Cari

Prasasti Rongkab 823 Śaka | Mataram Kuno


Prasasti Rongkab (Recto)


[Historiana] - Prasasti  Rongkab  pernah  dipublikasikan  dalamOudheidkundig  Verslag (OV) tahun 1940 oleh W. F. Stutterheim. Dalam OV disebutkan bahwa prasasti ini tadinya merupakan koleksi E. W. van Orsoy de Flines sebelum disumbangkan dan menjadi koleksi Museum Nasional  (Stutterheim, 1941:30).  Prasasti  Rongkab juga  pernah  disebutkan  dalam Prasasti  Koleksi Museum Nasional Jilid I karangan Boechari dan A.S. Wibowo pada tahun 1985. Publikasi ini menyebutkan deskripsi umum prasasti berupa data fisik dan tempat ditemukan prasasti serta alih aksara dari prasasti. Alih aksara  yang  telah  dilakukan  oleh  Boechari  sangat membantu  dalam  pengumpulan  data  awal  mengenai Prasasti Rongkab, terutama sebagai data pembanding alih aksara prasasti yang telah dilakukan sebelumnya oleh Barrett Jones (1984: 161-165) dalam Early Tenth Century Java from the Inscriptions.

Dalam  karyanya,  Damais  (1970:  40  dan  948) menyebutkan angka tahun dari Prasasti Rongkab saja, namun pada bagian lainnya beliau menyebutkan nama-nama orang yang tercantum dalam Prasasti Rongkab. Kozo Nakada (1982: 92-93) dalam An Inventory of the Dated  Inscriptions  in  Java hanya  menyebutkan deskripsi  umum  prasasti.  Mengenai  pertanggalan Prasasti  Rongkab  pernah  dibahas  dalam Etudes  d’ Epigraphie  Indonésienne (EEI)  III  dan  IV,  terdapat deskripsi umum prasasti berupa bentuk, bahasa, nama pejabat  yang  mengeluarkan  prasasti,  referensi,  alih aksara dari sebagian kecil isi Prasasti Rongkab yang menyebutkan   pertanggalan,   serta   pembahasan mengenai pertanggalan dari Prasasti Rongkab (Damais, 1990:  108-109  dan  339-342).  Selain  itu,  Eade  dan Gislén (2000: 26-27) mendasarkan penelitian mereka dari  hasil  penelitian  Damais  dalam EEI, mengenai pertanggalan Prasasti Rongkab  yang  kemudian disinkronkan  dengan  pertanggalan Masehi dengan menggunakan software khusus pertanggalan yang pernah digunakan pula terhadap prasasti di India.

Prasasti Rongkab ditemukan di Jawa Tengah, namun lokasi  tepatnya  maupun  waktu  penemuannya  tidak diketahui,  sehingga  Prasasti  Rongkab  digolongkan sebagai  prasasti  tidak in  situ  yaitu  artefak  yang  saat ditemukan  sudah  tidak  berada  di  tempat  aslinya. Boechari  (1985/1986:  170)  menyebutkan  Prasasti Rongkab  ditemukan  di  daerah  Pati,  Jawa  Tengah, namun  Barrett  Jones  (1984:  161)  menduga  Prasasti Rongkab  ditemukan  di  daerah  yang  sama  dengan Prasasti Bulai A, yaitu di daerah Demak, Jawa Tengah. Perbedaan  tempat  penemuan  ini  sudah  sulit  untuk ditelusuri mana yang benar, namun satu hal yang pasti adalah Prasasti Rongkab ditemukan di Provinsi Jawa Tengah.  Barrett  Jones  juga  menyebutkan  bahwa sebelum  menjadi  koleksi  Museum  Nasional,  Prasasti Rongkab merupakan koleksi dari Van Orsoy de Flines dengan  nomor  inventaris  246,  bersamaan  dengan Prasasti Bulai A  yang juga  dinomori 246. Keduanya kini disimpan di Museum Nasional, Prasasti Rongkab diberi nomor E 83 a, sedangkan Prasasti Bulai A diberi nomor E 83 b (Barrett Jones, 1984: 161).  Akan tetapi, kini Prasasti Rongkab dikenal dengan nomor inventaris E  83  saja,  sedangkan  Prasasti  Bulai  A  bernomor inventaris E 82.

Prasasti  Rongkab  yang  dipahatkan  pada  logam campuran  (alloy)  tembaga  berbentuk  lempengan persegi panjang, serta memiliki sisi panjang dan lebar yang agak melengkung. Lempengan Prasasti Rongkab cukup  tebal  sehingga  huruf  yang  dipahatkan  masih terlihat jelas. Prasasti Rongkab berjumlah satu lempeng yang berukuran panjang 35,2 cm, lebar 14,7 cm, serta tebal 0,148 cm.

Aksara yang digunakan oleh Prasasti Rongkab adalah aksara Jawa Kuno yang biasa dipakai di prasasti masa Balitung lainnya. Aksara masa Balitung ini kerapkali disebut  oleh  de  Casparis  (1975:  33)  sebagai  aksara standar, dan bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Jawa Kuno. Aksara dibubuhkan di prasasti dengan cara dipahat.

Lempengan Prasasti Rongkab dipahat di kedua sisinya yaitu depan (recto) dan belakang (verso). Jumlah baris di sisi recto adalah 10 baris, sedangkan sisi verso-nya dipahatkan tulisan sebanyak 13 baris.
Prasasti Rongkab (Verso)

Kondisi Prasasti Rongkab cukup bagus dengan tulisan yang dapat dibaca dengan cukup jelas. Secara umum prasasti  berwarna  coklat  tembaga  kehitaman  dengan bercak  warna  kehijauan  yang  diduga  akibat  dari patinasi.  Kedua  permukaan  lempeng,  baik rectomaupun verso  memiliki  banyak  “pori-pori”.  “Pori-pori”  ini  berbentuk  menyerupai  lubang-lubang  kecil walau  tidak  sampai  menembus  ke  sisi  lempeng  di baliknya.

