Prasasti Rongkab (Recto) |
[Historiana] - Prasasti Rongkab pernah dipublikasikan dalamOudheidkundig Verslag (OV) tahun 1940 oleh W. F. Stutterheim. Dalam OV disebutkan bahwa prasasti ini tadinya merupakan koleksi E. W. van Orsoy de Flines sebelum disumbangkan dan menjadi koleksi Museum Nasional (Stutterheim, 1941:30). Prasasti Rongkab juga pernah disebutkan dalam Prasasti Koleksi Museum Nasional Jilid I karangan Boechari dan A.S. Wibowo pada tahun 1985. Publikasi ini menyebutkan deskripsi umum prasasti berupa data fisik dan tempat ditemukan prasasti serta alih aksara dari prasasti. Alih aksara yang telah dilakukan oleh Boechari sangat membantu dalam pengumpulan data awal mengenai Prasasti Rongkab, terutama sebagai data pembanding alih aksara prasasti yang telah dilakukan sebelumnya oleh Barrett Jones (1984: 161-165) dalam Early Tenth Century Java from the Inscriptions.
Dalam karyanya, Damais (1970: 40 dan 948) menyebutkan angka tahun dari Prasasti Rongkab saja, namun pada bagian lainnya beliau menyebutkan nama-nama orang yang tercantum dalam Prasasti Rongkab. Kozo Nakada (1982: 92-93) dalam An Inventory of the Dated Inscriptions in Java hanya menyebutkan deskripsi umum prasasti. Mengenai pertanggalan Prasasti Rongkab pernah dibahas dalam Etudes d’ Epigraphie Indonésienne (EEI) III dan IV, terdapat deskripsi umum prasasti berupa bentuk, bahasa, nama pejabat yang mengeluarkan prasasti, referensi, alih aksara dari sebagian kecil isi Prasasti Rongkab yang menyebutkan pertanggalan, serta pembahasan mengenai pertanggalan dari Prasasti Rongkab (Damais, 1990: 108-109 dan 339-342). Selain itu, Eade dan Gislén (2000: 26-27) mendasarkan penelitian mereka dari hasil penelitian Damais dalam EEI, mengenai pertanggalan Prasasti Rongkab yang kemudian disinkronkan dengan pertanggalan Masehi dengan menggunakan software khusus pertanggalan yang pernah digunakan pula terhadap prasasti di India.
Prasasti Rongkab ditemukan di Jawa Tengah, namun lokasi tepatnya maupun waktu penemuannya tidak diketahui, sehingga Prasasti Rongkab digolongkan sebagai prasasti tidak in situ yaitu artefak yang saat ditemukan sudah tidak berada di tempat aslinya. Boechari (1985/1986: 170) menyebutkan Prasasti Rongkab ditemukan di daerah Pati, Jawa Tengah, namun Barrett Jones (1984: 161) menduga Prasasti Rongkab ditemukan di daerah yang sama dengan Prasasti Bulai A, yaitu di daerah Demak, Jawa Tengah. Perbedaan tempat penemuan ini sudah sulit untuk ditelusuri mana yang benar, namun satu hal yang pasti adalah Prasasti Rongkab ditemukan di Provinsi Jawa Tengah. Barrett Jones juga menyebutkan bahwa sebelum menjadi koleksi Museum Nasional, Prasasti Rongkab merupakan koleksi dari Van Orsoy de Flines dengan nomor inventaris 246, bersamaan dengan Prasasti Bulai A yang juga dinomori 246. Keduanya kini disimpan di Museum Nasional, Prasasti Rongkab diberi nomor E 83 a, sedangkan Prasasti Bulai A diberi nomor E 83 b (Barrett Jones, 1984: 161). Akan tetapi, kini Prasasti Rongkab dikenal dengan nomor inventaris E 83 saja, sedangkan Prasasti Bulai A bernomor inventaris E 82.
Prasasti Rongkab yang dipahatkan pada logam campuran (alloy) tembaga berbentuk lempengan persegi panjang, serta memiliki sisi panjang dan lebar yang agak melengkung. Lempengan Prasasti Rongkab cukup tebal sehingga huruf yang dipahatkan masih terlihat jelas. Prasasti Rongkab berjumlah satu lempeng yang berukuran panjang 35,2 cm, lebar 14,7 cm, serta tebal 0,148 cm.
Aksara yang digunakan oleh Prasasti Rongkab adalah aksara Jawa Kuno yang biasa dipakai di prasasti masa Balitung lainnya. Aksara masa Balitung ini kerapkali disebut oleh de Casparis (1975: 33) sebagai aksara standar, dan bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Jawa Kuno. Aksara dibubuhkan di prasasti dengan cara dipahat.
Lempengan Prasasti Rongkab dipahat di kedua sisinya yaitu depan (recto) dan belakang (verso). Jumlah baris di sisi recto adalah 10 baris, sedangkan sisi verso-nya dipahatkan tulisan sebanyak 13 baris.
Prasasti Rongkab (Verso) |
Kondisi Prasasti Rongkab cukup bagus dengan tulisan yang dapat dibaca dengan cukup jelas. Secara umum prasasti berwarna coklat tembaga kehitaman dengan bercak warna kehijauan yang diduga akibat dari patinasi. Kedua permukaan lempeng, baik rectomaupun verso memiliki banyak “pori-pori”. “Pori-pori” ini berbentuk menyerupai lubang-lubang kecil walau tidak sampai menembus ke sisi lempeng di baliknya.
