Peristiwa orang Sunda di Bubat itu (Pasundan Bubat), usai terjadi sebelum tengah hari. Semua orang Sunda, yang datang di Bubat, binasa, tidak seorangpun yang tersisa.

Ketika perang di palagan Bubat berlangsung, yaitu pada hari Selasa Wage tanggal 4 September 1357 Masehi, putra mahkota Sang Niskala Wastu Kancana, baru berusia 9 tahun. Oleh karena itu, pemerintahan Kerajaan Sunda, untuk sementara dipegang oleh Mangkubumi (Sang Bunisora), dengan nama nobat: Prabu Guru Pangadiparamarta Jayadewabrata.

Dalam menjalankan pemerintahan, Sang Bunisora, cenderung sebagai raja pendeta, yang diwarnai suasana religius. Dalam naskah Carita Parahiyangan, Sang Bunisora, disebut sebagai Satmata. la dikenal pula dengan gelar Sang Bataraguru di Jampang.

Menurut naskah Kropak 630 (Sanghyang Siksa Kandang Karesian), tingkat batin manusia dalam keagamaan (Sunda) adalah: acara, adigama, gurugama, tuhagama, satmata, suraloka, dan nirawerah. Satmata adalah tingkatan ke 5, merupakan tahap tertinggi, bagi seseorang yang masih ingin mencampuri urusan duniawi. Setelah mencapai tingkat ke-6 (Suraloka), orang sudah sinis terhadap kehidupan umum. Pada tingkatan ke 7 (Nirawerah), padamlah segala hasrat dan nafsu, seluruh hidupnya pasrah kepada Hiyang Batara Tunggal (Tuhan Yang Esa).

Dari permaisuri Laksmiwati, Sang Bunisora mempunyai putera, di antaranya;
  1. Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya, kelak menjadi raja daerah di wilayah Cirebon Girang;
  2. Bratalegawa, kelak memeluk agama Islam dan menjadi haji pertama di Jawa Barat, sehingga ia terkenal dengan julukan Haji Purwa Galuh;
  3. Banawati, kelak menjadi Ratu di wilayah Galuh; dan
  4. Mayangsari, kelak berjodoh dengan Sang Niskala Wastu Kancana. 
Sang Niskala Wastu Kancana, ketika usianya sudah 20 tahun, memperisteri gadis pilihannya, Ratna Sarkati yang berusia 19 tahun, puteri Resi Susuk Lampung dari Sumatera Selatan. Setelah satu tahun, ia memperoleh putera, Sang Haliwungan, yang lahir pada tahun 1369 Masehi.

Pada tahun 1371 Masehi, Sang Niskala Wastu Kancana memperisteri Dewi Mayangsari (usia 17 tahm), puteri bungsu Sang Mangkubumi Bunisora. pada tahun yang sama, Sang Bunisora wafat, setelah memerintah di Kerajaan Sunda, selama 13 tahun 5 bulan lebih 15 hari.

Sang Niskala Wastu Kancana menggantikannya, naik tahta pada usia 23 tahun, dengan nama nobat: Mahaprabu Niskala Wastu Kancana atau Praburesi Buanatunggaldewata.

Tentang masa pemerintahan Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, penulis Carita Parahiyangan memberikan gambaran: "Jangankan manusia. Apah (air), teja (cahaya), bayu (angin), akasa (langit), serta bu (eter), merasa betah berada di bawah pemerintahannya".

Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, memerintah di Kerajaan Sunda, selama 103 tahun 6 bulan lebih 15 hari (1371 1475 Masehi). la wafat dalam usia kurang lebih 126 tahun. la masih sempat mendengar, Majapahit dilanda Perang Paregreg, akibat perebutan tahta di antara keturunan Prabu Hayam Wuruk, yang terjadi pada tahun 1453   1456 Masehi. Akibatnya, selama 3 tahun, Majapahit tidak mempunyai raja. Di saat Majapahit sedang dilanda kerusuhan, ia sedang menikmati ketenangan dan kedamaian pemerintahannya, sambil tak henti hentinya bertirakat dan beribadah (brata siya puja tan palum). Setelah wafat, Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, dipusarakan di Nusalarang.

Selama masa pemerintahannya, ada dua kejadian penting yang patut dicatat, yaitu kedatangan angkatan laut Cina, di bawah pimpinan Laksamana Ma Cheng Ho, dan kedatangan seorang ulama Islam yang kemudian mendirikan pesantren pertama di Jawa Barat (Danasasmita, 1984: 42).

Penulis Carita Parahiyangan menganjurkan: "Sugan aya nu dek nurutan inya twah nu surup ka Nusalarang. Pakeun heubeul jaya dina buana, pakeun nanjeur na juritan" (Barangkali ada yang akan mengikuti perilaku dia yang dipusarakan di Nusalarang. Untuk hidup lama berjaya di dunia, untuk unggul dalam perang).


Referensi

  1. Atja. 1968. "Carita Parahiyangan: Naskah Titilar Karuhun Urang Sunda". Bandung,  Jajasan Kebudajaan Nusalarang.
  2. Djatisunda, Anis. 2008. "Fenomena Keagamaan Masa Sunda Kuno Menurut Berita Pantun dan Babad". Disampaikan pada Gotra Sawala (Seminar)" Revitalisasi Makna dan Khasanah Situs Sindang Barang ", tgl 20 April 2008 di Kampung Budaya Sindang Barang Kabupaten Bogor. Versi pdf dari sukapura.files.wordpress.com Diakses 20 Mei 2020.
  3. Iskandar, Drs Yoseph. 1997. "Rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat",  Jilid 4, 1983 – 1984. Bandung: Geger Sunten.

Baca Juga

Sponsor