Ukuran panjang huruf berkisar antara 0,2 cm hingga 0,5 cm. Lebar huruf berkisar 0,2 cm hingga 0,6 cm dan ketebalan dipahatkannya huruf sekitar 0,05 cm. Jarak antar huruf cukup bervariasi yaitu 0,1 cm hingga 0,5 cm, sedangkan jarak antar baris berkisar antara 0,2 cm hingga 0,7 cm. Rupanya sang pemahat prasasti kurang terampil  dalam  memperkirakan  perbandingan  jumlah huruf  yang  akan  dituliskan  dan  bidang  tulisnya.  Hal tersebut  dapat  dilihat  dari  sisi recto  yang  memiliki ukuran huruf, jarak antar huruf, dan jarak antar baris yang relatif lebih besar daripada sisi verso. Penulisan huruf  di  sisi verso  cenderung  sangat  berdekatan, sedangkan penulisan huruf di sisi recto berkesan agak longgar. Selain itu, baris tulisan dipahatkan agak tidak lurus  dari  kiri  ke  kanan,  sehingga  baris-baris  tidak bersifat sejajar antara satu sama lain. Di bagian tengah atas dari recto terdapat tulisan nomor inventaris  prasasti  yaitu  E.  83  a  berwarna  putih  dan dituliskan  terbalik,  sehingga  kita  harus  memutar prasasti sebanyak 180 ̊ untuk membacanya secara baik. Di pinggiran sisi bawah dari recto terdapat kerusakan kecil  berupa  patahan  sehingga  menyebabkan  sisi bawah  prasasti  berupa  garis  bergelombangdi  bagian tersebut.

Pada  sisi verso  Prasasti  Rongkab,  kerusakan  berupa patahan kecil di bagian pinggir kanan bawah.

Di bagian pojok kiri bawah dari verso dituliskan nomor inventaris dari prasasti yaitu 78 yang berwarna hitam dan E. 83. ayang berwarna putih. Ukuran huruf yang dipahatkan  relatif  sama  pada  setiap  barisnya,  namun jarak antara tiap baris sangat kecil sehingga berkesan sangat berdempetan, berbeda dengan baris-baris di sisi recto yang jarak di antaranya agak “longgar”.

Aksara  Jawa  Kuno  yang  digunakan  oleh  Prasasti Rongkab  termasuk  aksara  silabis,  yaitu  aksara  yang setiap tandanya melambangkan satu konsonan dan satu vokal (Kushartanti, dkk. 2009: 71). Aksara Jawa Kuno yang  digunakan  di  Prasasti  Rongkab  disebut  aksara standar (de Casparis, 1975: 71). Aksara standar pada Prasasti  Rongkab  memiliki  ciri  di  antaranya  adalah bentuk  tiap  hurufnya  yang  cenderung  membulat  dan ditulis  condong  ke  kanan,  serta  adanya  kuncir  pada sebagian  besar  huruf.  Kuncir  ini  merupakan  elemen dekorasi dari huruf dan sangat umum digunakan pada prasasti zaman Rakai Kayuwangi dan Balitung.

Bahasa yang digunakan pada Prasasti Rongkab adalah bahasa Jawa Kuno. Sama seperti hampir semua prasasti Jawa  Kuno  lainnya,  bentuk  teksnya  berupa  prosa. Prasasti  pada  umumnya  ditulis  dengan  kalimat  yang singkat  dan  padat.  Prasasti  Rongkab  tidak  memakai penulisan hukum sandhi yang berlaku di Bahasa Jawa Kuno.  Hukum sandhi biasanya  terjadi  akibat pertemuan dua huruf vokal, seperti contoh kata wineh yang ditulis winaih dan kata rare yang ditulis rarai.Namun untuk vokal rangkap ua, telah berubah menjadi wa sesuai dengan hukum sandhi. Hal itu merupakan salah satu ciri prasasti tua yang lazim ditemukan pula di  prasasti  zaman  Balitung  lainnya.  Selain  itu,  ada kecenderungan  dari citralekha  untuk  menuliskan aksara ganda pada beberapa kata yang seharusnya tidak beraksara  ganda,  contohnya  kata pamĕgat  yang dituliskan pamaggat  dan tangkilan  yang  dituliskan tangkillan.

Pada Prasasti Rongkab hanya terdapat tiga huruf vokal yang  berdiri  sendiri  yaitu  huruf  °a,  °i,  dan  °u. Vokalisasi  dalam  Prasasti  Rongkab  digunakan  untuk membedakan bunyi, karena pada dasarnya aksara Jawa Kuno  merupakan aksara  silabis sehingga  huruf-huruf konsonan yang ada secara otomatis telah berpasangan dengan huruf vokal a. Untuk vokalisasi selain huruf a maka digunakan tanda i, u, e, ĕ, o, ai, au, ā, ī, dan ū.

Pada  Prasasti  Rongkab,  konsonan  dapat  dituliskan secara pasangan. Dengan cara ini, huruf yang ditulis terlebih  dahulu  (terletak  di  atas  huruf  yang  satunya) bunyinya menjadi mati dan dilanjutkan dengan huruf yang dituliskan di bawahnya. Salah satu cara penulisan konsonan  pada  aksara  Jawa  Kuno  adalah  dengan menggunakan  tanda virama atau  paten. Virama digunakan  untuk  mematikan  bunyi  salah  satu konsonan. Dalam Prasasti Rongkab, virama dipahatkan dengan bentuk  garis  melengkung dari sisi atas  huruf hingga  ke  sisi  kanan  bawah  huruf.  Tanda anusvāradigunakan  untuk  menyatakan  bunyi  sengau  dalam bahasa Jawa Kuno. Pada Prasasti Rongkab, anusvāra diwujudkan dengan bulatan kecil namun juga ada yang berupa titik saja. Anusvāra tidak ditulis persis di atas huruf  yang  bersangkutan  seperti  di  prasasti kebanyakan,  namun  ditulis  agak  ke  kanan  atas  dari huruf  sehingga  berada  di  pertengahan  antara  huruf yang diberi anusvāra dan huruf sesudahnya. Visarga digunakan untuk mewujudkan bunyi ḥ. Hampir semua h  mati  pada  Prasasti  Rongkab  adalah  akibat digunakannya  tanda visarga yang  berbentuk  dua bulatan  kecil  yang  berada  di  samping  kanan  huruf. Cara untuk menuliskan konsonan r mati sebelum huruf tertentu dengan menuliskan tanda layar di atas huruf. Tanda layar pada Prasasti Rongkab berbentuk seperti garis  yang  melengkung  dari  arah  kiri  ke  kanan  dan kurvanya terbuka ke atas.