Ukuran panjang huruf berkisar antara 0,2 cm hingga 0,5 cm. Lebar huruf berkisar 0,2 cm hingga 0,6 cm dan ketebalan dipahatkannya huruf sekitar 0,05 cm. Jarak antar huruf cukup bervariasi yaitu 0,1 cm hingga 0,5 cm, sedangkan jarak antar baris berkisar antara 0,2 cm hingga 0,7 cm. Rupanya sang pemahat prasasti kurang terampil dalam memperkirakan perbandingan jumlah huruf yang akan dituliskan dan bidang tulisnya. Hal tersebut dapat dilihat dari sisi recto yang memiliki ukuran huruf, jarak antar huruf, dan jarak antar baris yang relatif lebih besar daripada sisi verso. Penulisan huruf di sisi verso cenderung sangat berdekatan, sedangkan penulisan huruf di sisi recto berkesan agak longgar. Selain itu, baris tulisan dipahatkan agak tidak lurus dari kiri ke kanan, sehingga baris-baris tidak bersifat sejajar antara satu sama lain. Di bagian tengah atas dari recto terdapat tulisan nomor inventaris prasasti yaitu E. 83 a berwarna putih dan dituliskan terbalik, sehingga kita harus memutar prasasti sebanyak 180 ̊ untuk membacanya secara baik. Di pinggiran sisi bawah dari recto terdapat kerusakan kecil berupa patahan sehingga menyebabkan sisi bawah prasasti berupa garis bergelombangdi bagian tersebut.
Pada sisi verso Prasasti Rongkab, kerusakan berupa patahan kecil di bagian pinggir kanan bawah.
Di bagian pojok kiri bawah dari verso dituliskan nomor inventaris dari prasasti yaitu 78 yang berwarna hitam dan E. 83. ayang berwarna putih. Ukuran huruf yang dipahatkan relatif sama pada setiap barisnya, namun jarak antara tiap baris sangat kecil sehingga berkesan sangat berdempetan, berbeda dengan baris-baris di sisi recto yang jarak di antaranya agak “longgar”.
Aksara Jawa Kuno yang digunakan oleh Prasasti Rongkab termasuk aksara silabis, yaitu aksara yang setiap tandanya melambangkan satu konsonan dan satu vokal (Kushartanti, dkk. 2009: 71). Aksara Jawa Kuno yang digunakan di Prasasti Rongkab disebut aksara standar (de Casparis, 1975: 71). Aksara standar pada Prasasti Rongkab memiliki ciri di antaranya adalah bentuk tiap hurufnya yang cenderung membulat dan ditulis condong ke kanan, serta adanya kuncir pada sebagian besar huruf. Kuncir ini merupakan elemen dekorasi dari huruf dan sangat umum digunakan pada prasasti zaman Rakai Kayuwangi dan Balitung.
Bahasa yang digunakan pada Prasasti Rongkab adalah bahasa Jawa Kuno. Sama seperti hampir semua prasasti Jawa Kuno lainnya, bentuk teksnya berupa prosa. Prasasti pada umumnya ditulis dengan kalimat yang singkat dan padat. Prasasti Rongkab tidak memakai penulisan hukum sandhi yang berlaku di Bahasa Jawa Kuno. Hukum sandhi biasanya terjadi akibat pertemuan dua huruf vokal, seperti contoh kata wineh yang ditulis winaih dan kata rare yang ditulis rarai.Namun untuk vokal rangkap ua, telah berubah menjadi wa sesuai dengan hukum sandhi. Hal itu merupakan salah satu ciri prasasti tua yang lazim ditemukan pula di prasasti zaman Balitung lainnya. Selain itu, ada kecenderungan dari citralekha untuk menuliskan aksara ganda pada beberapa kata yang seharusnya tidak beraksara ganda, contohnya kata pamĕgat yang dituliskan pamaggat dan tangkilan yang dituliskan tangkillan.
Pada Prasasti Rongkab hanya terdapat tiga huruf vokal yang berdiri sendiri yaitu huruf °a, °i, dan °u. Vokalisasi dalam Prasasti Rongkab digunakan untuk membedakan bunyi, karena pada dasarnya aksara Jawa Kuno merupakan aksara silabis sehingga huruf-huruf konsonan yang ada secara otomatis telah berpasangan dengan huruf vokal a. Untuk vokalisasi selain huruf a maka digunakan tanda i, u, e, ĕ, o, ai, au, ā, ī, dan ū.
Pada Prasasti Rongkab, konsonan dapat dituliskan secara pasangan. Dengan cara ini, huruf yang ditulis terlebih dahulu (terletak di atas huruf yang satunya) bunyinya menjadi mati dan dilanjutkan dengan huruf yang dituliskan di bawahnya. Salah satu cara penulisan konsonan pada aksara Jawa Kuno adalah dengan menggunakan tanda virama atau paten. Virama digunakan untuk mematikan bunyi salah satu konsonan. Dalam Prasasti Rongkab, virama dipahatkan dengan bentuk garis melengkung dari sisi atas huruf hingga ke sisi kanan bawah huruf. Tanda anusvāradigunakan untuk menyatakan bunyi sengau dalam bahasa Jawa Kuno. Pada Prasasti Rongkab, anusvāra diwujudkan dengan bulatan kecil namun juga ada yang berupa titik saja. Anusvāra tidak ditulis persis di atas huruf yang bersangkutan seperti di prasasti kebanyakan, namun ditulis agak ke kanan atas dari huruf sehingga berada di pertengahan antara huruf yang diberi anusvāra dan huruf sesudahnya. Visarga digunakan untuk mewujudkan bunyi ḥ. Hampir semua h mati pada Prasasti Rongkab adalah akibat digunakannya tanda visarga yang berbentuk dua bulatan kecil yang berada di samping kanan huruf. Cara untuk menuliskan konsonan r mati sebelum huruf tertentu dengan menuliskan tanda layar di atas huruf. Tanda layar pada Prasasti Rongkab berbentuk seperti garis yang melengkung dari arah kiri ke kanan dan kurvanya terbuka ke atas.
Alih Aksara
Sisi Recto
- // swasti śakawarṣatita[1] 823 katikamasa[2], tithi daśami[3] suklapakṣa[4] wā, wa °a wara[5]śatabhiśanakṣatra[6] bāru-
- nadaiwatā[7] hasayūga[8], tatkālanikanaŋ rāma i roŋkab· winaiḥ mamuputta kaṭik· pra-
- ṇa ga[9] de saŋ pamaggat· °umaṅgit· pu parwwatta[10], saŋkā ri nāśani wanwanya maṅaśa-[11]
- °akkan· °ikanaŋ rāma pasak· pasak· °i saŋ pamaggat· pirak· kā 10[12] juru-[13]
- ni kanayakān· saŋ tamwalaŋ °anak· wanwa °i kukap· watak· pagar· wsi, °ata-
- ṇḍa pu pawī, juruniŋ[14] lapuran·[15] pu dhānada[16]kapwa °anak· wanwa °i turai, watak· tu-
- rai, juruniŋ[17] wadwā1
- rarai pu gaṇḍaura °anak· wanwa1
- °i sḍĕḥ watak· taŋkillan·[20]8.juruniŋ kalula pu °arka[21] °anak· wanwa waryyaŋ watak· rampakan·, juruniŋ[22] maŋra-[23]
- kat· sa[24] ra papaḥ[25] °anak· wanwa °i tĕ°ṛnĕḥ watak· taŋkil·[26], °amasaṅakan·
- pu maṇḍu°a nwa[27] °i[28] rahawu watak· sirikan· °inaŋsyan· pasak· pasak· pirak·
Sisi Verso
- dhā[29] 5[30] kinābaihan·nira[31] wahutta °i rikanaŋ[32]kāla mukur[33] saŋ bataŋṅan· piŋhai ka-
- ḍu sapataŋṅaḥhan·[33][34], kapwa ̊inaŋsyan· pasak· pasak· pirak· dhāra[35] 10[36] °i sowaŋ
- [37]sowaŋ rāma māgman· °irikana[ŋ][38] kāla kala[ŋ] si maṅgal· mu°a[ŋ] si kya gusti si diśa winĕkas·
- si haṅū parujar· si liṇḍu°an· mu°a[ŋ] si bicit rāma maratā si tĕwak· si julu hulu wras·
- si wisuwa nāhan· kwai[ḥ] nikanaŋ rāma māgman· sinrahan· prasaṣṭi[39] de saŋ pamaggat· °umaṅgit·
- pu parbata[40] ̊anuŋ ḍumatĕṅakan·samwaḥnikanaŋ[41] rāma °i roŋkab sa[ŋ] talla[42]gusti °i suli[43], sīma wadi-
- hati sakṣī saŋ pamaggat· wadihati pu ḍapit·anak wanwa °i paŋḍamu°an·[45] watak· wadihati°inasĕ
- °an·[46] pasak· pasak· pirak· dhāra 4[47]tuhān· miraḥ miraḥ pa[48] rayuŋ sanak·[49] ̊i miraḥ miraḥ watak· wadi[50] ma[ŋ]-[51]
- rakappi saŋ halaran·[52] pu dhānada[53] °anak wanwa °i paṇḍamu°an watak wadihati kapwa °ina[ŋ]sĕ°an·[54] pa-
- sak· pasak·pirak· dhā 2 °i sowaŋ sowa[ŋ] wahutta hya[ŋ] tumut·[55] magunadosa[56] sa[ŋ] siṅgaḥ wwaḥ pu ra-
- hula, °anak· wanwa °i miraḥ miraḥ watak· wadihati mu°aŋ saŋ habūn °anak· wanwa °i turayun· watak si-
- garan·kapwa °inasĕ°an·[57] pasak· pasak· pirak· mā 7 °i[58] sowa[ŋ] sowaŋ karamān· saŋ hadyan· wahu-
- [59]tta hya[ŋ] makabaiḥhan·[60] pirak· dhā 1 kinabaiḥhannira likhitta patra pu rawi◌◌◌
Alih Bahasa
Sisi Recto
- // Selamat! Tahun Śaka 823 telah berlalu, bulan Kārttika[61], tanggal kesepuluh paro terang, hari Was Wagai Minggu[62], nakṣatra-nya śatabhiṣaj[63] ,
- dewatā-nya Waruna[64], yoga-nya hasa[65]. Ketika itu pejabat[66] Desa Rongkab diberi [kemudahan] untuk melunasi[67]kaṭik[68]
- sebanyak 1 orang oleh Sang Pamĕgat[69] Umanggit bernama Pu Parwata, oleh karena kerusakan desanya. 4. Pejabat desa itu mempersembahkan hadiah kepada Sang Pamĕgat berupa perak sebanyak 10 kāṭi[70].