Alih Aksara 
Sisi Recto
  1. //  swasti  śakawarṣatita[1]  823  katikamasa[2],  tithi daśami[3]  suklapakṣa[4]  wā,  wa  °a  wara[5]śatabhiśanakṣatra[6] bāru-
  2. nadaiwatā[7]  hasayūga[8],  tatkālanikanaŋ  rāma  i roŋkab· winaiḥ mamuputta kaṭik· pra-
  3. ṇa ga[9]  de saŋ pamaggat· °umaṅgit· pu parwwatta[10], saŋkā ri nāśani wanwanya maṅaśa-[11]
  4. °akkan·  °ikanaŋ  rāma  pasak·  pasak·  °i  saŋ pamaggat· pirak· kā 10[12]  juru-[13]
  5. ni  kanayakān·  saŋ  tamwalaŋ  °anak·  wanwa  °i kukap· watak· pagar· wsi, °ata-
  6. ṇḍa  pu  pawī,  juruniŋ[14] lapuran·[15] pu  dhānada[16]kapwa °anak· wanwa °i turai, watak· tu-
  7. rai, juruniŋ[17] wadwā1
  8. rarai pu gaṇḍaura °anak· wanwa1
  9. °i sḍĕḥ watak· taŋkillan·[20]8.juruniŋ kalula pu °arka[21] °anak· wanwa waryyaŋ watak· rampakan·, juruniŋ[22] maŋra-[23]
  10. kat·  sa[24]  ra  papaḥ[25]  °anak·  wanwa  °i  tĕ°ṛnĕḥ watak· taŋkil·[26], °amasaṅakan·
  11. pu  maṇḍu°a  nwa[27]  °i[28]  rahawu  watak·  sirikan· °inaŋsyan· pasak· pasak· pirak·

Sisi Verso
  1. dhā[29] 5[30] kinābaihan·nira[31] wahutta °i  rikanaŋ[32]kāla mukur[33] saŋ bataŋṅan· piŋhai ka-
  2. ḍu  sapataŋṅaḥhan·[33][34],  kapwa  ̊inaŋsyan· pasak· pasak· pirak· dhāra[35] 10[36] °i sowaŋ
  3. [37]sowaŋ rāma māgman· °irikana[ŋ][38] kāla kala[ŋ] si maṅgal· mu°a[ŋ] si kya gusti si diśa winĕkas·
  4. si  haṅū  parujar· si  liṇḍu°an· mu°a[ŋ] si bicit rāma maratā si tĕwak· si julu hulu wras·
  5. si wisuwa nāhan· kwai[ḥ] nikanaŋ rāma māgman· sinrahan· prasaṣṭi[39] de saŋ pamaggat· °umaṅgit·
  6. pu    parbata[40]  ̊anuŋ ḍumatĕṅakan·samwaḥnikanaŋ[41] rāma °i  roŋkab  sa[ŋ]  talla[42]gusti °i suli[43], sīma wadi-
  7. hati sakṣī  saŋ  pamaggat· wadihati pu ḍapit·anak wanwa °i paŋḍamu°an·[45] watak· wadihati°inasĕ
  8. °an·[46] pasak· pasak· pirak· dhāra 4[47]tuhān· miraḥ miraḥ pa[48] rayuŋ sanak·[49]  ̊i miraḥ miraḥ watak· wadi[50] ma[ŋ]-[51]
  9. rakappi saŋ halaran·[52] pu dhānada[53] °anak wanwa °i paṇḍamu°an  watak wadihati kapwa °ina[ŋ]sĕ°an·[54] pa-
  10. sak· pasak·pirak· dhā 2 °i sowaŋ sowa[ŋ] wahutta hya[ŋ] tumut·[55] magunadosa[56] sa[ŋ] siṅgaḥ wwaḥ pu ra-
  11. hula, °anak· wanwa °i miraḥ miraḥ watak· wadihati mu°aŋ saŋ habūn °anak· wanwa °i turayun· watak si-
  12. garan·kapwa °inasĕ°an·[57] pasak· pasak· pirak· mā 7 °i[58] sowa[ŋ] sowaŋ karamān· saŋ hadyan· wahu-
  13. [59]tta  hya[ŋ]  makabaiḥhan·[60] pirak·  dhā  1 kinabaiḥhannira likhitta patra pu rawi◌◌◌