- Juru[71] Kanāyakān[72] bernama Sang Tamwalang, penduduk Desa Kukap, wilayah Pagar Wsi;
- pemilik panji ataṇḍa Pu Pawi, serta tuhan niŋ Lampuran[73] bernama Pu Dhanada, kedua-duanya penduduk Desa Turai, wilayah Turai;
- wadwā rarai[74] bernama Pu Gandaura, penduduk Desa Sḍĕḥ wilayah Tangkilan;
- kalula[75] bernama Pu Arka, penduduk Desa Waryang wilayah Rampakan;
- mangrakat[76] bernama Sang Ra Papah, penduduk Desa Tĕrĕnĕḥ wilayah Tangkilan, °amasaṅakan[77]
- bernama Pu Mandua, penduduk Desa Rahawu wilayah Sirikan, diberi hadiah berupa perak
Sisi Verso
- sebanyak 8 dhāraṇa semuanya. Wahuta[78] saat mengukur[79] yakni Sang Batangan,
- [yang menjabat] pinghe[80] [dari] Kaḍu[81] yakni Sang Patangahan, keduanya diberi hadiah perak sebanyak 10 dhāraṇa[82] masing-masing.
- Pejabat desa yang masih menjabat saat itu[83] bernama si Manggal dan si Kya; gusti[84] si Diśa; winekas[85]
- si Haṅū; juru bicara si Liṇḍuan dan si Bicit; pejabat desa yang telah pensiun si Tĕwak dan si Julu; pejabat yang mengatur perberasan
- si Wisuwa. Demikianlah keseluruhan pejabat desa yang diserahi prasasti oleh Sang Pamĕgat Umanggit
- yang bernama Pu Parwata. Yang datang menghormat kepada pejabat desa Rongkab [yaitu] Sang Talla, gusti dari Suli, sīma[86] Wadihati.
- Yang menjadi saksi yaitu Sang Pamĕgat Wadihati bernama Pu Ḍapit, penduduk Desa Pangdamuan wilayah Wadihati. [Ia] diberi
- hadiah perak sebesar 4 dhāraṇa. Tuhān Mirah mirah yang bernama Pu Rayung, penduduk Desa Mirah Mirah wilayah Wadihati,
- merangkap pejabat di Halaran[87] [bernama] Pu Dhanada, penduduk Desa Pangdamuan wilayah Wadihati, semuanya diberi
- hadiah perak sebesar 2 dhāraṇa masing-masing. Wahuta hyang[88] yang turut mempertimbangkan baik dan buruk bernama Sang Singgahwuah, [dan] Pu Rahula
- penduduk Desa Mirah Mirah wilayah Wadihati dan juga Sang Habūn, penduduk Desa Turayun wilayah
- Sigaran. Semuanya diberi hadiah perak sebanyak7 māṣa[89] masing-masing.Para pejabat desa[90] Sang Hadyan, wahuta
- Hyang semuanya diberi perak sebesar 1 dhāraṇamasing-masing. Penulis prasasti adalah Pu Rawi.
Catatan kaki:
[1] Seharusnya berbunyi śakawarṣātīta yaitu tahun (warṣa) yang telah berlalu (atīta) (Zoetmulder, 2006: 79 dan 1394).[2] Seharusnya berbunyi kārttika, yaitu bulan ke-8 dalam kalender Śaka (de Casparis, 1978: 48) dan berbunyi māsa yang berarti bulan (Zoetmulder, 2006: 658).
[3] Seharusnya berbunyi daśamī yaitu hari kesepuluh (de Casparis, 1978: 50).
[4] Seharusnya berbunyi śuklapakṣa yang berarti paro terang (Damais, 1990: 13).
[5] Seharusnya berbunyi wāra yang berarti hari dalam minggu (Zoetmulder, 2006: 1389).
[6] Seharusnya berbunyi śatabhiṣaj (de Casparis, 1978: 52). Barrett Jones membaca unsur sesudahnya sebagai naksatra, sedangkan Boechari membacanya sebagai nakṣatra.
[7] Seharusnya berbunyi baruṇa atau waruṇa dan berbunyi dewatā (de Casparis, 1978: 51). Barrett Jones dan Boechari membacanya sebagai dewatā, namun terlihat jelas bahwa di atas vokalisasi e terdapat garis melengkung yang mengindikasikan vokalisasi yang sebenarnya yaitu ai.
[8] Boechari membacanya sebagai hāsayuga, padahal terlihat jelas tidak ada garis vertikal penanda vokalisasi ā pada huruf ha. Barrett Jones membacanya sebagai hasayūga. Dilihat dari konteksnya, kata yang dimaksud merupakan unsur pertanggalan yoga, namun tidak ada yoga yang bernama hasa, mungkin yang dimaksud adalah harṣaṇayoga. Mengenai ejaan ū/o dalam bahasa Jawa Kuno memang terdapat variasi pemakaian antar keduanya, seperti contohnya pada kasus pengejaan nama pu manukū yang sering juga dijumpai dengan ejaan pu manuko (Griffiths, 2011: 143 dan Damais, 1968: 450).
[9] Boechari membacanya sebagai 1, namun Barrett Jones membacanya sebagai ga. Memang kedua karakter tersebut terlihat mirip, namun dengan adanya kuncir menandakan karakter tersebut adalah huruf sehingga harus dibaca sebagai ga. Akan tetapi dengan melihat konteksnya yang menyebut jumlah kaṭik yang dibebaspajakkan atau dilunasi, tentulah harus berupa angka satu, karena ga tidak memiliki arti apa-apa jika dimasukkan ke dalam konteks kalimat. Maka di sini sang citralekha keliru.
[10] Barrett Jones membacanya sebagai parwatta, padahal jelas terdapat pasangan w di bawah huruf w.