Alih Bahasa 


Sisi Recto
  1. //  Selamat!  Tahun  Śaka  823  telah  berlalu,  bulan Kārttika[61], tanggal kesepuluh paro terang, hari Was Wagai Minggu[62], nakṣatra-nya śatabhiṣaj[63] ,
  2. dewatā-nya Waruna[64], yoga-nya hasa[65]. Ketika itu pejabat[66] Desa Rongkab diberi [kemudahan] untuk melunasi[67]kaṭik[68]
  3. sebanyak 1 orang oleh Sang Pamĕgat[69] Umanggit bernama  Pu  Parwata,  oleh  karena  kerusakan desanya. 4. Pejabat desa itu mempersembahkan hadiah kepada Sang Pamĕgat berupa perak sebanyak 10 kāṭi[70].  
  4. Juru[71] Kanāyakān[72]  bernama  Sang  Tamwalang, penduduk Desa Kukap, wilayah Pagar Wsi;
  5. pemilik panji ataṇḍa Pu Pawi, serta tuhan niŋ Lampuran[73] bernama Pu Dhanada, kedua-duanya penduduk Desa Turai, wilayah Turai;
  6. wadwā  rarai[74] bernama Pu Gandaura,  penduduk Desa Sḍĕḥ wilayah Tangkilan;
  7. kalula[75] bernama Pu Arka, penduduk Desa Waryang wilayah Rampakan;
  8. mangrakat[76] bernama Sang Ra Papah, penduduk Desa Tĕrĕnĕḥ wilayah Tangkilan, °amasaṅakan[77]
  9. bernama Pu Mandua, penduduk Desa Rahawu wilayah Sirikan, diberi hadiah berupa perak

Sisi Verso
  1. sebanyak 8 dhāraṇa semuanya. Wahuta[78] saat mengukur[79] yakni Sang Batangan, 
  2. [yang menjabat] pinghe[80] [dari] Kaḍu[81] yakni Sang Patangahan, keduanya diberi hadiah perak sebanyak 10 dhāraṇa[82] masing-masing.
  3. Pejabat desa yang masih menjabat saat itu[83] bernama si Manggal dan si Kya; gusti[84] si  Diśa; winekas[85]
  4. si Haṅū; juru bicara si Liṇḍuan dan si Bicit; pejabat desa yang telah pensiun si Tĕwak dan si  Julu; pejabat yang mengatur perberasan
  5. si Wisuwa. Demikianlah keseluruhan pejabat desa yang diserahi prasasti oleh Sang Pamĕgat Umanggit 
  6. yang  bernama Pu Parwata. Yang  datang menghormat kepada pejabat desa Rongkab [yaitu] Sang Talla, gusti dari Suli, sīma[86] Wadihati.
  7. Yang menjadi saksi yaitu Sang Pamĕgat Wadihati bernama Pu Ḍapit, penduduk Desa  Pangdamuan wilayah Wadihati. [Ia] diberi
  8. hadiah perak sebesar 4 dhāraṇa. Tuhān Mirah mirah yang bernama Pu Rayung, penduduk Desa Mirah Mirah wilayah Wadihati,
  9. merangkap pejabat di Halaran[87]  [bernama]  Pu Dhanada, penduduk Desa Pangdamuan  wilayah Wadihati, semuanya diberi
  10. hadiah perak sebesar 2 dhāraṇa masing-masing. Wahuta hyang[88] yang turut  mempertimbangkan baik dan buruk bernama Sang Singgahwuah, [dan] Pu Rahula
  11. penduduk Desa Mirah Mirah wilayah Wadihati dan juga Sang Habūn, penduduk Desa Turayun wilayah
  12. Sigaran. Semuanya diberi hadiah perak sebanyak7 māṣa[89] masing-masing.Para pejabat desa[90] Sang Hadyan, wahuta
  13. Hyang semuanya  diberi perak sebesar 1 dhāraṇamasing-masing. Penulis prasasti adalah Pu Rawi.

Catatan kaki:

[1]  Seharusnya  berbunyi śakawarṣātīta yaitu  tahun (warṣa) yang telah berlalu (atīta) (Zoetmulder, 2006: 79 dan 1394). 
[2] Seharusnya berbunyi kārttika, yaitu bulan ke-8 dalam kalender  Śaka  (de  Casparis,  1978:  48)  dan  berbunyi māsa yang berarti bulan (Zoetmulder, 2006: 658).
[3] Seharusnya berbunyi daśamī yaitu hari kesepuluh (de Casparis, 1978: 50).
[4]  Seharusnya  berbunyi śuklapakṣa yang  berarti  paro terang (Damais, 1990: 13).
[5] Seharusnya berbunyi wāra yang berarti hari dalam minggu (Zoetmulder, 2006: 1389).
[6] Seharusnya berbunyi śatabhiṣaj (de Casparis, 1978: 52). Barrett Jones membaca unsur sesudahnya sebagai naksatra, sedangkan  Boechari  membacanya  sebagai nakṣatra.
[7]  Seharusnya  berbunyi baruṇa atau waruṇa dan berbunyi dewatā (de Casparis, 1978: 51). Barrett Jones dan  Boechari  membacanya  sebagai dewatā,  namun terlihat jelas bahwa di atas vokalisasi e terdapat garis melengkung  yang  mengindikasikan  vokalisasi  yang sebenarnya yaitu ai.
[8]  Boechari  membacanya  sebagai hāsayuga,  padahal terlihat jelas tidak ada garis vertikal penanda vokalisasi ā pada huruf ha. Barrett Jones  membacanya sebagai hasayūga. Dilihat dari konteksnya, kata yang dimaksud merupakan unsur pertanggalan yoga, namun tidak ada yoga  yang  bernama hasa,  mungkin  yang  dimaksud adalah harṣaṇayoga. Mengenai ejaan ū/o dalam bahasa Jawa Kuno memang terdapat variasi pemakaian antar keduanya,  seperti  contohnya  pada  kasus  pengejaan nama pu  manukū yang  sering  juga  dijumpai  dengan ejaan pu manuko (Griffiths,  2011: 143 dan Damais, 1968: 450).
[9]  Boechari  membacanya  sebagai 1,  namun  Barrett Jones  membacanya  sebagai ga. Memang  kedua karakter tersebut terlihat mirip, namun dengan adanya kuncir  menandakan  karakter  tersebut  adalah  huruf sehingga harus dibaca sebagai ga. Akan tetapi dengan melihat konteksnya yang menyebut jumlah kaṭik yang dibebaspajakkan  atau  dilunasi,  tentulah  harus  berupa angka satu, karena ga tidak memiliki arti apa-apa jika dimasukkan  ke dalam  konteks  kalimat.  Maka di sini sang citralekha keliru.
[10]  Barrett  Jones  membacanya  sebagai parwatta, padahal jelas terdapat pasangan w di bawah huruf w.
[11] Bentuk huruf ṅa di sini agak berbeda dengan huruf ṅa di baris lainnya. Seharusnya berbunyi manasĕakan yang berarti ‘memberi’ (Zoetmulder, 2006: 68).
[12]  Baik  Barrett  Jones  maupun  Boechari  sama-sama membacanya sebagai 1. (angka satu serta tanda baca). Namun  jika  dilihat  dari  pola  penulisan  pemberian pasak pasak yang ada di bagian selanjutnya dari baris tersebut, tidak ada penyebutan angka yang diikuti oleh tanda  baca,  sehingga  mendukung  pendapat  bahwa bulatan  setelah  angka 1  bukanlah  tanda  baca, melainkan angka 0.
[13]  Samar  terlihat  bulatan  kecil  di  atas  huruf ru, diperkirakan  merupakan anusvāra namun  mungkin bulatan tersebut ada akibat kerusakan yang terjadi pada lempeng  karena  kata juruŋ  tidak  ada.  Melihat  dari konteksnya, jelas kata yang dimaksud adalah juru yang berarti kepala atau pemimpin (Zoetmulder, 2006: 431).
[14] Anusvāra terletak  hampir  persis  di  atas  huruf la, sehingga agak mengecoh seakan-akan yang tertulis adalah laŋ namun jelas morfem yang dimaksud adalah niŋ. Boechari pun membacanya sebagai niŋ lapuran, sedangkan Barrett Jones membacanya  sebagai ni laŋpuran.
[15] Ada bulatan kecil di kanan atas dari huruf ra namun peletakan anusvāra di sini dirasa kurang masuk akal karena adanya huruf na yang  diberi  tanda virāma setelah  huruf tersebut. Kemungkinan  besar  bulatan kecil tersebut terjadi  akibat  kerusakan yang terjadi pada lempeng karena berbeda  dengan  penulisan anusvāra lainnya pada Prasasti Rongkab, bulatan kecil ini ditulis sangat dekat dengan  huruf.  Boechari membacanya sebagai lapuran, sedangkan Barrett Jones membacanya laŋpuran, padahal  jelas  tidak  ada anusvara setelah huruf la.
[16]  Seharusnya dhanada seperti  nama  yang  sering ditemui dalam prasasti lain.
[17]  Boechari  membacanya  sebagai ni, namun  jelas terlihat anusvāra di sebelah kanan atas huruf ni.
[18] Rupanya  Barrett  Jones  luput  melihat  vokalisasi ā, sehingga beliau membacanya sebagai wadwa.
[19] Barrett Jones membacanya sebagai wanua, padahal jelas hanya satu suku kata nwa yang terbentuk dari n dengan pasangan wa.
[20]  Boechari  membacanya  sebagai tankillan,  padahal tidak  ada  huruf na ber-virāma  sesudah  huruf ta, melainkan  ada  sebuah anusvāra. Barrett  Jones membacanya sebagai taŋkillan.
[21]  Tanda  layar  berada  di  kanan  atas  dari  huruf ka, mungkin  merupakan  kasus  yang  sama  dengan penulisan anusvāra di  Prasasti  Rongkab  karena penulisan kata berupa “r  ̊a” jarang ditemui.
[22] Vokalisasi i untuk huruf na di sini berupa bulatan yang  lebih  kecil  jika  dibandingkan  dengan  huruf bervokalisasi i lainnya,  mungkin  akibat  sangat dekatnya  jarak  baris  ke-7  dan  ke-8.  Boechari membacanya  sebagai ni, sedangkan  Barrett  Jones membacanya sebagai niŋ.