[11] Bentuk huruf ṅa di sini agak berbeda dengan huruf ṅa di baris lainnya. Seharusnya berbunyi manasĕakan yang berarti ‘memberi’ (Zoetmulder, 2006: 68).
[12] Baik Barrett Jones maupun Boechari sama-sama membacanya sebagai 1. (angka satu serta tanda baca). Namun jika dilihat dari pola penulisan pemberian pasak pasak yang ada di bagian selanjutnya dari baris tersebut, tidak ada penyebutan angka yang diikuti oleh tanda baca, sehingga mendukung pendapat bahwa bulatan setelah angka 1 bukanlah tanda baca, melainkan angka 0.
[13] Samar terlihat bulatan kecil di atas huruf ru, diperkirakan merupakan anusvāra namun mungkin bulatan tersebut ada akibat kerusakan yang terjadi pada lempeng karena kata juruŋ tidak ada. Melihat dari konteksnya, jelas kata yang dimaksud adalah juru yang berarti kepala atau pemimpin (Zoetmulder, 2006: 431).
[14] Anusvāra terletak hampir persis di atas huruf la, sehingga agak mengecoh seakan-akan yang tertulis adalah laŋ namun jelas morfem yang dimaksud adalah niŋ. Boechari pun membacanya sebagai niŋ lapuran, sedangkan Barrett Jones membacanya sebagai ni laŋpuran.
[15] Ada bulatan kecil di kanan atas dari huruf ra namun peletakan anusvāra di sini dirasa kurang masuk akal karena adanya huruf na yang diberi tanda virāma setelah huruf tersebut. Kemungkinan besar bulatan kecil tersebut terjadi akibat kerusakan yang terjadi pada lempeng karena berbeda dengan penulisan anusvāra lainnya pada Prasasti Rongkab, bulatan kecil ini ditulis sangat dekat dengan huruf. Boechari membacanya sebagai lapuran, sedangkan Barrett Jones membacanya laŋpuran, padahal jelas tidak ada anusvara setelah huruf la.
[16] Seharusnya dhanada seperti nama yang sering ditemui dalam prasasti lain.
[17] Boechari membacanya sebagai ni, namun jelas terlihat anusvāra di sebelah kanan atas huruf ni.
[18] Rupanya Barrett Jones luput melihat vokalisasi ā, sehingga beliau membacanya sebagai wadwa.
[19] Barrett Jones membacanya sebagai wanua, padahal jelas hanya satu suku kata nwa yang terbentuk dari n dengan pasangan wa.
[20] Boechari membacanya sebagai tankillan, padahal tidak ada huruf na ber-virāma sesudah huruf ta, melainkan ada sebuah anusvāra. Barrett Jones membacanya sebagai taŋkillan.
[21] Tanda layar berada di kanan atas dari huruf ka, mungkin merupakan kasus yang sama dengan penulisan anusvāra di Prasasti Rongkab karena penulisan kata berupa “r ̊a” jarang ditemui.
[22] Vokalisasi i untuk huruf na di sini berupa bulatan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan huruf bervokalisasi i lainnya, mungkin akibat sangat dekatnya jarak baris ke-7 dan ke-8. Boechari membacanya sebagai ni, sedangkan Barrett Jones membacanya sebagai niŋ.
[23] Boechari membacanya sebagai maraŋkat meskipun a terletak di antara huruf ma dan ra, bukan terletak setelah ra. Dalam Kamus Jawa Kuna – Indonesia, terdapat kata rakat dengan diberi awalan maN- menjadi maŋrakat yang berarti ‘bujang, pembantu, pelayan’ (Zoetmulder, 2006: 188).
[24] Boechari membacanya sebagai saŋ ra papah walaupun jelas tidak ada anusvāra setelah huruf sa namun mungkin yang dimaksud adalah benar saŋ rapapah karena didahului oleh nama jabatan yang biasanya diikuti oleh nama orang yang memegang abatan tersebut. Saŋ merupakan nama sebutan yang umum selain pu dan si.
[25] Jarak antara baris ke-9 dan ke-10 yang berdekatan menyebabkan adanya keambiguan dalam penulisan tanda. Tanda dua buah bulatan kecil yang terdapat di baris ke-9 setelah ra papa dapat diduga merupakan visarga sehingga kata yang dimaksud menjadi ra papaḥ, sedangkan kata yang tepat di baris bawahnya menjadi °i, namun di sisi lain kedua bulatan kecil tersebut dapat dilihat sebagai satu bulatan tanda baca koma atau titik bagi baris ke-9 dan sebagai anusvāra untuk baris ke-10 sehingga kata yang dimaksud masing-masing berbunyi rapapa dan °iŋ. Namun jika melihat pola pada bagian sebelumnya, diduga yang dimaksud adalah benar ra papaḥ dan °i.
[26] Jika melihat bagian lain dari prasasti yang sebelumnya menyebut nama wilayah yang hampir mirip, barangkali sang citralekha lupa untuk memahat suku kata berikutnya yaitu lan, karena di bagian lain prasasti kita temui watak taŋkillan.
[27] Kata-kata ini seharusnya berbunyi °anak· wanwa jika melihat di bagian Prasasti Rongkab lainnya pola penulisan nama seseorang yang diikuti dengan nama tempat tinggalnya. Hal ini menunjukkan citralekha yang kurang cakap, sehingga lupa memahat huruf nak· wa, sama halnya seperti ia melupakan untuk memahat lan.
[28] Lihat catatan kaki nomor 31.