[23] Boechari membacanya sebagai maraŋkat meskipun a  terletak  di  antara  huruf ma dan ra, bukan  terletak setelah ra. Dalam Kamus  Jawa  Kuna  –  Indonesia, terdapat kata rakat dengan diberi awalan maN- menjadi maŋrakat yang  berarti  ‘bujang,  pembantu,  pelayan’ (Zoetmulder, 2006: 188).
[24]  Boechari  membacanya  sebagai saŋ  ra  papah walaupun  jelas  tidak  ada anusvāra setelah  huruf sa namun  mungkin  yang  dimaksud  adalah  benar saŋ rapapah karena  didahului  oleh  nama  jabatan  yang biasanya  diikuti  oleh  nama  orang  yang  memegang abatan  tersebut. Saŋ merupakan  nama  sebutan  yang umum selain pu dan si.
[25] Jarak antara baris ke-9 dan ke-10 yang berdekatan menyebabkan  adanya  keambiguan  dalam  penulisan tanda. Tanda dua buah bulatan kecil yang terdapat di baris  ke-9  setelah ra  papa dapat  diduga  merupakan visarga sehingga  kata  yang  dimaksud  menjadi ra papaḥ, sedangkan kata yang tepat di baris bawahnya menjadi  °i,  namun  di  sisi  lain  kedua  bulatan  kecil tersebut dapat dilihat sebagai satu bulatan tanda baca koma atau titik bagi baris ke-9 dan sebagai  anusvāra untuk  baris  ke-10  sehingga  kata  yang  dimaksud masing-masing berbunyi rapapa dan °iŋ. Namun jika melihat  pola  pada  bagian  sebelumnya,  diduga  yang dimaksud adalah benar ra papaḥ dan °i.
[26]  Jika  melihat  bagian  lain  dari  prasasti  yang sebelumnya  menyebut  nama wilayah  yang  hampir mirip, barangkali sang citralekha lupa untuk memahat suku kata berikutnya yaitu lan, karena di bagian lain prasasti kita temui watak taŋkillan.
[27] Kata-kata ini seharusnya berbunyi °anak· wanwa jika melihat  di  bagian  Prasasti  Rongkab  lainnya  pola penulisan nama  seseorang  yang diikuti dengan  nama tempat  tinggalnya.  Hal  ini  menunjukkan citralekha yang kurang cakap, sehingga lupa memahat huruf nak· wa, sama halnya seperti ia melupakan untuk memahat lan.
[28] Lihat catatan kaki nomor 31.
[29] Huruf terlihat agak kurang jelas namun jika melihat dari konteksnya, dapat diduga merupakan huruf  dhā, yaitu kependekan dari kata dhārana, salah satu jenis satuan perak (Zoetmulder, 2006: 196).
[30] Barrett  Jones  membacanya  sebagai  angka  4, sedangkan Boechari membacanya sebagai angka 5. 
[31]  Setelah  huruf na pertama  terdapat  tanda  yang bentuknya mirip sekali dengan virāma di akhir kata ini,namun virāma di tengah  kata  jarang  ditemukan. Kemungkinan  lainnya citralekha bermaksud  menulis kinābaihan, tetapi bentuk  tersebut  pun salah  karena jika  melihat  konteksnya,  kata  seharusnya  adalah kinabaihan (huruf na bervokalisasi a, bukan ā) (Zoetmulder, 2006:434). Selain itu huruf ba di sini juga agak berbeda dengan huruf ba di bagian prasasti lainnya. Baik Boechari maupun Barrett Jones membacanya sebagai kinābaihan.
[32] Barrett Jones membacanya sebagai °irikaŋ, mungkin terlupa menambahkan huruf na.
[33]  Barrett Jones  dan  Boechari  membacanya  sebagai muŋkur, namun tidak terlihat adanya anusvāra di atas huruf mu.
[34] Bentuk huruf ṅa di sini agak berbeda  (agak lebih melengkung  ke  dalam)  dengan  huruf ṅa lainnya  di prasasti  ini.  Barrett  Jones  membacanya  sebagai saŋ pataŋṅahhan, sedangkan Boechari membacanya sa(ŋ) patiṅaḥhan. Keberadaan anusvāra di  sini  memang harus  diperdebatkan  namun  mungkin  memang  benar berbunyi saŋ karena kata tersebut didahului kata lain yang berupa jabatan.
[35]  Huruf ra dan  angka  1  ditulis  hampir  tersambung. Dhāra mungkin juga mengacu pada satuan perak yaitu dhāraṇa, namun di bagian lain prasasti, kata tersebut disingkat hanya menjadi dhā.
[36] Lihat catatan kaki nomor 18.
[37]  Terdapat  jarak  spasi  sebesar  kira-kira  satu  huruf sebelum  huruf so, namun  jelas  tidak  terlihat  bekas pahatan apapun, sehingga kekosongan ini merupakan sesuatu hal yang mengherankan.
[38] Kembali Barrett Jones menuliskan °irikaŋ.
[39]  Seharusnya  berbunyi praśasti (Zoetmulder,  2006: 850).
[40]  Baik  Barrett  Jones  maupun  Boechari  menyetujui bahwa  awal  baris  ini  dibaca pu  parbata namun  jika melihat  nama  pemegang  jabatan saŋ  pamaggat umaṅgit yang  telah  disebut  sebelumnya  di  sisi recto prasasti  ini,  seharusnya  dibaca pu  parwata. Namun dalam  kenyataannya  memang wa dan ba dapat dipergunakan secara bergantian tanpa mengubah arti.
[41] Visarga sudah  hampir  tidak  kelihatan  akibat kerusakan lempeng.
[42]  Boechari  membacanya  sebagai sa(ŋ)  talu padahal terlihat  jelas  bahwa  huruf  di  bawah  huruf la adalah pasangan la, bukan vokalisasi u.
[43]  Barrett  Jones  membacanya  sebagai suliŋ. Keberadaan anusvāra agak meragukan pada kata ini.
[44] Seharusnya berbunyi sākṣi yang berarti saksi mata (Zoetmulder,  2006:  985). Barrett  Jones  membacanya sebagai sakṣī, sedangkan  Boechari  membaca  sebagai sakṣi.
[45]  Barrett  Jones  membacanya  sebagai paḍamuan. anusvāra di  sini  memang  tidak  terlihat  jelas,  namun Boechari juga membacanya sebagai paŋḍamuan.
[46]  Jelas tidak ada anusvāra, namun Barrett Jones membacanya sebagai °inaŋsĕan, sedangkan Boechari membacanya sebagai °inasean, sepertinya beliau lupa menambahkan tanda pĕpĕt pada ketikan akhir naskah.
[47]  Barrett Jones  membacanya  sebagai angka 3 dan tanda baca, sedangkan jelas terlihat angka 4 dan tidak ada tanda baca  apa  pun  setelahnya. Boechari pun membacanya sebagai angka 4.
[48]  Boechari membacanya sebagai pu dan memang samar terlihat adanya vokalisasi u. Dilihat dari konteksnya,  memang  seharusnya tertulis pu karena setelah kata tersebut diikuti oleh nama seseorang yaitu rayuŋ yang juga ditemui dalam Prasasti Poh 827 Śaka (Damais, 1970: 238).
[49] Seharusnya berbunyi anak· wanwa °i miraḥ miraḥ seperti yang terdapat di baris ke-11 sisi verso. Walaupun  demikian, Boechari membacanya  sebagai °anak· °i miraḥ miraḥ padahal tidak terlihat adanya bentukan seperti  angka  3  terbalik  yang  menjadi  ciri khas huruf °a. Jelas di sini citralekha keliru.
[50] Mungkin yang dimaksud adalah wadihati yaitu nama watak  yang  sering  muncul  di  prasasti  masa  Balitung lainnya dan juga muncul di bagian lain dari Prasasti Rongkab.
[51]  Boechari  membacanya  sebagai maŋ  padahal  tidak terlihat adanya anusvāra.
[52]  Barrett  Jones  membacanya  sebagai maŋraŋkappi, sedangkan Boechari membacanya maŋrakappi. 
[53] Lihat catatan kaki nomor 22.
[54]  Boechari  membacanya  sebagai °inaŋsean·, kemungkinan beliau lupa menambahkan tanda pĕpĕt pada ketikan naskah akhir.
[55] Antara huruf tu dan huruf mu terdapat jarak spasi yang cukup besar.
[56]  Barrett Jones membacanya sebagai maṅunadosa, sedangkan Boechari membaca mangunadosa.
[57] Kembali Boechari sepertinya lupa menambahkan tanda pĕpĕt pada  naskah  akhir,  sehingga  bacaannya hanya °inasean·.
[58] Barrett Jones nampaknya tidak dapat membaca bagian  ini dengan jelas, terlihat dari alih aksaranya yaitu ma – na, yang tidak memiliki arti apa-apa.
[59]  Baris ke-13 ditulis menjorok ke kanan, mungkin disebabkan citralekha yang tidak begitu ahli dalam memperhitungkan penulisan jarak antar baris.
[60]  Boechari membacanya sebagai makabaiḥkan·. Memang huruf ha agak mirip dengan huruf ka, namun kata  yang  dimaksud  kemungkinan  besar  adalah makabaiḥhan yang  berarti  semua  bersama-sama (Zoetmulder, 2006: 434).
[61]  Bulan Kārttika adalah  bulan  ke-8  dalam  kalender Śaka. Semua  nama  bulan  tersebut  adalah  sebagai berikut: Caitra, Waiśākha, Jyeṣṭha, Āṣāḍha, Śrāwaṇa, Bhadrawāda, Asuji, Kārttika, Mārgaśira, Poṣya, Māgha, dan Phālguna (de Casparis, 1978: 48).
[62] wā, wa  ̊a merupakan  singkatan  dari was, wagai ,°āditya yaitu merupakan nama hari dari sistem siklus enam hari (ṣaḍwāra), siklus lima hari (pañcawāra), serta siklus tujuh hari (saptawāra) (de Casparis, 1978:3).
[63] Nakṣatra adalah  perhitungan  waktu  berdasarkan benda-benda langit dan bersiklus 27,322 hari. Ada 27 nakṣatra yang dikenal dan śatabhiṣaj adalah nakṣatra yang ke-24 (de Casparis, 1978: 21 dan 52).
[64]  Setiap nakṣatra memiliki hubungan dengan suatu dewatā tertentu dan dalam kasus ini pasangan nakṣatra śatabhiṣaj adalah waruṇa (Renou dan Filliozat, 2001: 730).
[65] De Casparis (1978: 22) mendefinisikan yoga sebagai waktu saat pergerakan gabungan antara matahari dan bulan mencapai nilai 13 ̊20’. Terdapat 27 nama yoga, yaitu viṣkambha, prīti, āyuṣmant, saubhāgya, śobhana, atigaṇḍa, sukarman, dhṛti, śūla, gaṇḍa, vṛddhi, dhruva, vyāghāta, harṣaṇa, vajra, siddhi, vyatīpāta, varīyas,  parigha, śiva, siddha, sādhya, śubha, śukla, brahman, indra, dan vaidhṛti (Renou dan Filliozat, 2001:  734).Nama hasayoga tidak  ada  dalam  daftar nama yoga, namun mungkin yang dimaksud oleh citralekha adalah harṣaṇayoga.
[66] Rāma adalah sebutan pagi pejabat/penguasa desa; golongan orang yang dianggap pejabat atau senior di suatu  komunitas religi maupun  sosial  (Zoetmulder, 2006: 913).
[67] Mamuputta berasal dari kata dasar puput yang berarti ‘akhir, hasil, tujuan’ dan diberi imbuhan maN- dan akhiran irrealis sehingga dapat  berarti supaya ‘mengakhiri, menyelesaikan, dan melengkapi’ (Zoetmulder, 2006: 882). Dalam konteks ini, mungkin dapat diartikan ‘untuk melunasi’ dengan maksud di sini adalah  para  pejabat desa Rongkab tidak usah kerja bakti yang besarannya berupa 1 kaṭik kepada Sang Pamgat Umanggit karena desanya rusak.
[68] Kaṭik dalam  kamus  berarti ‘pembantu, pengurus kuda’ (Zoetmulder, 2006: 472) namun dalam prasasti seringkali digunakan dalam konteks pertanian seperti dalam  Prasasti  Luītan  (Nastiti, dkk, 1982:29), mungkin artinya lebih condong kepada orang yang mengerjakan sawah, bukan satuan dari sawahnya.
[69] Sang Pamagĕt atau samgĕt adalah nama salah satu jabatan tinggi yang terdapat di istana, biasanya dikombinasikan dengan kata lain seperti samgĕt wadihati dan samgĕt makudur.
[70] Kati adalah istilah lokal Nusantara untuk salah satu jenis satuan massa. Menurut Wisseman Christie (2004: 91), kati digunakan untuk mengukur segala jenis benda dan pada masa Jawa awal memiliki massa setara dengan 750-768 gram.
[71]  Dapat  diartikan  sebagai  kepala  atau  orang  yang mengepalai pegawai seprofesi; pejabat yang bertugas di tingkat desa, memiliki arti yang sama dengan tuhān (Soesanti, 1981:138).
[72] De Casparis (1956: 228) berpendapat bahwa nāyaka adalah  petugas-petugas bawahan yang bertugas mengurusi hal-hal administrasi rakyat.