[29] Huruf terlihat agak kurang jelas namun jika melihat dari konteksnya, dapat diduga merupakan huruf dhā, yaitu kependekan dari kata dhārana, salah satu jenis satuan perak (Zoetmulder, 2006: 196).
[30] Barrett Jones membacanya sebagai angka 4, sedangkan Boechari membacanya sebagai angka 5.
[31] Setelah huruf na pertama terdapat tanda yang bentuknya mirip sekali dengan virāma di akhir kata ini,namun virāma di tengah kata jarang ditemukan. Kemungkinan lainnya citralekha bermaksud menulis kinābaihan, tetapi bentuk tersebut pun salah karena jika melihat konteksnya, kata seharusnya adalah kinabaihan (huruf na bervokalisasi a, bukan ā) (Zoetmulder, 2006:434). Selain itu huruf ba di sini juga agak berbeda dengan huruf ba di bagian prasasti lainnya. Baik Boechari maupun Barrett Jones membacanya sebagai kinābaihan.
[32] Barrett Jones membacanya sebagai °irikaŋ, mungkin terlupa menambahkan huruf na.
[33] Barrett Jones dan Boechari membacanya sebagai muŋkur, namun tidak terlihat adanya anusvāra di atas huruf mu.
[34] Bentuk huruf ṅa di sini agak berbeda (agak lebih melengkung ke dalam) dengan huruf ṅa lainnya di prasasti ini. Barrett Jones membacanya sebagai saŋ pataŋṅahhan, sedangkan Boechari membacanya sa(ŋ) patiṅaḥhan. Keberadaan anusvāra di sini memang harus diperdebatkan namun mungkin memang benar berbunyi saŋ karena kata tersebut didahului kata lain yang berupa jabatan.
[35] Huruf ra dan angka 1 ditulis hampir tersambung. Dhāra mungkin juga mengacu pada satuan perak yaitu dhāraṇa, namun di bagian lain prasasti, kata tersebut disingkat hanya menjadi dhā.
[36] Lihat catatan kaki nomor 18.
[37] Terdapat jarak spasi sebesar kira-kira satu huruf sebelum huruf so, namun jelas tidak terlihat bekas pahatan apapun, sehingga kekosongan ini merupakan sesuatu hal yang mengherankan.
[38] Kembali Barrett Jones menuliskan °irikaŋ.
[39] Seharusnya berbunyi praśasti (Zoetmulder, 2006: 850).
[40] Baik Barrett Jones maupun Boechari menyetujui bahwa awal baris ini dibaca pu parbata namun jika melihat nama pemegang jabatan saŋ pamaggat umaṅgit yang telah disebut sebelumnya di sisi recto prasasti ini, seharusnya dibaca pu parwata. Namun dalam kenyataannya memang wa dan ba dapat dipergunakan secara bergantian tanpa mengubah arti.
[41] Visarga sudah hampir tidak kelihatan akibat kerusakan lempeng.
[42] Boechari membacanya sebagai sa(ŋ) talu padahal terlihat jelas bahwa huruf di bawah huruf la adalah pasangan la, bukan vokalisasi u.
[43] Barrett Jones membacanya sebagai suliŋ. Keberadaan anusvāra agak meragukan pada kata ini.
[44] Seharusnya berbunyi sākṣi yang berarti saksi mata (Zoetmulder, 2006: 985). Barrett Jones membacanya sebagai sakṣī, sedangkan Boechari membaca sebagai sakṣi.
[45] Barrett Jones membacanya sebagai paḍamuan. anusvāra di sini memang tidak terlihat jelas, namun Boechari juga membacanya sebagai paŋḍamuan.
[46] Jelas tidak ada anusvāra, namun Barrett Jones membacanya sebagai °inaŋsĕan, sedangkan Boechari membacanya sebagai °inasean, sepertinya beliau lupa menambahkan tanda pĕpĕt pada ketikan akhir naskah.
[47] Barrett Jones membacanya sebagai angka 3 dan tanda baca, sedangkan jelas terlihat angka 4 dan tidak ada tanda baca apa pun setelahnya. Boechari pun membacanya sebagai angka 4.
[48] Boechari membacanya sebagai pu dan memang samar terlihat adanya vokalisasi u. Dilihat dari konteksnya, memang seharusnya tertulis pu karena setelah kata tersebut diikuti oleh nama seseorang yaitu rayuŋ yang juga ditemui dalam Prasasti Poh 827 Śaka (Damais, 1970: 238).
[49] Seharusnya berbunyi anak· wanwa °i miraḥ miraḥ seperti yang terdapat di baris ke-11 sisi verso. Walaupun demikian, Boechari membacanya sebagai °anak· °i miraḥ miraḥ padahal tidak terlihat adanya bentukan seperti angka 3 terbalik yang menjadi ciri khas huruf °a. Jelas di sini citralekha keliru.
[50] Mungkin yang dimaksud adalah wadihati yaitu nama watak yang sering muncul di prasasti masa Balitung lainnya dan juga muncul di bagian lain dari Prasasti Rongkab.
[51] Boechari membacanya sebagai maŋ padahal tidak terlihat adanya anusvāra.
[52] Barrett Jones membacanya sebagai maŋraŋkappi, sedangkan Boechari membacanya maŋrakappi.
[53] Lihat catatan kaki nomor 22.
[54] Boechari membacanya sebagai °inaŋsean·, kemungkinan beliau lupa menambahkan tanda pĕpĕt pada ketikan naskah akhir.
[55] Antara huruf tu dan huruf mu terdapat jarak spasi yang cukup besar.
[56] Barrett Jones membacanya sebagai maṅunadosa, sedangkan Boechari membaca mangunadosa.
[57] Kembali Boechari sepertinya lupa menambahkan tanda pĕpĕt pada naskah akhir, sehingga bacaannya hanya °inasean·.
[58] Barrett Jones nampaknya tidak dapat membaca bagian ini dengan jelas, terlihat dari alih aksaranya yaitu ma – na, yang tidak memiliki arti apa-apa.
[59] Baris ke-13 ditulis menjorok ke kanan, mungkin disebabkan citralekha yang tidak begitu ahli dalam memperhitungkan penulisan jarak antar baris.
[60] Boechari membacanya sebagai makabaiḥkan·. Memang huruf ha agak mirip dengan huruf ka, namun kata yang dimaksud kemungkinan besar adalah makabaiḥhan yang berarti semua bersama-sama (Zoetmulder, 2006: 434).
[61] Bulan Kārttika adalah bulan ke-8 dalam kalender Śaka. Semua nama bulan tersebut adalah sebagai berikut: Caitra, Waiśākha, Jyeṣṭha, Āṣāḍha, Śrāwaṇa, Bhadrawāda, Asuji, Kārttika, Mārgaśira, Poṣya, Māgha, dan Phālguna (de Casparis, 1978: 48).
[62] wā, wa ̊a merupakan singkatan dari was, wagai ,°āditya yaitu merupakan nama hari dari sistem siklus enam hari (ṣaḍwāra), siklus lima hari (pañcawāra), serta siklus tujuh hari (saptawāra) (de Casparis, 1978:3).
[63] Nakṣatra adalah perhitungan waktu berdasarkan benda-benda langit dan bersiklus 27,322 hari. Ada 27 nakṣatra yang dikenal dan śatabhiṣaj adalah nakṣatra yang ke-24 (de Casparis, 1978: 21 dan 52).
[64] Setiap nakṣatra memiliki hubungan dengan suatu dewatā tertentu dan dalam kasus ini pasangan nakṣatra śatabhiṣaj adalah waruṇa (Renou dan Filliozat, 2001: 730).
[65] De Casparis (1978: 22) mendefinisikan yoga sebagai waktu saat pergerakan gabungan antara matahari dan bulan mencapai nilai 13 ̊20’. Terdapat 27 nama yoga, yaitu viṣkambha, prīti, āyuṣmant, saubhāgya, śobhana, atigaṇḍa, sukarman, dhṛti, śūla, gaṇḍa, vṛddhi, dhruva, vyāghāta, harṣaṇa, vajra, siddhi, vyatīpāta, varīyas, parigha, śiva, siddha, sādhya, śubha, śukla, brahman, indra, dan vaidhṛti (Renou dan Filliozat, 2001: 734).Nama hasayoga tidak ada dalam daftar nama yoga, namun mungkin yang dimaksud oleh citralekha adalah harṣaṇayoga.
[66] Rāma adalah sebutan pagi pejabat/penguasa desa; golongan orang yang dianggap pejabat atau senior di suatu komunitas religi maupun sosial (Zoetmulder, 2006: 913).
[67] Mamuputta berasal dari kata dasar puput yang berarti ‘akhir, hasil, tujuan’ dan diberi imbuhan maN- dan akhiran irrealis sehingga dapat berarti supaya ‘mengakhiri, menyelesaikan, dan melengkapi’ (Zoetmulder, 2006: 882). Dalam konteks ini, mungkin dapat diartikan ‘untuk melunasi’ dengan maksud di sini adalah para pejabat desa Rongkab tidak usah kerja bakti yang besarannya berupa 1 kaṭik kepada Sang Pamgat Umanggit karena desanya rusak.
[68] Kaṭik dalam kamus berarti ‘pembantu, pengurus kuda’ (Zoetmulder, 2006: 472) namun dalam prasasti seringkali digunakan dalam konteks pertanian seperti dalam Prasasti Luītan (Nastiti, dkk, 1982:29), mungkin artinya lebih condong kepada orang yang mengerjakan sawah, bukan satuan dari sawahnya.
[69] Sang Pamagĕt atau samgĕt adalah nama salah satu jabatan tinggi yang terdapat di istana, biasanya dikombinasikan dengan kata lain seperti samgĕt wadihati dan samgĕt makudur.
[70] Kati adalah istilah lokal Nusantara untuk salah satu jenis satuan massa. Menurut Wisseman Christie (2004: 91), kati digunakan untuk mengukur segala jenis benda dan pada masa Jawa awal memiliki massa setara dengan 750-768 gram.
[71] Dapat diartikan sebagai kepala atau orang yang mengepalai pegawai seprofesi; pejabat yang bertugas di tingkat desa, memiliki arti yang sama dengan tuhān (Soesanti, 1981:138).
[72] De Casparis (1956: 228) berpendapat bahwa nāyaka adalah petugas-petugas bawahan yang bertugas mengurusi hal-hal administrasi rakyat.
[73] Berdasarkan alih aksara semata memang terbaca lapuran. Belum diketahui secara pasti fungsi dari jabatan tersebut, namun yang pasti lapuran bukanlah nama geografis. Mungkin yang dimaksud oleh sang citralekha adalah kata lampuran seperti yang dipahatkan pada prasasti Paṅgumulan A dan B lempeng kedua baris ke-5 “...tuhān iŋ lampuran...” (Nastiti, dkk, 1982: 14). Selain lampuran, kata tersebut juga dapat dibaca sebagai laŋpuran. Arti katanya yang pasti masih belum diketahui, namun ada pendapat yang mengatakan bahwa jabatan tersebut bertugas sebagai tempat menerima protes (komplain) dari masyarakat. Pendapat lainnya menghubungkan dengan istilah paŋlapuan yang kerapkali ditemukan di dalam prasasti Bali Kuno, sehingga mungkin juruniŋ lampuran berarti pejabat yang mengurusi pengadilan di tingkat watak (Soesanti, 1981: 119).