[73]  Berdasarkan alih aksara semata memang terbaca lapuran. Belum  diketahui secara pasti fungsi dari jabatan tersebut, namun yang pasti lapuran bukanlah nama  geografis.  Mungkin  yang  dimaksud  oleh  sang citralekha adalah  kata lampuran seperti  yang dipahatkan  pada  prasasti  Paṅgumulan A dan B lempeng kedua baris ke-5  “...tuhān iŋ lampuran...” (Nastiti, dkk, 1982: 14). Selain lampuran, kata tersebut juga dapat dibaca sebagai laŋpuran. Arti katanya yang pasti masih belum diketahui, namun ada pendapat yang mengatakan  bahwa  jabatan  tersebut bertugas sebagai tempat menerima  protes (komplain) dari masyarakat. Pendapat lainnya menghubungkan  dengan istilah paŋlapuan yang kerapkali ditemukan di dalam prasasti Bali Kuno, sehingga mungkin juruniŋ lampuran berarti pejabat yang mengurusi pengadilan di tingkat watak (Soesanti, 1981: 119).
[74] Secara harfiah, wadwā berarti pasukan, sedangkan rare berarti anak kecil, namun dalam bahasa Jawa Baru dapat disamakan dengan makna orang kecil atau rakyat jelata (Zoetmulder, 2006:925 dan 1365). De Casparis seperti yang dikutip Soesanti (1981: 119-120) berpendapat  bahwa juruniŋ  wadwā rarai diartikan sebagai pejabat yang mengepalai pasukan orang-orang kecil, karena adanya istilah wong cilik untuk menyebut rakyat jelata.
[75] Secara  harfiah kalula berarti pengiring, pembantu, atau abdi (Zoetmulder, 2006: 446). De Casparis seperti yang  dikutip  oleh  Soesanti  (1981:  120)  menganggap asal kata kalula yaitu kulāla sehingga juruniŋ  kalula berarti pejabat yang mengepalai para perajin tembikar, namun Goris berpendapat lain, yaitu kalula berasal dari kata kula yang  berarti  pelayan yang lahir di dalam rumah  budak,  sehingga  mungkin  dapat  diartikan sebagai pejabat yang mengepalai para budak atau pelayan.
[76] De Casparis (1956: 240) memberikan dua pendapat akan tugas seorang juruniŋ  maŋrakat yaitu pejabat yang mengepalai  perajin  topeng  atau  pejabat  yang mengepalai para seniman (penari) topeng.
[77] Dapat diartikan sebagai ‘beserta’.
[78]  Merupakan salah satu pejabat tingkat watak. Biasanya kata wahuta dikombinasikan dengan kata lain seperti wahuta hyaŋ kudur yaitu salah satu nama pejabat keagamaan yang mungkin merupakan asisten dari makudur dan bertugas mengucap sapatha dalam suatu  upacara penetapan sīma (De Casparis, 1956: 237).
[79] Kāla mu(ŋ)kur dapat diduga merupakan salah satu turunan dari kata dasar ukur. 
[80]  Merupakan  salah  satu  nama  pejabat yang belum diketahui jelas tugasnya, sering dikombinasikan dengan kata lain seperti “...piŋhe wahuta...”. Boechari seperti yang dikutip oleh Soesanti (1981:122) berpendapat bahwa kata piŋhe sering dipakai sebagai pengganti kata patih.
[81] Kaḍu mungkin dapat diartikan sebagai nama tempat yang dapat disamakan dengan daerah Kedu sekarang.
[82] Dharaṇa adalah  istilah  untuk  satuan  massayang diambil dari bahasa Sanskerta, namun di Jawa satuan ni memiliki besaran yang berbeda dengan yang biasa digunakan di India. Dharaṇa biasanya digunakan untuk mengukur massa logam perak dan setara dengan massa tahil dan suwarṇa yaitu sebesar 38 gram, namun pada  abad  ke-9 dan 10 nilainya  berkurang  menjadi seperlima  dari nilai suwarṇa (Wisseman Christie, 2004:92).
[83] Kalaŋ sebagai suatu kata tersendiri seringkali diartikan sebagai ‘tukang kayu’ secara luas (Zoetmulder, 2006: 442).
[84] Salah satu pejabat yang berkuasa di tingkat wanua dan rupanya memiliki peran yang cukup penting karena  terhitung cukup sering muncul di prasasti, namun  sayangnya tugas seorang gusti dalam pemerintahan  desa  belum diketahui secara pasti (Soesanti, 1981:125).
[85] Pejabat yang tugasnya membawa pesan atau perintah dari desanya (Soesanti, 1981: 125).
[86]  Daerah perdikan. Sīma tidak mengacu kepada bebasnya pajak akan suatu wilayah yang awalnya harus dibayarkan oleh penduduk desa tersebut, namun mengacu kepada wilayah yang dialihkan pajaknya kepada pembangunan atau pemeliharaan bangunan suci yang terdapat di dalam atau di dekat wilayah tersebut (Barrett Jones, 1984: 60).
[87] Arti sebenarnya dari maŋrakappi saŋ halaran belum diketahui, namun diduga bahwa istilah tersebut merupakan  salah satu nama jabatan seperti yang ditemukan pada Prasasti Ratawun 803 Ś “...maŋrakappi  halaran  si  larakā...”. Namun dapat juga berarti ‘merangkap pejabat di Halaran’.
[88] Mungkin yang dimaksud adalah wahuta hyaŋ kudur, pejabat yang sering ditemui dalam prasasti masa Balitung lainnya, namun oleh karena Prasasti Rongkab bukan  merupakan prasasti sīma, hal ini tentu membingungkan.
[89] Māṣa adalah satuan massa yang diadopsi dari istilah India namun memiliki penggunaan yang berbeda di Jawa. Māṣa memiliki massa setara 2,4 gram biasanya dipergunakan untuk mengukur baik emas maupun perak dan sering direpresentasikan dalam bentukan koin (Wisseman Christie, 2004: 92-93).
[90] Karamān merupakan kata turunan dari rāma setelah diberi imbuhan ka-an yang kira-kira memiliki arti ‘para pejabat desa’.

Sumber: Prasasti Rongkab 823 Ś: Kajian Epigrafi oleh Terrylia Feisrami, FIB UI, 2013.
Baca Juga

Sponsor