[74] Secara harfiah, wadwā berarti pasukan, sedangkan rare berarti anak kecil, namun dalam bahasa Jawa Baru dapat disamakan dengan makna orang kecil atau rakyat jelata (Zoetmulder, 2006:925 dan 1365). De Casparis seperti yang dikutip Soesanti (1981: 119-120) berpendapat bahwa juruniŋ wadwā rarai diartikan sebagai pejabat yang mengepalai pasukan orang-orang kecil, karena adanya istilah wong cilik untuk menyebut rakyat jelata.
[75] Secara harfiah kalula berarti pengiring, pembantu, atau abdi (Zoetmulder, 2006: 446). De Casparis seperti yang dikutip oleh Soesanti (1981: 120) menganggap asal kata kalula yaitu kulāla sehingga juruniŋ kalula berarti pejabat yang mengepalai para perajin tembikar, namun Goris berpendapat lain, yaitu kalula berasal dari kata kula yang berarti pelayan yang lahir di dalam rumah budak, sehingga mungkin dapat diartikan sebagai pejabat yang mengepalai para budak atau pelayan.
[76] De Casparis (1956: 240) memberikan dua pendapat akan tugas seorang juruniŋ maŋrakat yaitu pejabat yang mengepalai perajin topeng atau pejabat yang mengepalai para seniman (penari) topeng.
[77] Dapat diartikan sebagai ‘beserta’.
[78] Merupakan salah satu pejabat tingkat watak. Biasanya kata wahuta dikombinasikan dengan kata lain seperti wahuta hyaŋ kudur yaitu salah satu nama pejabat keagamaan yang mungkin merupakan asisten dari makudur dan bertugas mengucap sapatha dalam suatu upacara penetapan sīma (De Casparis, 1956: 237).
[79] Kāla mu(ŋ)kur dapat diduga merupakan salah satu turunan dari kata dasar ukur.
[80] Merupakan salah satu nama pejabat yang belum diketahui jelas tugasnya, sering dikombinasikan dengan kata lain seperti “...piŋhe wahuta...”. Boechari seperti yang dikutip oleh Soesanti (1981:122) berpendapat bahwa kata piŋhe sering dipakai sebagai pengganti kata patih.
[81] Kaḍu mungkin dapat diartikan sebagai nama tempat yang dapat disamakan dengan daerah Kedu sekarang.
[82] Dharaṇa adalah istilah untuk satuan massayang diambil dari bahasa Sanskerta, namun di Jawa satuan ni memiliki besaran yang berbeda dengan yang biasa digunakan di India. Dharaṇa biasanya digunakan untuk mengukur massa logam perak dan setara dengan massa tahil dan suwarṇa yaitu sebesar 38 gram, namun pada abad ke-9 dan 10 nilainya berkurang menjadi seperlima dari nilai suwarṇa (Wisseman Christie, 2004:92).
[83] Kalaŋ sebagai suatu kata tersendiri seringkali diartikan sebagai ‘tukang kayu’ secara luas (Zoetmulder, 2006: 442).
[84] Salah satu pejabat yang berkuasa di tingkat wanua dan rupanya memiliki peran yang cukup penting karena terhitung cukup sering muncul di prasasti, namun sayangnya tugas seorang gusti dalam pemerintahan desa belum diketahui secara pasti (Soesanti, 1981:125).
[85] Pejabat yang tugasnya membawa pesan atau perintah dari desanya (Soesanti, 1981: 125).
[86] Daerah perdikan. Sīma tidak mengacu kepada bebasnya pajak akan suatu wilayah yang awalnya harus dibayarkan oleh penduduk desa tersebut, namun mengacu kepada wilayah yang dialihkan pajaknya kepada pembangunan atau pemeliharaan bangunan suci yang terdapat di dalam atau di dekat wilayah tersebut (Barrett Jones, 1984: 60).
[87] Arti sebenarnya dari maŋrakappi saŋ halaran belum diketahui, namun diduga bahwa istilah tersebut merupakan salah satu nama jabatan seperti yang ditemukan pada Prasasti Ratawun 803 Ś “...maŋrakappi halaran si larakā...”. Namun dapat juga berarti ‘merangkap pejabat di Halaran’.
[88] Mungkin yang dimaksud adalah wahuta hyaŋ kudur, pejabat yang sering ditemui dalam prasasti masa Balitung lainnya, namun oleh karena Prasasti Rongkab bukan merupakan prasasti sīma, hal ini tentu membingungkan.
[89] Māṣa adalah satuan massa yang diadopsi dari istilah India namun memiliki penggunaan yang berbeda di Jawa. Māṣa memiliki massa setara 2,4 gram biasanya dipergunakan untuk mengukur baik emas maupun perak dan sering direpresentasikan dalam bentukan koin (Wisseman Christie, 2004: 92-93).
[90] Karamān merupakan kata turunan dari rāma setelah diberi imbuhan ka-an yang kira-kira memiliki arti ‘para pejabat desa’.
Sumber: Prasasti Rongkab 823 Ś: Kajian Epigrafi oleh Terrylia Feisrami, FIB UI, 2013.